Dunia Riil versus Menara Gading
Dr. Rosidin, M.Pd.I
Ilustrasi Menara Gading versus Dunia Riil |
Manusia hidup di
tengah-tengah dunia realita dan cita-cita. Realita adalah dunia yang senyatanya
(das sein), sedangkan cita-cita adalah dunia yang seharusnya (das
sollen).
Kenyataannya ada
manusia yang berdusta, kendati seharusnya manusia bersikap jujur. Kenyataannya
ada manusia yang menjadi pengangguran, kendati seharusnya manusia memiliki
pekerjaan. Demikian seterusnya.
Eksistensi dua
jenis dunia tersebut berimplikasi pada tujuan pendidikan yang secara global
terbagi menjadi dua kategori: dunia riil (real world) dan menara gading
(ivory tower) (Stephen Gough and William Scott, 2007: 8-9).
Tujuan dunia riil
berhubungan dengan kompetensi intelektual, profesional dan praktis yang
dibutuhkan individu maupun masyarakat untuk menyelesaikan problematika masa
kini dan mempersiapkan generasi masa depan. Misalnya gelar, ijazah hingga
kompetensi vokasional.
Sedangkan tujuan
menara gading berhubungan dengan kompetensi idealis-utopis dari segi moral
maupun intelektual. Misalnya akhlak terpuji dan keingin-tahuan (curiosity)
yang tinggi. Ringkasnya, tujuan realistis-pragmatis terkait masa kini dan
tujuan idealis-utopis terkait masa depan.
Kedua kategori itu dapat
ditemukan pada lima tujuan utama pendidikan Islam menurut Muhammad ‘Atiyyah
al-Abrasyi (‘Umar al-Tumi al-Syaibani, 1988: 296-298):
Pertama, mencapai akhlak yang sempurna.
Kedua, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.
Ketiga, mengembangkan spirit ilmiah dan rasa ingin tahu (curiosity).
Keempat, persiapan mencari rezeki.
Kelima, menyiapkan peserta didik dari segi profesi, seni
atau keterampilan hidup (lifeskills).
Poin pertama hingga
ketiga berhubungan erat dengan tujuan menara gading, sedangkan poin keempat dan
kelima terkait tujuan dunia riil.
Uniknya, tujuan
dunia riil justru mendominasi pendidikan, seiring merebaknya budaya pragmatis
yang menekankan kepentingan praktis (what is), tetapi tidak memberi
perhatian pada kepentingan idealis-utopis (what should dan can be).
Akibatnya,
nilai-nilai pragmatis-teknis lebih diutamakan, sementara nilai-nilai moral-etis
terpinggirkan. Akibat lainnya adalah hilangnya proses edukatif yang penting,
seperti menumbuhkan rasa ingin tahu (curiosity).
Model pendidikan
pragmatis ini sulit melahirkan pribadi kritis (critical subjectivity)
yang memiliki tiga indikator:
Pertama, mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Kedua, mampu membedakan antara fakta sesungguhnya dan fakta
yang didapatkan dari media.
Ketiga, mampu memahami struktur terdalam dari realitas.
Sebaliknya, model pendidikan pragmatis justru akan melahirkan pribadi pasif (passive
subjectivity), yaitu pribadi yang lebih banyak bersikap adaptif dan
konformatif dengan realitas kehidupan (Mukhrizal Arif, 2014: 13-14).
Agar tujuan
realistis-pragmatis tidak menyudutkan tujuan idealis-utopis, maka perlu
dilakukan sejumlah tindakan strategis. Dalam hal ini, penulis menggunakan
perspektif Blue Ocean Strategy (BOS) yang meliputi empat skema:
hilangkan (eliminate), kurangi (reduce), tingkatkan (raise),
dan ciptakan (create).
Pertama, menghilangkan mentalitas hedonis, yaitu menganggap
kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Ketika
seseorang bersikap hedonis, maka segala aturan yang merintanginya akan
ditentang habis-habisan.
Misalnya: kasus
prostitusi online yang menimpa sejumlah artis tanah air; korupsi demi
kesejahteraan keluarga hingga tujuh turunan; suap, gratifikasi hingga politik
uang demi memperoleh jabatan; tradisi menyontek demi mengejar NUN atau IPK
tertinggi hingga pemanfaatan jasa joki agar diterima di perguruan tinggi
favorit; dan sebagainya.
Kedua, mengurangi ketergantungan terhadap materi duniawi.
Pendidikan Islam sarat dengan nilai-nilai yang mengajarkan umat muslim agar
tidak bergantung kepada materi duniawi.
Misalnya zuhud
(hati steril dari dunia), qana’ah (puas atas besar-kecilnya rezeki), wira’i
(selektif ketika memenuhi kebutuhan hidup), dermawan dengan berbagi kenikmatan
kepada orang lain.
Ketiga, meningkatkan keterlibatan dalam internalisasi
moral-spiritual. Segenap pendidik secara sadar bertanggung-jawab untuk
mendidikkan nilai-nilai moral-spiritual kepada peserta didik, terlepas dari
jenis bidang studi yang diajarkan.
Misalnya guru
ekonomi tidak hanya mengajarkan peserta didik agar sukses di bidang ekonomi,
melainkan juga menginternalisasikan watak sadar hukum Fikih (Halal-Haram), Akidah
(Iman-Kafir) dan Akhlak (Terpuji-Tercela) atas segala aktivitas ekonomi. Harapannya,
peserta didik memprioritaskan penghasilan ekonomi yang halal, mengaitkannya
dengan Qadha’-Qadar Allah SWT, serta bekerja sesuai akhlak Islami.
Keempat, menciptakan evaluasi pendidikan yang melibatkan
tujuan idealis-utopis. Misalnya evaluasi pendidikan tidak hanya mengukur aspek
kognitif, afektif dan psikomotoriknya saja, melainkan juga mengukur aspek Iman,
Islam dan Ihsannya. Tentu evaluasinya tidak dalam bentuk tes lisan maupun
tulisan, melainkan dapat berbentuk penilaian autentik (authentic assessment)
seperti penilaian performa dan portofolio.
Catatan lain yang
perlu dicermati terkait dominasi tujuan realistis-pragmatis adalah watak
psikologis manusia yang cenderung menyukai hal-hal yang bersifat “material” dan
“saat ini”. Hal ini selaras dengan label yang diberikan al-Qur’an kepada
manusia, yaitu “pecinta harta benda” (Q.S. al-‘Adiyat [110]: 8) dan “makhluk
yang tergesa-gesa” (Q.S. al-Isra’ [17]: 11).
Untuk itu, perlu
diseimbangkan dengan menekankan bahwa hal-hal yang bersifat “spiritual” dan
“masa depan”, seringkali lebih baik daripada “material” dan “masa kini”,
sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa “kehalalan harta lebih baik
daripada banyaknya harta” (Q.S. al-Ma’dah [5]: 100) dan “akhirat lebih baik
daripada dunia” (Q.S. al-Dhuha [93]: 4).
Pada akhirnya,
pendidikan Islam perlu menyeimbangkan antara tujuan dunia riil dengan menara
gading, bukan sekedar pada tataran teoretis, terlebih utama justru pada tataran
praktis. Sehingga tujuan pendidikan Islam benar-benar merefleksikan doa sapu
jagat yang sering dipanjatkan oleh Nabi Muhammad SAW: “Ya Tuhan kami, mohon
berikanlah kami kualitas terbaik (hasanah) di dunia dan kualitas terbaik di
akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka” (Q.S. al-Baqarah [2]:
201).
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.