Ringkasan Sejarah Kebudayaan Islam
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
A.
MASA PRA ISLAM
1.
Agama dan Kepercayaan di Sekitar Jazirah Arab
Sejarah masa lampau, khususnya abad ke-5
dan ke-6 Masehi, dunia hidup dalam kegelapan yang menyeramkan. Kendati
masyarakatnya merasa butuh kepada agama, namun kepercayaan ketika itu sungguh
jauh dari nilai kebenaran. Agama yang seharusnya melahirkan petunjuk,
ketenangan dan keharmonisan, justru berbalik; sehingga yang lahir dari agama
ketika itu adalah kecemasan, kesesatan dan permusuhan. 1
Pada abad ke-5 dan ke-6 M, agama Yahudi
yang dibawa oleh Nabi Musa AS telah menjadi ajaran yang sangat kaku. Ia telah
menjadi tradisi tanpa ruh. Kitab “Taurat” telah mengalami aneka perubahan. Di
samping kitab Taurat, mereka juga memiliki kitab Talmud yang mereka sucikan melebihi
kitab Taurat. Padahal dalam Talmud ini, yang beredar sejak abad ke-6 M,
terdapat sekian banyak informasi yang sungguh tidak dapat dicerna akal. Kepercayaan
tentang keesaan Tuhan yang diajarkan oleh Nabi Musa AS, luntur akibat pengaruh
budaya dan adat kebiasaan masyarakat sekitarnya. Para pemuka agama Yahudi tidak
lagi melaksanakan tugas bimbingan ruhani. Kaum Yahudi tenggelam dalam
materialisme, sehingga mereka menjadi lintah darat dan menghalalkan
suap-menyuap.2
Ajaran Kristen yang dibawa oleh Nabi Isa
AS adalah ajaran yang mengakui keesaan Allah SWT, menekankan sisi keruhanian
dan akhlak yang luhur. Akan tetapi, ajaran yang demikian luhur itu sedikit demi
sedikit menyimpang. Puncak dari kesesatan itu adalah beralihnya keesaan Tuhan
yang diajarkan oleh Nabi Isa AS, menjadi kepercayaan tentang Trinitas.
Persoalan Trinitas ini baru muncul setelah empat ratus tahun dari kelahiran
al-Masih, karena itu kepercayaan Trinitas tidak disinggung dalam keempat Injil
yang diakui oleh umat Kristen, karena kitab-kitab tersebut ditulis jauh sebelum
munculnya paham Trinitas di kalangan umat Kristen. Kitab Injil itu ditulis
antara 70-150 tahun setelah kelahiran al-Masih. 3
Penduduk Persia menganut agama Majusi
(Zoroaster) yang menyembah unsur-unsur material di alam raya. Mereka menyambah
api dan menyucikan matahari. Mereka percaya bahwa ada dua tuhan. Pertama,
tuhan cahaya, yaitu yang menciptakan kebaikan dan selalu bermaksud baik. Mereka
menamainya Ahura Mazda (dalam sebutan Iran modern: Ormudz / tuhan yang
bijaksana). Kedua, tuhan kejahatan atau keburukan yang mereka namai
Angra Mainyu (dalam sebutan Iran modern: Ahriman). Kedua tuhan itu senantiasa
bertarung. Sekali ini yang menang, dan sekali yang itu. Penduduk Persia ketika
itu membangun rumah-rumah ibadah untuk menyembah api, tetapi di luar tempat
ibadah, mereka lepas kendali dan memperturutkan hawa nafsu. Sementara pakar
berpendapat bahwa kepercayaan di atas diciptakan oleh Zoroaster (628-551 SM).
4
Di India muncul Brahmanisme, yaitu
sebuah agama yang kompleks dan sistem sosial yang tumbuh dari ritus-ritus
politestis bangsa Arya kuno yang menaklukkan bagian utara India dan Iran. Agama
ini menyebar ke seluruh wilayah anak benua India, dan lestari tanpa berubah
secara signifikan sampai dewasa ini. Di India juga muncul agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanatana
Dharma / Kebenaran Abadi dan Vaidika-Dharma / Pengetahuan Kebenaran)
yang merupakan lanjutan dari agama Veda (Brahmanisme) yang diperkirakan muncul
antara tahun 3102-1300 SM. Agama ini mengajarkan bahwa banyak dewa yang
memunyai peranan dalam kehidupan manusia, tetapi dewa yang tertinggi adalah
Brahma yang menjadi sumber dari segala yang ada dan yang memanifestasi-kan
dirinya kepada manusia dalam bentuk beragam. 5
Di India, Jepang, Nepal, Tibet, Cina dan
beberapa wilayah Asia lainnya, Budhisme tersebar luas. Agama Budha diajarkan
oleh Sidhartha Gautama yang lahir di Lumbini (Nepal saat ini). Beliau adalah
seorang pangeran dari suku Sakya, lahir pada 563 SM dan wafat di Kusinara (saat
ini bernama Kushinagar, India) pada usia 80 tahun (483 SM). Budha tidak
mengajarkan tentang wujud tuhan, namun kekaguman pengikut-pengikutnya kepada
pribadi ini menjadikan mereka membuat patung-patung beliau yang mereka bawa ke
manapun mereka pergi. Di samping itu, mereka juga membangun bangunan-bangunan
untuk mengultuskannya. Sementara pakar menyatakan bahwa pada mulanya
kepercayaan ini menafikan wujud tuhan, tetapi lama-kelamaan mereka mengultuskan
Budha (Sidhartha Gautama) dan menempatkannya sebagai manusia yang tidak serupa
dengan manusia yang lain, karena pencapaian dan kesempurnaan ruhaninya. Ini
yang menjadikan sementara orang menduga bahwa Budha adalah tuhan, dan karena
pengultusan itu dan pembuatan patung-patung Budha sehingga penganut-penganutnya
serupa dengan penyembah-penyembah berhala. 6
2.
Agama dan Kepercayaan di Jazirah Arab
Perlu digaris-bawahi bahwa al-Qur’an
mengisyaratkan adanya nabi-nabi dan rasul-rasul yang diutus ke wilayah ini.
Misalnya Nabi Hud AS yang diutus kepada kaum ‘Ad yang bermukim di al-Ahqaf,
suatu wilayah di Hadhramaut, Yaman. Nabi Shalih AS diutus kepada kaum Tsamud
yang bermukim di Hijir, suatu wilayah antara Hijaz dan Tabuk, Saudi Arabia.
