Studi Mazhab Fikih
Studi madzhab fiqih |
Sepak terjang seorang tokoh yang luar biasa dalam suatu disiplin ilmu memicu kekaguman orang lain. Lalu kekaguman tersebut diaktualisasikan melalui sikap mengikuti, menyetujui dan memperkuat pandangan tokoh yang dikagumi. Dalam batas tertentu, aktualisasi yang muncul bisa jadi berupa sikap defensif dalam mempertahankan pandangan tokoh yang dikagumi maupun sikap ofensif dalam menyerang pandangan orang lain yang tidak sejalan dengan tokoh tersebut.
Proposisi
di atas menjadi starting point dalam memahami pergulatan intelektual di
antara tokoh-tokoh Madzhab Fiqih. Madzhab Fiqih didirikan oleh seorang tokoh
berpengaruh luar biasa yang disebut Imam Madzhab. Kekaguman terhadap Imam
Madzhab memicu para pengikutnya untuk mengikuti, menyetujui dan memperkuat
pandangan Imam Madzhab. Mengingat Madzhab Fiqih memiliki paradigma ijtihad yang
beraneka ragam, tidak jarang muncul konflik antar Madzhab yang mengharuskan
sikap defensif dan ofensif dalam mempertahankan eksistensi Madzhab Fiqih yang
dianut.
Atas
dasar itu, studi Madzhab-madzhab Fiqih akan penulis arahkan pada telaah
historis, epistemologis (filsafat ilmu) dan sosio-psikologis dengan rumusan
masalah:
- Pertama, Bagaimana alur perjalanan sejarah Madzhab-madzhab Fiqih?
- Kedua, Apa sebab-sebab munculnya perbedaan Madzhab Fiqih dari sudut pandang epistemologis?
- Ketiga, Bagaimana pengaruh sistem bermadzhab terhadap umat muslim secara sosio-psikologis?
Melalui tiga rumusan masalah di atas, penulis bertujuan memberikan sketsa
tentang transformasi Madzhab Fiqih dalam lintasan sejarah; dapat memahami
perbedaan madzhab berdasarkan paradigma berpikir yang digunakan serta
menginsafi keaneka-ragaman sistem madzhab yang dianut umat muslim selama ini.
Telaah
Historis Madzhab Fiqih
Benih-benih
madzhab sudah mulai muncul pada masa Shahabat. Misalnya Madzhab ‘Aisyah,
Madzhab ‘Abd Allah ibn ‘Umar, Madzhab ‘Abd Allah ibn Mas’ud, dan lain-lain. Lalu
pada masa Tabi’in (murid-murid shahabat) melejitlah nama 7 (tujuh) Fuqaha’
Madinah: Sa’id ibn al-Musayyib, ‘Urwah ibn al-Zubair, al-Qasim ibn Muhammad,
Kharijah ibn Yazid, Abu Bakar ibn ‘Abd al-Rahman ibn Harits ibn Hisyam, Sulaiman
ibn Yasar dan ‘Ubaidillah ibn ‘Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud. Demikian juga
populer nama Nafi’ mawla ‘Abdullah ibn ‘Umar. Dari kota Kufah, muncul nama
‘Alqamah ibn Mas’ud dan Ibrahim al-Nakha’i yang merupakan guru dari Hammad ibn Abi
Sulaiman yang di kemudian hari menjadi guru Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Sedangkan kota Bashrah memunculkan nama yang tidak asing lagi, yakni al-Hasan
al-Bashri (al-Zuhaili, 1985: 28).
Di kalangan Tabi’in dikenal pula nama-nama berikut: ‘Ikrimah mawla
Ibn ‘Abbas, ‘Atha’ ibn Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan, Muhammad ibn Sirin,
al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A’raj, ‘Alqamah al-Nakha’ii, al-Sya’bi,
Syuraih, Sa’id ibn Jubair, Makhul al-Dimsyiqi dan Abu Idris al-Khawlani
(al-Zuhaili, 1985: 28-29).
Permulaan
abad 2 H hingga pertengahan abad 4 H merupakan periode emas bagi ijtihad. Masa
itu menorehkan catatan emas dengan adanya 13 mujtahid yang bersinar terang di
angkasa, mereka berhasil mendirikan madzhab secara mandiri dan
pendapat-pendapat mereka diikuti oleh masyarakat. Ke-13 tokoh yang dimaksud
adalah: Sufyan ibn ‘Uyainah di Makkah; Malik ibn Anas di Madinah; al-Hasan
al-Bashri di Bashrah; Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah; al-Auza’i di
Syam; al-Syafi’i dan al-Layts ibn Sa’d di Mesir; Ishaq ibn Rahawaih di Nisapur;
Abu Tsaur, Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali), Dawud al-Zhahiri dan Abu Jarir
al-Thabari di Baghdad. Namun mayoritas madzhab ini hanya tersisa dalam
korpus-korpus kitab, karena para pengikutnya berguguran; sedangkan sebagian madzhab
mampu bertahan dan populer hingga hari ini (al-Zuhaili, 1985: 29).
