Hutang Piutang dalam Bingkai al-Qur'an dan Hadis
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Idealnya, semua insan ingin terbebas dari jeratan hutang piutang. Realitanya, hampir semua insan pernah terlibat jeratan hutang piutang dalam episode kehidupannya. Sebab-sebabnya bervariasi, mulai dari minimnya pendapatan, banyaknya kebutuhan hingga sekedar menuruti gaya hidup kekinian. Apalagi banyak pribadi maupun institusi yang justru memanfaatkan kebutuhan hutang di tengah masyarakat dengan menawarkan berbagai fasilitas yang terlihat menggiurkan, kendati ujung-ujungnya tetap menyesakkan dada.
http://www.dialogilmu.com
Idealnya, semua insan ingin terbebas dari jeratan hutang piutang. Realitanya, hampir semua insan pernah terlibat jeratan hutang piutang dalam episode kehidupannya. Sebab-sebabnya bervariasi, mulai dari minimnya pendapatan, banyaknya kebutuhan hingga sekedar menuruti gaya hidup kekinian. Apalagi banyak pribadi maupun institusi yang justru memanfaatkan kebutuhan hutang di tengah masyarakat dengan menawarkan berbagai fasilitas yang terlihat menggiurkan, kendati ujung-ujungnya tetap menyesakkan dada.
Tulisan ini membahas hutang piutang dalam
pandangan Islam, melalui telaah al-Qur’an dan Hadis, dengan didukung pendapat
para cendekiawan muslim yang relevan.
Pertama, al-Qur’an membahas hutang
dengan kata kunci dayn (hutang) yang disebutkan sebanyak lima kali dalam
tiga ayat. Ayat pertama, Q.S. al-Baqarah [2]: 282,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
memberikan tips agar setiap
transaksi hutang-piutang dicatat oleh pihak penghutang maupun pemiutang, untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Ayat kedua, Q.S. al-Nisa’
[4]: 11-12,
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
memuat empat kata kunci dayn yang seluruhnya berkenaan
dengan kewajiban pelunasan hutang bagi orang yang sudah meninggal dunia.
Pelunasannya dapat diambil dari harta warisan, atau menjadi tanggung jawab ahli
warisnya.
Kedua, Hadis membahas hutang
dalam konteks ibadah (hablum min Allah) maupun muamalah (hablum min
al-nas). Misalnya, Ibn ‘Abbas RA meriwayatkan bahwa seorang wanita dari
Juhainah mendatangi Rasulullah SAW, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah
bernadzar haji, namun beliau belum sempat berhaji hingga wafat. Apakah aku
harus berhaji untuk beliau?”. Rasulullah SAW menjawab: “Ya, berhajilah
untuknya. Bukankah jikalau ibumu memiliki hutang, maka engkau akan melunasinya?
Lunasilah (hutang kepada) Allah, karena (hutang kepada Allah) lebih berhak
untuk dilunasi” (H.R. al-Bukhari).
Dalam riwayat lain, kasusnya terkait
laporan seorang wanita bahwa ibunya wafat dengan meninggalkan hutang puasa
nadzar. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Maka puasalah untuk ibumu” (H.R.
Muslim). Hadis ini mengisyaratkan bahwa setiap hutang ibadah kepada Allah SWT,
harus dilunasi. Apabila tidak sempat melunasi, karena meninggal dunia, maka
ahli warisnya dapat menggantikan posisi orang yang berhutang ibadah tersebut.
Terkait hutang dalam konteks muamalah,
Salamah ibn al-Akwa’ RA meriwayatkan bahwa seorang jenazah yang dihadapkan
kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bertanya: “Apakah dia meninggalkan
sesuatu (harta)?”. Para shahabat menjawab: “Tidak”. Lalu Rasulullah SAW
bertanya lagi: “Apakah dia memiliki hutang?”. Para shahabat menjawab:
“Tiga dinar”. Rasulullah SAW bersabda: “Shalatkanlah (sendiri) sahabat
kalian (ini).” Abu Qatadah RA berkata: “Mohon engkau shalati dia, wahai
Rasulullah, sedangkan hutangnya menjadi tanggung-jawabku.” Rasulullah SAW pun
berkenan menshalati jenazah tersebut (H.R. al-Bukhari).