Demikian halnya Nabi Syu’aib AS yang diutus ke Madyan, suatu wilayah yang
berbatasan dengan Syam. Yang amat populer adalah Nabi Isma’il AS, putra Nabi
Ibrahim AS, yang bermukim di Mekah bersama ibunya, Hajar. Nabi Ibrahim AS
sendiri datang menyampaikan ajaran tauhid dan disebarkan di tengah
masyarakatnya; kemudian dilanjutkan oleh putra-putra beliau, antara lain Nabi
Isma’il AS dan Nabi Ishaq AS. 7
Masyarakat Jahiliyah secara umum percaya
pada Allah SWT, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. Akan tetapi,
dari masa ke masa, sedikit demi sedikit ajaran itu bergeser dan luntur atau
disalahpahami, sehingga kendati masyarakat Arab mengagungkan Nabi Ibrahim AS
sebagai leluhur dan pembawa ajaran, namun inti ajaran beliau tereduksi. Memang,
mereka masih tetap mengakui wujud Allah SWT dan bahwa Dia adalah Pencipta alam
raya, tetapi berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam
substansinya dan dalam rinciannya. 8
Kondisi
politik Arab pra-Islam saat itu dikuasai oleh dua kekaisaran, yaitu Persia dan
Romawi. Masing-masing kekaisaran memiliki kebudayaan, perdaban,
perundang-undangan dan keyakinan yang mereka imani. 9
Kekaisaran
Persia menganut agama Zoroaster (Majusi) yang meyakini adanya dua tuhan, yakni
tuhan kebaikan dan tuhan keburukan. Tuhan kebaikan (cahaya) menciptakan hal-hal
baik di dunia ini –misalnya binatang yang bermanfaat–, sedangkan tuhan
keburukan (kegelapan) menciptakan hal-hal buruk di dunia ini –misalnya binatang
buas–. Mereka juga meyakini bahwa manusia akan menjalani dua kehidupan, yaitu
kehidupan di dunia dan kehidupan pasca kematian. Selain itu, mereka meyakini
bahwa dunia akan mendekati kiamat ketika tuhan kebaikan mampu mengalahkan tuhan
keburukan. Oleh sebab itu, kaum Zoroaster menjadikan api sebagai simbol tuhan
kebaikan, sehingga mereka menyalakan api di tempat-tempat peribadatan mereka. 10
Di
sisi lain, kekaisaran Romawi memijakkan kebudayaannya di atas filsafat Yunani
dan Romawi. Mereka mewarisi pemikiran-pemikiran Socrates, Plato dan
Aristoteles. Filsafat Yunani dan Romawi kuno dimanfaatkan oleh para pemeluk
Kristen untuk berdebat, terutama terkait Trinitas. 11
Bangsa
Arab sendiri mayoritas hidup nomaden di padang pasir. Mereka terikat oleh
aturan kesukuan serta memiliki kebiasaan bertaklid kepada nenek moyang.
Perekonomian mereka berpijak pada pertanian dan perdagangan. Oleh sebab itu,
mereka menyusun undang-undang tentang transaksi harta dan perdagangan.
Sedangkan dari sisi kepercayaan, mereka ada pula yang terpengaruh oleh
keyakinan yang dianut kekaisaran Persia maupun Romawi. Kepercayaan
bangsa Arab pra-Islam semakin kompleks dengan adanya kaum Yahudi yang mendiami
wilayah-wilayah seperti Khaibar dan Yatsrib. Demikian juga bangsa Arab
pra-Islam masih menyisakan para pemeluk millah Nabi Ibrahim AS dan Nabi
Ismaʻil AS. 12
Lebih
dari itu, seperempat Jazirah Arab saat itu dipenuhi oleh berbagai jenis ritual.
Ketika Rasulullah SAW diutus, beliau menghadapi problem banyaknya berhala yang
diletakkan di sekitar Kabah oleh bangsa Arab. Mereka menyembah dan bersujud
kepada berhala-berhala itu. Dalam konteks inilah Tasyrîʻ di Makkah ditujukan,
yaitu untuk membersihkan Jazirah Arab dari penyembahan berhala. Problem
spiritual lain yang menjangkiti kaum musyrikin Makkah adalah penalaran mereka
tidak dapat menjangkau ajaran Islam yang meyakini bahwa jasad-jasad yang sudah
membusuk (meninggal dunia) dapat dihidupkan kembali pada hari kebangkitan
kelak. 13
Jika ditelaah lebih dalam, kondisi
sosio-historis di atas menjadi argumen yang rasional terkait strategi
pensyariatan Islam yang dimulai dengan pembersihan ‘noda-noda’ akidah dan
akhlak yang melekat kuat pada bangsa Arab pada saat periode Makkah. Setelah
akidah dan akhlak mereka relatif jernih, pensyariatan Islam dilanjutkan dengan
hukum Islam praktis, terutama pada periode Madinah.
3.
Hijaz Menjelang Islam
Arab Selatan cenderung
‘beradab’, sedangkan Arab Utara cenderung ‘biadab’ (nomad). Periode Jahiliyyah meliputi 1 abad
menjelang kelahiran Islam. Jahiliyyah
bermakna tidak memiliki otoritas hukum, nabi dan kitab suci. Karena Arab
Selatan sudah berbudaya dan mampu baca-tulis.
Budaya sastra-prosa [festival
di Ukaz dan Ka’bah]; Ayyamul ‘Arab [genjatan senjata pada Dzulqa’dah,
Dzuulhijjah dan Muharram, serta Rajab]; Paganisme [al-Lat, al-’Uzza, al-Manat
dan Hubal]. Kota
utama Hijaz adalah Thaif,
Makkah dan Madinah. Hijaz
mendapatkan pengaruh
budaya dari Saba’,
Abbisinia, Persia dan Gassan.
B.
MASA KENABIAN
Masa kenabian dapat dibagi menjadi dua
tahap, yaitu periode Mekah dan Madinah. Karena di Mekah mendapat tantangan dari
kaum Quraisy, Nabi SAW dan pengikutnya hijrah ke Madinah. Di Madinah, Nabi SAW
membangun ‘negara’ Islam dengan masyarakat yang lebih mencerminkan keutamaan
dibandingkan masyarakat Arab waktu itu. Masyarakat Islam yang menekankan nilai
kesetaraan, keadilan dan demokrasi ini telah memberi landasan bagi kehidupan
sosial-politik Islam pada masa berikutnya. Dari Madinah, Nabi SAW kemudian
memperluas dakwahnya hingga ke seluruh Jazirah Arab. 14
Pada Periode Makkah (Tahun 601-622 M), Nabi
SAW menerima wahyu al-Qur’an. Mayoritas pengikut Nabi SAW berasal dari kalangan
‘menengah ke bawah’, sehingga menjadi sasaran berbagai tindakan intimidasi.
Nabi SAW sendiri terlindungi mengingat status beliau sebagai kemenakan Abu
Thalib, ketua suku Quraisy saat itu.
Pada Periode Madinah (Tahun 622-632 M), Nabi
SAW bersama sekitar 70 keluarga berhijrah ke Madinah yang dilakukan secara
berangsur-angsur; dan Nabi SAW hijrah terakhir. Adapun Program-program Nabi SAW
di Madinah adalah: Mendirikan Masjid; Pasar; Membentuk Ukhuwwah Islamiyyah
antara Muhajirin-Anshar; Piagam Madinah; Perang dengan sistem Ghazwu
(serangan mendadak dengan korban seminimal mungkin; korban jiwa ‘hanya’
mencapai 1000-an).