Telaah
Epistemologis Madzhab Fiqih
Sebab-sebab
perbedaan para mujtahid terbagi menjadi dua sebab pokok:
- Pertama, Perbedaan dalam menetapkan nash (teks al-Qur’an dan Hadis). Sebab ini mencakup beberapa hal: a) Sampai atau tidaknya nash kepada seorang mujtahid; b) Valid atau tidaknya nash. Hal ini berkaitan dengan valid-tidaknya suatu nash, dari segi matan (informasi) maupun sanad (informan) nya.
- Kedua, Perbedaan dalam memahami nash. Sebab ini mencakup beberapa hal: a) Karakteristik bahasa Arab dan penggunaan Syari’ (Allah SWT dan Rasulullah SAW) terhadap redaksi-redaksi yang bersifat universal-elastis dan tidak pasti dalam mayoritas nash-nash; b) Metode pengkajian yang digunakan oleh Ushuliyyin (ulama Ushul Fiqih) dan Fuqaha’ (ulama Fiqih) pada nash-nash dari segi pemahaman dan persepsi terhadap dimensi dan tujuan nash-nash, kemudian istinbath (penggalian) hukum dari nash-nash, di samping berbedaan kapasitas dan kapabilitas individual mereka.
Sebab kedua ini diperinci lagi menjadi beberapa dimensi:
- Perbedaan dalam memahami nash-nash dan mempersepsi hikmahnya;
- Perbedaan dalam kaidah-kaidah universal (al-Qawa’id al-Ushuliyyah) dan sebagian sumber-sumber istinbath sekunder. Masing-masing mujtahid memiliki kaidah-kaidah dan syarat-syarat tertentu dalam menerima atau menolak Hadis; dan masing-masing memiliki sudut pandang dan metode dalam beristinbath hukum;
- Perbedaan dalam metode-metode kompromi (al-jam’u) dan pengunggulan (al-tarjih) di antara nash-nash yang tampaknya kontradiktif (Thawilah, 2000: 80).
Perbedaan di kalangan Fuqaha’ disebabkan oleh perbedaan kapasitas
intelektual mereka yang kemudian menyebabkan perbedaan pendapat dan aneka-macam
pandangan terkait nash-nash yang membuka peluang luas bagi akal dan
penalaran. Ada
hukum-hukum Syari’at yang ditegaskan dengan redaksi yang bersifat pasti (Qath’i
al-Dilalah), sehingga tidak membuka ruang bagi akal; dan ada juga yang
menggunakan redaksi yang bersifat dugaan (Zhanni al-Dilalah) sehingga
memicu banyak pandangan dan pendapat, karena redaksi tersebut mengandung makna
yang banyak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Al-Zarkasyi berkomentar:
“Ketahuilah bahwasanya Allah itu tidak menjadikan dalil-dalil qath’i
pada seluruh hukum Syari’at, bahkan Allah menjadikan dalil-dalil zhanni
agar memberi keleluasaan kepada orang-orang mukallaf, sehingga mereka tidak
terbatas pada satu madzhab sebagaimana jika berupa dalil-dalil qath’i”
(Mahmud, tt.: 6).
Adanya perbedaan intelektual di antara para mujtahid dan adanya nash-nash
yang mengandung kemungkinan-kemungkinan sudah pasti mengarah pada terjadinya
perbedaan pendapat dan konklusi hukum. Dalam rumus matematis dapat dinyatakan
sebagai berikut:
نصوص
محتملة + عقول وأفهام متفاوتة = أراء مختلفة
Nash-nash
yang mengandung aneka kemungkinan + kapasitas intelektual dan pemahaman yang berbeda-beda
= pendapat yang beraneka-ragam
نصوص
قطعية + عقول وأفهام واحدة = أراء واحدة
Nash-nash
yang qath’i + kapasitas intelektual dan pemahaman yang sama = pendapat-pendapat
yang seragam.
Abu Zahrah menyatakan bahwa Fuqaha’ Irak memiliki metode khusus
dalam ijtihad, di luar nash-nash dan qaul shahabat. Mayoritas berijtihad dengan Qiyas.
