Menumbuhkan Pemikiran Kreatif versus Kritis
Dr. Rosidin, M.Pd.I
Kritis
dan kreatif adalah representasi gaya berpikir manusia yang saling melengkapi.
Berpikir kritis menonjolkan aspek ilmiah (rasional-empiris), sedangkan berpikir
kreatif menonjolkan aspek imajinatif. Pendidikan bertanggung-jawab untuk
mengembangkan kedua gaya berpikir tersebut pada peserta didik.
Berpikir kritis tidak sekedar banyak bertanya seperti
halnya Bani Isra’il, melainkan melibatkan banyak aspek pemikiran (John
Santrock, 2011: 304).
Pertama, gemar menanyakan “apa”, “mengapa” dan
“bagaimana”.
Siswa kritis tidak sekedar mengejar “apa” jawaban yang benar,
melainkan juga mengejar penjelasan “mengapa” dan “bagaimana” suatu jawaban itu
disebut benar.
Misalnya, ketika melihat banjir, siswa kritis tergerak untuk
mencari penjelasan mengapa terjadi banjir dan bagaimana proses terjadinya
banjir. Intinya, siswa kritis menginginkan jawaban yang selengkap mungkin.
Kedua,
lebih mengedepankan pendekatan rasional, alih-alih emosional.
Siswa kritis
tidak begitu memedulikan ikatan emosional. Misalnya ketika argumentasi
sahabatnya dalam sebuah diskusi dinilai salah, siswa yang kritis akan
menyatakan salah, tanpa merasa terbebani oleh ikatan emosional dengan
sahabatnya tersebut.
Lebih dari itu, siswa kritis menyukai jawaban-jawaban yang
didasarkan pada “fakta” atau data, bukan “ilusi” atau mitos. Misalnya,
rasionalisasi berdasarkan riset ilmiah tentang peran sikap rajin terhadap
tingkat kepandaian seseorang, lebih diterima oleh siswa kritis, dibandingkan
sekedar mengutip kata mutiara “rajin pangkal pandai”.
Ketiga, membandingkan berbagai jawaban
atas suatu pertanyaan, kemudian memutuskan jawaban mana yang terbaik.
Siswa
yang kritis tidak puas hanya berbekal satu jawaban, melainkan membekali diri
dengan berbagai jawaban, sembari memutuskan jawaban yang terbaik.
Ibaratnya,
siswa kritis tidak hanya puas bepergian melalui satu jalan itu-itu saja,
melainkan mencari jalan-jalan alternatif, sehingga memiliki banyak pengetahuan
terkait alternatif jalan menuju suatu lokasi, yang dapat dimanfaatkan sesuai
kebutuhan.
Keempat, tidak begitu saja menganggap benar pernyataan orang
lain, sebelum mengevaluasinya terlebih dahulu dan mengajukan pertanyaan yang
memungkinkan.
Sikap ini selaras dengan konsep tabayun (cek dan ricek).
Sikap ini sangat penting di era informasi yang banyak disusupi oleh
informasi-informasi hoax seperti sekarang.
Kelima, mengajukan pertanyaan
yang baru dan berspekulasi di luar apa yang sudah diketahui, demi mengkreasi
ide-ide baru dan informasi-informasi baru.
Dengan demikian, berpikir kritis
juga diorientasikan untuk mengkreasi pemikiran orisinal. Poin ini menjadi titik
temu antara pemikiran kritis dengan kreatif yang sama-sama menekankan pemikiran
inovatif.
Berpikir kreatif dalam dikembangkan melalui lima tahap
(John Santrock, 2011: 304).
Pertama, persiapan.
Kreativitas siswa dapat
dipicu dengan mengajukan isu-isu yang menarik. Misalnya isu-isu terkini yang
sedang hangat diperbincangkan.
Kedua, inkubasi.
Siswa mengolah berbagai
ide dalam otaknya sedemikian rupa, lalu membuat hubungan yang tidak lumrah
dalam pikiran. Misalnya menghubungkan antara sekolah model asrama dengan dunia
sihir.
