Proposal Tesis Pendidikan Islam
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR'AN
(Sumber,
Objek dan Metode Ilmu Pendidikan dalam Al-Qur’an)
Oleh: Rosidin
Program
Pascasarjana, Konsentrasi Pendidikan Islam
Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya
Tahun
2010
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan itu usianya setua umat manusia (Isna, 2001: 1). Proses pendidikan ini
berlangsung sejak dulu, sekarang, hingga masa yang akan datang. Dalam
perjalanannya, pendidikan senantiasa dihadapkan pada problem-problem sesuai
dengan dimensi ruang dan waktu.
Dalam konteks pendidikan Islam, problem utamanya adalah problem
epistemologi (Qomar, 2006: Pendahuluan). Hal ini disebabkan filsafat pendidikan yang diberikan
pada Departemen kependidikan Islam sekarang ini sepenuhnya filsafat
pendidikan Barat, sehingga sistem
pendidikan Islam kental dengan pengaruh pendidikan Barat. Pengaruh karakter
pendidikan Barat itu memasuki hampir semua dimensi pendidikan di kalangan umat
muslim (Qomar, 2006: 211-212). Oleh karena itu, pembenahan pendidikan Islam
mutlak perlu dilakukan dengan diawali upaya perumusan epistemologi pendidikan
Islam terlebih dahulu.
Perumusan epistemologi pendidikan Islam
harus diformulasikan dari al-Qur’an dan al-Sunnah, karena keduanya merupakan
sumber primer pendidikan Islam, di samping karena keduanya memuat banyak sekali
materi pendidikan; apalagi secara substantif, al-Qur’an itu berfungsi sebagai
petunjuk, sehingga seluruh ayat-ayatnya mengandung nilai pedagogis (Qomar,
2006: 285). Keberadaan dan sentralitas wahyu ini yang membedakan pemikiran umat muslim secara fundamental dari rasionalisme sekuler dan empirisme
filsafat serta sains modern (Alatas, 2006: 236). Inilah yang melandasi peneliti
untuk mengkaji epistemologi pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an dengan
didukung oleh Hadits dan ilmu-ilmu lain.
Secara
teoretis, epistemologi merupakan sub-sistem dari filsafat. Sistem filsafat
sendiri meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Qomar, 2006: 1).
Epistemologi merupakan bagian terpenting dalam dunia filsafat (Suyudi, 2005:
121); namun epistemologi memiliki sifat interrelasi (saling berhubungan) dengan komponen lain, ontologi dan aksiologi (Qomar, 26-27). Oleh sebab itu,
secara implisit penelitian ini juga melibatkan aspek ontologi dan aksiologi,
walaupun fokus utamanya tetap kajian epistemologi.
Epistemologi memegang peranan
kunci, lantaran epistemologi berposisi mempengaruhi komponen lainnya.
Pendidikan Islam ibarat batang pohon, sedangkan epistemologi adalah akarnya.
Berdasarkan hubungan ini, apabila ada upaya memperbaiki pendidikan Islam, maka
yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah epistemologinya, karena ia sebagai
sebab utama dan paling mendasar (Qomar, 2006: Pendahuluan). Sehingga epistemologi
pendidikan Islam, menuntut segera dibangun oleh para pemikir pendidikan Islam,
karena ia berfungsi mengembangkan pendidikan Islam secara konseptual, kemudian
aplikatif (Qomar, 2006: 207).
Pengertian epistemologi pendidikan
Islam adalah pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan
pendidikan Islam, mulai dari hakikat pendidikan Islam, asal usul pendidikan
Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur
pendidikan Islam, sasaran (objek) pendidikan Islam, macam-macam pendidikan
Islam, dan sebagainya (Qomar, 2006: 249). Di antara sekian banyak objek
epistemologi pendidikan Islam, peneliti memilih untuk memfokuskan penelitian
ini terhadap sumber, objek dan metode pendidikan Islam yang terdapat dalam
al-Qur’an.
Pada tataran konseptual, penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan konsep
pendidikan dalam al-Qur’an melalui pengkajian terhadap term-term yang
relevan dengan pendidikan. Sedangkan pada tataran aplikatif, penelitian ini
dituntut dapat menyajikan cara-cara mengimplementasikan konsep-konsep
pendidikan tersebut dalam kehidupan nyata.
