Leader versus Manager
Dr. Rosidin,
M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Perbedaan Gaya Leader dan Manager |
Owner (pemilik) perusahaan adalah representasi seorang
pemimpin (leader). Agar perusahaan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan
seorang manajer (manager). Kendati sama-sama atasan, keduanya memiliki
perbedaan signifikan.
Pertama,
pemimpin melakukan hal yang benar (does the right things), sedangkan manajer melakukan
hal dengan benar (does things right).
Artinya, pemimpin
lebih menekankan pada “hasil” yang benar, sedangkan manajer lebih menekankan
pada “proses” yang benar.
Jika diibaratkan, pemimpin
itu bagaikan sopir taksi yang melewati berbagai jenis jalan asalkan sampai
tujuan, sedangkan manajer itu bagaikan masinis yang harus menjalankan kereta
api di atas rel yang sudah ditentukan. Itulah mengapa, sikap pemimpin lebih
luwes, sedangkan sikap manajer lebih kaku.
Kedua,
pemimpin menekankan tantangan, sedangkan manajer menekankan perawatan.
Artinya, pemikiran
pemimpin cenderung orisinil, dikarenakan harus menghadapi tantangan-tantangan
baru yang bersifat insidental dan tak terduga, sehingga menuntut orisinalitas
solusi.
Sedangkan pemikiran
manajer cenderung administratif, dikarenakan menghadapi tantangan-tantangan
yang sudah terprogram dan terduga, sehingga menuntut solusi administratif. Dalam
konteks ini, pemimpin ibarat orang yang menciptakan komputer, sedangkan manajer
ibarat orang yang mengoperasikan komputer.
Ketiga,
pemimpin fokus pada orang, sedangkan manajer fokus pada sistem.
Artinya, pemimpin
menginspirasi dan memotivasi orang lain, sedangkan manajer mengontrol dan
menyelesaikan problem.
Banyaknya interaksi
yang dilakukan seorang pemimpin dengan orang lain, menempatkannya sebagai inspirator
dan motivator bagi kehidupan orang lain, baik melalui perkataan maupun
perbuatannya. Banyaknya interaksi yang dilakukan seorang manajer dengan sistem,
menempatkannya sebagai problem solver yang andal atas masalah-masalah
yang dihadapinya.
Ibaratnya, pemimpin
seperti seorang penceramah yang memberikan orasi di hadapan khalayak, sedangkan
manajer seperti teknisi yang mengoperasikan sound-system agar berfungsi
dengan baik.
Keempat,
pemimpin adalah pemikir strategis, sedangkan manajer adalah pemikir
operasional.
Artinya, pemimpin
menanyakan “apa” dan “mengapa”, sedangkan manajer menanyakan “bagaimana” dan
“kapan”.
Untuk menjawab
pertanyaan “apa” dan “mengapa”, dibutuhkan pemikiran jangka panjang. Sedangkan
untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “kapan”, dibutuhkan pemikiran terkait
perencanaan hingga pelaksanaan.
Jika dikaitkan
dengan filsafat ilmu, pemimpin mengarahkan pikirannya pada aspek ontologis dan
aksiologis, sedangkan manajer mengarahkan pikirannya pada aspek epistemologis.
Misalnya, pemimpin
akan memikirkan “apa” lembaga pendidikan yang tepat dan strategis bagi masyarakat
sekitar; “mengapa” lembaga pendidikan tersebut dinilai tepat dan strategis;
serta “untuk apa” lembaga pendidikan tersebut didirikan. Sedangkan manajer akan
memikirkan “bagaimana” mengoperasikan lembaga pendidikan tersebut; dan “kapan”
waktu yang tepat untuk mengoperasikannya.
Mengingat posisinya
sebagai atasan, baik pemimpin maupun manajer, seyogianya membekali diri dengan empat
sifat kenabian, agar dapat menjalankan tanggung-jawabnya dengan baik dan benar.
Pertama, kompetensi moral (al-shiddiq). Kedua,
kompetensi profesional (al-amanah). Ketiga, kompetensi sosial (al-tabligh).
Keempat, kompetensi intelektual (al-fathanah). Keempat sifat ini
dapat dikaitkan dengan empat kompetensi pemimpin besar dalam leadership
diamond yang digagas oleh Peter Koestenbaum (elcaminogroup.com).
Pertama, visi (vision), berpikir besar dan baru. Kedua,
keberanian (courage), beraksi dengan inisiatif yang berkelanjutan. Ketiga,
realitas (reality), memutuskan berdasarkan realitas, bukan ilusi. Keempat,
etika (ethics), melayani sepenuh hati.
Rhenald Kasali (nyoemhokgie.wordpress.com)
memberikan ulasan bahwa visi membuat pemimpin memiliki change DNA
yang siap melepaskan diri dari belenggu-belenggunya. Keberanian membuat
seorang pemimpin berani melakukan terobosan baru (inisiatif) dan mengambil
risiko (risk taking). Realitas membuat pemimpin tahu persis dan
mampu membedakan antara ilusi dan fakta. Etika menjadikan pemimpin
sensitif terhadap orang lain (humanis) dan tidak akan melakukan apapun yang
dianggap dapat merugikan orang lain.
Jika dikompromikan
antara sifat kenabian dan kompetensi leadership diamond, maka kompetensi
moral yang paling dibutuhkan adalah etika melayani, bukan minta dilayani.
Atasan yang melayani akan memperlakukan bawahan secara humanis, bagaikan seorang
ibu yang “melayani” bayinya, tentu akan memperlakukan si bayi dengan sebaik
mungkin. Sedangkan atasan
yang minta dilayani akan memperlakukan bawahan secara eksploitatif, bagaikan
seorang penjajah yang mengeskploitasi SDM maupun SDA daerah jajahannya.
Kompetensi
profesional yang paling dibutuhkan adalah mengambil kebijakan berdasarkan
realitas, bukan ilusi. Misalnya, guru mengevaluasi prestasi belajar siswa
berdasarkan data faktual terkait proses pembelajaran yang dialami siswa, bukan
sekedar mengevaluasi sekehendak hati yang kerap disindir dengan akronim, ngaji
yaitu ngarang biji (membuat-buat nilai). Sehingga prestasi belajar siswa
valid, bukan fiktif.
Kompetensi sosial
yang paling dibutuhkan adalah berinisiatif dan mengambil risiko. Seorang atasan
dapat berinisiatif mengambil keputusan tertentu, kendati berisiko dibenci oleh
bawahannya. Misalnya Kepala Sekolah menetapkan pemotongan gaji bagi guru yang
terlambat, apalagi absen mengajar, tanpa izin.
Kompetensi
intelektual yang paling dibutuhkan adalah visi. Visi berarti memiliki pemikiran
yang melampaui zamannya. Misalnya, pemikiran para pendiri Pesantren Modern
Darussalam Gontor yang menerapkan pembelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris
bagi santri; padahal saat itu bahasa Inggris masih lekat dengan label “bahasa
orang kafir”. Ternyata, di masa-masa berikutnya, para alumni Pesantren Gontor
banyak yang menempati posisi elit di Indonesia, seperti KH. Hasyim Muzadi
sebagai Ketua PBNU dan Din Syamsuddin sebagai Ketua Muhammadiyah.
Seolah meneruskan
watak visioner gurunya, KH. Hasyim Muzadi pun tergolong pemimpin yang visioner
dengan mendirikan Madrasah Kulliyatul Qur’an di Depok yang hanya diisi
oleh para mahasiswa berstatus hafal al-Qur’an 30 Juz.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.