Periode ini ditandai oleh beberapa
peristiwa penting. Pertama, Turunnya ayat-ayat Madaniyah yang sarat
dengan Fikih, di samping Akidah dan Akhlak. Mulai diwajibkan zakat, puasa
Ramadhan dan Haji-Umrah. Kedua, Perjanjian Hudaibiyyah (628 M) yang menunjukkan bahwa Nabi SAW sudah
dianggap sebagai pemimpin yang patut diperhitungkan oleh kaum kafir Makkah. Ketiga, Fathul Makkah (630 M) yang dilakukan
secara damai, tanpa membawa korban jiwa satu pun. Keempat, Nabi SAW
wafat (632 M) karena efek racun dari wanita Yahudi masih membekas pada
kesehatan Nabi SAW.
C.
MASA KEKHALIFAHAN
Menurut Al-Syahrastani (w.
1153): “Tidak pernah ada persoalan yang lebih berdarah, kecuali tentang
kekhalifahan”. Saat itu, ada beberapa kelompok
yang berseteru terkait khalifah
pengganti Rasulullah SAW. Pertama, Muhajirin, karena satu suku; Anshar, karena menyelematkan Islam dari
‘kemusnahan’. Kedua golongan
ini kemudian sepakat untuk membentuk Persekutuan. Kedua, Kaum Legitimis,
yang memandang ‘Ali sebagai pihak yang berhak menjadi khalifah. Ketiga,
Kelompok
aristokrat Quraisy yang dimotori oleh Bani Umayyah, karena merasa memiliki
otoritas dan kekuatan Pra-Islam.
Setelah Nabi SAW wafat, kepemimpinan umat muslim
dilanjutkan oleh para sahabat yang menjadi pengganti (khalifah). Empak khalifah
pertama dikenal dengan al-Khulafa’ al-Rasyidun (para pengganti yang
mendapatkan bimbingan). Mereka adalah Abu Baka al-Shiddiq (memerintah 11-13 H /
632-634 M); Umar ibn al-Khaththab (13-24 H / 634-644 M); Utsman ibn al-‘Affan
(24-36 H / 644-656 M); dan Ali ibn Abi Thalib (36-41 H / 656-661 M). Pada masa
mereka, banyak terjadi peristiwa seperti ekspansi kaum muslim ke luar Jazirah
Arab dan munculnya konflik intern di antara umat muslim. 15
Masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq RA (632-634
M atau 2 tahun pemerintahan). Abu Bakar al-Shiddiq RA fokus pada integrasi umat
muslim pada masa transisi, melalui perang terhadap orang-orang yang tidak
memiliki loyalitas pada Islam, yaitu: kaum murtad, Nabi palsu hingga
orang-orang yang tidak membayar zakat.
Masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab RA (634-644
M atau 10 tahun pemerintahan). Umar ibn al-Khaththab RA fokus pada upaya
perluasan wilayah Islam hingga seluruh Jazirah Arab, bahkan hingga Mesir. Yarussalem ditaklukkan pada tahun 638 M, dijadikan
sebagai kota suci ketiga bagi umat muslim. ‘Umar RA wafat oleh tahanan perang
Persia pada tahun 644 M.
Masa Khalifah Utsman ibn ‘Affan (644-656
M atau 12 tahun pemerintahan) . Pada 6 (enam) tahun pertama, ‘Utsman ibn
al-’Affan RA berposisi sebagai ‘khalifah sejati’, termasuk menghasilkan
‘masterpiece’, yaitu Mushhaf Utsmani. Pada 6 (enam) tahun terakhir, ‘Utsman RA
berposisi sebagai ‘khalifah bayangan’, dengan mendelegasikan wewenang kepada
Marwan. Marwan inilah yang memicu masuknya keluarga Umayyah ke dalam pos-pos
strategis pemerintahan yang akhirnya membuat banyak umat muslim berontak.
Puncaknya adalah pembunuhan ‘Utsman RA oleh sesama muslim. Khalifah pertama
yang dibunuh oleh orang muslim.
Masa Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib RA
(656-661 M atau 6 tahun pemerintahan). ‘Ali ibn Abi Thalib RA menghadapi krisis
politik yang luar biasa parah. Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah puncak
krisis politik tersebut. ‘Ali RA juga memindah ibukota ke Kufah, basis
pendukung ‘Ali RA.
D.
MASA KEDINASTIAN
1.
Dinasti Mu’awiyyah Suriah (662-750 M)
Bani Umayyah adalah salah satu keluarga
suku Quraisy, keturunan Umayyah ibn Abdul Syams ibn Abdul Manaf, seorang
pemimpin Quraisy yang terpandang.
Hasan, putra Ali, yang diangkat oleh
sekelompok pengikut Ali yang setia untuk menggantikan Ali, segera mengundurkan
diri. Mu’awiyah memang mendesak Hasan untuk mengundurkan diri. Pada tahun 41 H
/ 661 M, Mu’awiyah bertemu dengan Amr dan Husein (saudara Hasan) di Kufah. Di
kota ini, Hasan dan Husein beserta orang banyak membaiat Mu’awiyah menjadi
khalifah. Tahun tersebut dinamakan ‘Am al-Jama’ah (Tahun Persatuan),
karena umat muslim bersatu kembali dari bahwa pimpinan seorang khalifah. Sejak
saat itu, mulai satu fase baru dalam sejarah pemerintahan Islam. Periode Khulafa’
al-Rasyidin berganti dengan Dinasti Umayyah yang berkuasa dari tahun 41-132
H / 661-750 M. Yang menjadi khalifah dalam Dinasti Umayyah berasal dari dua
keluarga, yaitu 3 orang dari keluarga Harb dan 11 dari keluarga Abu al-‘Ash.
Jadi, khalifah Dinasti Umayyah di Suriah berjumlah 14 orang. 16
Khalifah Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib
(661 M). Figur yang tidak tergiur dengan politik, sehingga menyerahkan
kekhalifahan kepada Mu’awiyyah. Itulah tahun perdamaian antar dua kubu yang
berseteru, sehingga disebut ‘Amul Jama’ah [Tahun Persatuan]
Khalifah Mu’awiyyah (661-680 M). Pertama
kalinya penguasa disebut MALIK, sebuah istilah yang biasanya digunakan untuk
menyebut penguasa-penguasa non-Arab. Uniknya, justru Mu’awiyah yang
menggaungkan Arabisasi di segala sektor pemerintahan. Mu’awiyah dikenal
memiliki sikap al-Hilm, sikap diplomatis yang luar biasa; hanya menggunakan
kekerasaan saat benar-benar dibutuhkan. Mu’awiyah juga sukses membina pasukan
maritim dengan ‘belajar’ pada Bizantium. Ibu kota dipindah ke Damaskus, karena
saat itu Madinah dan Makkah masih dikuasai Ibn al-Zubair.
Khalifah Abdul Malik (685-705 M). Khalifah yang mampu meredam berbagai
pemberontakan yang didalangi oleh Syiah dan Khawarij, serta mampu menumbangkan
Ibn al-Zubair, ‘khalifah’ Makkah dan Madinah melalui ‘pedang al-Hajjaj bin
Yusuf’, mantan kepala sekolah yang menjadi kepala tentara.
