Disabilitas versus Berbakat dalam Konteks Pendidikan
Dr. Rosidin,
M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Ilustrasi Anak Berbakat |
Mayoritas manusia mengalami kondisi
normal, sedangkan minoritas manusia mengalami kondisi di luar normal, baik
penuh keterbatasan (disabilitas) maupun penuh kelebihan (berbakat). Oleh sebab
itu, muncul istilah “pelajar luar biasa” yang mengacu pada peserta didik yang mengalami
disabilitas maupun berbakat.
Banyak ragam disabilitas yang dialami
peserta didik.
Pertama, ketidakmampuan pada
bidang akademik. Misalnya, ketidakmampuan membaca atau mengeja (disleksia);
ketidakmampuan menulis dengan tangan (disgrafia); ketidak-mampuan berhitung
matematika (diskalkulia).
Kedua, Gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktif (Attention Defecit Hyperactivity Disorder atau
ADHD) yang menunjukkan satu atau lebih karakteristik berikut: kurang mampu
memperhatikan, hiperaktif dan impulsif (spontan).
Ketiga, Keterbelakangan mental
mengacu pada anak yang memiliki kecerdasan rendah. Adapun status
keterbelakangan mental berdasarkan nilai IQ-nya adalah: 55-70 disebut “ringan”
(mild), 40-54 disebut “sedang” (moderate); 25-39 disebut “berat”
(severe); di bawah 25 disebut “mendalam” (profound).
Keterbelakangan mental dapat disebabkan oleh faktor genetik (disebut down
syndrome yang ditandai dengan adanya kromosom ekstra, yaitu kromosom
ke-47); faktor kerusakan otak, semisal meningitis (peradangan pada selaput otak
dan sumsum tulang belakang), yaitu infeksi yang dapat berkembang sejak anak-anak
masih kecil; serta faktor lingkungan, seperti pukulan ke kepala atau ibu hamil
yang mengonsumsi minuman keras.
Keempat, gangguan fisik. Misalnya
epilepsi (ayan), yaitu gangguan neurologis yang ditandai dengan serangan sensor
motorik yang berulang-ulang atau gerakan kejang-kejang.
Kelima, gangguan sensorik. Misalnya
tunanetra (buta) dan tunarungu (tuli).
Keenam, gangguan bicara dan
bahasa. Misalnya tunawicara (bisu) dan gagap.
Ketujuh, Gangguan autisme yang ditandai
oleh adanya masalah dalam interaksi sosial, masalah dalam komunikasi verbal dan
non-verbal, serta perilaku berulang. Jika gangguannya lebih ringan, maka
disebut sindrom Asperger.
Kedelapan, gangguan emosi dan
perilaku. Misalnya sikap agresif dan depresi (John Santrock, 2011: 182-195).
Ada dua model pendidikan bagi anak
cacat:
Pertama, lingkungan yang
terbatas (Least Restrictive Environment atau LRE), yaitu pengaturan
lingkungan semirip mungkin dengan tempat di mana anak-anak yang tidak memiliki
disabilitas dididik.
Kedua, pendidikan inklusi,
yaitu mendidik anak dengan kebutuhan pendidikan khusus secara penuh-waktu di
kelas reguler. Di samping itu, perlu dibantu dengan dua jenis teknologi: (1) Teknologi
pembelajaran, seperti komputer dan video. (2) Teknologi bantu, seperti
alat bantu komunikasi (John Santrock, 2011: 199-201). Di Indonesia, lembaga
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini disebut Sekolah Luar Biasa (SLB).
Anak-anak berbakat (gifted)
memiliki kecerdasan di atas rata-rata (biasanya didefinisikan memiliki IQ 130
atau lebih) dan atau memiliki bakat unggul dalam beberapa domain, seperti seni,
musik atau matematika. Menurut Ellen Winner, seorang ahli kreativitas dan
bakat, ada tiga kriteria yang menjadi ciri anak yang berbakat.
Pertama, prekositas.
Yaitu menjadi dewasa sebelum waktunya. Tegasnya, menguasai bidang tertentu
lebih cepat dibandingkan rekan-rekan mereka.
Kedua, belajar dengan cara yang
berbeda dibandingkan anak-anak yang tidak berbakat. Misalnya, mereka dapat
memecahkan masalah dengan cara yang unik dalam wilayah bakat mereka.
Ketiga, keinginan untuk
menguasai. Mereka menampilkan minat obsesif dan intens, serta kemampuan untuk
fokus. Mereka tidak perlu diberi dorongan oleh orang lain (motivasi ekstrinsik),
karena motivasi intrinsiknya sudah tinggi (John Santrock, 2011: 204).
