Guru versus Orangtua
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Relasi Murid, Guru dan Orangtua |
Pentingnya guru dan orangtua bagi seorang anak tercermin pada syair berikut:
أُقَدِّمُ أُسْتَاذِيْ عَلَى نَفْسِ وَالِدِيْ وَإِنْ نَالَنِيْ مِنْ وَالِدِيْ اَلْفَضْلُ وَالشَّرَفْ
فَذَاكَ مُرَبِّ الرُّوْحِ وَالرُّوْحُ جَوْهَرُ وَهَذَا مُرَبِّ الْجِسْمِ وَالْجِسْمُ كَالصَّدَقْ
Saya lebih mengutamakan guruku dibandingkan orangtuaku
# meski aku meraih keutamaan dan kemuliaan dari orangtuaku.
Karena guru adalah pengasuh jiwaku, sedangkan jiwa itu
bagaikan isi # dan orangtua adalah pengasuh ragaku, sedangkan raga itu bagaikan
wadah.
Tampaknya, syair
ini dimaksudkan pada peran utama guru sebagai pendidik yang bertugas mengisi
akal dan hati anak dengan ilmu dan akhlak; serta peran utama orangtua sebagai
pemberi nafkah yang bertugas memenuhi kebutuhan anak, terutama sandang, pangan
dan papan secara halal lagi thayyib (baik).
Sesungguhnya guru
dan orangtua sama-sama bertanggung-jawab atas pendidikan anak, kendati ada sejumlah
perbedaan. Misalnya, guru mendidik anak dalam ruang formal (sekolah) dan
non-formal (pesantren), sedangkan orangtua mendidik anak dalam ruang informal
(keluarga dan masyarakat). Oleh sebab itu, keduanya perlu bekerjasama secara
harmonis agar anak berkembang secara optimal. Misalnya, guru mendidikkan tata
cara mendirikan shalat dengan benar, sedangkan orangtua mengontrol agar anak
dapat mendirikan shalat secara istiqamah.
Sebagai pendidik di
ruang formal dan non-formal, guru dapat mengemban setidaknya 7 (tujuh) fungsi.
Pertama,
Murabbi. Mendidik dengan telaten layaknya petani. Tugasnya adalah
“mengairi” (mengajar), “memupuk” (melatih) hingga “menjaga tanaman dari hama”
(menjaga), agar menghasilkan panen yang bermutu (lulusan berkualitas).
Kedua, Muzakki. Mendidik dengan prinsip melayani
bagaikan pegawai. Tugasnya adalah memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak
peserta didik agar dapat tumbuh dengan baik. Utamanya rela “berkotor-kotor”
demi membersihkan peserta didik dari “noda-noda jiwa”, seperti malas, ramai di
kelas, suka menyontek, bertutur-kata kotor, menjalin hubungan dengan lawan
jenis, dan berbagai jenis pelanggaran norma lainnya.
Ketiga, Mu’allim. Pandai layaknya ilmuwan. Mendidik
dengan memadukan teori dan praktik, serta memicu rasa ingin tahu (curious)
pada diri peserta didik. Artinya, guru mampu mengajarkan ilmu dengan jelas,
sehingga mudah dipahami; mempraktikkan ilmu secara aktual sehingga dapat
diteladani; serta memotivasi dan menginspirasi peserta didik agar rajin belajar
dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
Keempat, Mudarris. Gigih layaknya pengusaha. Aneka
hambatan dan rintangan yang menghadang pendidikan, meniscayakan guru memiliki
sifat gigih layaknya pengusaha. Pengusaha sukses identik dengan mentalitas
gigih. Tanpa kegigihan, sulit bagi pengusaha untuk meraih sukses. Kegigihan
guru ditunjukkan dengan etos kerja keras dan penuh kesabaran ketika menghadapi
lika-liku pendidikan. Para rasul Ulul ‘Azmi (Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim
AS, Nabi Musa AS, Nabi ‘Isa AS dan Nabi Muhammad SAW) adalah contoh nyata figur
pendidik yang memiliki etos kerja keras sekaligus sabar.