Khalifah al-Walid (705-715 M). Khalifah
yang mengembangkan Islam hingga ke Afrika utara bagian barat. Memiliki gubernur
di Afrika Utara, Musa bin Nushair yang kemudian memerintahkan Tharif untuk
‘membuka jalan’ ke Eropa, lalu dilanjutkan oleh Thariq bin Ziyad yang menandai
‘penaklukan Eropa’. Inilah cikal-bakal Islam di bumi Eropa yang kelak akan
dikembangkan oleh ‘satu-satunya’ keturunan Umayyah yang selamat dari
pembantaian Abbasiyah, yaitu Abdurrahman al-Dakhil. Al-Dakhil adalah gelar bagi
orang asing yang sudah dinilai sebagai keluarga sendiri.
Khalifah Umar ibn ‘Abd al-’Aziz
(717-720 M). Salah satu khalifah yang benar-benar
memenuhi kriteria ‘Khulafaur Rosyidin’, yaitu pakar politik sekaligus pakar
agama. Sumbangsihnya adalah
kodifikasi Hadis dengan menunjuk Syihabuddin al-Zuhri –guru Imam Malik– sebagai
ketua panitia. Pada masa ini, Abu Hanifah (732 M) mempelopori studi Fiqih,
setelah sebelumnya menjadi murid dari Ali Zainal ‘Abidin; dan Ibn Ishaq [732]
menulis Sirah Nabawiyyah.
Dinasti Umayyah berhasil merombak dua
masalah besar yang menunjukkan kemandirian suatu negara. Pertama,
mengubah sistem administrasi pemerintahan menjadi bercorak Arab, sehingga tidak
lagi membutuhkan pegawai-pegawai asing yang semula dibutuhkan. Kedua,
mencetak mata uang sendiri. Pada masa yang agak panjang, umat muslim dalam
muamalah sehari-hari menggunakan mata uang Romawi dan Persia. 17
Dengan berkuasanya Mu’awiyah,
kekhalifahan berubah menjadi kerajaan (dinasti). Salah satu perbedaan antara
kedua sistem ini adalah: khalifah dipilih dari umat muslim yang dipandang
paling tepat dan cakap; sedangkan raja mewariskan kekuasaannya kepada anak
keturunan dan kaum kerabat, sekalipun mereka tidak cakap (berkompeten). Contoh
lain yang menggambarkan kekhalifahan adalah apa yang pernah dikatakan oleh
seorang Arab badui kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab RA: “Kalau kami
melihat engkau berbuat serong, engkau akan kami luruskan dengan pedang
kami”; sedangkan contoh yang
menggambarkan kerajaan adalah apa yang dikatakan oleh Khalifah Abdul Malik ibn
Marwan kepada rakyatnya: “Siapa yang berani berkata begini dan begitu, akan
kami jawab dengan pedang kami begini!”. 18
2.
Dinasti ‘Abbasiyyah Baghdad
Setelah Umayyah, muncul Dinasti
Abbasiyyah yang bertahan lebih dari 5 (lima) abad (750-1258 M); dan pernah
mewujudkan zaman keemasan umat muslim. Para sejarawan membagi masa kekuasaan
Abbasiyyah menjadi beberapa periode berdasarkan ciri, pola perubahan
pemerintahan dan struktur sosial politik maupun tahap perkembangan peradaban
yang dicapai. Secara umum mereka berpandangan bahwa kekuasaan Dinasti Abbasiyah
dapat dibagi menjadi empat periode. Periode Awal (750-847); Periode Lanjutan
(847-946); Periode Buwaihi (945-1055) dan Periode Seljuk (1055-1258). 19
Abu al-Abbas al-Saffah, Khalifah
Abbasiyah Pertama. Membantai seluruh keluarga Umayyah. Menerapkan monarki
absolut.
Abu Ja’far al-Manshur. Khalifah
Abbasiyah Kedua yang disebut-sebut sebagai ‘pendiri Dinasti Abbasiyah yang
sesungguhnya’. Memindahkan ibu kota ke ‘kota baru’ yang dibangunnya, lalu
diberi nama Baghdad pada tahun 762. Itulah mengapa Baghdad juga disebut dengan
istilah “Madinah al-Manshur”.
Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M). Khalifah yang mengawali langkah sebagai
khalifah yang membawa Dinasti Abbasiyah menuju puncak kejayaan. Khususnya di bidang IPTEK. Pada periode ini juga,
Rabi’ah al-Adawiyah dan Imam Malik wafat.
Khalifah al-Makmun (813-833 M). Khalifah yang mengalahkan perebutan
kekhalifahan dengan saudaranya, al-Amin, yang konon dibunuh agar al-Makmun
dapat naik menjadi Khalifah. Al-Makmun
yang terpesona dengan paham Mu’tazilah, menjadikan Mu’tazilah sebagai paham
resmi negara. Salah satu efek besarnya adalah muncul Mihnah, yaitu al-Qur’an
adalah makhluk. Siapapun yang tidak setuju dengan paham al-Qur’an sebagai
makhluk, pasti akan dihukum oleh al-Makmun. Sungguh ironi besar, paham yang
dinilai sangat ‘mendewakan’ akal, justru mengekang akal!
Pada masa Seljuk (1065-1067 M),
berdirilah Madrasah Nizhamiyyah, mengacu pada nama wazirnya, Nizhamul Mulk.
Al-Juwaini [Imam Haramain, guru al-Ghazali] adalah ‘rektor pertama Nizhamiyah’,
yang kemudian dilanjutkan oleh al-Ghazali.
3.
Dinasti Mu’awiyyah Andalusia (Spanyol)
Penaklukan
Spanyol
Spanyol diduduki umat muslim pada masa
Khalifah al-Walid (705-715 M) dari Dinasti Umayyah. Sebelum penaklukan Spanyol,
umat muslim menguasai Afrika Utara sepenuhnya pada masa Khalifah Abdul Malik
(685-705 M). Pada masa al-Walid, gubernur Afrika Utara adalah Musa ibn Nushair.
Musa memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko.