Mengingat penelitian ini adalah
kajian epistemologi yang bersifat teoritis-aplikatif, maka hasil akhir dari
penelitian ini berupa ilmu pendidikan. Ringkasnya, penelitian ini bertujuan
untuk menggali sumber, objek, dan metode ilmu pendidikan Islam dalam
al-Qur’an.
Langkah awal perumusan epistemologi pendidikan dalam
al-Qur’an, diawali dengan identifikasi term-term yang berkaitan erat dengan
epistemologi pendidikan; yang dalam hal ini, peneliti memilih dua term yaitu ’ilm
dan rabb.
Apabila
mengkaji al-Qur’an, sebenarnya semua aspeknya mengandung unsur tarbawi
(pendidikan) yang tidak tertandingi oleh kitab apapun dan karya tulis manapun,
baik kandungannya secara ijmali maupun tafsili. Pada
setiap surat, ayat, kata dan ketelitian huruf-huruf yang digunakan mengandung
isyarat-isyarat pendidikan yang luar biasa (Ulum dan Supriyatno, 2006: 25). Namun bagi peneliti, kedua term di atas –‘ilm dan rabb– lebih relevan untuk dikaji dalam kaitannya
dengan pembahasan pendidikan Islam.
Argumentasi
peneliti adalah bahwa term utama
yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk ilmu pengetahuan adalah kata ‘ilm;
sedangkan ilmu pengetahuan merupakan materi pokok dalam pendidikan. Adapun term
rabb layak untuk dilibatkan dalam penelitian ini, karena dari term
inilah lahir istilah Tarbiyah Islamiyyah (Pendidikan Islam).
Berdasarkan penelusuran peneliti
terhadap Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Qur’an Al-Karim karya ‘Abdul
Baqi (al-Baqi, 1996: 576-591), kata ‘ilm beserta derivasinya disebutkan dalam 77 bentuk dengan frekuensi 885 kali. Menurut Abdullah, derivasi kata ilmu ini dalam al-Qur’an menempati satu persen
dari seluruh kosakata yang ada. Rosenthal mengatakan bahwa kata ilmu sedemikian
sering disebut oleh al-Qur’an, agar tidak ada orang yang tidak memperhatikannya
(Abdullah, 1991: 110). Sedangkan term Rabb beserta derivasinya
disebutkan dalam 21 bentuk dengan frekuensi 986 kali (al-Baqi, 1996: 350-367). Idealnya, penelitian ini diarahkan terhadap seluruh term ‘ilm dan rabb beserta
derivasinya dengan frekuensi 1871 ; namun keterbatasan kapasitas peneliti, menyebabkan penelitian ini hanya akan mengkaji sebagian kecilnya saja.
Langkah awal perumusan epistemologi pendidikan
dalam al-Qur’an, diawali dengan identifikasi term-term yang berkaitan erat
dengan epistemologi. Misalnya: term kaifa. Kata kaifa
(bagaimana), biasanya digunakan untuk mengajukan pertanyaan yang berhubungan
dengan keadaan dan cara.
Contoh
kaifa yang menunjukkan keadaan: (Q.S. al-Mu’min [40]: 82)
Maka apakah mereka tiada
mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan
orang-orang yang sebelum mereka. Orang-orang yang sebelum mereka itu
lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi,
Maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka.(Q.S. al-Mu’min [40]: 82)
Contoh kaifa yang bermakna
cara atau metode: (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 17-20)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Q.S. al-Ghasyiyah: 17-20)
Ayat-ayat dalam kelompok kedua ini
(Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 17-20) bukan hanya menunjukkan keadaan unta, langit, gunung
dan bumi, melainkan yang lebih ditekankan justru bagaimana cara menciptakan
unta, cara meninggikan langit, cara menegakkan gunung dan cara menghamparkan
bumi. Ini semua dimaksudkan metode, sedang metode tercakup dalam bahasan
epistemologi. Mengingat ayat-ayat tersebut dimulai dengan ungkapan apakah
mereka tidak memperhatikan, berarti ayat-ayat itu memberikan anjuran agar
mempelajari cara atau metode untuk mendapatkan pengetahuan tentang mereka.
