Teori versus Praktik
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Teori versus Praktik |
Teori sering dipandang sinis,
karena dinilai sebagai omong kosong belaka (talk only). Sebaliknya,
praktik dipandang luar biasa, karena dinilai sebagai aksi nyata (do more).
Sesungguhnya teori dan praktik adalah pasangan yang saling membutuhkan. Teori
tanpa praktik bagaikan orang lumpuh, sedangkan praktik tanpa teori bagaikan
orang buta. Hanya dengan kolaborasi, keduanya dapat sukses meraih tujuan. Tanpa
kolaborasi, teori akan pasif tanpa aksi, sedangkan praktik akan membabi-buta
tanpa visi.
Ada sebuah anekdot, Mullah beraksi
pada suatu malam yang diterangi bulan. Ketika melewati sebuah sumur, dia
tercekam saat melihat bulan telah jatuh ke dalam sumur. Dia pun bergegas pulang
dan membawa tali. Setelah kembali ke lokasi, Mullah mengikatkan kait pada tali
dan melemparkan ke dalam sumur, sembari berkata: “Jangan khawatir, Adik Bulan…
Bantuan sudah datang!”. Kait tersangkut pada sesuatu di sumur, dan Mullah
menarik dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba kait itu terlepas, sehingga membuat
Mullah jatuh telentang. Menatap langit, dia sangat gembira saat menemukan bulan
sudah kembali ke tempatnya yang tepat!. Dia pun berseru, “Alhamdulillah,
aku kebetulan melewati jalan ini. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada
bulan tanpa bantuanku”. (Imam Jamal Rahman, 2014: 197-198).
Demikianlah gambaran orang yang
melakukan praktik tanpa teori. Merasa sudah berbuat sesuatu, padahal
perbuatannya salah arah, bahkan sia-sia. Seperti halnya orang yang mendirikan
shalat berulang-ulang, namun dia tidak mengerti “teori” tentang shalat,
sehingga dia shalat dalam keadaan tidak memiliki wudhu’. Sebaliknya, orang yang
mengandalkan teori tanpa praktik ibarat orang yang memahami seluk beluk teori
mengemudi, namun dia sendiri tidak mampu mengemudi. Sebagaimana seorang sales
obat batuk yang mampu menjelaskan komposisi dan manfaat obat batuk tersebut
kepada orang lain, namun dia sendiri menderita batuk akut.
Jika menengok pendidikan Islam, sungguh miris
keadaannya. Dominasi teori-teori Barat terjadi di berbagai lini pendidikan
Islam, tanpa mampu dilawan dengan teori-teori versi Islam. Contoh sederhana
adalah evaluasi pembelajaran yang didasarkan pada teori taksonomi Bloom (kognitif,
afektif dan psikomotorik). Inilah kiranya “harga mahal” yang harus dibayar atas
pandangan sinis yang ditujukan pada teori, yaitu minimnya teori dalam
pendidikan Islam, sehingga harus mengimpor teori dari pendidikan Barat.
Bertalian dengan problem tersebut,
penulis mengajukan gagasan pembenahan teori pendidikan Islam melalui perspektif
teoretis sufistik: takhalli (pembersihan), tahalli (penghiasan)
dan tajalli (penampilan). Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi sasaran
takhalli (pembersihan).
Pertama, stigma negatif terhadap teori.
Teori perlu dipandang sebagai ilmu yang sudah teruji melalui proses panjang
yang bersifat rasional maupun empiris. Dengan demikian, teori seharusnya diberi
apresiasi yang tinggi sebagaimana apresiasi terhadap ilmu.
Kedua, pengembangan
keilmuan yang meluas. Artinya, banyak pakar pendidikan Islam mengangkat isu-isu
yang identik, namun dari perspektif yang beragam, sehingga pengembangan
keilmuan bersifat meluas, bukan mendalam. Akibatnya, pendidikan Islam kaya akan
konsep, namun miskin teori, karena para pakar lebih senang mengeskplorasi
konsep-konsep baru, dibandingkan menguji-coba dan mendalami suatu konsep tertentu
hingga mencapai taraf teori.
Ketiga, rendahnya budaya riset. Untuk
menghasilkan satu teori, dibutuhkan puluhan bahkan ratusan proses riset yang
bersifat rasional maupun empiris. Sayangnya, pakar pendidikan Islam masih
memiliki budaya riset yang rendah. Bahkan problem ini mendera para pakar di
Indonesia secara keseluruhan, berdasarkan pernyataan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Iskandar, bahwa saat ini (2017) jumlah peneliti Indonesia
hanya 90 orang per 1 juta penduduk, bahkan jumlah institusi riset di Indonesia
masih bisa dihitung dengan jari (www.koran-sindo.com).
Sasaran tahalli (penghiasan)
dapat ditujukan pada tiga aspek berikut.
Pertama, ijtihad kreatif
terhadap al-Qur’an dan Hadis. Dalam hal ini, Tafsir Tarbawi dan Hadis Tarbawi
dapat dijadikan sebagai titik pijak untuk memformulasikan konsep-konsep khas
pendidikan Islam. Misalnya konsep pendidikan vokasional dalam al-Qur’an; konsep
pendidikan multikultural dalam Hadis; dan sebagainya.
Kedua, komparasi
non-apologetik terhadap teori-teori pendidikan Barat. Artinya, teori-teori
Barat tidak sekedar dijustifikasi, apalagi disikapi secara apologetik dengan
pernyataan, “itu sudah ada dalam al-Qur’an”. Alih-alih ada upaya yang serius
untuk membandingkan teori-teori Barat dengan konsep-konsep khas Islam. Misalnya
membandingkan antara teori taksonomi Bloom (kognitif, afektif dan psikomotorik)
dengan konsep khas Islam (ilmu, akhlak dan amal).
Ketiga, kerja-sama
antar pakar dan praktisi pendidikan Islam. Formulasi konsep pendidikan Islam
yang diperoleh melalui proses pertama dan kedua perlu diuji-coba secara empiris
dan ditelaah secara rasional, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi
teori khas pendidikan Islam.
Adapun bentuk tajalli dari
“teori” pendidikan Islam antara lain:
Pertama, teori khas pendidikan
Islam yang mapan. Misalnya teori belajar al-Qur’an yang mapan, sehingga dapat
diimplementasikan di berbagai belahan dunia, sebagaimana teori belajar Quantum
Learning.
Kedua, praktik pendidikan yang didasarkan pada teori khas
pendidikan Islam. Misalnya evaluasi pendidikan Islam tidak hanya mengacu pada
taksonomi Bloom, melainkan juga mengacu pada Maqashid al-Syariah
(tujuan-tujuan Syariat Islam) yang meliputi pemeliharaan agama (hifzh al-din),
jiwa-raga (hifzh al-nafs), akal (hifzh al-‘aql), keturunan (hifzh
al-nasl), harta benda (hifzh al-mal) dan harga diri (hifzh
al-‘irdh). Ketiga, tumbuh-kembangnya lembaga pendidikan formal
(PAUD, RA, MI, MTs, MA, PTAI) yang menyelenggarakan praktik pendidikan yang
didominasi teori khas pendidikan Islam.
Tulisan ini mencoba mengingatkan
kembali posisi umat muslim sebagai ummatan wasathan yang bersifat adil
dalam menyikapi segala sesuatu, termasuk posisi teori dan praktik. Teori tidak
lebih inferior dibandingkan praktik, sebagaimana praktik tidak lebih superior
dibandingkan teori. Keduanya adalah “teman sepermainan”, layaknya relasi antara
membaca dan menulis.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.