Dalam Syarah Fath
al-Bari karya Ibn Hajar disebutkan bahwa ketika Rasulullah SAW
bertemu Abu Qatadah RA, beliau kerap bertanya, “Apa sudah dilunasi (hutang)
dua dinar (kemarin)?”, hingga akhirnya Abu Qatadah RA menjawab: “Sudah saya
lunasi, wahai Rasulullah.”
Dalam riwayat lain diinformasikan bahwa setiap kali
ada jenazah dihadapkan kepada Rasulullah SAW, maka beliau bertanya perihal
hutang jenazah tersebut. Jika dikatakan bahwa jenazah itu memiliki hutang, maka
Rasulullah SAW menunda pelaksanaan shalat jenazah; dan jika dikatakan bahwa jenazah
itu tidak memiliki hutang, maka Rasulullah SAW segera menshalatinya. Lebih
lanjut, Ibn Hajar menyatakan bahwa Hadis ini mengisyaratkan begitu beratnya
urusan hutang. Sehingga sebaiknya tidak perlu berhutang, kecuali dalam keadaan
darurat.
Begitu
dahsyatnya urusan hutang ini, sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda: “Demi
Dzat yang memegang jiwa Muhammad, seandainya seorang laki-laki gugur di medan
perang, lalu dia hidup lagi, kemudian gugur di medan perang, lalu dia hidup
lagi; sedangkan dia memiliki hutang, maka dia tidak akan masuk surga, hingga
hutangnya dilunasi” (H.R. Ahmad). Bahkan dalam Hadis lainnya dinyatakan
bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan memiliki hutang yang tidak
dilunasi, tergolong berdosa besar (H.R. Ahmad).
Abu
Sa’id al-Khudri RA meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW masuk masjid,
lalu beliau bertemu Abu Umamah RA di dalam masjid. Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Abu Umamah, saya
tidak melihatmu duduk di masjid, selain pada waktu shalat”. Abu Umamah RA
menjawab: “Saya sedang kesusahan dan terjerat hutang, wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda: “Maukah engkau saya ajari suatu doa, jika engkau
membacanya, niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan menghilangkan kesusahanmu dan
melunasi hutangmu”. Abu Umamah RA menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah doa ini ketika pagi dan sore,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ
مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ
الرِّجَالِ.
Allahumma inni a’udzu-bika minal-hammi wal-hazani; wa
a’udzu-bika minal-‘ajzi wal-kasali; wa a’udzu-bika minal-jubni wal-bukhli; wa
a’udzu-bika min ghalabatid-dayni wa qahrir-rijali.
Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan; dan aku berlindung kepada-Mu
dari kelemahan dan kemalasan; dan aku berlindung kepada-Mu dari ketakutan dan
kekikiran; dan aku berlindung kepada-Mu dari jeratan hutang dan paksaan orang.
Abu
Umamah RA berkata: “Lalu aku mengamalkan doa tersebut; kemudian Allah ‘Azza
wa Jalla menghilangkan kesusahanku dan melunasi hutangku (H.R. Abu Dawud).
Di samping doa, orang yang berhutang
harus memiliki keinginan yang sungguh-sungguh untuk melunasi hutangnya. ‘Aisyah
RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ هَمَّهُ قَضَاؤُهُ - أَوْ هَمَّ بِقَضَائِهِ - لَمْ يَزَلْ
مَعَهُ مِنَ اللَّهِ حَارِسٌ
“Barangsiapa memiliki hutang
yang ingin dilunasinya, maka seorang penjaga (utusan) dari Allah akan
senantiasa bersamanya” (H.R. Ahmad).
Jika tidak memiliki
keinginan untuk melunasi hutangnya, berarti orang tersebut dicap sebagai
pencuri oleh Rasulullah SAW. “Barangsiapa berhutang, sedangkan dia bermaksud
tidak melunasinya, maka dia bertemu Allah dalam status (sebagai) pencuri”
(H.R. Ibnu Majah).
Kemudian pahala amal kebaikannya akan diberikan kepada
pemiutangnya di akhirat kelak, sesuai dengan Hadis riwayat Ibn ‘Abbas RA: “Barangsiapa
meninggal dunia, sedangkan dia memiliki (hutang) dinar (uang emas) dan dirham
(uang perak); maka dilunasi dari (pahala) amal-amal kebaikannya; karena di sana
tidak ada dinar maupun dirham” (H.R. Ibnu Majah).
Apabila sudah mampu melunasi,
sebaiknya segera dilunasi, mengingat Rasulullah SAW bersabda:
“Allah merahmati hamba yang toleran ketika menjual; toleran ketika membeli;
toleran ketika menagih; toleran ketika melunasi” (H.R. Ibn Hibban).
