Memperbarui Niat (Tajdidun Niat)
Rosidin
Tulisan
ini menyasar pembinaan kualitas spiritual. Tema Pembaruan niat (Tajdidun Niat) patut diperbincangkan. Pertanyaannya adalah, apa
niat kita dalam menjalani setiap aktivitas? Sudah benarkah niat kita tersebut?
Dalil yang selalu hadir dalam benak setiap
kali mengkaji masalah niat adalah Hadis riwayat ‘Umar bin Khaththab RA:
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar
bin Khatthab RA berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
setiap perbuatan itu tergantung niatnya (dalam riwayat lain: tergantung
niat-niatnya), dan bagi setiap orang, (memperoleh) apa yang dia niati. Maka
barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia peroleh, atau karena
wanita yang ingin dia nikahi; maka hijrahnya adalah menuju apa yang dia
niatkan”. (HR. Bukhari-Muslim).
Jika
ditelisik secara mendalam, Hadis di atas menyangkut empat jenis niat yang
menjadi pijakan dalam setiap aktivitas manusia. 1) Niat karena Allah SWT dan
Rasulullah SAW; 2) Niat karena faktor insani, entah demi pasangan hidup, anak
maupun keluarga; 3) Niat karena faktor non-insani, baik dalam bentuk harta,
jabatan hingga popularitas; 4) Niat karena faktor kepentingan pribadi atau
egoisme niat. Jika diringkas, niat itu sebenarnya hanya ada dua jenis, yaitu
niat demi Khaliq –Allah SWT– dan demi
makhluk. Dari dua pilihan ini, sering kali kita terjebak memilih niat demi
makhluk.
Contoh
kesalahan dalam niat antara lain: Seorang siswa belajar demi meraih ilmu,
padahal ilmu adalah secuil dari Asma’ul Husna, al-‘Alim; seorang guru
mengajar demi harta, padahal harta adalah secuil dari Asma’ul Husna, al-Ghani;
seorang pegawai bekerja demi menafkahi keluarga, padahal nafkah keluarga adalah
secuil dari Asma’ul Husna, al-Razzaq; seorang pimpinan bekerja demi
jabatan, padahal jabatan adalah secuil dari Asma’ul Husna, al-Malik;
seorang pejabat bekerja demi popularitas, padahal popularitas adalah secuil
dari Asma’ul Husna, al-Rafi’; demikian seterusnya.
Mengingat
ilmu, harta, keluarga, jabatan dan popularitas sering menjadi niat dalam
aktivitas manusia, maka penting untuk menengok pesan Qur’ani berikut:
Allah Mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui (Q.S. Baqarah [2]: 216)
Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan
kalian itu fakir (Q.S. Muhammad [47]: 38)
Kamilah yang akan memberi rezeki kepada
mereka dan juga kepadamu (Q.S. al-Isra’ [17]: 31)
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang
mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 26)
Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat (Q.S. al-An’am [6]: 83)
Kelima
ayat di atas secara tersurat maupun tersirat menunjukkan bahwa Allah SWT adalah
satu-satunya penjamin terwujudnya ilmu, harta, nafkah keluarga, jabatan maupun
popularitas. Logikanya, daripada kita niat demi meraih salah satu atau bahkan
kelima hal tersebut, jauh lebih efektif dan efisien jika kita niat demi Allah
SWT.
Perbedaan
niat beraktivitas antara demi Allah SWT dengan demi makhluk juga berbeda
efeknya. Jika seseorang berniat demi makhluk –termasuk demi kepentingan
pribadi– niscaya dia akan berkutat pada dua sikap negatif, yaitu jika berhasil
akan berdampak kepongahan; dan jika gagal akan berdampak sikap frustasi atau
putus asa. Coba tengok, berapa banyak orang yang mengklaim bahwa dialah ‘kunci
kesuksesan’ kesejahteraan masyarakat, meroketnya perusahaan, membludaknya
peminat lembaga pendidikan, bahkan kerap muncul statemen ‘jika bukan karena
saya, niscaya tidak akan pernah sukses’. Sebaliknya, berapa kasus bunuh diri
yang sudah kita baca, dengar atau lihat di berbagai media massa, mulai dari
sebab-sebab ekonomi, politik hingga asmara.