Afrika Utara merupakan batu loncatan bagi umat muslim dalam penaklukan wilayah
Spanyol. Dalam proses penaklukan Spanyol, terdapat tiga pahlawan Islam yang
dapat dikatakan paling berjasa. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn
Ziyad dan Musa ibn Nushair. 20
Pengintaian pertama dilakukan pada bulan
Juli 710 M ketika Tharif mendarat di semenanjung kecil –membawa balatentara
berkekuatan 100 pasukan kavaleri (berkuda) dan 400 pasukan infanteri (berjalan
kaki)–. Saat ini, semenanjung itu disebut Tarifa atau Jazirah Tharif. Terdorong
oleh keberhasilan Tharif dan melihat adanya konflik penguasa di kerajaan
Spanyol Gothik Barat, Musa mengutus seorang budak Berber yang sudah dibebaskan,
Tharib ibn Ziyad, pada tahun 711 M ke Spanyol memimpin 7.000 pasukan. Thariq
mendarat di dekat gunung batu besar yang kelak mengabadikan namanya, Jabal
Thariq (Gibraltar). Dengan kekuatan tambahan, Thariq mengepalai 12.000 pasukan,
pada 19 Juli 711 M, untuk mengalahkan pasukan Gothik Barat yang berjumlah
25.000 orang di bawah pimpinan Raja Roderick. 21
Pasca kemenangan
gemilang terhadap pasukan Raja Roderick, Thariq dan pasukannya terus
menaklukkan kota-kota penting seperti Cordova, Granada dan Toledo. Inilah
alasan mengapa Thariq lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol, yaitu
memperoleh hasil yang lebih nyata. 22
Kemenangan yang dicapai oleh Thariq
membuka jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa
ibn Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran untuk
membantu perjuangan Thariq. Pada tahun 712 M, Musa bersama 10.000 tentara
bergerak menuju Spanyol. Akhirnya Musa berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona,
Seville dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothik, Theodomir di
Orihuela. Musa bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil
menguasai kota penting di Spanyol, termasuk bagian utara, mulai dari Saragossa
hingga Navarre. 23
Spanyol kemudian menjadi salah satu
provinsi kerajaan Islam. Nama Arab yang disandangnya adalah al-Andalus
yang secara etimologiss terkait dengan nama orang-orang Vandal yang telah
menduduki dataran ini sebelum umat muslim. Dalam waktu singkat, kurang lebih 7
(tujuh) tahun, penaklukan Spanyol sepenuhnya rampung. 24
Emirat Umayyah
di Spanyol
Tahun 750 M, Bani Abbasiyyah meraih
tampuk kekuasaan dengan ditandai pembantaian massal terhadap anggota keluarga
Umayyah. Meskipun demikian, ada segelintir orang yang luput dari pembantaian,
salah satunya adalah Abdurrahman ibn al-Mu’awiyah, cucu Hisyam, khalifah
kesepuluh Dinasti Umayyah Damaskus. Saat itu, Abdurrahman masih berusia 20
tahun dan selama lima tahun menyamar dalam pengembaraan melewati Palestina,
Mesir, Afrika Utara hingga akhirnya sampai di Ceuta (Spanyol). Bekerjasama
dengan orang-orang Suriah, Abdurrahman berhasil menguasai Andalusia setelah
menaklukkan Gubernur Yusuf. 25
Di bawah kekuasaan Abdurrahman I yang
cukup puas menyandang gelar amir, meskipun sebenarnya memiliki kekuasaan
yang independen, Spanyol menjadi provinsi pertama yang menggoyang otoritas
Dinasti Abbasiyah yang diakui oleh sebagian besar dunia Islam. Setelah relatif
berhasil menciptakan konsolidasi dan ketentraman di tengah masyarakat,
Abdurrahman memusatkan perhatiannya pada pengembangan seni dan peradaban. Dua
tahun sebelum kematiannya, Abdurrahman membangun kembali Masjid Kondova. Masjid
ini kemudian diubah menjadi sebuah katedral Kristen pada saat penaklukan
kembali oleh Ferdinand III pada tahun 1236 M dan bertahan hingga sekarang
dengan nama populer “La Mezquita” yang berarti masjid. Abdurrahman juga
memperhatikan terciptanya kesejahteraan material bagi rakyatnya; menciptakan
kesatuan nasional antara orang Arab, Suriah, Berber, Numidia, Spanyol-Arab dan
Gothik; serta memprakarsai gerakan intelektual yang membuat Spanyol-Islam dari
abad ke-9 sampai ke-11 menjadi salah satu pusat kebudayaan dunia. 26
Dinasti Umayyah yang didirikan oleh
Abdurrahman I, yang dijuluki “al-Dakhil”, bertahan selama 2 ¾ abad (756-1031
M). Dinasti ini mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan amir kedelapan,
Abdurrahman III (912-961), yang terkuat dan menjadi orang pertama yang
menyandang gelar Khalifah Dinasti Umayyah Spanyol pada 929 M. Faktanya,
kekuasaan Khalifah Abdurrahman III menjadi puncak epos Arab di semenanjung ini.
Lalu mulai kemunduran setelah kematian pejabat berbakat, al-Hajib al-Manshur
(1002) yang mungkin merupakan jenderal dan negarawan terbesar di kawasan
Spanyol-Arab. Kekhalifahan Spanyol musnah sepenuhnya pada 1031 M. Kemudian
dengan jatuhnya Granada pada 1492 M, sisa-sisa akhir kekuasaan muslim lenyap
selamanya dari semenanjung ini. 27
4.
Dinasti Fatimiyah Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan di Tunisia
tahun 909 M, sebagai tandingan Bani Abbasiyah di Baghdad. Didirikan oleh Sa’id
ibn Husayn. Setelah menaklukkan Dinasti Aghlabiyah yang merupakan kubu terakhir
kekuatan Islam-Sunni di wilayah Afrika, Sa’id memproklamirkan diri sebagai
penguasa dengan julukan “Imam Ubaydullah al-Mahdi” dan mengklaim sebagai keturunan
Fatimah melalui al-Husayn. Dinasti yang didirikan ini sering disebut Dinasti
al-Ubaydiyah, khususnya oleh mereka yang tidak mempercayainya sebagai keturunan
Fatimah. Selanjutnya Ubaydullah (909-934 M) menegakkan pemerintahannya di
istana Aghlabiyah. Setelah menaklukkan hampir seluruh wilayah Afrika, dari
Maroko hingga perbatasan-perbatasan Mesir, akhirnya pada tahun 920 M,
Ubaydullah memindah pusat pemerintahannya ke ibukota baru, al-Mahdiyyah yang
didirikan di pesisir Tunisia dan dinamai dengan namanya sendiri. 28
Pada tahun 969, Jawhar al-Shiqilli
(orang Sisilia) berhasil menaklukkan ibukota Fusthath; kemudian segera
mendirikan markas baru yang diberi nama al-Qahirah (Keagungan). Kota ini, Kairo
modern, menjadi pusat kota Dinasti Fatimiyah sejak 973. Setelah mendirikan
ibukota baru, tahun 972, Jawhar mendirikan Masjid Agung al-Azhar (Yang
Bercahaya), yang kemudian oleh Khalifah al-‘Aziz dikembangkan menjadi
universitas besar. 29
Puncak kejayaan Dinasti Fatimiyah adalah
pada masa Abu Manshur Nizar al-‘Aziz (975-996 M). Ia adalah khalifah Fatimiyah
kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Di bawah
kekuasaannya, Dinasti Fatimiyah telah menenggelamkan Dinasti Abbasiyah di
Baghdad dan berhasil menempatkan Dinasti Fatimiyah sebagai negaa Islam terbesar
di kawasan Mediterania Timur. 30
Kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan
cepat terjadi setelah kekuasaan al-‘Aziz. Keruntuhan itu dimulai dengan
munculnya kebijakan mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro.