Apabila sudah mampu melunasi, namun menunda-nunda
pelunasan hutang, berarti orang tersebut dicap sebagai orang zhalim oleh
Rasulullah SAW.
مَطْلُ
الْغَنِىِّ ظُلْمٌ
“Penunda-nundaan (pelunasan hutang) oleh orang yang mampu
adalah kezhaliman” (H.R. Bukhari-Muslim).
Bahkan orang yang seperti itu
boleh dihukum dan direndahkan harga dirinya. Rasulullah SAW bersabda:
لَىُّ
الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ
“Orang
mampu yang menunda-nunda pelunasan hutang, halal harga dirinya dan menghukumnya”
(H.R. Bukhari-Muslim).
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi
memberikan contoh kehalalan harga diri orang tersebut, yaitu pemiutang boleh
berkata: “Dia menzhalimiku”, “Dia menunda-nunda pelunasan hutangnya kepadaku”.
Sedangkan contoh hukuman untuk orang tersebut adalah memenjarakannya atau menta’zirnya.
Ketika
melunasi hutang, diperkenankan untuk memberi tambahan, dengan catatan berasal
dari kebaikan hati orang yang berhutang; bukan karena persyaratan dari pihak
pemiutang. Hal ini didasarkan pada Hadis riwayat Jabir ibn ‘Abdillah RA yang
berkata: “Rasulullah SAW memiliki hutang kepadaku; lalu beliau melunasinya
dan memberi tambahan kepadaku” (H.R. Muslim). Dalam Syarah Shahih Muslim,
Imam Nawawi menyatakan bahwa Hadis ini mengisyaratkan kesunahan memberi
tambahan ketika melunasi hutang.
Sebaliknya,
apabila kita berada pada posisi pemiutang, alangkah luar-biasanya jika kita
mampu meneladani sikap Abu Qatadah RA. Diriwayatkan bahwa Abu Qatadah RA
menagih kepada seorang laki-laki yang telat melunasi hutangnya. Lalu laki-laki
itu mengaku bahwa dia sedang kesulitan keuangan, sehingga tidak mampu melunasi
hutangnya. Abu Qatadah RA pun menangis dan berkata: Saya pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memudahkan orang yang berhutang
kepadanya atau menghapus hutang tersebut, maka dia berada di bawah naungan
‘Arsy pada hari kiamat” (H.R. Ahmad). Hadis ini selaras dengan kandungan Q.S. al-Baqarah
[2]: 280,
وَإِنْ
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tenggat waktu sampai dia mampu. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat
dipetik tujuh sikap Islami terkait hutang-piutang.
Pertama, setiap
transaksi hutang-piutang sebaiknya dicatat secara administratif.
Kedua, hutang
meliputi hutang ibadah (seperti nadzar haji) dan hutang muamalah seperti
hutang uang.
Ketiga, setiap hutang harus dilunasi sebelum meninggal
dunia. Jika terlanjur meninggal dunia, maka pelunasannya diambilkan dari harta
warisan yang ditinggalkan.
Keempat, baik ahli waris maupun orang lain,
diperbolehkan menggantikan tanggung-jawab pelunasan orang yang berhutang ibadah
maupun muamalah.
Kelima, hutang yang tidak dilunasi hingga meninggal
dunia, dapat dikategorikan sebagai dosa besar dan menjadi penghalang untuk masuk
surga.
Keenam, etika orang yang berhutang meliputi: (a) Berdoa kepada
Allah SWT agar terhindar dari jeratan; (b) Berkeinginan sungguh-sungguh untuk
melunasi hutangnya; (c) Ketika sudah mampu, segera melunasi hutang, bukan malah
menunda-nunda; karena hal itu tergolong perbuatan zhalim yang membuatnya layak dipenjara
dan direndahkan harga dirinya; (d) Disunahkan untuk memberi tambahan ketika
melunasi hutang, atas dasar balas budi, bukan didasari keinginan pemiutang.
Ketujuh,
etika pemiutang adalah memberi tenggat waktu kepada orang yang berhutang
kepadanya hingga benar-benar mampu melunasinya. Bahkan lebih baik lagi jika
rela membebaskan sebagian, apalagi seluruh hutang tersebut. Wallahu A'lam bi al-Shawab.
Singosari, 9 September 2017