Pemberian dan Pencabutan Rezeki oleh Allah SWT
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Cover "Syarah Al-Hikam" oleh Jasser Auda |
رُبَّما أَعْطاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّما مَنَعَكَ فأَعْطاك.
مَتى فَتَحَ لَكَ بابَ الفَهْمِ في المَنْعِ عادَ المَنْعُ عَيْنَ
العَطاءِ.
إنَّما يُؤلِمُكَ المَنْعُ لِعَدَمِ فَهْمِكَ عَنِ اللهِ فيهِ.
رُبَّما فَتَحَ لَكَ بابَ الطّاعَةِ وَما فَتَحَ لَكَ بابَ القَبولِ.
وَرُبَّما قَضى عَلَيْكَ بِالذَّنْبِ فَكانَ سَبَبَاً في الوُصولِ.
مَعْصِيَةٌ أَورَثَتْ ذُلاً وافْتِقاراً خَيرٌ مِنْ طاعَةٍ أوْرَثَتْ
عِزّاً وَاسْتِكْبارًا.
Mungkin
kamu berpikir bahwa Allah sedang memberimu anugerah, padahal kenyataannya Dia
sedang mencabut anugerah darimu! Kamu mungkin berpikir bahwa Dia sedang
mencabut [anugerah] darimu, padahal kenyataannya Dia sedang memberimu
[anugerah]!
Jika
melalui pencabutan [anugerah] itu Allah membukakan pintu-pintu pemahaman
bagimu, berarti pencabutan [anugerah] tersebut adalah anugerah yang
sesungguhnya.
Kamu
merasa sedih ketika Allah mencabut [anugerah] darimu karena kamu tidak
memahaminya.
Mungkin
Allah membukakan pintu ibadah bagimu, namun Dia tidak membukakan pintu
penerimaan [ijabah].
Mungkin
engkau ditakdirkan berbuat dosa, namun hal itu justru menjadi media untuk naik
[mi’raj] kepada-Nya.
Suatu
dosa yang menghasilkan sikap tawadhu’ [rendah hati] dan rasa butuh [kepada
Allah] adalah lebih baik daripada suatu amal ibadah yang menghasilkan sikap
sombong dan prasangka buruk.
Dengan
Menyebut Nama Allah Yang
Maha Pengasih, Maha Penyayang
Pada
suatu saat Allah SWT
memberi dan pada saat yang lain Allah SWT
mencabut. Mungkin Allah SWT
menguji kita melalui “kebaikan” dan “keburukan”, “keuntungan” dan “penderitaan”, atau melalui
“penganugerahan” atau “pencabutan” kenikmatan. Akan tetapi, realitas dari
masing-masing hal di atas bisa jadi berbeda dari label yang kita sematkan
maupun dari asumsi yang kita buat terkait dengannya.
Pada
tahap dalam perjalanan menuju Allah SWT ini, Ibn ‘Atha’illah mengajari kita tentang
pentingnya membangun pemahaman yang mendalam tentang hikmah di balik
“pemberian” dan “pencabutan” oleh Allah SWT Allah SWT berfirman:
Maka
adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu me muliakannya dan
memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku”. Namun,
apabila Tuhannya meng ujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata,
“Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak! (QS al-Fajr [89]:
15-17)
Kata
“sekali-kali tidak!” dalam ayat di atas bermakna bahwa terjadi pemahaman yang
tidak benar perihal “hidup dalam kesenangan [kaya]” atau “terbatas rezekinya [miskin]”.
Di
sini Allah SWT
berfirman bahwa jika Dia menguji kita dengan membatasi sarana-sarana mata
pencaharian kita, bukan berarti Dia sedang mempermalukan kita. Dan ketika Dia
menguji kita dengan membiarkan kita menikmati suatu kehidupan dalam kesenangan
untuk sementara waktu, bukan berarti hal itu sudah pasti baik. Pertanyaannya
adalah bagaimana kita bisa menilainya?
Syaikh
Ibn ‘Atha’illah menarik perhatian kita pada penger tian paling penting dari kata-kata
hikmahnya, yaitu “pemahaman” (fahm): Jika melalui pencabutan anugerah
itu Allah membukakan pintu-pintu pemahaman bagimu, berarti pencabutan anugerah
tersebut adalah anugerah yang sesungguhnya. Ini adalah bagaimana cara kita
menilai. Jika Allah SWT mencabut anugerah dari kita atau kita kehilangan
kekayaan, kesempatan, kesehatan atau keluarga; dan pada saat yang sama Dia
membuka pintu “pemahaman”, berarti apa yang kita alami bukanlah pencabutan,
melainkan suatu pemberian anugerah. Dalam kasus ini, ujian sebagai sebuah
anugerah.