Ketidak-patuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian
dengan pasukan dari suku Berber, menjadi salah satu sebab utama keruntuhan
Dinasti Fatimiyah. Adalah para prajurit dan budak-budak yang berasal dari
Sircasse dan Turki yang kemudian merebut kekuasaan puncak dari kelurga
Fatimiyah, kemudian mendirikan dinasti-dinasti baru. 31
5.
Dinasti Moghul India
Mogul adalah dinasti Islam yang pernah
berkuasa di India dari abad ke-16 hingga abad ke-19. Dinasti ini didirikan oleh
Zahiruddin Muhammad Babur yang merupakan keturunan Timur Lenk, penguasa Islam
asal Mongol. Dinasti Mogul berperan besar bagi pengembangan agama Islam di
India, mulai dari bidang sastra hingga arsitektur. 32
Dinasti Moghul bukanlah kerajaan Islam
pertama di anak benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada
masa Khalifah al-Walid, dari Dinasti Bani Umayyah. Wilayah ini ditaklukkan oleh
tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim. Kerajaan Moghul
dengan Delhi sebagai ibu kota, didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M),
salah satu dari cucu Timur Lenk. 33
Pada mulanya, Babur hanya mewarisi
daerah Ferghana dari orangtuanya. Lalu dia berhasil menaklukkan Samarkand tahun
1494 M dan menduduki Kabul, ibu kota Afghanistan pada 1504 M. Selanjutnya Babur
meneruskan ekspansi ke India. Pada tahun 1525 M, Babur berhasil menguasai
Punjab dengan ibu kotanya Lahore; kemudian pada 1526 M, Babur berhasil memasuki
kota Delhi sebagai pemenang dan menegakkan pemerintahan di sana. Dengan
demikian, berdirilah Dinasti Moghul di India. 34
Babur memerintah selama 30 tahun, lalu
dilanjutkan oleh putra sulungnya, Humayun (1530-1539 M). Selama masa
kekuasaanya selama sembilan tahun, neara tidak pernah aman. Lalu Humayun
digantikan oleh anaknya, Akbar, yang berusia 14 tahun. Pada masa Akbar inilah,
Dinasti Moghul mencapai masa keemasannya. Akbar berhasil menguasai Chundar,
Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir,
Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar dan Asirgah. Wilayah yang sangat
luas ini diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik, yaitu sultan sebagai
penguasa diktator. Akbar juga menerapkan politik sulakhul (toleransi universal). Dengan politik ini,
semua rakyat India dipandang sama, tanpa memandang etnis dan agama. 35
Kemantapan stabilitas politik pada masa
Akbar membawa kemajuan dalam bidang-bidang lain. Dalam bidang ekonomi, Dinasti
Moghul dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan dan perdagangan.
Akan tetapi, sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor
pertanian. Hasil pertanian Dinasti Moghul yang terpenting adalah biji-bijian,
padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nilai dan
bahan-bahan celupan. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu
juga diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia dan Asia Tenggara, bersamaan dengan hasil
kerajinan seperti pakaian tenun dan kain tipis yang banyak diproduksi di
Gujarat dan Bengal. 36
6.
Dinasti Safawi Persia
Safawi, kerajaan yang didirikan Syah
Isma’il (907 H / 1501 M), dinisbatkan kepada Tareka Safawiyah yang didirikan
oleh Syekh Safiuddin Ishaq (650-735 H / 1252-1334 M) di Ardabil pada 1300-an.
Dalam perkembangan-nya, Tareka Safawiyah cenderung beralih dari lembaga tasawuf
menjadi aliran agama yang cenderung kepada geraka politik dan kekuasaan.
Setelah berkuasa selama lebih dari 2 (dua) abad, Dinasti Safawi semakin
melemah. Wilayah propinsi yang demikian luas menimbulkan proses pelemahan
sistem pertahanan militer. Akhirnya pasukan Afghan menguasai Dinasti Syafawi
pada 1722 M. 37
Dinasti Safawi menyatakan Syi’ah sebagai
mazhab negara. Karena itu, Dinasti Safawi dianggap sebagai peletak dasar
terbentuknya negara Iran dewasa ini. Sebenarnya, Dinasti Safawi berasal dari
sebuah gerakan Tarekat Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di
Azerbaijan. Pendirinya adalah Safi al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi ini
terus dipertahankan hingga tarekat ini menjadi gerakan politik, bahkan hingga
menjadi Dinasti. 38
Safi al-Din adalah keturunan dari Imam
Syi’ah yang keenam, Musa al-Kazhim. Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah
pada tahun 1301 H. Setelah berkembang menjadi gerakan keagamaan yang besar
pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia; para murid tarekat Safawiyah
berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang
setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah. Kencenderungan memasuki dunia
politik dapat terwujud pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Kemudian
Juneid terbunuh dalam pertempuran untuk merebut Sircassia (1460) melawan
tentara Sirwan. Setelah itu gerakan Safawi diserahkan kepada putranya, Haidar. Dari
perkawinan Haidar dan putri Uzun Hasan, lahirlah Isma’il yang di kemudian hari
menjadi pendiri Dinasti Safawi di Persia. 39
Di bawah pimpinan Isma’il, pada tahun
1501 M, pasukan Qizilbash (baret merah) menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di
Sharur, dekat Nakhchivan. Pasukan itu akhirnya berhasil menaklukkan Tabriz, ibu
kota AK Koyunlu. Di kota inilah Isma’il (disebut juga Isma’il I)
memproklamirkan diri sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Isma’il I selama 23
tahun (1501-1524 M). Pada sepuluh tahun pertama, Isma’il berhasil memperluas
kekuasaannya hingga ke Baghdad, Sirwan dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh
tahun saja, wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur
Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent). 40
Selanjutnya Isma’il I menghadapi musuh
yang sangat kuat sekaligus sangat membenci golongan Syi’ah, yaitu Turki
Utsmani. Akhirnya terjadi peperangan dengan Turki Utsmani pada 1514 M di
Chaldiran, dekat Tabriz. Dalam peperangan ini Isma’il I mengalami kekalahan.
Peperangan dengan Turki Utsmani ini berlanjut pada masa pemerintahan Tahmasp I
(1524-1576 M), Isma’il II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M).
Pada masa tiga raja ini, Dinasti Safawi dalam keadaan lemah. Kondisi
memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja kelima, Abbas I, naik tahta.
Dia memerintah dari tahun 1588-1628 M. Abbas I mengadakan perjanjian damai
dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian itu, Abbas I terpaksa harus
menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia dan sebagian wilayah Luristan. Di
samping itu, Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam
Islam (Abu Bakar, Umar dan Utsman) dalam khutbah-khutbah Jum’at. 41
Setelah berhasil membuat Dinasti Safawi
kuat kembali, Abbas I berusaha merebut kembali wilayah kekuasaannya yang
hilang. Setelah menaklukkan Herat, Marw dan Balkh, Abbas I mengerahkan
serangannya ke wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Pada tahun 1602 M, Abbas I
berhasil menguasai Tabriz, Sirwan dan Baghdad. Selanjutnya pada tahun 1622 M, Abbas
I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi
pelabuhan Bandar Abbas. Masa Abbas I merupakan puncak kejayaan Dinasti Safawi.
