Ketentuan Hak Milik dalam Islam
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Uang sebagai Objek Kepemilikan |
Pengertian Kepemilikan
Menurut bahasa,
kepemilikan berarti penguasaan seseorang terhadap harta, dalam artian hanya
dirinya yang berhak membelanjakannya.
Menurut istilah,
kepemilikan berarti hak khusus terhadap sesuatu yang membuat orang lain tidak
boleh mengambilnya; dan membuat pemiliknya berhak membelanjakannya, selama
tidak ada halangan syariat, seperti gila atau masih anak-anak.
Wahbah al-Zuhaili
menyatakan bahwa kepemilikan adalah pemilikan manusia atas suatu harta atau
kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Artinya, apabila seseorang memiliki barang
secara sah menurut syariat, maka dia bebas bertindak terhadap barang tersebut,
misalnya dijual, digadaikan, disedekahkan, dan sebagainya.
Dasar Hukum Kepemilikan
Dasar hukum kepemilikan adalah Surat
al-Baqarah [2]: 29
هُوَ الَّذِي خَلَقَ
لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعً
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 29)
Dan Hadis riwayat Ahmad bahwa Rasulullah
SAW bersabda:
النَّاسُ شُرَكَاءُ
فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الْكَلاَءِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ).
“Manusia bersekutu dalam
tiga hal: rumput liar, air dan api” (H.R. Ahmad).
Prinsip Kepemilikan dalam Islam
Prinsip pemilikan dalam Islam mengakui hak
milik individu dan hak milik umum secara seimbang. Sesuatu yang menjadi
kepentingan umum dijadikan milik bersama, seperti rumput, api, dan air;
sedangkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan umum, dijadikan milik pribadi.
Jadi, prinsip pemilikan dalam Islam
berbeda dengan kapitalis yang terlalu mengakui hak milik individu, seperti
Amerika Serikat. Berbeda pula dengan sosialis yang terlalu mengakui hak milik
umum, seperti Rusia. Hak milik dalam Islam, baik hak milik individu maupun
umum, tidaklah mutlak, tetapi terikat oleh ikatan untuk merealisasikan
kepentingan orang banyak.
Jenis-jenis Harta
Dari segi bisa-tidaknya untuk dimiliki,
harta terbagi menjadi 3 (tiga):
Pertama, Harta yang sama sekali tidak bisa dimilikkan (al-Tamlik)
kepada orang lain maupun dimiliki diri sendiri. Misalnya: jalan umum, jembatan, benteng,
rel kereta api, museum, taman umum, dan lain-lain.
Kedua, Harta yang tidak bisa dimiliki, kecuali
dengan adanya sebab yang ditetapkan Syara’. Contoh: Harta wakaf dan aset-aset
negara atau pemerintah. Oleh karena itu, harta wakaf tidak boleh dijual maupun
dihibahkan. Jika roboh atau biaya perawatannya lebih tinggi daripada keuntungan
yang dihasilkan, maka pihak pengadilan bisa mengeluarkan izin agar harta
wakaf tersebut ditukarkan dengan harta lainnya.
Ketiga, Harta yang bisa dimiliki oleh diri
sendiri (al-Tamalluk) maupun dimilikkan kepada orang lain (al-Tamlik)
secara mutlak, tanpa ada suatu syarat atau pembatasan tertentu.
Jenis-jenis Kepemilikan
Secara
garis besar, jenis kepemilikan dapat dibagi menjadi 2 (dua):
Pertama, Kepemilikan sempurna (milkun tamman). Yaitu kepemilikan yang meliputi benda (zat) maupun manfaat (penggunaan)nya sekaligus. Karakteristik kepemilikan sempurna adalah kepemilikan yang mutlak,
tidak dibatasi oleh waktu dan tidak bisa digugurkan.
Orang yang memiliki kepemilikan sempurna
mempunyai kewenangan penuh untuk menggunakan, mengembangkan, menginvestasikan
dan membelanjakannya sekehendak hatinya. Apabila dia merusak barang yang
dimiliki, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Akan tetapi, dia terkena
sanksi agama (dosa), sebab hukum merusak harta adalah haram.
Kedua, Kepemilikan tidak sempurna (milkun
naqishah). Yaitu pemilikan atas salah satu unsur harta, yaitu memiliki
benda (zat) saja atau manfaat (penggunaan)nya saja.
