Mendidik Aktualisasi Diri Anak
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Manusia diberi potensi yang luar biasa oleh Allah SWT
(Q.S. al-Tin [95]: 4), sehingga posisinya lebih mulia dibandingkan mayoritas
makhluk lainnya (Q.S. al-Isra’ [17]: 70). Potensi diri inilah yang dibina oleh
pendidikan agar mewujud menjadi aktualisasi diri. Jika mengacu pada teori
psikologi pendidikan, ada empat potensi diri yang dapat diaktualisasikan.
Pertama, pengembangan fisik
Ketika masih bayi, fisik manusia masih serba lemah.
Seiring waktu, fisik manusia tumbuh menjadi kuat. Dalam konteks ini, tujuan
pendidikan adalah mengembangkan fisik agar tumbuh menjadi sehat dan kuat,
sebagaimana fisik yang dimiliki oleh Raja Thalut (Q.S. al-Baqarah [2]: 247) dan
Nabi Musa AS (al-Qashash [28]: 26).
Salah satu
caranya adalah mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib
(Q.S. al-Baqarah [2]: 168), latihan olahraga (Q.S. al-Anfal [8]: 60), serta
menjaga kesehatan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW melalui puasa
dan mengatur pola makan (makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum
kenyang).
Kedua, pengembangan kognitif (akal)
Ajaibnya, al-Qur’an tidak pernah menyebut akal dengan
kata benda, melainkan kata kerja. Ini artinya, nilai akal tidak terletak pada
besar-kecilnya otak, melainkan terletak pada aktivitas otak. Al-Qur’an
berulang-ulang menyeru manusia agar menggunakan akalnya (disebutkan 49 kali
dalam 49 ayat). Objek aktivitas akal dapat ditujukan
pada fenomena alam (Q.S. al-Baqarah [2]: 164), pengalaman insan (Q.S. al-An’am
[6]: 151) dan ayat-ayat al-Qur’an (Q.S. Yusuf [12]: 2).
Selain
terma akal, al-Qur’an merayakan penggunaan akal dengan berbagai aktivitas
kognitif. Misalnya, bertafakkur (diadopsi ke dalam bahasa Indonesia, “pikir”
atau “tepekur”)
yang disebut sebanyak 18 kali dalam 18 ayat. Tafakur merupakan mitra dzikir.
Jika dzikir mengingat Dzat Yang Maha Pencipta, maka tafakkur memikirkan “maha
karya” yang diciptakan (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 190-191). Oleh sebab itu, inti
aktivitas tafakkur adalah menalar ayat-ayat Allah SWT (Qur’aniyyah
maupun Kauniyyah) agar dapat mengenal Allah SWT dengan sebaik-baiknya
(Q.S. al-Hasyr [59]: 21).
Ada pula istilah al-nuha (Q.S. Thaha [20]: 54, 128)
yang mengacu pada akal yang “mencegah” pemiliknya dari melakukan hal-hal yang
dilarang oleh Allah SWT, apalagi meniru “aktor-aktor antagonis” yang terkenal
sering melanggar aturan Allah SWT, seperti Fir’aun, kaum Nabi Nuh AS, kaum Nabi
Hud AS, kaum Nabi Shalih AS, kaum Nabi Luth AS, dan kaum-kaum penyembah berhala
lainnya (Q.S. Thaha [20]: 51-54) serta orang-orang yang melalaikan dzikir
kepada Allah SWT, bersikap berlebihan (israf) dan berdusta terhadap
ayat-ayat Allah SWT (Q.S. Thaha [20]: 121-128).
Di samping tiga terma ini, masih banyak lagi terma
yang esensinya menunjuk pada akal, seperti al-lubb, al-hilm, al-fu’ad,
dan sebagainya.
Ketiga, pengembangan bahasa
(komunikasi)
Pengembangan bahasa ini didasarkan pada
ayat-ayat al-Qur’an yang memuat terma qaul (perkataan) yang mencapai 92
ayat dengan rincian: al-qaul 52, qaulan 19, qaulika 1, qaulukum
2, qauluna 1, qauluhu 2, qauliha 1, qaulihim atau qauluhum
12, qauli 2. Di samping ayat-ayat lain yang
relevan dengan topik ini. Berdasarkan
analisis terhadap ayat-ayat tersebut, paling tidak ada 9 (sembilan) sasaran
pengembangan bahasa.
a) lemah lembut, terutama ketika berdakwah
(Q.S. Thaha [20]: 44) Meskipun Fir’aun memiliki profil buruk sebagai
seorang raja yang kafir lagi sombong, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa AS dan
Nabi Harun AS agar bertutur kata yang lemah lembut kepadanya. Oleh sebab itu, seorang muslim seharusnya bertutur kata yang lemah
lembut kepada orang lain. Perlakuan ini pantas diterima, mengingat keburukan
orang lain tersebut sangat jauh di bawah Fir’aun.
b) tata krama.
