Kompetisi versus Kolaborasi
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Memadukan Kompetisi dan Kolaborasi |
Manusia adalah
makhluk individual sekaligus sosial. Sebagai makhluk individual, manusia
memiliki karakteristik yang unik, berbeda dengan orang lain. Sebagai makhluk
sosial, manusia membutuhkan keberadaan orang lain. Baik sebagai makhluk
individual maupun sosial, manusia selalu ingin meningkatkan kualitas
kehidupannya, sehingga memicu mobilitas vertikal. Dari buruk menjadi baik; dari
baik menjadi lebih baik; dari lebih baik menjadi terbaik.
Peningkatan
kualitas dapat diraih melalui dua jalur, kompetisi dan kolaborasi. Kompetisi
adalah stimuli peningkatan kualitas individual, sedangkan kolaborasi adalah
stimuli peningkatan kualitas sosial. Apabila seseorang ingin mencapai
keberhasilan yang seutuhnya –individual dan sosial–, maka dia membutuhkan
kompetensi dan kolaborasi.
Terkait kompetisi
dalam dunia pendidikan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, hierarki peserta kompetisi. Secara umum, ada tiga
tingkatan “peserta” kompetisi: juara (sabiq), lolos (muqtashid;
ashhab al-yamin), gagal (zhalim; ashhab al-syimal) (Q.S. Fathir
[35]: 32; al-Waqi’ah [56]: 8-10).
Jika dikontekstualisasikan dengan dunia
pendidikan, contoh siswa kategori sabiq adalah siswa yang menunggu waktu
(in time), datang sebelum kelas dimulai; siswa kategori muqtashid
datang tepat waktu (on time) sesuai jadwal kelas; siswa kategori zhalim
datang telat (out time), apalagi tidak masuk tanpa izin.
Kedua, melatih mental juara (sabiq). Caranya adalah membiasakan
berkompetisi dengan diri sendiri maupun orang lain.
Kompetisi dengan diri
sendiri ditujukan pada usaha menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Contoh: ketika
kemarin berani bertanya satu kali dalam satu sesi pembelajaran, sekarang berani
mengajukan dua pertanyaan. Sedangkan kompetisi dengan orang lain adalah berusaha
melampaui kualitas orang lain. Contoh: jika semester sebelumnya meraih ranking
10, maka semester berikutnya berusaha mencapai ranking 5.
Ketiga, menjadikan kompetisi tidak lagi relevan. Ini adalah
ciri khas orang yang kreatif-visioner. Wujudnya adalah seseorang memiliki
gagasan atau keterampilan yang lebih maju dibandingkan orang lain.
Misalnya ketika
seluruh siswa di sekolah mempelajari bahasa Mandarin, seorang siswa justru
mempelajari bahasa Perancis. Akhirnya dia menjadikan kompetisi tidak lagi
relevan, karena dia tidak memiliki kompetitor sama sekali. Inilah contoh strategi modern yang akrab
disebut dengan blue ocean strategy (strategi samudra biru).
Sedangkan kolaborasi
dalam dunia pendidikan dapat diwujudkan melalui tiga model.
Pertama, jaringan (network). Semakin banyak jaringan
yang dimiliki oleh lembaga pendidikan, semakin besar peluang untuk meningkatkan
kualitas.
Saat ini pun kualitas lembaga pendidikan dapat dilihat dari seberapa
luas jaringan yang dimiliki, baik dengan sesama lembaga pendidikan, lembaga
swasta hingga lembaga pemerintahan. Berbekal jaringan, setiap problem yang
dihadapi lembaga pendidikan, berpotensi mendapatkan bantuan solutif dari mitra
jaringannya.
Kedua, interaksi harmonis. Kolaborasi yang efektif
berangkat dari interaksi yang harmonis. Jika masih terdapat rasa curiga, iri
hati, dengki dan sejenisnya, maka kolaborasi sulit berjalan efektif; karena
kolaborasi dijalankan setengah hati.