Jadi, kajian epistemologi di sini memiliki sandaran teologis Islam yang
tertuang dalam kitab suci al-Qur’an (Qomar, 2006: Pendahuluan). Muatan
epistemologis dalam Surat Al-Ghasyiyah [88]: 17-20 semakin jelas dalam beberapa
penafsiran di bawah ini:
Sayyid Thanthawi menyatakan bahwa istifham
(kata tanya berupa apakah mereka tidak memperhatikan) dimaksudkan
sebagai kecaman dan celaan, sekaligus motivasi untuk merenungkan (ta’ammul)
dan memikirkan (tafakkur). Penafsiran ini terkait dengan term nazhar
yang artinya: Mendatabburi makhluk-makhluk di atas, hingga menghasilkan i’tibar
(teladan) dan intifa’ (manfaat) (Software al-Maktabah al-Syamilah).
Pengertian
term nazhar ditegaskan dalam tafsir Ibn ‘Asyur sebagai berikut: Pengamatan melalui mata yang menghasilkan i’tibar (teladan)
terhadap detail-detail objek pengamatan. Sedangkan penyandaran kata nazhar
pada ila (yang makna intiha’) berimplikasi pada pengamatan secara
maksimal (Software al-Maktabah al-Syamilah).
Berdasarkan
hasil penelitian Suyudi yang mengkaji al-Qur’an secara epistemologis,
dijelaskan bahwa proses perolehan pengetahuan dapat dilakukan melalui tiga
cara, yaitu: empirik, logik dan intuitif atau wahyu. Masing-masing kategori
memiliki term-term khusus, misalnya: metode empirik menggunakan term khibrah,
‘ibrah atau i’tibar, dirasah, ru’yah, nazhar,
dan bashar; metode logik menggunakan term: tafakkur, ta’aqqul,
tadabbur, diroyah dan tafaqquh; sedangkan metode intuitif meliputi
term: dzikir dan tazkiyah (Suyudi, 2005: 122-150). Dengan
demikian, kata nazhar dalam Q.S. Al-Ghasyiyah [88]: 17-20 termasuk term metode
epistemologi kategori empirik.
Ayat
lain yang mengindikasikan adanya epistemologi adalah:
“Maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat
memahami atau mempunyai telinga, yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada.” (Q.S. Al-Hajj
[22] : 46).
Ayat di atas membahas tentang cara
manusia memperoleh ilmu (pengetahuan) ada tiga, yaitu: melalui panca indera (khawasul-khamsah),
al-‘aqlus-salim (akal yang sehat) dan khabar shadiq (berita yang
benar). Dalam bahasa kontemporer, dikenal sumber empiris (al-haqiqah
at-tajribiyyah), sumber rasional (al-haqiqah al-‘aqliyyah), dan
sumber otoritas (al-haqiqah al-muthlaqah). Penglihatan lambang dari panca inderawi;
pendengaran lambang dari khabar shadiq; dan akal fikiran lambang dari
akal sehat. Inilah tiga sumber memperoleh ilmu (asbabul ‘ilm): a) sumber
inderawi; b) sumber ‘aqli; c) sumber khabari
(www.hidayatullah.com) .
Beberapa
ayat yang juga menyinggung topik epistemologi antara lain: a) Metode
epistemologi: Q.S. al-Sajdah [32]: 9, al-Mulk [67]: 23, dan al-Nahl [16]: 78; b) Sumber
epistemologi: Q.S. al-Baqarah [2]: 31, al-Rahman [55]: 3-4, dan al-‘Alaq [96]: 1-5; c) Objek
epistemologi berupa objek fisik (alam syahadah) dan metafisik (alam ghaib):
Q.S. al-Hajj [22]: 46 dan al-A’raf [7]: 185. (al-Kurdi, 1992: 72-73) Dengan
demikian, terbukti bahwa al-Qur’an sarat muatan epistemologi; di sisi lain,
banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung persoalan pendidikan.
Selanjutnya
hasil-hasil penelitian ilmiah yang pernah dilakukan –seperti keterangan di
atas– akan peneliti manfaatkan sebagai sumber data yang penting dalam rangka
melakukan integrasi antara ayat-ayat bermuatan epistemologi dengan ayat-ayat
pendidikan sehingga menghasilkan suatu rumusan epistemologi pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an.
Mengingat sumber utama penelitian ini
adalah al-Qur’an, maka peneliti harus menggunakan metode-metode yang jamak dipakai dalam memahami
isi kandungan al-Qur’an, yakni: Tahlili, Ijmali, Muqaran,
dan Maudhu‘i. Namun metode utama dalam penelitian ini adalah metode Maudhu‘i
(tematik) demi hasil penelitian yang lebih fokus dan komprehensif.