Sebelum
terbentuk “pemahaman” yang benar, kita hanya melihat pada tingkat material
saja, tataran panca indera, angka-angka dan gambar-gambar. Misalnya, saat saya
kehilangan uan 1.000 dolar atau kehilangan kesehatan, ini
adalah contoh kalkulasi pada tataran material.
Akan
tetapi, bisa jadi Allah SWT mengambil 10.000 dollar dan memberi saya suatu
kemampuan untuk memahami, perasaan puas, melakukan amal kebaikan, memiliki
keinginan kuat, teman baik dan di atas semua itu [Allah SWT menganugerahkan kepadaku]
kedekatan dengan-Nya.
Kita
harus memahami pengertian sesungguhnya ihwal pemberian dan pencabutan anugerah.
Terkadang kita berpikir bahwa suatu hal adalah pencabutan, padahal
kenyataannya adalah pemberian; dan sebaliknya. Mungkin seseorang mendapatkan
gaji uang dalam jumlah besar, misalnya, tetapi tidak bersyukur kepada Allah SWT melalui perkataan ataupun
perbuatan. Pemberian tersebut bisa jadi berlanjut, namun orang itu
menyia-nyiakan uangnya di jalan kemaksiatan. Lalu Allah SWT pun memberikan
kekayaan yang lebih banyak dan kesempatan-kesempatan kepada orang tersebut
untuk kembali kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
Dan Aku
memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh. (QS
al-Qalam [68]: 45)
Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami
pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga ketika
mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa
mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa. Maka
orang-orang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Dan segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam. (QS al-An’am: 44-45)
Jika
Allah SWT membukakan pintu pemeliharaan yang baik untuk Anda atau mengabulkan
suatu permintaan Anda, berarti Dia sedang menyeru Anda untuk memahami hal itu,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Ibn ‘Athaillah. Pertama,
bersyukurlah kepada Allah SWT agar kenikmatan itu tetap terikat pada Anda. Kedua,
renungkanlah hikmah dan makna di balik pemberian itu dan berhati-hatilah
tentang ujian yang mungkin terkandung di dalam pemberian tersebut.
Syaikh
Ibn ‘Atha’illah memberikan dua contoh khusus. Beliau berkata: Mungkin Allah
membukakan pintu ibadah bagimu, namun Dia tidak membukakan pintu penerimaan
[ijabah].
Allah
SWT mungkin membukakan pintu-pintu untuk Anda dan Anda mendapati diri Anda melakukan
sejumlah amal kebaikan, seperti salat, menghafal al-Qur’an, memberikan sedekah,
puasa, melaksanakan haji, menghadiri suatu majlis ta’lim, mengajari orang lain,
atau menunjukkan mereka di jalan Allah SWT Akan tetapi, berhati-hatilah.
Terkadang Anda membayangkan bahwa ibadah itu sendiri merupakan suatu anugerah
dari Allah SWT, padahal kenyataannya bukan. Mengapa demikian? Karena bisa jadi
seseorang melakukan suatu amal kebaikan, namun tidak men dapatkan pahala.
Allah
SWT berfirman:
Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemu dian mereka tidak mengiringi
apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. (QS al-Baqarah [2]: 262)
Ini
adalah contoh terkait amal baik, yaitu sedekah yang dirusak dan dibatalkan oleh
perbuatan lain, misalnya menyakiti perasaan orang yang diberi. Perbuatan ini
kemudian menghapuskan sedekah dan menutup pintu penerimaan maupun pa hala di
akhirat kelak.
Beberapa
orang melakukan kebaikan hanya untuk pamer dan agar dipuji oleh orang lain
sehingga mengantarkan mereka pada hukuman.
Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka.
Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka lakukan dengan malas. Mereka
bermaksud riya (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat
Allah kecuali sedikit sekali. (QS al-Nisa’: 142)
Maksud
utama amal ibadah adalah keikhlasan dan meraih manfaat moral maupun spiritual
dari ibadah tersebut. Suatu ibadah yang tanpa disertai keikhlasan dan manfaat
moral maupun spiritual, berarti ibadah
tersebut tidak berharga. Nabi SAW bersabda:
Barang
siapa tidak berhenti melakukan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah SWT
tidak butuh pada puasanya yang meninggalkan makan dan minum.
