Pedagogi versus Andragogi
Mendidik anak-anak tidak sama dengan mendidik orang dewasa. Inilah latar-belakang hadirnya klasifikasi pedagogi (pendidikan anak-anak) dan andragogi (pendidikan orang dewasa). Pedagogi menempatkan anak-anak sebagai “gelas kosong”, sehingga masih menjadi pribadi bergantung (dependent); sebaliknya andragogi menempatkan orang dewasa sebagai “gelas penuh” yang kaya akan pengetahuan, pengalaman hingga status sosial, sehingga menjadi pribadi mandiri (independent).
Sebagai pribadi bergantung, anak-anak tidak dapat berkontribusi banyak dalam mendesain pembelajaran, sehingga guru lah yang berperan dominan. Implikasinya, pembelajaran pedagogis didesain berdasarkan silabi mata pelajaran yang disusun oleh guru atau ahli, sebagaimana yang terjadi di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Sebagai pribadi mandiri, orang dewasa dapat berkontribusi banyak dalam mendesain pembelajaran, sehingga pembelajaran andragogis didesain bersama-sama oleh guru dan murid, sebagaimana yang terjadi di perguruan tinggi dan majlis ta’lim.
Dalam proses pembelajaran, pedagogi lebih menekankan pada “pengisian gelas kosong”, sehingga pengalaman merupakan sesuatu yang dibentuk; sedangkan andragogi lebih menekankan pada peran pengalaman sebagai sumber belajar. Oleh sebab itu, anak-anak lebih menyukai metode cerita (qishshah) dan ceramah (mau’izhah) yang disampaikan dengan menarik, karena dapat menambah pengalaman mereka; namun orang dewasa lebih menyukai metode diskusi (hiwar) dan debat (mujadalah) yang memberi ruang lebih luas bagi peran aktif pengalamannya dalam proses pembelajaran.
Sejalan dengan itu, karakteristik pedagogi adalah memperluas ilmu pengetahuan, sedangkan karakteristik andragogi adalah memperdalam ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diamati pada pendidikan dasar dan menengah yang mengajarkan begitu banyak materi pelajaran lintas disiplin keilmuan, sedangkan pada perguruan tinggi, materi pelajaran bersifat spesifik dalam satu disiplin keilmuan. Hasilnya adalah siswa memiliki informasi luas namun dangkal terkait berbagai disiplin keilmuan, misalnya siswa jurusan IPA mempelajari Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia; sedangkan mahasiswa jurusan memiliki informasi spesifik namun mendalam terkait satu disiplin keilmuan, misalnya mahasiswa jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) mempelajari Ilmu Pendidikan Islam, Psikologi Pendidikan Islam, Sejarah Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam.
Karakteristik pedagogi tersebut didukung oleh kecerdasan cair (fluid intelligence) seperti short-term memory dan penalaran abstrak yang cenderung meningkat setelah usia remaja dan menurun secara gradual selama usia dewasa. Sedangkan karakteristik andragogi didukung oleh kecerdasan padat (crystallized intelligence), seperti informasi umum dan penalaran formal yang terus-menerus meningkat secara gradual selama usia dewasa (Alan B. Knox, 1997: 432). Dengan kecerdasan cair yang dominan, anak-anak mudah menghafalkan informasi, sehingga metode hafalan (resitasi) dapat berjalan efektif di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sedangkan dengan kecerdasan padat yang dominan, orang dewasa mudah memahami informasi, sehingga metode presentasi lebih efektif diterapkan di tingkat perguruan tinggi, dibandingkan metode resitasi.
Dari sini dapat dipetakan bahwa ruang lingkup pedagogi adalah tingkat pendidikan dasar dan menengah (PAUD, SD, SMP, SMA), sedangkan ruang lingkup andragogi adalah tingkat pendidikan tinggi (Diploma, S1, S2, S3). Implikasinya, relasi antara guru dan murid dalam pedagogi bersifat hierarkis (top-down), guru superior dan murid inferior; sedangkan dalam andragogi, relasi guru dan murid bersifat egaliter (sederajat), sehingga tidak ada superioritas di antara keduanya. Implikasinya adalah pedagogi tidak begitu memperhatikan harga diri (self-esteem) anak-anak, semisal memarahi anak SD di depan kelas. Sedangkan andragogi menaruh perhatian tinggi terhadap harga diri orang dewasa, semisal dosen tidak akan memarahi mahasiswa S2 di depan kelas begitu saja.
Menimbang karakteristik pedagogi dan andragogi yang terkesan antagonistik di atas, penting untuk menjembatani kedua model pendidikan tersebut dalam teori dan praktik pendidikan Islam melalui pendekatan kontinum. Artinya, baik pedagogi maupun andragogi sama-sama diimplementasikan, sesuai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Hal ini dikarenakan ada kemungkinan perkembangan usia kronologis manusia tidak sejalan dengan perkembangan usia psikologisnya. Bisa jadi seseorang dinilai dewasa secara kronologis, namun dinilai “anak-anak” secara psikologis. Misalnya, orang lanjut usia yang baru belajar membaca al-Qur’an. Kendati usianya sudah tua, namun ilmunya masih “anak-anak”, sehingga pedagogi lebih tepat untuk diterapkan kepadanya. Sama halnya, bisa jadi seseorang dinilai anak-anak secara kronologis, namun dinilai “dewasa” secara psikologis, sehingga andragogi lebih tepat untuk diterapkan kepadanya. Misalnya anak remaja yang sudah menguasai kitab kuning, sudah dapat diajak untuk berdikusi dan berdebat terkait isi kitab kuning tersebut.
Pendekatan kontinum ini disetujui oleh “Bapak Andragogi”, Malcolm Shepherd Knowles yang menyatakan bahwa pendekatan kontinum merupakan pendekatan berdaur dan berkelanjutan dalam pembelajaran. Artinya, pendekatan ini dapat dimulai dari pedagogi lalu dilanjutkan ke andragogi; atau sebaliknya, yaitu berawal dari andragogi dilanjutkan ke pedagogi; dan seterusnya (Mohammad Ali, 2007: 1-2). Misalnya, di awal pembelajaran, guru menyajikan pelajaran secara pedagogis melalui metode ceramah interaktif. Lalu di tengah pembelajaran, guru mendesain pelajaran secara andragogis melalui metode diskusi kelompok. Kemudian di akhir pembelajaran, guru kembali menerapkan pedagogi dengan memberikan reward (seperti diperkenankan pulang terlebih dahulu) kepada siswa yang berhasil menjawab pertanyaan dengan benar.
Pada akhirnya, pendekatan kontinum pedagogi dan andragogi merepresentasikan model pembelajaran yang dinamis-kontekstual. Melalui pedagogi dan andragogi, guru atau dosen bagaikan seorang pelatih sepakbola yang sudah mempersiapkan dua strategi permainan sekaligus, ofensif (menyerang) dan defensif (bertahan). Lalu menerapkan strategi tersebut secara dinamis-kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi di “lapangan permainan”. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Rosidin
http://www.dialogilmu.com
http://www.dialogilmu.com