Karakteristik kepemilikan tidak sempurna
adalah kepemilikan yang dibatasi oleh waktu, tempat atau persyaratan lain.
Misalnya: Meminjam mobil hanya dibatasi satu hari saja. Kepemilikan tidak
sempurna juga tidak boleh diwariskan.
Macam-macam Kepemilikan Tidak Sempurna
Ada 3 (tiga) macam kepemilikan tidak
sempurna: Pertama, Kepemilikan atas benda, bukan manfaat.
Yaitu seseorang memiliki bendanya, sedangkan manfaat (penggunaan)nya dimiliki
orang lain.
Misalnya: Si A mewasiatkan kepada si B,
bahwa si B boleh menempati rumah si A selama 3 (tiga) tahun. Apabila si A
meninggal dunia, maka rumah itu tetap menjadi hak milik ahli waris si A; namun
manfaat (penggunaan)nya menjadi hak milik si B selama batas waktu yang
ditetapkan. Jika batas waktu yang ditetapkan telah habis, maka manfaat
(penggunaan) rumah itu kembali menjadi hak milik ahli waris. Pada saat itu,
kepemilikan ahli waris terhadap rumah tersebut menjadi kepemilikan sempurna,
yaitu memiliki benda dan manfaatnya.
Kedua, Kepemilikan atas manfaat yang bersifat
personal (haqqul intifa’). Ada lima sebab jenis kepemilikan ini, yaitu
peminjaman (al-i’arah), penyewaan (al-ijarah), wakaf, wasiat dan
pembolehan (al-ibahah).
Contoh pembolehan adalah seseorang
mengizinkan orang lain untuk mengonsumsi makanan miliknya; demikian juga
pemberian izin yang bersifat umum, seperti lewat di jalan, duduk di taman, dan
lain-lain.
Ketiga, Kepemilikan atas manfaat yang bersifat
kebendaan (haqqul irtifaq). Pengertian haqqul irtifaq adalah hak
yang ditetapkan atas suatu harta tidak bergerak, demi kepentingan harta tidak
bergerak lainnya yang dimiliki orang lain.
Misalnya: Hak atas irigasi (haqqusy-syirbi),
hak kanal atau saluran air (haqqul majra), hak saluran pembuangan air (haqqul
masil), hak lewat hingga hak yang dimiliki oleh penghuni kamar lantai atas
terhadap penghuni kamar lantai bawah.
Sebab-sebab Kepemilikan Sempurna
Ada 4 (empat) sebab kepemilikan sempurna:
Pertama, al-istila’ ‘ala al-mubah atau ihraz al-mubahat.
Yaitu menguasai harta yang mubah (belum
dimiliki oleh orang lain secara sah) dan tidak ada penghalang syara’ untuk
dimiliki. Misalnya: Air yang masih berada di sumbernya, rumput, kayu dan pohon
di tengah gurun, hasil buruan darat dan hasil tangkapan laut. Untuk memiliki
harta yang mubah, ada dua syarat yang harus dipenuhi: belum dimiliki oleh orang
lain dan ada niat (maksud) untuk memiliki.
Contoh penguasaan harta yang mubah adalah:
a) Ihya’ al-Mawat (menghidupkan
lahan mati), yaitu mengolah dan memperbaiki lahan yang kosong;
b) Berburu. Baik berburu secara riil (al-istila’
al-fi’li), yaitu menangkap dan memegang binatang buruan; atau berburu
secara fiktif (al-istila’ al-hukmi). Dalam berburu secara fiktif,
disyaratkan harus ada niat. Misalnya: Jika burung walet bersarang di atap rumah
seseorang, maka burung tersebut menjadi milik orang yang pertama kali
mengambilnya. Namun jika pemilik rumah memang berniat dan sengaja menyiapkan
rumah tersebut agar dijadikan sarang burung walet, maka burung tersebut menjadi
milik si pemilik rumah;
c) Menguasai rerumputan (al-kala’)
dan pohon lebat (al-ajam). Al-Kala’ adalah rerumputan yang tumbuh
dengan sendirinya di atas tanah tanpa ditanam; sedangkan al-Ajam adalah
pepohonan lebat yang terdapat di hutan belantara atau tanah tidak bertuan;
d) Menguasai kekayaan tambang (al-ma’adin)
dan harta terpendam (al-kunuz). Al-Ma’adin adalah kekayaan alam
yang terdapat di dalam perut bumi secara alami, seperti emas, perak, tembaga,
besi, timah, dan lain-lain. Al-Kunuz adalah harta yang dipendam di dalam
bumi, baik pada era jahiliyah maupun era Islam. Harta terpendam Islam adalah
harta terpendam yang memiliki tanda atau tulisan yang menunjukkan bahwa harta
itu dipendam setelah kemunculan Islam.
