Kurikulum Ideal versus Aktual
Dr. Rosidin, M.Pd.I
Ilustrasi Kurikulum Ideal versus Aktual |
Relasi antara kurikulum
ideal dengan kurikulum aktual bagaikan relasi antara cita-cita dan fakta.
Misalnya, kurikulum ideal mencita-citakan semua siswa mencapai standar KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal), namun kurikulum aktual menunjukkan fakta bahwa
tidak semua siswa mampu mencapai standar KKM.
Hal ini dikarenakan kurikulum
ideal masih steril dari berbagai halangan dan rintangan, sedangkan kurikulum
aktual kerap menemui aneka halangan dan rintangan.
Kurikulum ideal memang
disusun dengan mempertimbangkan landasan filosofis, psikologis, dan
sosial-budaya, termasuk perkembangan IPTEK. Namun kurikulum ideal tidak dapat
memprediksi secara tepat dan persis, apa saja halangan dan rintangan yang akan menjadi
problem dalam kurikulum aktual.
Oleh sebab itu, problem solving sering bersifat
represif, alih-alih preventif. Akibatnya, penyelesaian problem menunggu
datangnya problem, sehingga cenderung reaktif, spontan, sporadis bahkan
terkesan “tambal-sulam”.
Misalnya, problem siswa yang tidur atau tertidur
ketika proses pembelajaran berlangsung, masih belum ada penanganan “sistemik”
yang dilakukan secara masif oleh semua guru, melainkan hanya penanganan
kasuistik sesuai dengan selera guru masing-masing.
Menarik untuk
mencermati perilaku sejumlah pelatih top sepakbola yang tidak hanya menyiapkan
satu strategi permainan, melainkan banyak strategi permainan, sehingga ada plan
A, plan B, plan C, dan seterusnya. Inilah yang kiranya dapat diterapkan
dalam konteks kurikulum ideal.
Tegasnya, kurikulum ideal menyajikan aneka
alternatif solusi atas problem-problem faktual maupun potensial dalam kurikulum
aktual. Misalnya, kurikulum ideal mendaftar problem-problem faktual yang pernah
terjadi berdasarkan skala intensitas: “sering” (seperti tidur), “terkadang”
(seperti siswa bercengkrama dengan siswi di luar kelas), “jarang” (seperti siswa
membawa smartphone ke sekolah).
Serta memprediksi problem-problem potensial
berdasarkan tingkat mudaratnya: “sekolah” (seperti tertangkap basah berbuat
asusila ketika sedang berseragam sekolah), “kelas” (seperti kesepakatan seluruh
siswa untuk tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru), “siswa” (seperti siswa
gemar bertutur-kata kotor atau misuh).
Setelah mendata aneka
problem faktual dan potensial tersebut, kurikulum ideal menyajikan aneka
alternatif solusi yang bersifat sistemik, sehingga dapat dijadikan sebagai
panduan oleh seluruh guru dalam menangani suatu problem.
Misalnya, untuk mengatasi
siswa yang tidur atau tertidur ketika proses pembelajaran, diberlakukan tiga jenis
intervensi (penanganan) secara berurutan. Pertama, berdiri dari tempat
duduknya selama tiga menit. Kedua, ditunjuk menjawab satu soal di depan
kelas. Ketiga, diberi tugas tambahan mencatat, menghafal atau
mempraktikkan materi pelajaran.
Sedangkan implementasi kurikulum
aktual dapat memanfaatkan perspektif empat sifat kenabian.
Pertama,
integritas (al-shiddiq). Yaitu keselarasan antara kurikulum ideal dengan
kurikulum aktual. Jangan sampai kurikulum ideal hanya sekedar menjadi citra
yang tidak terbukti dalam fakta. Misalnya, dalam kurikulum ideal disebutkan
bahwa pembelajaran berbasis siswa aktif, namun dalam kurikulum aktual justru
guru yang mendominasi pembelajaran.
Kedua, profesional (al-amanah).
Yaitu seluruh pihak yang terlibat dalam implementasi kurikulum aktual
menjalankan tugas-tugas dan tanggung-jawabnya sesuai kurikulum ideal. Misalnya,
kepala sekolah memberikan supervisi, guru kaya strategi pedagogik dan siswa menaati
tata tertib sekolah.