Ketiga, pembelajaran kolaboratif. Saat ini, dunia pendidikan
sedang disesaki oleh beragam jenis pembelajaran kooperatif (cooperative
learning), terutama model diskusi kelompok, seperti Jigsaw. Melalui
pembelajaran kooperatif, peserta didik membiasakan diri untuk berkerjasama dengan
rekan-rekannya demi meraih kesuksesan.
Agar meraih
kesuksesan secara optimal, maka manusia membutuhkan perpaduan kompetisi dan
kolaborasi. Dalam konteks ini, dunia sepakbola mengajarkan perpaduan yang
harmonis antara kompetisi dan kolaborasi.
Misalnya, untuk
mendapatkan jatah menjadi pemain inti, pesepakbola harus berkompetisi dengan
sesama pemain dalam satu klub. Namun untuk meraih kemenangan melawan tim musuh,
pesepakbola harus berkolaborasi dengan pemain-pemain lain di klubnya.
Dengan
demikian, dua manfaat diraih sekaligus oleh pesepakbola. Pertama,
peningkatan kualitas diri. Kedua, peningkatan kualitas tim. Inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah “gelar individu” dan “gelar tim”.
Atas dasar itu,
seyogianya pendidikan Islam memberikan wadah yang memadai bagi kompetisi dan
kolaborasi antara civitas akademika maupun lembaga pendidikan.
Ada empat contoh perpaduan
kompetisi dan kolaborasi dalam dunia pendidikan.
Pertama, metode STAD (Student Teams Achievement Division).
Praktiknya adalah para peserta didik dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, lalu
diadakan kompetisi di antara kelompok-kelompok tersebut dengan skema turnamen layaknya
turnamen sepakbola. Dengan demikian, peserta didik berkolaborasi dengan sesama
anggota kelompok; sekaligus berkompetisi melawan kelompok lain.
Kedua, seleksi delegasi lembaga. Biasanya lembaga
pendidikan mengutus sejumlah peserta didik sebagai delegasi untuk mengikuti
suatu perlombaan dengan lembaga-lembaga lain. Program ini meniscayakan
kompetisi antar peserta didik secara internal agar dipercaya menjadi delegasi
lembaga. Ketika sudah resmi menjadi delegasi, maka para peserta didik tersebut
dituntut untuk berkolaborasi demi kepentingan prestasi lembaga.
Ketiga, program riset kolaboratif. Pemerintah sudah
meluncurkan program-program riset kolaboratif yang melibatkan para periset dari
satu lembaga maupun dari banyak lembaga. Dalam hal ini, setiap tim periset akan
berkompetisi dengan tim periset lain. Begitu berhasil lolos seleksi, setiap
anggota tim periset dituntut berkolaborasi untuk penyelesaian program riset
yang sedang dikerjakan.
Keempat, jurnal ilmiah. Mengingat keterbatasan jumlah artikel
yang dapat dimuat dalam setiap edisi jurnal, maka terjadi kompetisi antar para
penulis, apalagi jika jurnal tersebut berstatus terakreditasi dan atau
bereputasi. Di sisi lain, jurnal membuka kesempatan bagi artikel yang ditulis
secara kolaboratif. Tidak jarang, antar lembaga pengelola jurnal saling
“bertukar penulis”, sehingga artikel yang dimuat dalam jurnal tidak melulu
berasal dari penulis internal lembaga pengelola, melainkan dari penulis
eksternal lembaga.
Berdasarkan paparan
di atas, setiap civitas akademika maupun lembaga pendidikan Islam seharusnya
menyediakan dan mengkreasi program-program yang memfasilitasi kompetisi dan
kolaborasi, sehingga tercipta “mental juara” untuk meraih prestasi dalam
kompetisi dan “kepedulian sosial” untuk menciptakan relasi harmonis, baik pada
tataran civitas akademika maupun lembaga.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.