Lain
halnya jika seseorang berniat demi Allah SWT, maka dia tidak akan pernah merasa
menjadi ‘kunci kesuksesan’ maupun terpuruk pada jurang keputus-asaan. Mari
simak rangkaian ayat berikut ini: Ketika Sayyidina Abu Bakar merasa
bahwa tidak ada lagi jalan keluar, sehingga hampir-hampir saja putus asa,
Rasulullah SAW menenangkan dengan kalimat yang meneduhkan:
Janganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah beserta kita (Q.S. al-Taubah [9]: 40)
Sebaliknya, ketika salah seorang sahabat Nabi Sulaiman AS diberi
anugerah mampu memindahkan tahta Ratu Bilqis dalam sekejap mata, dia
berkomentar dengan penuh kerendahan hati, tanpa terbersit kesan pongah sedikit
pun:
Ini adalah karunia Tuhanku untuk
mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya) (Q.S. al-Naml [27]: 40)
Perbedaan lebih gamblang antara
orang yang berniat demi Allah SWT dengan demi makhluk dapat disimak pada
perbandingan di bawah ini:
Niat
demi Allah SWT
Supaya kamu
jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu (Q.S. al-Hadid
[57]: 23)
Niat
demi Makhluk –termasuk demi kepentingan pribadi–
Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (Q.S. al-Ma’arij [70]:
20-21).
Agar egoisme niat maupun niat demi
makhluk tidak semakin ‘menggurita’ dalam benak, sebaliknya niat demi Allah SWT
semakin mengkristal dalam kalbu, eloknya kita renungkan tiga hal:
Pertama, Allah SWT memulai
al-Qur’an dengan Surat al-‘Alaq [96]: 1 yang memuat redaksi “Bismi Rabbika,
atas nama Tuhanmu”. Demikian halnya dalam setiap memulai Surat –kecuali Surat
al-Taubah–, selalu diawali Basmalah yang memuat redaksi “Bismillahi,
atas nama Allah”. Lalu mengapa kita masih bersikukuh untuk beraktivitas atas
nama ‘selain’ Allah???
Kedua, setiap kali gerakan
shalat –di luar I’tidal–, kita membaca Allahu Akbar, Allah-lah yang Maha Besar,
bukan kita! Lalu mengapa kita melampaui batas hingga merasa diri kita setara
atau bahkan setingkat di atas Allah SWT dalam setiap kesuksesan yang kita raih.
Bukankah proporsi sebab-sebab kesuksesan kita lebih banyak ditentukan oleh
Allah SWT, dibandingkan kekuatan pribadi?. Bukankah Allah yang menggerakkan
hati; kecerdasan nalar; kekuatan fisik hingga tunduknya alam sekitar, sehingga
membuat kita dapat merengkuh kesuksesan?.
Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam (Q.S.
al-Takwir [81]: 29).
Lebih dari itu, jika kita merasa bahwa
kita memiliki ‘saham’ dalam setiap kesuksesan yang kita raih, dikhawatirkan
kita tergolong orang-orang yang dikecam al-Qur’an berikut:
Yang demikian itu adalah karena kamu
kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah
dipersekutukan
(Q.S. Ghafir [40]: 12).
Jika Allah SWT selalu hadir pada pra, proses
dan pasca aktivitas,
lantas
apakah berdampak pada sikap pasif dan apatis? Tentu ada kekurangan data atau bisa
jadi terjadi kesalahan data jika kita sampai pada kesimpulan bahwa orang yang
beraktivitas serba demi Allah SWT akan berefek pada sikap serba pasif dan
apatis. Mari kita tengok tiga ayat berikut:
Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Q.S. al-Insyirah [94]:
7).
Kata ‘fan-shab’
pada ayat di atas bermakna ‘memeras keringat’. Ini bermakna etos kerja keras.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (Q.S. al-Isra’ [17]: 36).
Ayat ini menegaskan larangan
melakukan sesuatu tanpa dilandasi ilmu pengetahuan yang diraih secara empiris
melalui panca indra; secara rasional melalui nalar; maupun secara intuitif
melalui pertimbangan hati. Sungguh, ayat ini menegaskan etos kerja cerdas.
Dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (Q.S. al-Baqarah [2]: 195)
Redaksi “Allah
Menyukai Orang-orang yang Ihsan” disebutkan 6 (enam) kali dalam al-Qur’an.
Lebih banyak dibandingkan redaksi yang menyebutkan “Allah menyukai orang-orang
yang bertakwa”. Ayat ini berkenaan dengan etos kerja berkualitas.
Jadi, aktivitas seorang muslim yang
ideal adalah dilandasi oleh etos kerja ikhlas, etos kerja keras, etos kerja cerdas dan etos
kerja berkualitas. Setelah tiga etos tersebut terpenuhi, baru kemudian bersikap
tawakkal. Itulah kiranya, mengapa dalam
al-Qur’an ada ayat berikut:
Apabila engkau telah membulatkan tekad,
maka bertawakkal kepada Allah (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159).
Tawakkal
adalah aktivitas yang berorientasi pada kerja, bukan pada hasil. Oleh karena
itu, jika kita sudah beraktivitas dengan etos kerja keras, cerdas dan
berkualitas, berarti kita telah sukses; apapun hasil yang kita raih, entah
sesuai dengan rancangan program kita maupun tidak. Wallahu A’lam bi
al-Shawab.