Misalnya: tulisan kalimat syahadat, ayat
al-Qur’an atau nama khalifah muslim. Harta terpendam Islam ini statusnya tetap
menjadi hak milik pemilik asli dan tidak bisa dimiliki orang yang menemukannya.
Harta terpendam Islam ini dikategorikan sebagai harta atau barang temuan (al-luqathah),
sehingga orang yang menemukan harus mengumumkannya.
Sedangkan harta terpendam jahiliyah adalah
harta terpendam yang memiliki tanda atau tulisan yang menunjukkan bahwa harta
itu dipendam sebelum era Islam. Misalnya: pahatan gambar arca atau patung,
tulisan nama penguasa jahiliyah, dan lain sebagainya. Harta terpendam jahiliyah
statusnya menjadi hak milik orang yang menemukan, namun harus dikeluarkan zakat
mal-nya, yaitu sebesar seperlima atau 20%.
Kedua, Akad-akad pemindah kepemilikan (al-‘Uqud).
Ada dua macam akad, yaitu akad berdasarkan persetujuan dan akad yang bersifat
paksaan. Berikut penjelasan detailnya:
a) Akad yang berdasarkan persetujuan (ikhtiyariyah).
Misalnya: Jual beli, hibah, wasiat, dan sebagainya. Akad jenis ini adalah sebab
atau sumber munculnya kepemilikan yang paling penting, paling umum dan paling
banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat. Alasannya, akad-akad tersebut
memerankan aktivitas ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia
melalui jalur transaksi;
b) Akad yang bersifat paksaan (jabariyah).
Pencabutan kepemilikan secara paksa dalam Syuf’ah. Contoh kasus: Ada
sebidang tanah milik bersama antara si A dan si B; sementara tanah itu belum
dibagi dan ditentukan tapal batasnya. Lalu si B menjual bagiannya kepada si C
tanpa izin si A, maka si A yang memiliki hak Syuf’ah berhak untuk
mengambil-alih bagian si B yang telah dibeli si C secara paksa, dengan
mengganti harga pembelian yang telah diserahkan si C.
Pencabutan kepemilikan secara paksa demi
kepentingan umum. Contoh kasus: Mengambil alih kepemilikan tanah milik
seseorang secara paksa dengan memberinya kompensasi sesuai dengan harga yang
adil untuk tanah itu, karena ada kondisi darurat atau demi kemaslahatan umum,
seperti untuk memperluas masjid atau jalan raya.
Ketiga, al-Khalafiyyah, yaitu pergantian kepemilikan. Ada dua
macam al-Khalafiyah: a) Pergantian antara individu dengan individu yang
lain. Misalnya: Harta warisan; b) Pergantian antara sesuatu dengan sesuatu yang
lain. Misalnya: Denda, ganti rugi, dan lain-lain.
Keempat, al-Tawallud min al-Mamluk, yaitu kepemilikan yang terlahir atau
terhasilkan dari sesuatu yang dimiliki. Maksudnya, apa yang terlahir atau
terhasilkan (disebut al-far’u) dari sesuatu yang dimiliki (disebut al-ashlu)
adalah milik si pemilik al-ashlu tersebut.
Jadi, ada dua contoh kepemilikan jenis
ini:
a) Keterhasilan secara alami. Misalnya:
Seseorang memiliki pohon, kemudian pohonnya berbuah, maka buah tersebut menjadi
hak milik pemilik pohon. Seseorang memiliki domba, maka anak domba, bulu domba
dan air susu domba ;
b) seluruhnya menjadi milik pemilik
domba.Keterhasilan karena perbuatan si pemilik. Misalnya: Seseorang menggashab
suatu lahan, lalu menebar benih di atas lahan tersebut. Apabila tumbuh tanaman,
maka tanaman tersebut menjadi miliknya, karena tanaman itu tumbuh dari benih
yang dia taburkan. Akan tetapi, dia wajib membayar biaya sewa lahan dan ganti
rugi kepada pemilik lahan yang digashab.
Referensi
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu [Juz 5] (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), h. 489-511.