Buktinya adalah Abbas I berhasil menciptakan stabilitas politik dan memacu
perkembangan ekonomi. Dengan dikuasainya Bandar Abbas, maka salah satu jalur
dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda,
Inggris dan Perancis, sepenuhnya menjadi milik Dinasti Safawi. Selain itu,
Dinasti Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian, terutama di daerah
Bulan Sabit Subur. 42
7.
Dinasti ‘Utsmani Turki
Utsmani adalah sebuah kesultanan yang
berpusat di Istanbul, Turki, salah satu dari tiga dinasti besar Islam pada
waktu itu, di samping Safawi dan Mogul. Utsmani menjadi negara adikuasa setelah
menaklukkan Bizantium (1453 M), yang penting terutama untuk mengembangkan
wilayah Islam. Dinasti Utsmani berkuasa lebih dari 6 (enam) abad. Wilayah
kekuasaannya meliputi sebagian Asia, Afrika dan Eropa. Puncak kejayaan Utsmani
berlangsung pada masa pemerintahan Sulaiman I (1520-1566). Setelah itu, Utsmani
semakin lemah karena pemberontakan internal dan kalah perang melawan bangsa
Eropa. Dinasti Utsmani akhirnya diganti dengan Republik Turki. 43
Pendiri Dinasti Utsmani adalah bangsa
Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri
Cina. Dalam jangka waktu tiga abad, mereka pindah ke Turkistan, kemudian Persia
dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika
mereka menetap di Asia Tengah. Di dataran tinggi Asia Kecil, di bawah pimpinan
Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk
yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka,
Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin memberi
hadiah sebidah tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu,
mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.
44
Ertoghrul wafat pada 1289 M. Kepemimpinan
dilanjutkan oleh putranya, Utsman. Dialah yang dianggap sebagai pendiri Dinasti
Utsmani. Utsman memerintah antara tahun 1290 dan 1326 M. Utsman banyak berjasa
kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng
Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol
menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Utsman pun akhirnya
menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang diduduki. Sejak
itulah, Dinasti Utsmani dinyatakan berdiri dengan penguasa utamanya Utsman yang
dikenal dengan Utsman I. 45
Utsman I mengumumkan dirinya sebagai
Padisyah al-Utsman (raja besar keluarga Utsman) tahun 1300 M. Dia pun
memperluas wilayahnya dengan menaklukkan kota Broessa pada tahun 1317 M dan dijadikan
ibu kota pada tahun 1326 M. Pada masa pemerintahan Orkhan (1326-1359 M),
Dinasti Utsmani berhasil menaklukkan Azmir, Thawasyanli, Uskandar, Ankara dan
Gallipoli. Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki
Dinasti Utsmani. Pengganti Orkhan, Murad I (1359-1389 M), melakukan perluasan
ke Benua Eropa. Ia dapat menaklukkan Andrianopel –yang kemudian dijadikan
sebagai ibu kota baru–, Macedonia, Sopia, Salonia dan seluruh wilayah bagian
utara Yunani. Merasa cemas dengan ekspansi Dinasti Utsmani ke Eropa, Paus
mengobarkan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan
untuk memukul mundur dengan dipimpin
Sijisman, Raja Hongaria. Namun, Sultan Bayazid I (1389-1403), pengganti Murad I,
dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa dengan kemenangan gemilang.
Selanjutnya ketika ekspansi diarahkan ke Konstantinopel, tentara Mongol yang
dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi
di Ankara pada 1402 M. Tentara Utsmani mengalami kekalahan; Bayazid bersama
putranya, Musa, tertawan dan wafat dalam tawanan pada 1403 M. Kekalahan di
Ankara ini membuat penguasa-penguasa Seljuk di Asia Kecil melepaskan diri dari
Dinasti Utsmani. Pada saat itu pula, putra-putra Bayazid saling berebut
kekuasaan. 46
Suasana buruk berakhir setelah Sultan
Muhammad I (1403-1421 M) dapat mengatasinya. Setelah Timur Lenk meninggal dunia
pada 1405 M dan kerajaan Mongol terpecah-belah, maka Dinasti Utsmani
memanfaatkannya dengan melepaskan diri dari kekuasaan Mongol. Selanjutnya usaha
pertama Sultan Muhammad I adalah mengadakan perbaikan dan meletakkan
dasar-dasar keamanan dalam negeri. Lalu dilanjutkan oleh Murad II (1421-1451 M)
hingga Dinasti Utsmani mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Muhammad II
atau Muhammad Al-Fatih (1451-1484 M). 47
Muhammad Al-Fatih dapat mengalahkan
Bizantium dan menaklukkan Konstantinopel pada 1453 M. Dengan terbukanya
Konstantinopel sebagai benteng pertahanan terkuat Bizantium, lebih mudahlah
arus ekspansi ke Benua Eropa. Akan tetapi, ketika Sultan Salim I (1512-1520 M)
naik tahta, ia mengalihkan perhatian ke timur dengan menaklukkan Persia, Syiria
dan Mamalik di Mesir. Lalu dikembangkan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni
(1520-1566 M). Sulaiman al-Qanuni berhasil merebut Irak, Belgrado, Pulau
Rhodes, Tunis, Budapes dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Dinasti Utsmani
pada masa Sultan Sulaiman al-Qanuni mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syiria,
Hijaz dan Yaman di Asia; Mesir, Libya, Tunis dan Aljazair di Afrika; Bulgaria,
Yunani, Yugoslaviam Albania, Hongaria dan Rumania di Eropa. Setelah Sultan
Sulaiman wafat, terjadilah perebutan kekuasaan antar putra-putranya, yang
menyebabkan Dinasti Utsmani mundur. Akan tetapi, untuk masa beberapa abad masih
dipandang sebagai negara kuat, terutama dalam bidang militer. Dinasti Utsmani
masih bertahan lima abad setelah itu. 48
8.
Era Penjajahan
Hubungan antara Islam dan Barat telah
menjadi bagian dari proses sejarah Islam. Hubungan itu terkadang berlangsung
dalam suasana damai, seperti dalam dunia ilmu pengetahuan, terkadang pula menampilkan
banyak konflik. Para sejarawah sering mengemukakan adanya kesinambungan dan
perubahan dalam kedatangan Barat ke dunia Islam, baik pada Zaman Pertengahan
maupun Zaman Modern. 49
E.
