Manusia sebagai Makhluk Individual versus Sosial
Dr. Rosidin,
M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Teori Ekologi Bronfenbrenner |
Manusia adalah
makhluk dwi-tunggal, yaitu individual sekaligus sosial. Studi tentang manusia
sebagai makhluk individual disebut Psikologi, sedangkan studi tentang manusia
sebagai makhluk sosial disebut Sosiologi. Kedua disiplin ini menjelaskan
tentang dinamika manusia dari segi individual maupun sosial.
Secara psikologis,
dinamika individual manusia meliputi empat aspek.
Pertama, pertumbuhan fisik.
Kedua, perkembangan bahasa.
Ketiga, perkembangan kognitif (intelektual).
Keempat, perkembangan sosial-emosional (moral).
Secara sosiologis, dinamika
umat manusia mengalami dua jenis mobilitas sosial.
Pertama, mobilitas horizontal.
Kedua, mobilitas vertikal. Sedangkan mobilitas vertikal
sendiri terbagi menjadi dua, yaitu progresif (naik) dan regresif (turun).
Pendidikan Islam
perlu diorientasikan berdasarkan pertimbangan aspek psikologis dan sosiologis
manusia.
Dilihat dari
pertumbuhan fisik, pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan umum dan
pendidikan inklusi.
Pendidikan umum
ditujukan bagi peserta didik yang pertumbuhan fisiknya berjalan normal, misalnya
sekolah-sekolah umum. Sedangkan pendidikan inklusi ditujukan bagi peserta didik
yang mengalami hambatan pertumbuhan fisik. Misalnya Sekolah Luar Biasa (SLB)
yang diperuntukkan bagi para siswa yang mengalami tuna netra, tuna rungu, dan
sebagainya.
Di sisi lain,
pendidikan diklasifikasikan sesuai dengan usia rata-rata peserta didik.
Misalnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diisi anak usia dini. Taman
Kanak-Kanak (TK) diisi anak usia pra sekolah. Sekolah Dasar (SD) diisi anak
usia sekolah. Sekolah Menengah Pertama (SMP) diisi remaja awal. Sekolah
Menengah Atas (SMA) diisi remaja akhir. Perguruan Tinggi diisi orang dewasa.
Dilihat dari perkembangan
bahasa, pendidikan bertanggung-jawab mendidikkan lima elemen dasar bahasa (John
Santrock, 2011: 58-59).
Pertama, fonologi (bunyi bahasa). Misalnya siswa diajari
pelafalan huruf Hijaiyyah, sehingga dapat membedakan antara cara membaca huruf tsa’,
sin, syin dan shad sesuai fonemnya.
Kedua, morfologi (bentuk kata). Misalnya siswa diajari
tentang perbedaan kata “belajar”, “mengajar”, “pelajar” dan “pelajaran” yang
berasal dari morfem yang sama, yaitu “ajar”.
Ketiga, sintaksis (susunan kata). Misalnya siswa diajari
tentang penyusunan kalimat yang terdiri dari subyek (kata benda), predikat
(kata kerja) dan objek, seperti: “saya cinta al-Qur’an”.
Keempat, semantik (makna kata). Misalnya siswa diajari
tentang perbedaan makna antara al-Qur’an dengan Hadis.
Kelima, pragmatik (penggunaan bahasa). Misalnya siswa
diajari tentang etika berbahasa sesuai dengan usia mitra bicara. Seperti kata sapaan
“kamu” ditujukan kepada teman, sedangkan “Anda” ditujukan kepada guru. Dalam
bahasa Jawa, memakai bahasa ngoko ketika berkomunikasi dengan mitra
bicara yang lebih muda atau seusia; memakai bahasa kromo atau kromo
inggil ketika berkomunikasi dengan mitra bicara yang lebih tua atau
lebih dihormati.
Dilihat dari
perkembangan kognitif, pendidikan Islam dapat memanfaatkan teori Vygotsky
tentang zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development) (John
Santrock, 2011: 51-52).
Artinya, apabila
siswa diberi pelajaran yang sudah dipahami, maka dia akan jenuh. Ini adalah
“batas bawah” (lower limit). Apabila siswa diberi pelajaran yang sangat
sulit dipahami, maka dia akan frustasi. Ini adalah “batas atas” (upper limit).
Untuk itu, pendidik
bertugas mendeteksi zona perkembangan proksimal peserta didik yang bergerak
merentang antara “batas bawah” dan “batas atas” kemampuan kognitif peserta
didik.
Jadi, zona perkembangan
proksimal adalah zona kognitif yang berpotensi untuk dikembangkan, berdasarkan
pertimbangan “batas bawah” dan “batas atas” yang dimiliki oleh peserta didik.
Ilustrasinya adalah
siswa yang sudah mahir membaca al-Qur’an, tidak perlu diajari lagi membaca
al-Qur’an, karena dia akan jenuh. Dia juga tidak boleh langsung diberi tugas
menyusun makalah tafsir al-Qur’an, karena bisa membuatnya frustasi. Zona
proksimalnya adalah siswa diajari tentang tafsir al-Qur’an, sehingga suatu saat
dia mampu menyusun makalah tafsir al-Qur’an.
Ibaratnya, saat ini
jangan menuntut timnas sepakbola Indonesia menjuarai Piala Dunia, melainkan
cukup menuntut agar menjuarai Piala ASEAN, maksimal Piala Asia.
Dilihat dari
perkembangan sosial-emosional, pendidikan perlu mempertimbangkan teori ekologi yang
digagas Bronfenbrenner. Menurut teori ini, perkembangan sosial-emosional
manusia dipengaruhi oleh lima sistem lingkungan:
Pertama, mikrosistem yang meliputi keluarga, teman
sebaya, sekolah, tetangga sekitar, umat beragama hingga pusat kesehatan
masyarakat.
Kedua, mesosistem yang meliputi hubungan antara
mikrosistem, semisal hubungan antara pengalaman di keluarga dengan di sekolah.
Ketiga, eksosistem yang meliputi teman-teman
keluarga, tetangga jauh, media massa, pusat pelayanan sosial hingga lembaga
layanan hukum.
Keempat, makrosistem yang meliputi sikap dan ideologi
budaya yang dianut.
Kelima, kronosistem yang meliputi kondisi
sosio-historis.
Misalnya, karakter
jujur dibina melalui lingkungan keluarga yang jujur (mikrosistem), diperkuat
oleh pengalaman yang sama ketika bersekolah (mesosistem), media massa
mempromosikan pentingnya kejujuran (eksosistem), budaya bangsa
menekankan kejujuran (makrosistem) dan perkembangan zaman yang semakin
memprioritaskan kejujuran (kronosistem).
Apabila mayoritas anggota
masyarakat berhasil mengembangkan potensi fisik, bahasa, kognitif dan
sosial-emosional dengan baik, maka akan memicu mobilitas sosial vertikal yang bergerak
menaik (progresif). Misalnya, dari masyarakat berkembang menjadi masyarakat
maju.
Sebaliknya, jika mayoritas
anggota masyarakat gagal mengembangkan keempat potensi tersebut dengan baik,
maka berpotensi menimbulkan mobilitas sosial vertikal yang bergerak menurun
(regresif). Misalnya, dari masyarakat berkembang menjadi masyarakat
terbelakang.
Apabila anggota
masyarakat pada posisi seimbang, antara yang berhasil dengan yang gagal, maka
akan terjadi mobilitas sosial horizontal yang hanya sekedar berpindah lokasi,
namun masih pada satu level. Misalnya, dari masyarakat buruh tani menjadi
masyarakat buruh pabrik.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.