Metode Konvensional Penyelesaian Masailul Fiqhiyah
Rosidin
IDENTITAS BUKU
Judul : Pergulatan Pemikiran Fiqih “Tradisi” Pola
Mazhab
Penulis : Dr.
Ahmad Arifi
Penerbit : eLSAQ
Press, Yogyakarta
Cetakan : 2010
Tebal : 370 halaman
INTISARI BUKU
Buku ini
mengkaji Pergulatan Pemikiran Fiqih dalam Nahdlatul Ulama (NU) berdasarkan data
produk pemikiran fiqih dari para ulama dan intelektual NU pada dekade 1990-an
sampai 2004, baik yang bersifat kolektif maupun perseorangan, yakni
keputusan-keputusan hasil bahtsul masail Lembaga Bahtsul Masaial (LBM)
NU, baik di forum Munas Alim Ulama maupun Muktamar NU; dan hasil bahtsul
masail Santri Ma’had ‘Aly Pondok Pesantren Salafiyah Sidorejo, Situbondo. Juga pemikiran fiqih perseorangan, tepatnya seorang
ulama NU yang berpengaruh, yaitu K.H. M.A. Sahal Mahfudh dan K.H. Masdar Farid
Mas’udi.
Kerangka teori yang digunakan adalah teori dialektisme
historis Hassan Hanafi dalam diskursus al-turats wa al-tajdid (warisan
dan pembaruan), yaitu dialog antara tradisi dan pembaruan dalam konteks
perubahan sosial. Teori ini digunakan untuk melihat pergulatan pemikiran ulama
NU terhadap eksistensi fiqih pola madzhab dan kaitannya dengan pembaruan yang
terjadi tuntunan zaman dan masyarakat. Selain itu, teori paradigma Thomas
S. Kuhn yang menyatakan bahwa terjadinya perubahan paradigma keilmuan
disebabkan dua faktor utama, yaitu adanya anomali dan krisis pemikiran fiqih
yang terjadi dalam NU, menyebabkan munculnya keragaman corak nalar fiqih.
Buku ini
menunjukkan bahwa pergulatan pemikiran fiqih yang terjadi dalam NU disebabkan oleh
dua faktor utama yaitu: ideologi keagamaan pola madzhab yang
diikuti NU sebagai faktor internal; dan tuntutan perubahan zaman
sebagai faktor eksternal. Pergulatan bersumber dari masalah hakikat fiqih, referensi (maraji’)
hukum yang terfokus pada al-kutub al-madzhib (kitab-kitab para madzhab
fiqih), dan metodologi istinbath (penggalian) hukum.
Berdasarkan hasil penelitian Arifi dalam buku ini,
muncul keragaman corak nalar fiqih NU yang berkembang dalam kurun 1990-an
sampai 2004, mulai dari nalar fiqih yang formalistik-tekstual, nalar fiqih
sosial-kontekstual, sampai nalar fiqih kritis emansipatoris. Pertama,
Nalar Fiqih Formalistik-Tekstual dengan paradigma pola bermadzhab
secara qauly (tekstualis) sebagai arus utama yang sangat mendominasi
konstruksi pemikiran fiqih NU. Namun demikian, pada dekade 1990-an sampai
sekarang, nalar formalistik ini mengalami dinamika dengan dikembangkannya pola bermadzhab
secara manhajy (metodologis) untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pola
bermadzhab secara qauly. Kedua, Nalar Fiqih Sosial-Kontekstual
yang dimotori oleh K.H. M.A. Sahal Mahfudh. Paradigma fiqih yang dibangun oleh
nalar ini adalah mengikuti pola bermadzhab, tetapi mengedepankan upaya kontekstualisasi
fiqih pola madzhab terhadap al-kutub al-madzahib dengan menggunakan pendekatan
sosial dan maqashid syariah (tujuan-tujuan pokok syariat Islam) serta qawa’id
fiqhiyyah (kaidah-kaidah Fiqih). Dengan memberikan nuansa sosial pada fiqih,
pola madzhab ‘ala NU tetap relevan dengan perkembangan zaman dan
tuntutan masyarakatnya. Ketiga, Nalar Fiqih Kritis-Emansipatoris atau
Nalar Fiqih Transformatif. Nalar fiqih ini tidak terikat oleh ”sakralitas”
kutub al-madzahib yang digunakan oleh kelompok nalar formalistik-tekstual.
Paradigma fiqihnya mengedepankan perlunya rekonstruksi atas fiqih “tradisi”
pola mazhab pada NU. Sebagai solusinya, “Ijtihad baru” dengan mengacu pada
sumber asal fiqih (al-Qur’an-Hadis) dan al-maslahah (kemaslahatan) sebagai
tujuan hukumnya (maqashid al-syari’ah).