Paparan di atas sudah bernilai
argumentatif bagi peneliti untuk berupaya semaksimal mungkin dapat menyusun
formulasi epistemologi pengetahuan pendidikan Islam berbasis ayat-ayat
al-Qur’an melalui tesis ini, sesuai dengan batas kemampuan yang ada. Akhirnya
peneliti mengajukan judul tesis: Epistemologi Pendidikan
dalam al-Qur’an (Sumber, Objek dan Metode Pengetahuan Pendidikan dalam
al-Qur’an).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam rangka memperoleh hasil yang
utuh dan komprehensif, maka peneliti memberi batasan penelitian ini sebagai
berikut: Bagaimana epistemologi pendidikan dalam al-Qur’an?. Selanjutnya
pembahasan akan lebih dikerucutkan lagi pada rumusan masalah di bawah ini:
1)
Bagaimana sumber pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an?
2)
Bagaimana objek pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an?
3)
Bagaimana metode pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an?
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Tujuan penelitian ini mengacu pada rumusan masalah
sebelumnya, yaitu:
1)
Mengkaji sumber pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an
2)
Mengkaji objek pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an
3)
Mengkaji metode pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an
Sedangkan signifikansi
penelitian ini antara lain:
1) Sebagai bahan pelajaran bagi
peneliti untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, disertai harapan dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang berminat dan tertarik untuk
mengimplementasikan hasil penelitian ini;
2) Memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan bidang filsafat pendidikan Islam, khususnya epistemologi pendidikan
Islam yang berlandaskan al-Qur’an.
D.
Kajian Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran,
peneliti mendapati beberapa literatur yang terkait dengan epistemologi
pendidikan, antara lain:
Epistemologi Pendidikan Islam
dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik karya Mujamil Qomar. Buku ini
secara komprehensif membahas tentang epistemologi pendidikan Islam, mulai dari
pembahasan epistemologi secara umum, epistemologi Barat, epistemologi Islam,
epistemologi pendidikan Islam hingga metode epistemologi
pendidikan Islam. Karya ini merupakan sumber utama dalam penelitian ini,
mengingat kandungan isinya yang secara spesifik mengkaji epistemologi
pendidikan Islam secara tegas.
Pendidikan dalam Perspektif
Al-Qur’an: Integrasi Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani karya M.
Suyudi. Penulis relatif berhasil menyusun konsepsi epistemologi pendidikan
Islam berdasarkan term-term dalam al-Qur’an. Secara cermat, dia mampu
mengidentifikasikan term-term al-Qur’an yang berkaitan erat dengan epistemologi
pendidikan Islam, hingga akhirnya membuat kesimpulan bahwa proses perolehan
pengetahuan ada tiga macam, yaitu: empirik, logik dan intuitif. Selanjutnya dia
menganalisa proses pengajaran dengan pendekatan epistemologi Islam yang disusun
al-Jabiri, yaitu: Bayani, Burhani dan Irfani.
Sumedi menulis Kritisme Hikmah ke
Arah Epistemologi Pendidikan Humanis: Sintesis Epistemologi Barat dan Islam
dalam rangka studi komparatif antara konsep epistemologi Ibn Taimiyah –mewakili epistemologi Islam– dan Karl Raimund Popper –mewakili epistemologi
Barat– sekaligus implikasinya pada pendidikan Islam hingga akhirnya
menghasilkan konsepsi Pendidikan Humanis dan Antikekerasan, relativitas
keilmuan agama Islam, Berpikir Kritis-Analitis, Pengembangan Ilmu Empirik dan
Mengembangkan Nilai Ilahiyah.
Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi
menyusun epistemologi dari perspektif al-Qur’an dan Filsafat dalam karyanya Nazhariyah
al-Ma’rifah bayn al-Qur’an wa al-Falsafah. Karya ini tergolong
representatif untuk dijadikan referensi bagi upaya perumusan epistemologi Islam
secara umum, mengingat keluasan dan kedalaman materi buku ini yang secara
global membahas tentang epistemologi dan hakikat pengetahuan dalam perspetif
al-Qur’an dan Filsafat.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya,
penelitian ini difokuskan pada upaya integrasi antara ayat-ayat bernuansa
epistemologi dengan ayat-ayat pendidikan sehingga menghasilkan rumusan
epistemologi pendidikan dalam al-Qur’an. Sehingga penelitian ini diharapkan
dapat menghasilkan suatu pengetahuan yang berbeda dibandingkan karya-karya yang
disebut di atas, walaupun tetap melibatkan karya-karya tersebut sebagai
referensi penelitian ini.
