Sukses versus Gagal
Tulisan ini saya awali dengan kutipan ceramah Gus Ali Tulangan yang menyebut bahwa “semua orang ingin sukses, namun tidak semua orang memiliki mental sukses”. Mental sukses dibutuhkan untuk memperoleh kesuksesan yang berkelanjutan, bukan sekedar insidental. Jika kita amati kompetisi olahraga dunia seperti sepakbola, motoGP dan tenis, niscaya kita akan mendapati data bahwa juara diraih secara konsisten oleh nama-nama yang dikenal bermental juara. Terkadang ada nama lain yang menjadi “juara dadakan”, namun untuk menjadi juara secara konsisten, dibutuhkan mental juara.
Untuk menumbuhkan mental sukses atau mental juara ini, setidaknya dibutuhkan tiga bekal. Pertama, kemampuan (kompetensi). Kemampuan bicara manusia yang semakin meningkat sejak bayi hingga dewasa menunjukkan bahwa kemampuan manusia dapat berkembang. Misalnya ketika seorang santri tidak mampu membaca kitab kuning yang ditulis dengan bahasa Arab tanpa tanda vokalisasi (harakat), lalu dia terus-menerus belajar dan berlatih membacanya secara konsisten (istiqamah), baik secara otodidak maupun di bawah bimbingan guru, niscaya suatu saat dia akan memiliki kemampuan membaca kitab kuning tersebut. Jadi, poin pertama mental juara adalah mengasah kemampuan secara kontinu (istiqamah) dengan disertai ketabahan (sabar).
Kedua, kemauan (motivasi). Bisa jadi seseorang memiliki kemampuan, namun jika tidak memiliki kemauan, niscaya tidak akan ada kesuksesan yang diraih. Oleh sebab itu, rajin merupakan salah satu media menumbuhkan mental juara. Siswa yang rajin menunjukkan bahwa dia memiliki kemauan kuat. Dalam konteks ini berlaku hukum, “membakati lebih baik daripada bakat”. Misalnya, orang yang tidak berbakat menulis, namun dia rajin menulis setiap hari, suatu saat akan memiliki keterampilan menulis yang baik, mengalahkan orang yang berbakat menulis, namun tidak mau menulis.
Ketiga, baik sangka (husnuzhan; positive thinking). Baik sangka mengacu pada masa lalu maupun masa depan. Baik sangka terhadap masa lalu berarti tidak trauma terhadap kegagalan demi kegagalan yang pernah dialami sebelumnya, baik oleh dirinya sendiri maupun orang yang di sekitarnya. Misalnya, seorang cucu yang ingin menjadi pengusaha, tidak perlu trauma dengan pengalaman ayahnya dan kakeknya yang pernah gagal merintis karir sebagai pengusaha. Demikian halnya seseorang yang sejak SD hingga S2 tidak mengerti bahasa Inggris, tidak perlu pesimis untuk memulai belajar bahasa Inggris ketika menempuh studi S3. Sedangkan baik sangka terhadap masa depan adalah tidak gamang atau gelisah menyangkut masa depan. Misalnya, orang yang tidak pernah bersekolah atau kuliah, tidak perlu gelisah akan mengalami masa depan suram. Kembali merujuk pada ceramah Gus Ali, dalam hal ini berlaku “hukum gravitasi”. Jika yang kita lemparkan ke atas adalah apel, maka yang akan jatuh adalah apel. Jika yang kita lemparkan ke atas adalah kotoran kuda, maka yang akan jatuh adalah kotoran kuda. Demikian halnya, jika kita berdoa dan baik sangka kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan menurunkan hal-hal yang baik kepada kita. Demikian juga sebaliknya.
Apabila seseorang gagal membina mental juara atau mental sukses tersebut, maka sulit baginya untuk meraih sukses, karena dia dinilai belum siap. Ibarat orang pertama ingin memanen apel dengan bermodalkan tangan saja, maka dia hanya memperoleh apel sebanyak genggaman tangannya. Orang kedua memanen apel dengan membawa kantong besar, maka dia akan memperoleh apel yang lebih banyak dibandingkan orang pertama. Di sini, “membawa kantong” mencerminkan mental sukses, sedangkan “tidak membawa kantong” mencerminkan mental gagal.
Patut disadari bahwa kesuksesan dan kegagalan tidak bersifat statis (permanen), melainkan dimanis, sebagaimana falsafah “hidup bagaikan roda yang berputar”. Artinya, setiap orang akan mengalami kesuksesan suatu saat dan mengalami kegagalan pada saat yang lain. Dalam bahasa al-Qur’an disebutkan sebagai berikut:
Karena sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan itu, ada kemudahan. Sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan itu, ada kemudahan. (Q.S. al-Insyirah [94]: 5-6)
Oleh sebab itu, setiap civitas akademika perlu ditanamkan nilai-nilai edukatif agar menghadapi kegagalan dengan elegan. Dalam kata mutiara Jepang disebutkan, “Nana korobi ya oki” yang dalam versi Inggrisnya, “fall seven times and stand up eight.” Artinya, kegagalan demi kegagalan dihadapi dengan kebangkitan demi kebangkitan. Bukti aktual kebenaran kata mutiara ini dapat ditemui dalam kisah hidup tokoh-tokoh besar yang sukses setelah melalui berbagai kegagalan. Misalnya, dakwah Rasulullah SAW selama 13 tahun di Makkah bisa disebut “gagal” menurut ukuran statistik-matematis, karena hanya memiliki pengikut ratusan orang. Lalu beliau meraih kesuksesan besar hanya dalam waktu 10 tahun di Madinah, sehingga ketika beliau wafat, meninggalkan shahabat yang jumlahnya puluhan hingga ratusan ribu. Contoh lain adalah Abraham Lincoln yang berulang-ulang mengalami kegagalan sebelum akhirnya terpilih menjadi Presiden Amerika ke-16 yang legendaris, terutama atas keberhasilannya menghapus perbudakan.
Selain itu, kesuksesan dan kegagalan itu bersifat universal sekaligus lokal. Contoh kesuksesan universal adalah “selamat dunia dan akhirat”. Ini adalah kesuksesan universal yang diidam-idamkan oleh segenap umat muslim, sebagaimana doa sapu jagat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan termaktub dalam Surat al-Baqarah [2]: 201
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (Q.S. al-Baqarah [2]: 201)
Sedangkan kesuksesan lokal disesuaikan dengan konteks peran yang dijalani seseorang. Misalnya, ukuran kesuksesan pengusaha adalah banyaknya harta. Ukuran kesuksesan pesepakbola adalah banyaknya gelar juara tim dan individu. Ukuran kesuksesan ilmuwan adalah banyaknya temuan yang dihasilkan. Ukuran kesuksesan siswa adalah tingginya ranking atau nilai rapor. Demikian seterusnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Rosidin
http://www.dialogilmu.com
http://www.dialogilmu.com