Pendidikan Karakter versus Pendidikan Akhlak
Rosidin
Pendidikan karakter berangkat dari pemikiran Barat yang
menganut filsafat pendidikan humanisme (anthroposentrisme), sehingga
muatan utamanya ditujukan untuk kepentingan manusia. Lain halnya dengan
pendidikan akhlak yang berasal dari ajaran Islam yang mengedepankan filsafat
pendidikan teo-anthroposentrisme, yaitu memadukan antara kepentingan
Ilahi dan insani.
Implikasinya adalah pendidikan karakter begitu
mengagungkan nilai-nilai yang berhubungan dengan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM),
seperti keadilan, kesetaraan hingga kesejahteraan. Oleh sebab itu, pendidikan
karakter minim sekali menyinggung nilai karakter yang menghubungkan antara
manusia dengan Tuhannya. Bahkan hanya ada satu nilai karakter yang mewakili
hubungan tersebut, yaitu sikap religius. Sebaliknya, pendidikan karakter sarat
dengan nilai-nilai yang menghubungkan antara manusia dengan sesama manusia,
seperti yang tercermin dari kutipan Ratna Megawangi tentang model kurikulum
“Pendidikan Holistik Berbasis Karakter” (Character-based Holistic Education)
yang dikembangkan oleh Indonesian Heritage Foundation (IHF). Kurikulum
ini bertujuan untuk mengembangkan seluruh dimensi manusia dengan sembilan pilar
karakter: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan
tanggungjawab; (3) kejujuran/amanah; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka
tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja
keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (6) baik dan rendah hati; (9) toleransi,
kedamaian, dan kesatuan.
Bandingkan dengan pendidikan akhlak yang memadukan
antara Kewajiban-Kewajiban Asasi Manusia (KAM) kepada Allah SWT dengan Hak-Hak
Asasi Manusia (HAM) secara harmonis. Itulah mengapa pendidikan akhlak memuat nilai-nilai
yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya (habl min Allah) dan
menghubungkan antara manusia dengan sesama manusia (habl min al-Nas)
secara proporsional. Hal ini tercermin dari pendidikan akhlak yang dinyatakan
oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din (4 Juz) yang diawali bahasan
akhlak manusia kepada Allah SWT dalam bentuk ibadah (Juz 1) dan akhlak manusia
kepada sesama manusia dalam bentuk adat istiadat (Juz 2). Selanjutnya al-Ghazali
membahas akhlak-akhlak tercela (Juz 3) dan akhlak-akhlak terpuji (Juz 4) dengan
menyinggung relasi antara manusia dengan Allah SWT –semisal anjuran ikhlas–
maupun relasi antara manusia dengan sesama manusia –semisal larangan kikir–.
Kendati pendidikan karakter dan pendidikan
akhlak memiliki banyak kemiripan, tidak dapat dipungkiri bahwa keduanya
memiliki perbedaan signifikan. Mari kita tengok contoh sederhana ketika
orangtua memukul anaknya karena tidak mengerjakan shalat lima waktu. Dari sudut
pandang pendidikan karakter, sikap orangtua tersebut dinilai salah, karena
telah memukul anaknya, sehingga melanggar HAM si anak. Akan tetapi, dari sudut
pandang pendidikan akhlak, sikap orangtua tersebut dinilai benar, karena si
anak telah melanggar KAM kepada Allah SWT, sehingga patut mendapatkan pukulan
sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW dalam Hadis berikut:
Perintahkan anak-anakmu untuk shalat ketika
mereka berusia 7 tahun; dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika
mereka sudah berusia 10 tahun (H.R. Abu Dawud).
Ditinjau dari segi metode pendidikannya juga berbeda.
Pendidikan karakter menggunakan empat metode belajar berikut secara berurutan: learn
to know (mengetahui), learn to do (melakukan), learn to be
(menjiwai) dan learn to live together (hidup bersama). Keempat metode
ini menempatkan siswa sebagai pusat aktivitas belajar, sehingga siswa dituntut
untuk “mengetahui”, lalu “melakukan”, setelah itu “menjiwai”, hingga kemudian
mampu “hidup bersama” orang lain. Di sini posisi guru terlihat inferior. Metode
ini terasa wajar karena pendidikan karakter memang didominasi oleh pendekatan student-centered
yang mengutamakan siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Efeknya
adalah kharisma guru tidak signifikan di mata siswa, karena guru hanya sekedar
“menginformasikan” dan “memerintahkan” siswa untuk melakukan nilai karakter
tertentu, tanpa ada keterlibatan guru sebagai figur teladan yang memberikan
contoh konkret nilai karakter tersebut. Rendahnya kharisma guru membawa efek
lanjutan, yaitu sulitnya guru untuk mengontrol siswa ketika terjadi pelanggaran
karakter.
Di sisi lain, pendidikan akhlak memadukan metode belajar
yang berpusat pada guru dan siswa (teacher-student centered) secara
harmonis. Misalnya: Guru berperan sebagai uswah (teladan) akhlak terpuji,
sedangkan siswa membiasakan akhlak terpuji tersebut. Guru memberi nasihat (mau’izhah),
sedangkan siswa menjalankan nasihat tersebut. Guru mengetengahkan cerita (qishshah),
sedangkan siswa mengambil pelajaran (‘ibrah) dari cerita tersebut. Di
sini guru dan siswa pada posisi seimbang, bahkan guru cenderung lebih dominan.
Efeknya adalah kharisma guru terasa signifikan di mata siswa, karena guru
memberikan contoh konkret nilai akhlak yang diajarkan melalui keteladanan yang
ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya kharisma guru membawa efek
lanjutan, yaitu guru mudah untuk mengontrol siswa ketika terjadi pelanggaran
akhlak.
Perbedaan nyata antara pendidikan karakter dan
pendidikan akhlak dapat dilihat dari perbedaan antara pendidikan sekolah dan
pendidikan pesantren. Sudah lumrah kita mendengar aksi brutal “tawuran antar
pelajar sekolah”, namun hampir tidak pernah kita mendengar istilah “tawuran
antar santri pesantren”. Kiranya satu contoh ini sudah memadai untuk dijadikan
argumentasi perbedaan nyata antara pendidikan karakter dan pendidikan akhlak.
Dengan mempertimbangkan sejumlah perbedaan di atas,
sudah saatnya bagi sekolah-sekolah Islami untuk tidak lagi mengagung-agungkan
pendidikan karakter, melainkan beralih pada pendidikan akhlak. Wallahu A’lam
bi al-Shawab.
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 112)