E.
Metode Penelitian
1. Sumber Penelitian
Penelitian ini bercorak Library
Research (Studi Pustaka) dengan objek penelitian berupa ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena
itu, sumber primernya adalah al-Qur’an. Konsekuensinya, penelitian ini merujuk
pada kitab-kitab tafsir yang representatif, misalnya: Tafsir al-Munir
karya Wahbah al-Zuhailli; Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab; dan
beberapa kitab tafsir lain yang berguna untuk melengkapi dan mempertajam
analisis bahasan penelitian ini. Sumber-sumber primer tadi didukung oleh sumber
data sekunder berupa: a) Bidang ‘Ulum al-Qur’an. Seperti Mufradat
Gharib Al-Qur’an karya al-Asfahani, Mu‘jam Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an
al-Karim karya Samih ‘Atif al-Zayn; al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an karya Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi; b) Matan dan Sharah Hadith. Seperti Kutub al-Tis‘ah sebagai referensi
ketika mengutip Hadits-hadits yang relevan dengan topik bahasan; c) Bidang Pendidikan Islam. Seperti Epistemologi
Pendidikan Islam, Filsafat Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Islam; d) Data-data sekunder lain yang berupa tesis,
disertasi, artikel, jurnal, dan sumber-sumber data yang relevan dengan
kandungan penelitian ini.
2. Metode Pendekatan dan Analisa
Metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada dua. Pertama, Metode Tematik (Maudu‘i) dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
bernuansa epistemologi dan pendidikan, kemudian menganalisisnya dari berbagai
aspek dengan bantuan beberapa kitab tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an demi
memperoleh pemahaman yang lebih valid. Kedua, Metode Analisis Pemaknaan, yaitu mencari makna di
balik teks ayat-ayat al-Qur’an dan konsep-konsep yang telah dibangun dengan
Metode Tematik sebelumnya. Analisis pemaknaan di sini dimulai dengan merujuk
karya-karya ‘Ulum al-Qur’an, lalu melibatkan sumber data terkait
pendidikan Islam –epistemologi pendidikan Islam, filsafat pendidikan Islam,
ilmu pendidikan Islam– sesuai dengan fokus penelitian ini. Untuk mempertajam
analisis, sumber-sumber data berupa Matan dan Syarah Hadits serta
sumber-sumber sekunder lainnya dapat dimanfaatkan, sehingga memperoleh hasil
akhir penelitian menjadi lebih komprehensif, relevan sekaligus valid.
3. Langkah-langkah Penelitian
Langkah pertama,
peneliti akan menghimpun ayat-ayat bernuansa epistemologi dan pendidikan dalam
al-Qur’an; selanjutnya ayat-ayat tersebut akan dijadikan pijakan dalam menyusun
formulasi sumber pengetahuan pendidikan dalam al-Qur’an.
Langkah kedua,
peneliti mengkaji kumpulan ayat-ayat tadi untuk menemukan objek pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an.
Langkah ketiga,
himpunan ayat-ayat tadi kembali dianalisis hingga diketahui metode pengetahuan
pendidikan dalam al-Qur’an.
Ketiga langkah di atas,
selalu disertai telaah terhadap sumber-sumber data primer dan sekunder yang
tersedia, agar memperoleh hasil yang optimal dan utuh.
Langkah keempat,
peneliti akan menyajikan kesimpulan dari seluruh objek penelitian dan menjawab
rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini.
F. Sistematika Pembahasan
Hasil akhir dari penelitian ini
akan dilaporkan dalam bentuk tesis dengan sistematika pembahasan sebagai
berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini memuat Latar Belakang Masalah; Batasan dan Rumusan Masalah; Tujuan dan Signifikansi Penelitian; Kajian Pustaka; Metode Penelitian; dan Sistematika Pembahasan. Bab II: Membahas
Sumber Pengetahuan Pendidikan dalam al-Qur’an. Bab III: Mengkaji Objek Epistemologi Pengetahuan Pendidikan dalam Al-Qur’an. Bab IV: Memaparkan Metode Epistemologi
Pengetahuan Pendidikan dalam Al-Qur’an. Bab V: Penutup. Bab terakhir ini berisi
Simpulan dan Saran-saran yang berkaitan erat dengan hasil penelitian.