Ketiga, gagasan (insight).
Ini adalah momen “Aha” yang
dialami siswa ketika berhasil memadukan berbagai keping puzzle menjadi
satu kesatuan. Misalnya, gagasan terkait hubungan sekolah berasrama dengan
dunia sihir adalah novel atau film Harry Potter.
Keempat, evaluasi.
Gagasan yang diperoleh perlu dievaluasi dengan pernyataan kunci, “Apakah ide
tersebut baru atau usang?”. Di sinilah pentingnya siswa memiliki pengetahuan
yang luas, agar dapat mengevaluasi gagasannya.
Kelima, elaborasi.
Ini
adalah tahap final yang melibatkan kerja keras dalam durasi waktu yang lama.
Tahap inilah yang dimaksud oleh Thomas Edison ketika dia berkata bahwa “creativity
is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration” (kreativitas adalah 1
persen inspirasi dan 99 persen kerja keras). Artinya, agar kreativitas
menghasilkan produk inovatif, dibutuhkan waktu yang lama, karena harus melewati
proses trial-error (uji-coba) yang berulang-ulang.
Hal lain yang perlu diketahui adalah kreativitas mengacu
pada dimensi abstrak pemikiran, sedangkan inovasi mengacu pada produk
kreativitas yang bersifat konkret. Misalnya, ide tentang pembuatan smartphone
adalah kreativitas; sedangkan smartphone itu sendiri adalah inovasi.
Mengingat keduanya berhubungan erat, maka kedua kata ini sering disebutkan
bersamaan, yakni kreatif-inovatif.
Jika ditelaah dari perspektif pendidikan Islam,
pemikiran kritis dan kreatif-inovatif sama-sama diberi ruang yang luas, namun
ada batas, sebagaimana ideologi pendidikan Islam yang bersifat tertutup
sekaligus terbuka. Artinya, pemikiran kritis dan kreatif-inovatif boleh
dimiliki oleh setiap peserta didik, namun tetap dibingkai oleh etika.
Misalnya,
pemikiran kritis tidak diberi ruang pada ajaran Islam yang sudah dinilai final,
seperti otentitas al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir, shalat
lima waktu adalah fardhu ‘ain, dan contoh-contoh lain yang tidak membuka ruang
ijtihad (penalaran) di dalamnya. Demikian halnya pemikiran kreatif-inovatif
tidak boleh melanggar batas-batas etika Islam, seperti desain baju minimalis
yang pamer aurat.
Contoh pemikiran kritis dalam sejarah Islam yang patut
diteladani oleh generasi masa kini adalah kritik Hadis yang melibatkan kritik
informan (sanad) dan informasi (matan). Bahkan saat ini ditambah
lagi dengan kritik sistematis, yaitu tingkat kesesuaian Hadis dengan
prinsip-prinsip al-Qur’an. Melalui tradisi kritik tersebut, dapat dipilah mana
Hadis yang Shahih, Hasan dan Dha’if.
Jika diterapkan dalam
konteks kekinian, maka setiap informasi perlu dikritik dari tiga segi: Pertama,
siapa informannya? Terpercaya atau tidak. Kedua, apa informasinya? Logis
atau tidak. Ketiga, bagaimana kesesuainnya dengan nilai-nilai Islam?
Sesuai atau tidak. Apabila informannya terpercaya, informasinya logis dan
sesuai dengan nilai Islam, maka informasi tersebut dapat diterima sepenuhnya.
Sedangkan contoh pemikiran kreatif dalam sejarah Islam
yang patut diteladani oleh generasi masa kini adalah seni arsitektur Islam.
Jika kita mengamati atau mengunjungi berbagai bangunan Islami di Indonesia,
apalagi dunia, tentu kita akan mengakui keunggulan kreativitas umat muslim.
Masjid Nabawi di Madinah dan Taj Mahal di Agra adalah contoh hasil kreativitas
seni arsitektur Islam yang diakui dunia dari masa ke masa hingga saat ini.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.