Demikian juga Fuqaha’ Hijaz yang memiliki metode khusus dan mayoritas
berijtihad dengan Mashlahah. Masing-masing metode memiliki Madrasah
(pusat studi) yang mendukungnya; Madrasah tersebut mulai dibangun pada
masa Tabi’in, kemudian tumbuh hingga mencapai kesempurnaan. Hal yang
patut diperhatikan adalah bahwa para Shahabat maupun Tabi’in itu
berselisih pendapat. Sesungguhnya perbedaan pendapat dalam masalah furu’
Fiqhiyyah (detail-detail hukum Fiqih) tidak berbahaya bagi umat muslim
maupun substansi Islam, selama bertujuan untuk mencapai kebenaran; pendapatnya
tidak meruntuhkan nash; membatalkan ashal (pokok-pokok hukum
Fiqih) ataupun bertentangan dengan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan
syariat Islam). ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz berkomentar: “Sungguh saya sangat senang
sekali dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama, seandainya hanya ada satu
pendapat, niscaya manusia berada dalam kesempitan” (Basya, 2001: 15).
Lebih jauh Abu Zahrah menegaskan bahwa pasca generasi Tabi’in,
muncul para Imam Mujtahid, seperti Rabi’ah al-Ra’yi, Anas ibn Malik, Abu
Hanifah, al-Awza’i, Sufyan al-Tsauri, al-Laits bin Sa’d, dan lain-lain. Mereka ini bertemu dan belajar kepada
generasi Tabi’in, yaitu tentang atsar (riwayat non Hadis) dan
metode-metode istinbath. Abu Hanifah belajar kepada Ibrahim al-Nakha’i,
‘Atha’, Hammad ibn Abi Sulayman, dan lain-lain. Imam Malik belajar kepada
Nafi’, Ibn Syihab al-Zuhri, al-Qasim ibn Muhammad dan generasi Tabi’in
lainnya yang populer di bidang Fiqih. Melalui para Imam Mujtahid inilah “mata
air” Fiqih telah terbuka, murid-murid semakin banyak, sehingga mereka menjadi
ulama’ terkemuka yang populer di kalangan masyarakat serta ilmu mereka
ditransfer dari satu tempat ke tempat lainnya (Basya, 2001: 16).
Di
samping itu, para Ahli al-Bait juga mengkondifikasi Hadis-hadis maupun
Fiqih ‘Ali ibn Abi Thalib dan putra-putranya. Di antara mereka terdapat
tokoh-tokoh yang berperan besar dalam pembinaan Fiqih, yaitu Zaid ibn ‘Ali Zain
al-‘Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far al-Shadiq dan ‘Abdullah ibn Hasan yang
merupakan guru Abu Hanifah. Para Ahli al-Bait memiliki tempat khusus di
sisi Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik (Basya, 2001: 17).
Hierarki
Fuqaha’ sebagai Implikasi Sosio-Psikologis
Sebagai
implikasi sosio-psikologis dari realita historis dan epistemologis di atas,
muncul perbedaan tingkatan umat muslim dalam konteks Fiqih. Secara garis besar
terbagi menjadi dua kategori, yaitu mujtahid dan muqallid.
Mujtahid mengacu pada orang muslim yang mampu berijtihad sendiri dalam menggali
hukum Fiqih, sehingga pendapatnya berhak untuk diikuti oleh orang lain.
Sedangkan muqallid mengacu pada orang muslim yang tidak mampu berijtihad
sendiri dalam menggali hukum Fiqih, sehingga harus mengikuti pendapat orang
lain.
Selanjutnya
kapasitas umat muslim tersebut membentuk hierarki mujtahid-muqallid yang
bertingkat-tingkat (thabaqat), sebagaimana uraian berikut: (al-Zuhaili,
1985: 47-48)
Pertama, Mujtahid Mustaqil. Yaitu mujtahid yang secara
mandiri mampu meletakkan kaidah-kaidahnya sendiri sebagai pondasi bagi Fiqih
yang digagasnya. Misalnya: Empat Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali). Ibn ‘Abidin menilai tingkatan (thabaqat) ini sebagai tingkatan
Mujtahid dalam Syariat.
Kedua, Mujtahid Muthlaq. Yaitu mujtahid yang memenuhi
syarat-syarat ijtihad sebagaimana Mujtahid Mustaqil, hanya saja mereka
tidak mengkreasi kaidah-kaidahnya sendiri, melainkan mengikuti jalur yang sudah
ditempuh oleh salah satu dari Imam Madzhab.