Catatan lain adalah penting untuk
mengetahui perbedaan antara anak pandai dengan anak berbakat. Antara lain: (a) anak pandai mengetahui jawaban,
anak berbakat justru mengajukan pertanyaan; (b) anak pandai tertarik dan penuh
perhatian, anak berbakat sangat ingin tahu (curious) dan terlibat secara
fisik maupun psikis; (c) anak pandai memiliki ide-ide bagus,
anak berbakat memiliki ide yang “liar atau aneh”; (d) anak pandai bekerja keras, anak
berbakat gemar bermain, namun hasil tesnya tetap bagus; (e) anak pandai menjawab pertanyaan,
anak berbakat mendiskusikan jawaban secara detail (elaborasi);
(f) anak pandai berada di ranking
teratas di kelasnya, anak berbakat melampaui anak-anak di kelasnya; (g) anak pandai mudah belajar (6-8
pengulangan), anak berbakat sudah mengetahui (1-2 pengulangan); (h) anak pandai memahami ide-ide, anak
berbakat membangun ide; (i) anak pandai menikmati bergaul
dengan rekan sebaya, anak berbakat menikmati bergaul dengan orang dewasa; (j) anak pandai memahami makna, anak
berbakat menarik kesimpulan;
(k) anak pandai menyelesaikan tugas,
anak berbakat menginisiasi tugas; (l) anak pandai meniru secara akurat,
anak berbakat menciptakan desain baru; (m) anak pandai menikmati sekolah, anak
berbakat menikmati belajar; (n) anak pandai menyerap informasi,
anak berbakat mengolah informasi; (o) anak pandai ibarat teknisi, anak
berbakat ibarat penemu (inventor);
(p) anak pandai memiliki hafalan yang
baik, anak berbakat memiliki tebakan yang baik; (q) anak pandai menyukai kelangsungan (straight-forward),
anak berbakat menyukai kerumitan (complexity); (r) anak pandai selalu waspada, anak
berbakat selalu tajam dalam mengamati; (s) anak pandai senang dengan
belajarnya, anak berbakat senantiasa kritis terhadap belajarnya.
Bakat merupakan konsekuensi dari kedua
faktor keturunan dan lingkungan. Hal ini menjelaskan mengapa anak yang memiliki
bakat dari aspek keturunan, tidak tumbuh menjadi “pencipta utama” ketika sudah
dewasa, karena tidak didukung oleh lingkungan, semisal orangtua yang terlalu
keras dalam menuntut anak, sehingga anak kehilangan motivasi intrinsiknya.
Sejalan dengan itu, anak-anak berbakat dapat difasilitasi melalui empat program
pendidikan.
Pertama, kelas khusus. Misalnya
mengadakan kelas khusus bagi anak-anak berbakat setelah sekolah.
Kedua, percepatan (akselerasi) dan
pengayaan dalam pengaturan kelas reguler. Misalnya pemadatan kurikulum,
sehingga jenjang SMP atau SMA dapat ditempuh hanya dalam kurun dua tahun.
Ketiga, mentor dan program
magang. Misalnya, anak-anak yang berbakat dapat dijadikan sebagai mentor
(“asisten guru”) bagi rekan-rekannya.
Keempat, kerja, studi atau
program pelayanan masyarakat. Misalnya, program bakti sosial yang khusus
diikuti anak-anak berbakat, sehingga mereka tidak diharuskan hadir di sekolah
setiap hari (John Santrock, 2011: 205-206).
Deskripsi informasi di atas
mengindikasikan bahwa anak-anak yang memiliki disabilitas maupun bakat khusus,
dididik dengan model pendidikan khusus yang sesuai dengan karakteristik
masing-masing.
Pada intinya, model pendidikan khusus
bagi penyandang disabilitas adalah “penggandaan bantuan”, sehingga mereka
merasakan model pendidikan yang mendekati atau setaraf dengan pendidikan bagi
orang normal. Oleh sebab itu, dibutuhkan profil pendidik yang memiliki kualitas
“kesabaran ekstra”. Sedangkan model pendidikan khusus bagi pemilik bakat adalah
“penggandaan tantangan”, sehingga mereka dapat merasakan model pendidikan yang
melampaui pendidikan bagi orang normal. Oleh sebab itu, dibutuhkan profil
pendidik yang memiliki kualitas “intelektual ekstra”.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.