KAJIAN TEORI
A. Seputar Epistemologi
1. Epistemologi
Secara etimologis, epistemologi
berasal dari kata Yunani, episteme dan logos; episteme
biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan pikiran,
kata atau teori (Surajiyo, 2005: 53). Sebagai kajian filosofis yang membuat
telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan,
epistemologi disebut dengan teori pengetahuan (theory of knowledge)
(Sudarminta, 2002: 18).
Secara terminologis, Runes menjelaskan bahwa epistemologi is the branch of philosophy which
investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge (cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan). Azra menambahkan, epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”
(Tafsir, 2005: 23).
Sebagai cabang filsafat,
epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki
dari pengetahuan manusia. Epistemologi pada dasarnya merupakan suatu upaya
rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam
interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Dengan demikian,
epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan
kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan,
pernyataan, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau
memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara nalar. Normatif berarti
menentukan norma atau tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur penalaran bagi
kebenaran pengetahuan (Sudarminta, 2002: 18).
Ruang lingkup epistemologi menurut Arifin
meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan; Mudlor Ahmad merinci
menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran
pengetahuan. Lalu Qomar menyimpulkan bahwa ruang lingkup epistemologi
meliputi hakikat, keaslian, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas,
unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat,
pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan. Jelasnya, seluruh permasalahan yang
berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi cakupan epistemologi (Qomar, 2006:
4-5).
Dalam filsafat terdapat objek
materia dan objek forma. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara
garis besar meliputi hakikat, Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia.
Sedangkan objek forma ialah usaha mencari keterangan secara radikal
(sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat
(sarwa-yang-ada). Lebih khusus lagi, objek material filsafat pendidikan adalah
manusia, sedangkan objek formanya adalah persoalan-persoalan kemampuan manusia.
Adapun objek epistemologi adalah “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita
untuk memperoleh pengetahuan” (Qomar, 2006: 8).
Jacques Martin mengatakan “tujuan
epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya
dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat
tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi
pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah ingin memiliki potensi untuk
memperoleh pengetahuan (Qomar, 2006: 8).
Landasan
epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab
ia merupakan tempat berpijak. Adapun landasan epistemologi ilmu disebut metode
ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut
ilmu. Metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu,
sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan
(Qomar, 2006: 11).
Ditinjau dari sejarah cara berpikir
manusia, terdapat dua pola (mazhab) dalam memperoleh pengetahuan, yaitu
berpikir secara rasional yang mengembangkan paham rasionalisme dan berpikir
berdasarkan fakta yang mengembangkan paham empirisme. Akhirnya, pendukung kedua
belah pihak saling menyadari, bahwa rasionalisme dan empirisme di samping
mempunyai kelebihan, juga mempunyai kelemahan. Selanjutnya timbul gagasan untuk
menggabungkan kedua pendekatan ini, untuk menyusun metode yang lebih dapat
diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar. Gabungan antara pendekatan
rasional dan empiris dinamakan metode keilmuan. Jadi, metode keilmuan ini
adalah hasil sintesis dari kedua metode tersebut (Qomar, 2006: 16).
Dunia keilmuan merupakan hasil
perpaduan antara dunia rasional dan dunia empiris. Dunia rasional bersendikan
logika deduktif, sedangkan dunia empiris berorientasi pada fakta. Demikian juga,
penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan
induktif, di mana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme,
dan penalaran induktif dengan empirisme. Deduksi dapat meyakinkan kebenaran
ilmu pengetahuan kepada seseorang pada tataran penjelasan-penjelasan, guna
memberikan pengertian dan pemahaman, sedangkan induksi berperan menunjukkan
kebenaran pada tataran pembuktian (Qomar, 2006: 16-19).
2. Epistemologi Islam
Epistemologi
adalah inti-sentral setiap pandangan dunia. Di dalam konteks Islam,
epistemologi merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa
yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan
harus diketahui; apa yang mungkin diketahui, tetapi lebih baik tidak usah
diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi
dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap
objek-objeknya mesti dijelajah oleh pengetahuan manusia (Qomar, 2006: 27).
