Al-Qur'an sebagai Sumber Pokok Fikih
Al-Qur'an yang kita ketahui saat ini adalah salinan persis (kecuali untuk titik dan tanda harakat/syakal) dari salinan-salinan yang disahkan oleh khalifah ketiga, ‘Utsman ibn ‘Affan, setelah ‘panitia pembukuan’, yang dibentuk oleh sang khalifah mengesahkan salinan tersebut. Ide penghimpunan seluruh al-Qur’an dalam satu mushaf mendapat dukungan luas di kalangan para Sahabat sesaat setelah wafatnya Nabi. Akan tetapi, pada masa Khalifah ‘Utsman, perselisihan umat Muslim terkait berbagai jenis pembacaan atau qiraat (qirā’āt) al-Qur'an mencapai level kritis yang mengharuskan keputusan Khalifah ‘Utsman untuk menghimpun dan mengesahkan satu versi al-Qur'an serta memerintahkan agar versi-versi lain segera dimusnahkan.
Dalam versi yang sudah disahkan, Khalifah ‘Utsman memberikan prioritas pada dialek kabilah Quraisy dibandingkan dialek-dialek lain, karena dialek Quraisy adalah dialek utama Nabi SAW. Kesepuluh qiraat (al-qirā’āt al-‘asyr) al-Qur'an ditulis berdasarkan Mushaf ‘Utsmani’. Perbedaan qiraat itu, seluruhnya terletak pada perbedaan dalam hal titik dan tanda harakat yang ditambahkan pada fase berikutnya terhadap Mushaf ‘Utsmani. Jadi, ada kesepakatan terhadap apa yang disebut ‘Mushaf ‘Utsmani’ dalam semua mazhab fikih.
Ada satu pengecualian terhadap kesepakatan di atas, yaitu pendapat yang dipegang oleh segelintir fakih Syiah Ja'fari selama ‘Era Kemunduran’. Mereka berpendapat bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an yang hilang, yang seluruhnya berhubungan dengan sanad (riwayat) ‘Ali ibn Abi Thalib. Para fakih Syiah ini menuntut tanggung jawab beberapa sahabat atas penyembunyian ayat-ayat itu, dikarenakan alasan politis.
Menurut semua sumber historis Sunni dan Syiah yang dikenal saat ini, tidak ada seorang Imam Syiah pun yang pernah mengangkat klaim tersebut. Tidak ada imam rujukan Syiah saat ini (marji‘ taqlid)—mulai dari Imam al-Khomeni dan al-Shadir hingga Syams al-Din dan Fadhlallah—yang mengesahkan klaim itu, dan faktanya, mereka semua menyatakan menolak keras pendapat tersebut. Lebih dari itu, saya tidak mendapati satu pendapat fikih pun dalam berbagai mazhab Syiah yang didasarkan pada ‘ayat-ayat’ atau surah-surah di luar al-Qur'an, sebagaimana kita ketahui saat ini.
Oleh karena itu, adalah akurat untuk menyatakan bahwa Mushaf ‘Utsmani, menurut seluruh mazhab fikih, adalah satu-satunya versi yang disetujui sebagai ‘kitab suci al-Qur'an’ yang autentik. Ibn al-Jazri, misalnya, membukukan lebih dari 80 riwayat untuk masing-masing qiraat dari 10 qiraat al-Qur'an yang ada. Oleh karena itu, status mutawatir yang diberikan oleh seluruh mazhab fikih terhadap ayat-ayat al-Qur'an adalah hasil kesepakatan luas terhadap tingkat autentitas riwayat-riwayatnya.
Selama terkait dengan pendapat fikih, seluruh mazhab fikih mengacu pada ayat-ayat al-Qur'an sekarang ini untuk membuat keputusan hukum, kecuali pengacuan mazhab Hanafi kepada beberapa ayat versi Ibn Mas‘ūd, dan pangacuan berbagai mazhab terhadap beberapa ayat versi lain yang berstatus ahad, misalnya ayat-ayat versi ‘Ali, Ubayy, ‘A’isyah, dan Salim. Kumpulan ayat versi-versi ini (yang para rawinya memilih menghindar dari pengesahan salinan mushaf resmi oleh Khalifah ‘Utsman) tidak berimplikasi pada perubahan signifikan apa pun terhadap maksud ayat-ayat al-Qur'an.
Dalam konteks mazhab-mazhab fikih, ayat-ayat riwayat ahad ini diperlakukan sebagai sumber hadis ahad, alih-alih sebagai ayat al-Qur'an. Ayat-ayat versi ‘Abdullah ibn Mas‘ud disahkan oleh mazhab Hanafi, hanya untuk tujuan hukum (fikih) dan bukan sebagai al-Qur’an yang ditilawahkan (dibaca selayaknya kitab suci). Akan tetapi, pendapat mazhab Hanafi yang didasarkan pada ayat-ayat versi ‘Abdullah ibn Mas‘ud tersebut tidak berbeda secara radikal dengan pendapat-pendapat fakih yang lain.
Di sisi lain, mazhab Muktazilah dan beberapa ulama Usul Fikih (uṣuliyyin) memberikan status bagi ‘nalar’ (al-‘aql) sebagai sumber legislasi ‘paling fundamental’, bahkan dibandingkan Nas sekalipun. Mazhab Muktazilah menegaskan bahwa nalar lebih fundamental dibandingkan Nas, karena nalar menuntun kita untuk meyakini nas itu sendiri. Akan tetapi, setelah seorang Muslim percaya pada al-Qur'an, maka Muktazilah menegaskan bahwa al-Qur'an menjadi ‘kriteria penilaian terhadap nalar itu sendiri’. Oleh karena itu, mazhab fikih Muktazilah, secara praktis, sangat mirip dengan mazhab fikih lainnya, khususnya mazhab Syafi'i. Jadi, pemberian prioritas terhadap nalar di atas Nas hanya sekadar ide filosofis Muktazilah, ketimbang teori penalaran yuridis.
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah. Alih bahasa oleh Rosidin dan ‘Ali ‘Abd el-Mun‘im (Bandung: Mizan, 2014), h. 124-126.
http://www.dialogilmu.com