MASA KEBANGKITAN
Gerakan kebangkitan kembali Islam paling
tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan
ulama bahwa banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan diterima sebagai ajaran
Islam, padahal ajaran-ajaran tersebut bertentangan sengan semangat ajaran
Islam. Menurut mereka, inilah yang membawa Islam menjadi mundur. Kedua,
Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan
Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka, sehingga mereka
berusaha bangkit untuk menciptakan balance of power.50
Dengan
kata lain, usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam didorong oleh dua
faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur
asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimba
gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. 51
Gerakan pembaruan Islam juga memasuki
dunia politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah Pan-Islamisme
(persatuan Islam sedunia) yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah
dan Sanusiyah, lalu disuarakan dengan lantang oleh Jamaluddin al-Afghani
(1839-1897). Al-Afghani dinilai sebagai orang pertama yang menyadari sepenuhnya
akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh sebab itu, al-Afghani berusaha
memperingatkan umat muslim serta membangkitkan semangat lokal dan nasional
negeri-negeri Islam, sehingga al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme
dalam Islam. 52
Penguasa baru Turki, Mustafa Kemal,
mendukung penuh gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada bangsa dan negara.
Kemudian gagasan nasionalisme masuk ke negeri-negeri muslim melalui persentuhan
umat muslim dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya
pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Barat atau lembaga-lembaga pendidikan
“Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan nasionalisme yang semula
banyak mendapat tantangan dari para pemuka agama Islam karena dipandang tidak
sejalan dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah, namun akhirnya ia
berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup. 53
Gerakan nasionalisme menyebar ke
berbagai negara Arab, sehingga muncul gerakan nasionalisme Arab yang terbentuk
atas dasar kesamaan bahasa. Demikian ini terjadi di Mesir, Syiria, Libanon,
Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrain dan Kuwait. Semangat persatuan
Arab ini semakin diperkuat oleh usaha Barat untuk mendirikan negara Yahudi
(Israel) di tengah-tengah negara yang dihuni mayoritas Arab. Pada tanggal 12
Maret 1945, mereka berhasil mendirikan Liga Arab. Di India, gagasan
Pan-Islamisme didukung oleh Syed Amir Ali (1848-1928); gerakan nasionalisme
diwaliki oleh Partai Kongres Nasional India; sedangkan gerakan Islamisme
disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres India.
Sebenarnya, benih-benih gagasan Islamisme sudah ada sebelum Liga Muslimin
berdiri, yang dilontarkan oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), lalu mengkristal
pada masa Iqbal (1876-1938) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948). Di Indonesia,
partai politik besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat Islam (SI) yang didirikan
tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. SI merupakan kelanjutan dari
Sarekat Dagang Islam yang didirikan H. Samanhudi tahun 1911. Kesimpulannya,
gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk membebaskan diri dari
kekuasaan penjajah Barat telah bangkit di berbagai negara Islam. 54
Munculnya gagasan nasionalisme yang
diikuti berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat muslim
dalam mewujudkan negara merdeka. Faktanya, partai-partai itulah yang berjuang
memerdekakan negara melalui beberapa kegiatan, antara lain: Pertama,
gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata. Kedua,
pendidikan serta propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat untuk
menyambut dan mengisi kemerdekaan. 55
Negara mayoritas muslim yang pertama
kali berhasil memproklamirkan kemerdekaannya adalah Indonesia. Negara kedua
adalah Pakistan yang merdeka dari Inggris pada 15 Agustus 1947 dengan presiden
pertama, Muhammad Ali Jinnah. Mesir resmi memperoleh kemerdekaan dari Inggris
tahun 1922. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Raja Faruk, pengaruh Inggris
masih besar, sehingga Mesir merasa benar-benar merdeka setelah menggulingkan
Raja Faruk pada 23 Juli 1952. Demikian halnya, secara formal Irak merdeka tahun
1932; namun rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka tahun 1958. Sebelum
itu, Syiria, Jordania dan Sudan merdeka tahun 1946. Lybia merdeka tahun 1951;
Sudan dan Maroko tahun 1956; Aljazair tahun 1962. Semuanya merdeka dari
Perancis. Pada waktu hampir bersamaan, Yaman dan Emirat Arab memperoleh
kemerdekaan pula. Malaysia yang waktu itu masih mencakup Singapura, merdeka
dari Inggris tahun 1957 dan Brunai Darussalam merdeka tahun 1984. Ada pula
beberapa negara yang baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti
negara-negara Islam yang dulunya bersatu dalam Uni Soviet, seperti Uzbekistan,
Turkmenia, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan dan Azerbaijan pada tahun 1992;
sedangkan Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia tahun 1992. Jadi, satu per
satu negara-negara Islam memerdekakan diri dari penjajahan. Meskipun demikian,
hingga saat ini masih ada penduduk minoritas muslim yang berharap mendapatkan
otonomi sendiri, seperti Moro di Filipina dan Kasymir di India. 56
CATATAN KAKI
1 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW: Dalam Sorotan
al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 29.
2 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 32-33.
3 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 36-40.
4 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 43-44.
5 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 45-46.
6 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 48.
7 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 82-83.
8 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 83.
9 MannaÊ» al-Qaththan, Tarikh al-TasyriÊ» al-Islami, h. 27.
10 Keyakinan Zoroaster ini semakin menjadi-jadi ketika muncul
pembaharu mereka yang bernama Mazdak. Mazdak meyakini bahwa perang lebih banyak
disebabkan oleh faktor harta dan wanita; oleh karena itu, ‘ajaran’ Mazdak
menilai bahwa umat manusia harus berbagi harta dan wanita satu sama lain (Ibid.,
h. 27-28).
11 Ibid., h.
28.
12 Ibid., h.
29-30.
13 ‘Abd ‘al-‘Azhim Syarf al-Din, Tarikh al-TasyriÊ» al-Islami (Kairo: al-‘Arabi, 1985), 41-48.
14 Taufik Abdullah [et al],
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah [Jilid 2] (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 7.
15 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah
[Jilid 2], h. 35.
16 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah
[Jilid 2], h. 63-65.
17 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Penerjemah oleh Abu Laila
dan Mohammad Tohir) (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 99.
18 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, h. 99-100.
19 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah
[Jilid 2], h. 81.
20 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 87-88.
21 Philip K. Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling
Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam (Penerjemah oleh Cecep dan Dedi)
(Jakarta: Serambi, 2013), h. 627-628.
22 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 89-90.
23 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 145. Philip K. Hitti, History
of the Arabs, h. 630-631.
24 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 633.
25 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 642-644.
26 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 646-647.
27 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 647-648.
28 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 787-789.
29 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 790.
30 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 791.
31 Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 792.
32 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah
[Jilid 2], h. 281.
33 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 145.
34 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 147.
35 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 148-149.
36 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 150.
37 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah
[Jilid 2], h. 263.
38 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 138.
39 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 138-140.
40 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 141.
41 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 142-143.
42 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 143-144.
43 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah
[Jilid 2], h. 231.
44 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 129-130.
45 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 130.
46 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 131.
47 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 131-132.
48 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 132-133.
49 Taufik Abdullah [et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah
[Jilid 2], h. 303.
50 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008), h. 173-174.
51 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 184.
52 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 185.
53 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 185-186.
54 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 186-187.
55 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 187-188.
56 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 188-189.