Pembahasan epistemologi tidak terlepas dari
pembahasan tentang ilmu pengetahuan. Maka dari itu perlu diketengahkan
kharakteritik ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Mujamil Qomar
mengidentifikasikan lima karakteristik ilmu pengetahuan dalam Islam, yaitu: a)
Bersandar pada Kekuatan Spiritual; b) Hubungan yang Harmonis antara Wahyu dan Akal; c) Interdependensi Akal dengan Intuisi; d) Memiliki Orientasi
Teosentris; e) Terikat Nilai (Qomar, 2006: 152-162);
Hasil Konferensi
Pendidikan Islam Pertama se-Dunia menyatakan bahwa dasar pengetahuan Islam
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu: a) “Pengetahuan abadi yang
diberikan” berdasarkan wahyu ilahi yang diturunkan dalam al-Qur’an dan Sunnah,
serta semua yang dapat ditarik dari keduanya; b) “Pengetahuan yang diperoleh”
termasuk ilmu-ilmu sosial, alam, dan terapan yang rentan terhadap pertumbuhan
kuantitatif dan pelipat-gandaan. Selanjutnya melalui optimalisasi potensi yang
dimiliki manusia, kedua macam pengetahuan itu bisa ditingkatkan secara induktif
dan deduktif untuk menghasilkan teori-teori yang dapat dikembangkan menjadi
disiplin pengetahuan mandiri. Di sinilah letak peranan epistemologi dan studi
Islam sebagai media untuk menerjemahkan pesan qauliyah atau qur’aniyah
dan kauniyah sehingga melahirkan pengetahuan Islam yang orisinil. Berikut skema epistemologi kebenaran dan
pengetahuan dalam Islam (Priatna, 2004: 70-71):
Relasi Epistemologi Pendidikan Islam menurut Tedi Priatna
Ziauddin
Sardar menyebutkan ada 9 (sembilan) ciri dasar epistemologi Islam, yaitu: a) Yang
didasarkan atas suatu Kerangka Pedoman Mutlak; b) Epistemologi Islam bersifat
aktif; c) Memandang objektivitas sebagai masalah umum; d) Sebagian besar
bersifat deduktif; e) Memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; f) Memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif; g) Berusaha
menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pecarian akan pengalaman-pengalaman
ini, yang dari sini umat muslim memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar
mereka; h) Memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran, atau tingkat
pengalaman subjektif, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan
yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya; i) Tidak bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari
pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan begitu dia sesuai dengan pandangan
yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual (Qomar, 2006: 181-182).
Para
sarjana muslim yang mengkaji epistemologi Islam telah ada sejak zaman silam
seperti ‘Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 1037), Abu Umar al-Nasafi (w. 1142),
Sa’duddin al-Taftazani (w. 1387), dan Nuruddin al-Raniri (w. 1658) hingga
yang kontemporer seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931),
mengajarkan epistemologi Islam secara sistematis (www.hidayatullah.com).
Misalnya Al-Jabiri yang menyusun
bangunan epistemologi Islam menjadi tiga tipologi:
a) Bayani: Ciri dari
Bayani adalah senantiasa menjadikan teks sebagai rujukan pokok. Oleh karena
itu, teks juga merupakan sumber pengetahuan, dan untuk mendapatkan pengetahuan,
potensi akal harus dikerahkan sebagai upaya pembenaran terhadap rujukan
utamanya, yaitu teks. Kegigihan usaha tersebut lazim disebut dengan ijtihad.
b) Burhani: Burhani berarti aktivitas berpikir dalam rangka menetapkan
kebenaran proposisi (qadyah) melalui metode pentimpulan (istintaj)
dengan mengaitkan satu proposisi dengan proposisi lain yang diperoleh tanpa
berpikir panjang yang kebenarannya terbukti secara aksiomatik. Metode Burhani ini lahir dalam alam pikiran Yunani yang dibawa oleh Aristoteles yang disebut
metode analisis (tahlili) yakni metode yang menguraikan pengetahuan
sampai ditemukan asal-usulnya. Ketika masuk dunia Arab Islam berganti nama
Burhani.
c) Irfani: Secara bahasa, kata irfan adalah bentuk mashdar
dari kata ‘arafa yang berarti al-‘ilm (ilmu). Jika kata tersebut
berposisi sebagai ilmu pengetahuan, maka dapat didefinisikan sebagai jenis
pengetahuan tertinggi yang dihadirkan dalam kalbu melalui kasyf atau
ilham (Suyudi, 2005: 21-26).
B. Seputar Pendidikan dalam al-Qur'an
Kata
‘pendidikan’ terdiri dari kata ‘didik’ yang mendapat awalan pen– dan akhiran –an. Pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara,
perbuatan mendidik (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005: 263).