Kelima, Mursyid. Tegas layaknya hakim. Utamanya
menjelaskan posisi “benar” dan “salah”; “baik” dan “buruk”; “halal” dan
“haram”. Termasuk juga memberikan apresiasi dan penghargaan (reward; al-targhib)
kepada peserta didik yang menaati aturan, serta memberikan peringatan dan hukuman
(punishment; al-tarhib) kepada peserta didik yang melanggar
aturan. Lebih dari itu, guru model Mursyid ini memadukan sisi
“kelembutan” dengan “ketegasan” secara proporsional.
Keenam, Mu’addib. Menarik layaknya seniman. Guru
mampu menarik perhatian peserta didik melalui “seni mengajar” yang ditampilkan.
Untuk itu, guru perlu memiliki sikap yang estetis (indah) sekaligus etis
(terpuji). Guru yang bertutur-kata lemah lembut dan berperilaku rendah hati (tawadhu’)
dengan mudah menarik perhatian peserta didik.
Ketujuh, Ustadz. Profesional layaknya manajer. Guru berupaya
memenuhi kode etik sebagai guru. Misalnya mengusai kompetensi pedagogik,
sehingga pendidikan yang disampaikan tidak hanya sekedar menarik, melainkan
juga efektif. Lebih dari itu, guru membiasakan diri menggunakan pendekatan
ilmiah dalam menyelesaikan problem-problem pendidikan, bukan menggunakan
pendekatan spiritual an sich.
Sebagai pendidik di
ruang informal, orangtua perlu menerapkan pola asuh yang terbaik. Secara
teoretis, pola asuh orangtua dalam keluarga terbagi menjadi empat.
Pertama, Otoriter. Kehangatan rendah, kontrol tinggi.
Orangtua otoriter bagaikan sipir penjara yang dapat mengontrol tahanan agar
tidak melarikan diri dari penjara, namun sulit baginya untuk menjalin relasi
penuh kasih sayang dengan para tahanan. Misalnya, orangtua yang memaksa anaknya
untuk belajar dan kursus ini-itu, padahal si anak sama sekali tidak berminat
atau tidak berbakat di dalamnya.
Kedua, Permisif. Kehangatan tinggi, kontrol rendah. Orangtua
permisif bagaikan seorang sahabat yang memberi kebebasan penuh kepada
sahabatnya, namun tidak mampu menolak keinginan sahabatnya tersebut. Sehingga
relasinya penuh kasih sayang, namun minim kontrol. Misalnya, orangtua yang
memanjakan anaknya dengan memberi aneka gadget, tanpa memedulikan efek buruknya
bagi perkembangan si anak.
Ketiga, Pengabaian. Kehangatan rendah, kontrol rendah. Orangtua
yang abai bagaikan “hantu”. Yaitu keberadaannya dianggap tidak ada (wujuduhu
ka ‘adamihi). Misalnya, orangtua yang terlampau sibuk bekerja dan tidak
peduli sama sekali dengan kebutuhan fisik maupun psikis anaknya, sehingga
anaknya menjadi terlantar.
Keempat, Otoritatif. Kehangatan tinggi, kontrol tinggi.
Orangtua otoritatif bagaikan seorang wasit sepakbola yang adil. Dia berbaur
dengan para pemain dan memberi ruang kebebasan yang luas bagi para pemain,
sehingga mereka dapat bermain dengan penuh antusias dan sukacita. Namun wasit
akan memberi “kartu kuning” bahkan “kartu merah” apabila pemain tersebut
melakukan pelanggaran. Misalnya, orangtua yang menyuruh anaknya untuk belajar
di pesantren, diawali penjelasan tentang nilai positif pesantren, kemudian mengajukan
sejumlah alternatif pesantren yang dapat dimasuki, sehingga tugas anak adalah
menentukan pesantren yang dirasa cocok, sesuai dengan seleranya.
Dari empat pola
asuh di atas, penulis memandang bahwa pola otoritatif merupakan pola asuh yang
terbaik, dikarenakan terjadi win-win solution yang mempertemukan
kepentingan orangtua dengan anak. Pola otoritatif juga bersifat bebas, namun
terbatas, sehingga tidak liar. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa secara
faktual, selalu ada keluarga yang lebih memilih menerapkan pola otoriter,
permisif hingga pengabaian, dikarenakan selera pribadi maupun tuntutan situasi
dan kondisi yang mengitari.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.