Manajemen Waktu
Menunda amal-amal kebaikan hingga kamu
memiliki waktu luang adalah suatu
tanda jiwa yang belum matang [jiwa yang
masih kotor].
Dengan Menyebut Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
Terkadang kita
menunda kebaikan yang sudah kita niatkan dan berkata:
“Saya akan melakukannya besok, minggu depan, bulan
depan, atau Ramadan depan. Saya akan melakukannya ketika saya sudah menikah;
ketika saya sudah mendapat promosi jabatan; ketika anak-anak sudah tumbuh dewasa;
atau ketika cuaca menjadi lebih baik!” Ibn Atha’illah menjelaskan bahwa sikap
ini adalah tanda “ketidakmatangan jiwa” [jiwa yang masih kotor].
Melakukan
amal-amal kebaikan bukan terkait dengan masalah memiliki
waktu. Ia berkenaan dengan masalah prioritas. Seseorang
meninggalkan rumahnya setiap pagi dalam kurun waktu beberapa
jam dan mendapatkan sejumlah tugas setiap hari. Normalnya,
orang-orang melakukan apa yang paling penting
terlebih dahulu, kemudian apa yang kurang penting, dan seterusnya. Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS
al-Baqarah [2]: 286).
Dalam Fikih,
jika Anda memiliki waktu lima menit sebelum batas waktu
yang diperbolehkan melakukan salat tertentu, dan Anda memiliki
sejumlah kegiatan yang harus Anda lakukan, termasuk
salat, maka yang wajib adalah Anda melakukan salat terlebih
dahulu. Akan tetapi, jika ada suatu kerusakan serius yang akan terjadi jika
Anda melakukan salat (misalnya, seorang anak akan jatuh dari tangga atau orang
buta butuh pertolongan untuk menyeberang jalan), maka kewajiban Anda adalah
menghindari kerusakan terlebih dahulu, kemudian mengerjakan salat. Dalam Fikih,
hal ini disebut dengan Fikih Prioritas (Fiqh al-Awlawiyyah) atau
pengetahuan tentang prioritas-prioritas. Kita akan
membahas topik ini secara detail nanti, Insya Allah.
Kendati
demikian, pertimbangan prioritas seharusnya tidak menjadi alasan
untuk selalu menunda amal baik di jalan Allah SWT. Penundaan
disebutkan dalam Hadis ketika Nabi SAW bersabda: “Kebanyakan siksa penghuni neraka
disebabkan oleh penundaan”. Meskipun
Hadis ini tidak terbukti “sahih”, namun maknanya sungguh
otentik. Allah SWT berfirman: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu),
hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku
kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang
telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak! Sungguh itu
adalah dalih yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka
ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan. (QS
al-Mu’minun [23]: 99-100).
Penundaan itu
tidak bisa diterima dan pada akhirnya akan disesali.
Setiap orang mukmin hendaknya memaksimalkan waktu dan mempergunakan waktu yang dimiliki
di kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
Dan ada waktu
yang cukup untuk melakukan hampir segala hal yang ingin dilakukan oleh
seseorang. Allah SWT akan memberkahi
waktu dan kerja kita apabila kita memaksimalkan dan
mengaturnya. Manajemen waktu tidak hanya penting untuk mengatur
masalah-masalah duniawi, melainkan juga penting untuk mengatur
hubungan dengan Allah SWT. Jika Anda
memiliki kebiasaan membaca satu juz al-Quran atau berzikir kepada Allah SWT setiap
pagi, dan Anda harus berangkat pagi untuk bekerja pada hari itu, maka
maksimalkan waktu ketika mengendarai mobil, atau ketika berada di bus maupun
kereta api, untuk membaca al-Qur’an, mendengarkan al-Qur’an, atau sekadar tafakkur
dan berzikir kepada Allah SWT. Saya mengenal sejumlah saudara maupun
saudari [sesama muslim] yang menghafalkan seluruh al-Qur’an
selama perjalanan pulang-pergi kerja di bus dan kereta api. Rata-rata satu setengah
jam setiap hari memungkinkan Anda untuk
menghafal seluruh al-Qur’an dalam dua tahun!
Orang-orang di
negara-negara maju biasanya membaca buku atau koran
ketika berada di bus atau di kereta api. Saya hidup lima
tahun di London dan saya ingat bagaimana kereta-kereta api London
biasanya hening. Bahkan ketika mereka berdesak-desakan, mereka sangat hening
karena hampir setiap orang melakukan kegiatan membaca, menulis atau berpikir;
sekalipun ketika mereka sedang berdiri di kereta api! Orang-orang mukmin harus menggunakan
sebaik-baiknya waktu mereka untuk
mempercepat perjalanan spiritual mereka.
Seorang mukmin
hendaknya mengatur prioritas-prioritasnya dengan
sungguh-sungguh dan memulai dengan apa yang paling penting.
Menurut sistem Fikih Prioritas, hak-hak adami (hak-hak manusia)
memiliki prioritas yang lebih tinggi dibandingkan apa yang
disebut oleh para ulama dengan “hak-hak Allah SWT”.
Ini berarti melakukan tanggung jawab kepada orang lain
hendaknya lebih diutamakan daripada ibadah murni. Akan
tetapi, hal ini bukan berarti kita dapat mengabaikan “hak-hak Allah SWT”. Kita harus berusaha keras
untuk memaksimalkan waktu dan menciptakan suatu
keseimbangan antara kedua jenis hak tersebut.
Referensi
Auda, Jasser. Spiritual Journey: 28 Langkah Meraih
Cinta Allah. Alih bahasa oleh Rosidin. Bandung: Mizania. 2014. Halaman 73-76.