Makna
dasar pendidikan dalam Islam terdapat di dalam tiga istilah al-Tarbiyah, al-Ta’lim
dan al-Ta’dib. Dalam al-Qur’an, kata yang identik dengan makna al-Tarbiyah
adalah kata Rabba yang diartikan mendidik, mengasuh, memperlakukan
dengan baik, dan berarti juga Pencipta, Pemelihara, dan sebagainya. Istilah
al-Ta’lim adalah isim mashdar dari kata kerja (‘alima-ya’lamu-‘ilman)
yang berarti mengajar, sehingga al-Ta’lim berarti pengajaran. Jika dilacak
melalui Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, ternyata al-Qur’an tidak
menyebutkan istilah ta’dib atau istilah lain yang memiliki akar kata
yang sama dengannya. Istilah ini dapat ditemukan dalam Hadits (Wahyudi, 2006:
52-55).
Secara
normatif, data tekstual dalam al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah [2]: 30-32) menunjukkan
adanya interaksi pendidikan bermula semenjak kehidupan Adam AS di surga. Dalam
hal ini, Allah SWT sebagai sumber pengetahuan pendidikan. Dalam rangka
menjadikan Adam sebagai khalifah di bumi, Allah SWT memilih interaksi
pendidikan sebagai sarana untuk transfer of knowledge. Ayat di atas juga
memberikan indikasi epistemologis bahwa interaksi pendidikan dari Allah SWT kepada
Adam dan Malaikat terjadi dengan proses ta’lim (Huda, 2008: 1-3).
Sifat
pendidikan al-Qur’an adalah “Rabbani” (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1), pelakunya juga
disebut “rabbani” yang memiliki ciri-ciri: mengajarkan Kitabullah, baik
yang tertulis (al-Qur’an) maupun yang tidak tertulis (alam raya), serta
mempelajarinya secara terus menerus (Q.S. Ali Imran [3]: 79) (Shihab, 2004:
177-178).
Hubungan erat antara al-Qur’an dengan
pendidikan tampak jelas pada kesimpulan Nata berikut ini: a) Al-Qur’an
sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari
banyaknya ayat al-Qur’an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran
dan segenap potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah
SWT; b) Dorongan al-Qur’an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut
terlihat pula dari banyaknya ayat al-Qur’an (lebih 700 Ayat) yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan; pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang
berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu; c) Al-Qur’an adalah kitab yang
berisi petunjuk (hudan) termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan ibadah, akidah dan akhlak
yang mulia; d) Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan
harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; e) Sebagai
kitab petunjuk, al-Qur’an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan ilmu
pengetahuan, melainkan juga memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu
pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaannya, serta
sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri; f) al-Qur’an tidak hanya menjelaskan
tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga tentang cara mengembangkan ilmu
(epistemologi) dan pemanfaatan ilmu (aksiologi) (Nata, 2002: 167-169).
Referensi
Abdullah, Abdur Rahman Shalih. Landasan dan Tujuan
Pendidikan Menurut Al-Qur’an serta Implementasinya. Bandung: CV.
Diponegoro. 1991.
al-Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd. Al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfazh al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar al-Hadits. 1996.
Hasyim, Sholih. Memahami Epistemologi Islam dalam: http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9320:2009-09-30-12-50-46&catid=161:tazkiyatun-nafs&Itemid=81
Huda, Miftahul. Interaksi Pendidikan: 10 Cara
Qur’an Mendidik Anak. Malang: UIN-Malang Press. 2008.
Isna, Mansur. Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Global Pustaka Utama. 2001.
al-Kurdi, Rajih ‘Abd al-Hamid. Nazhariyah
al-Ma’rifah bayn al-Qur’an wa al-Falsafah. Riyadh: Maktabah al-Muayyad. 1992.
Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir
Al-Ayat Al-Tarbawiy). Jakarta: Rajawali Press. 2002.
Priatna, Tedi. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan
Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: Dari
Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. 2006.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 2004.
Software al-Maktabah al-Syamilah Al-Ishdar al-Tsani
Sudarminta, J.. Epistemologi Dasar. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius. 2002.
Surajiyo. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar.
Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2005.
Suyudi, M. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an:
Integrasi Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani. Yogyakarta: Mikraj. 2005.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005.
Ulum, M. Samsul dan Triyo Supriyatno. Tarbiyah
Qur’aniyah. Malang: UIN-Malang Press. 2006.
Wahyudi, M. Jindar. Nalar Pendidikan Qur’ani. Yogyakarta:
Apeiron Philotes. 2006.