Jadi, mereka ini berada pada tingkatan Muthlaq Muntasib
(dependen; berafiliasi), bukan Mustaqil (independen; mandiri). Misalnya:
Murid-murid para Imam Madzhab, seperti Abu Yusuf dan Muhammad dari Hanafiah;
Abu al-Qasim, Asyhab dan Asad ibn al-Furat dari Malikiyyah; al-Buwaithi dan
al-Muzani dari Syafi’iyyah serta Abu Bakar al-Marwadzi dari Hanabilah. Ibn
‘Abidin menyebut thabaqat ini dengan istilah tingkatan mujtahid dalam madzhab.
Mereka ini mampu untuk menarik konklusi hukum dari dalil-dalil, selaras dengan
panduan kaidah-kaidah yang dipedomani oleh para guru mereka, meskipun tidak
menutup kemungkinan konklusi hukum yang mereka telorkan pada masalah-masalah furu’iyyah,
berbeda dengan pendapat para guru mereka. Hanya saja, mereka mengikuti tetap
mengikuti guru mereka dalam kaidah-kaidah ushuliyyah.
Ketiga, Mujtahid Muqayyad. Mereka juga disebut Mujtahid
al-Masa’il karena objek ijtihadnya adalah masalah-masalah yang tidak ada
ketentuan hukumnya dalam madzhab yang dianut. Selain itu, mereka disebut pula
dengan Mujtahid Takhrij. Misalnya: al-Thahawi, al-Kurkhi, al-Halwani,
al-Sarakhsi, al-Bazdawi dan Qadhi Khan dari Hanafiah; al-Abhari dan Ibn Abi
Yazid al-Qairuwani dari Malikiyyah; Abu Ishaq al-Syairazi, al-Marwazi, Muhammad
ibn Jarir, Abu Nashr dan Ibn Khuzaimah dari Syafi’iyyah; al-Qadhi Abi Ya’la dan
al-Qadhi Abi ‘Ali ibn Abi Musa dari Hanabilah. Mujtahid pada tingkat inilah
yang disebut dengan Ashab al-Wujuh, karena mereka mengeluarkan hukum
yang belum pernah disinggung dalam madzhab yang mereka anut, sehingga pendapat
mereka ini disebut sebagai ‘wajh’ atau ‘qaul’ dalam madzhab.
Keempat, Mujtahid Tarjih. Yaitu Mujtahid yang mampu
mengunggulkan pendapat imam madzhab dibandingkan pendapat lain; atau
mengunggulkan pendapat yang dikemukakan oleh imam madzhab, murid-murid imam madzhab
maupun pendapat imam-imam madzhab lainnya. Jadi, mereka dapat mengunggulkan
sebagian riwayat dibandingkan sebagian yang lain. Misalnya: al-Qaduri dan
al-Marghinani dari Hanafiah; al-‘Allamah Khalil dari Malikiyyah;
al-Rafi’iy dan al-Nawawy dari Syafi’iyyah; al-Qadhi ‘Ala’uddin al-Mardawi dan
Abu al-Khathab Mahfuzh ibn Ahmad al-Kaludzani al-Baghdadi dari Hanabilah.
Kelima, Mujtahid al-Futya. Yaitu Mujtahid yang mampu
untuk menghafal, menukil dan memahami (pendapat) madzhabnya, baik yang bersifat
jelas (wadhih) maupun masih ambigu (musykil). Demikian juga
mereka mampu membedakan pendapat yang paling kuat, pendapat yang kuat dan
pendapat yang lemah; dapat memilah pendapat yang lebih unggul dengan pendapat
yang terungguli (lebih lemah). Akan tetapi, mereka memiliki kelemahan dalam hal
mengukuhkan dalil-dalilnya maupun menyeleksi (mengedit) qiyas-qiyasnya.
Misalnya: al-Rafi’ii dan al-Nawawi dari Syafi’iyyah.
Keenam, Thabaqat al-Muqallidin. Yaitu orang-orang yang
tidak mampu membedakan antara pendapat yang kuat dengan yang lainnya.
Referensi
Mahmud, Wajih. Ikhtilaf al-Fuqaha’: Asbabuhu wa Mawqifuna
Minhu. ttp.: Dar al-Huda. ttt..
Basya, Ahmad
Taymur. al-Madzahib al-Fiqhiyyah al-Arba’ah. Kairo: Dar al-Afaq
al-‘Arabiyyah. 2001.
Thawilah, ‘Abd al-Wahab ‘Abd al-Salam. Atsar al-Lughah fi
Ikhtilaf al-Mujtahidin. ttp.: Dar al-Salam. 2000.
Zuhaili, Wahbah al-. al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir. 1985.