Ketiga, komunikatif (al-tabligh). Yaitu
komunikasi yang efektif di antara para pelaku kurikulum aktual. Misalnya, pimpinan
memberi rincian tugas dan tanggung-jawab yang jelas kepada bawahan, sehingga
tidak menimbulkan ambiguitas atau multi-tafsir.
Keempat, jenial (al-fathanah).
Yaitu kreatif dan solutif dalam implementasi kurikulum aktual, sehingga proses
edukasi berjalan menarik dan efektif. Misalnya, guru menerapkan metode
pembelajaran terkini yang terbukti menarik dan efektif, seperti metode Quantum
Learning.
Catatan lain yang perlu
dikemukakan di sini adalah peran kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
Kurikulum tersembunyi adalah kurikulum yang tidak tercantum dalam kurikulum
ideal, namun berfungsi menunjang realisasi kurikulum ideal.
Boleh dikatakan
bahwa kurikulum tersembunyi yang bersifat implisit ini, berfungsi sebagai
pelengkap bagi kurikulum aktual yang bersifat eksplisit. Misalnya, guru
memotivasi para siswa agar rajin membaca (kurikulum aktual) dan dia sendiri
menampilkan profil yang memberi kesan hobi membaca di hadapan para siswa
(kurikulum tersembunyi), seperti mengutip banyak buku ketika menjelaskan suatu
materi pelajaran.
Ada slogan dalam
komunikasi bahwa “semakin implisit suatu pesan, maka semakin efektif”. Slogan
ini memperkokoh posisi kurikulum tersembunyi dalam proses edukasi. Misalnya,
apabila guru sering menasihati bahkan melarang siswa laki-laki untuk bergaul
dengan siswi perempuan, namun dia sendiri sering terlihat bercengkrama dengan
guru lawan jenis ketika sedang berada di kantor maupun area sekolah, maka
nasihat atau larangannya yang bersifat eksplisit tersebut akan dikalahkan oleh
perilakunya yang bersifat implisit.
Hal ini selaras dengan kata mutiara Arab
yang berbunyi: Lisan al-hal, afshahu min lisan al-maqal yang berarti Bahasa
perilaku (keteladanan) lebih efektif dibandingkan bahasa lisan (nasihat).
Sebagai penutup, ada
tiga hal yang perlu diperhatikan terkait bahasan kurikulum ideal, aktual dan
tersembunyi.
Pertama, tingkat ketercapaian kurikulum ideal dalam
implementasi kurikulum aktual, jika dilihat dari perspektif Surat Fathir [35]:
32, dapat dipilah menjadi tiga: “melampaui target” (sabiq; juara),
“sesuai target” (muqtashid; lulus), “di bawah target” (zhalim;
gagal).
Kedua, kurikulum itu ibarat resep masakan. Dari sini dapat
dipahami bahwa gonta-ganti kurikulum itu bagaikan gonta-ganti resep masakan
yang tiada bermakna, jika mentalitas para kokinya masih tetap sama,
anti-perubahan. Dalam konteks ini, pimpinan lembaga dan dewan guru merupakan
“para koki” yang menjadi ujung tombak sukses-tidaknya “resep masakan” kurikulum
yang disajikan kepada para siswa sebagai konsumen.
Di sinilah letak
signifikansi upaya perbaikan kompetensi pimpinan dan dewan guru secara
berkelanjutan, baik kompetensi lahiriah, lebih-lebih ruhaniah. Hal ini sesuai
dengan kata mutiara salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, KH.
Hasan Abdullah Sahal: Al-Thariqah ahammu min al-maddah; wa al-mudarris
ahammu min al-thariqah; wa ruh al-mudarris ahammu min nafsihi yang berarti Metode
pembelajaran lebih penting daripada materi pelajaran; guru lebih penting
daripada metode pembelajaran; dan jiwa guru lebih penting daripada fisiknya.
Ketiga, kurikulum hanyalah sekedar alat
atau sarana pendidikan, sedangkan tujuan pendidikan adalah membantu
perkembangan manusia menuju yang terbaik (insan kamil). Oleh sebab itu,
penerapan kurikulum seharusnya tidak bersifat kaku (rigid) atau
birokratif layaknya batu yang keras, melainkan bersifat luwes (flexible)
layaknya air yang cair, asalkan tujuan pendidikan dapat tercapai secara optimal.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.