RELEVANSI BUKU DENGAN MASAIL FIQHIYYAH
Objek Kajian Masa’il Fiqhiyyah
Buku ini
menjelaskan bahwa masalah keagamaan (masa’il al-diniyyah) yang menjadi
objek kajian Masa’il Fiqhiyyah diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, al-masa’il al-diniyyah al-waqi’iyyah (problematika keagamaan realistis), yaitu
masalah-masalah keagamaan yang bersifat aktual-kontemporer, sebagaimana dibahas
dalam kitab-kitab fiqih pada umumnya, baik menyangkut fiqih ibadah maupun fiqih
muamalah. Kedua, al-masa’il al-diniyyah al-maudhu’iyyah (problematika
keagamaan tematis), yaitu masalah-masalah keagamaan yang bersifat
tematik, misalnya demokrasi, civil society, HAM, dan lain-lain. Ketika
membicarakan al-masa’il al-diniyyah al-waqi’iyyah, NU menggunakan
pendekatan qaul al-madzhab atau pendekatan qauliyyah; sedangkan
ketika membicarakan al-masa’il al-diniyyah al-maudhu’iyyah, NU memakai
pendekatan bermadzhab secara manhajiyyah. Argumentasinya, masalah al-waqi’iyyah
memiliki tingkat urgensi yang tinggi bagi masyarakat dan perlu dengan cepat
memperoleh jawaban. Oleh sebab itu, dengan mengacu pada tekstualitas kitab
madzhab, dapat segera diperoleh jawabannya. Sedangkan masalah al-maudhu’iyyah
tidak menghendaki jawaban secara cepat dan tingkat tuntutan kebutuhan bagi
masyarakat lebih leluasa. Selain itu, masalah al-maudhu’iyyah memerlukan
pembahasan yang lebih serius dan konsep yang matang berkenaan dengan metodologi
hukumnya. Oleh sebab itu, setiap peserta Bahtsul Masa’il diminta untuk membuat
konsep yang jelas dalam bentuk makalah yang dipresentasikan dalam forum Bahtsul
Masa’il. Kemudian makalah tersebut dibahas dan didiskusikan untuk mencari
rumusan ketetapan hukum yang komprehensif. (hlm. 188-190).
Metode Istinbath Hukum dalam Masa’il
Fiqhiyyah
Dalam rangka
memberi jawaban atas permasalahan keagamaan yang bersifat waqi’iyyah
maupun maudhu’iyyah, ada tiga metode istinbath hukum yang
diterapkan. Pertama,
metode qauly (tekstualis),
yaitu langsung merujuk pada teks suatu kitab atau rujukan. Kedua, metode
ilhaqy (analogis), yaitu meng-“qiyas”-kan
masalah baru yang belum ada ketetapan hukumnya, dengan masalah lama yang sudah
ada ketetapan hukumnya dalam teks suatu kitab atau rujukan. Ketiga, metode manjahy (metodologis),
yaitu menggunakan metodologi yang ditempuh oleh madzhab empat (hlm. 21).
Berikut ini ringkasan ketiga metode tersebut:
Pergulatan Ulama NU tentang al-Turats dan al-Tajdid
Ulama NU dalam
menyikapi warisan klasik (al-turats) yang berupa kitab-kitab fiqih
madzhab dan tuntutan pembaruan pemikiran fiqih (al-tajdid), terbagi
menjadi tiga kelompok. Pertama,
kelompok yang menerima al-turats sebagai suatu kebenaran final, sehingga
dijadikan sebagai sumber solusi bagi problem-problem masyarakat masa kini. Kedua,
kelompok yang menerima al-turats sebagai suatu kebenaran yang masih
dapat digunakan sebagai solusi atas problematika masyarakat masa kini, namun
perlu dikontekstualisasikan berdasarkan kemaslahatan masyarakat. Ketiga,
kelompok yang memandang al-turats sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan
zaman (out of date) dan telah kehilangan konteksnya, sehingga tidak
perlu lagi dijadikan rujukan untuk menjawab problematika masa kini yang semakin
kompleks. Oleh sebab itu, perlu dilakukan ijtihad mandiri berdasarkan
kemaslahatan umat. (hlm. 223)
Selanjutnya
ketiga kelompok tersebut membentuk suatu piramida yang menunjukkan bahwa
kelompok ulama NU konservatif masih sangat dominan mewarnai peta pemikiran fiqih
NU yang mempertahankan status quo dalam pola madzhabnya; kemudian
disusul kelompok moderat; edangkan kelompok progresif menjadi bagian terkecil
dalam komunitas ulama NU. Berikut ini visualisasinya:
Dalam hal interaksi sosial maupun struktural, ketiga
kelompok di atas menampilkan pola hubungan yang unik. Pada suatu saat, bisa
terjadi hubungan yang harmonis; dan di saat lain bisa terjadi konflik. Dalam
relasi sosial, kelompok pertama (konservatif) dan ketiga (progresif) terjadi
interaksi yang positif dan harmonis; mereka saling memahami dan menghormati.
Kelompok konservatif yang umumnya diisi oleh kaum NU tua menerima keberadaan
kelompok progresif yang umumnya diisi kaum NU muda sebagai bagian dari keluarga
besar NU; sedangkan kaum NU muda sangat menaruh hormat di hadapan kaum NU tua.
Berbeda halnya ketika berinteraksi dalam pemikiran keagamaan (fiqih), mereka
menjadi berseberangan, berbeda dan tidak ada titik temunya. Kelompok
konservatif dengan tegas menolak apa yang dilakukan oleh kelompok progresif
dengan pemikiran progresif (liberal)-nya, seperti penggunaan hermeneutika dalam
pemikiran Islam; demikian juga kelompok progresif menolak sikap status quo
pemikiran kelompok konservatif. Berikut ilustrasi pola interaksi ketiga
kelompok dalam NU (hlm. 225-227):
Paradigma Fiqih NU
Implikasi dari pergulatan al-turats dan al-tajdid
di atas adalah munculnya tiga paradigma fiqih dalam NU. Pertama, Paradigma
Fiqih Formalistik-Tekstual. Kedua, Paradigma Fiqih Sosial-Kontekstual.
Ketiga, Paradigma Fiqih Kritis-Emansipatoris. Berikut ini pola
penalaran ketiga paradigma fiqih dalam NU:
Paradigma Fiqih Formalistik-Tekstual (hlm. 272)
Paradigma Fiqih Sosial-Kontekstual (hlm. 310)
Paradigma Fiqih Kritis-Emansipatoris (hlm. 333)