Ini
berarti Allah SWT tidak akan menerima puasa [orang] tersebut yang terlihat
sebagai amal baik, padahal sebenarnya tidak.
Contoh
lain dari Syaikh Ibn ‘Atha’illah yang berhubungan dengan masalah ibadah dan
dosa, serta membutuhkan suatu pemahaman yang akurat adalah perkataannya: Mungkin
engkau ditakdirkan berbuat dosa, namun hal itu justru menjadi media untuk naik
[mi’raj] kepada-Nya. Imam Ibn Qayyim al-Jawzi menyatakan suatu pernyataan
yang mirip dengan konteks ini: “Suatu dosa bisa jadi menghasilkan kerendahan
diri dan rasa butuh [kepada Allah SWT] sehingga mengantarkan seseorang ke
surga. Suatu amal ibadah bisa jadi menghasilkan kesombongan dan prasangka buruk
sehingga mengantarkan seseorang ke neraka.”
Tentu
saja dosa itu sendiri tidak dapat mengantarkan se seorang untuk memasuki
surga. Akan tetapi, jika suatu dosa sudah dilakukan dan orang yang melakukan
dosa tersebut bertaubat kepada Allah SWT dengan ikhlas, mungkin hal itu baik
secara garis besar. Hal ini menjadi kenyataan jika seseorang bertaubat,
mengubah cara-cara hidupnya, selalu menyesali dosanya dengan duka cita dan
mencoba sebaik-baiknya untuk mengimbanginya dengan amal-amal baik. Dalam hal
ini, dosa yang menghasilkan kerendahan diri dan rasa butuh [kepada Allah SWT]
dalam jangka panjang menjadi suatu anugerah dari Allah SWT
Akan
tetapi, bukan berarti seseorang harus melakukan suatu dosa dan berkata bahwa
“Saya sedang melakukan dosa agar pada akhirnya menjadi rendah diri dan
bertaubat kepada Allah SWT”. Pernyataan ini adalah pemahaman yang salah dan
menyimpang, yang sayangnya diadopsi oleh beberapa orang bodoh yang mengaku
sebagai sufi.
Di
sisi lain, suatu amal ibadah yang menghasilkan kesom bongan di hati merupakan
suatu perbuatan maksiat, bukan perbuatan baik. Nabi SAW bersabda:
Tidak
akan masuk surga siapa pun yang di dalam hatinya terdapat kesombongan,
[meskipun] seberat dzarrah [benda paling ringan]; atom.
Ini
semua tergantung pada respons kita. Nabi SAW bersabda:
Sungguh
menakjubkan urusan orang mukmin, seluruh urusannya adalah baik; dan hal ini
hanya berlaku bagi orang mukmin semata. Jika terjadi suatu kebaikan kepada
mereka, maka mereka bersyukur kepada Allah SWT dan hal itu baik bagi mereka.
Jika terjadi suatu keburukan kepada mereka, maka mereka bersabar dan hal itu
juga baik bagi mereka.
Hadis
di atas mengindikasikan bahwa kita sendirilah yang mendatangkan hasil yang baik
atau buruk bagi diri kita. Semua nya tergantung pada kita! Jika kita bersyukur
kepada Allah SWT atas kebaikan yang terjadi, maka hal itu baik bagi kita. Jika
kita bersabar atas keburukan yang terjadi pada kita, hal itu juga baik bagi
kita. Akan tetapi, jika kita menjadi sombong ketika terjadi suatu kebaikan,
maka hal itu adalah sikap yang buruk. Jika kita tidak bersabar atas keburukan
yang terjadi, hal itu juga sikap yang buruk. Jadi, berdasarkan pada reaksi
kitalah kita menentukan apakah sesuatu yang terjadi pada kita merupakan suatu
anugerah Ilahi atau sebaliknya.
Akan
tetapi, Allah SWT selalu memilihkan apa yang terbaik bagi manusia, dan terserah
kepada mereka untuk memutuskan bagaimana sikap mereka dalam menerima
pilihan-pilihan Allah SWT tersebut.
Di
tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu. (QS Ali ‘Imran: 26)
Referensi:
Auda, Jasser. Spiritual Journey:
28 Langkah Meraih Cinta Allah. Terj. Rosidin. Bandung: Mizania. 2014. hlm.
127-135.