Tutur kata yang penuh tata krama ditujukan kepada orang yang lebih tua, lebih
senior, atau lebih dihormati, terutama kepada kedua orangtua (Q.S. al-Isra’
[17]: 23) Contoh tata krama dalam tutur kata adalah menggunakan bahasa sesuai
dengan mitra bicara. Misalnya, seorang anak tidak boleh memanggil ayah-ibunya
dengan nama aslinya; menggunakan kata ganti “kamu”; bertutur kata yang dalam
menyakiti hatinya, walaupun hanya sebesar kotoran yang menempel di bawah kuku
(arti asli kata uff dalam ayat di atas adalah “kotoran di bawah kuku”).
Dalam konteks ini, dilarang mengucapkan sumpah serapah atau kata-kata kotor
(vulgar), baik ketika sendirian, lebih-lebih ketika bersama orang lain.
c) sesuai ‘urf (selaras dengan ajaran Islam dan budaya masyarakat).
Tutur kata yang selaras dengan ‘urf ini disebut dengan ma’ruf.
Jenis tutur kata ini disebutkan enam kali dalam al-Qur’an. Adapun mitra bicara
yang diperlakukan seperti ini adalah laki-laki kepada wanita (Q.S. al-Baqarah
[2]: 235) atau wanita kepada laki-laki (Q.S. al-Ahzab [33]: 32); pengemis (Q.S.
al-Baqarah [2]: 263); anak-anak (Q.S. al-Nisa’ [4]: 5); keluarga, anak yatim dan
orang miskin (Q.S. al-Nisa’ [4]: 8); pimpinan (Q.S. Muhammad [47]: 21).
d) volume suara tidak keras, apalagi membentak. Surat al-Hujurat
[49]: 1 melarang suara keras yang ditujukan kepada orang yang lebih dihormati.
Surat Luqman [31]: 19 mengisyaratkan agar bersuara lirih, dikarenakan suara
yang keras diibarkan seperti suara pekikan keledai. Surat al-Dhuha [93]: 10
melarang menghardik para peminta-minta.
e)
perkataan tidak menyakiti perasaan orang lain.
Misalnya memberi sedekah kepada orang lain, namun terus-menerus
mengungkit-ungkit pemberian tersebut, sehingga orang tersebut merasa malu atau
sakit hati. Bahkan perkataan yang menyakitkan seperti ini justru melebur pahala
sedekah yang diberikan (Q.S. al-Baqarah [2]: 246).
f) perkataan yang benar (Q.S.
al-Ahzab [33]: 70). “Berkatalah yang benar, meskipun pahit rasanya”.
Demikianlah kata-kata hikmah yang menekankan pentingnya perkataan yang benar.
Perkataan yang benar ini meliputi perkataan yang jujur, sesuai dengan fakta,
bukan citra. Oleh sebab itu, tidak etis memoles perkataan menjadi pujian yang
berlebihan, demi “mencari muka” atau menaikkan citra (Q.S. al-Baqarah [2]:
204). Apalagi bertujuan menipu orang lain (Q.S. al-An’am [6]: 112).
g)
perkataan yang pantas. Ketika seseorang tidak
dapat memenuhi harapan orang lain, maka dia perlu bertutur kata yang pantas.
Misalnya ketika seseorang tidak mampu memberi sedekah kepada orang lain, maka
dia perlu memberi penjelasan yang dapat diterima orang tersebut, sembari
berjanji akan memberinya ketika sudah mampu (Q.S. al-Isra’ [17]: 28).
h)
perkataan yang efektif. Perkataan yang efektif
berarti bertutur kata sesuai dengan mitra bicara, sebagaimana sabda Nabi SAW, “berbicaralah
kepada manusia sesuai dengan (kadar) intelektual mereka” (H.R. Imam Malik).
Misalnya, ketika berdakwah kepada orang yang cenderung menolak atau memusuhi
Islam, seyogianya seorang da’i berdakwah dengan perkataan yang efektif agar
membekas di hati mereka, sehingga terjadi perubahan sikap (Q.S. al-Nisa’ [4]:
63).
i)
memilih perkataan yang terbaik. Misalnya,
ketika diminta berpendapat tentang seseorang, maka sebaiknya menuturkan hal-hal
baik tentang orang itu dan tidak membicarakan keburukannya (Q.S. al-Zumar [39]:
18). Intinya sulit memberi penilaian buruk kepada orang lain, dan mudah memberi
penilaian baik kepadanya.
Konsep Qur’ani
tentang pengembangan bahasa ini tergolong lengkap, karena meliputi berbagai
dimensi perkataan maupun subyek perkataan.
Berdasarkan sembilan bentuk pengembangan bahasa
ini, dapat disimpulkan profil seorang muslim sejati ketika berkomunikasi dengan
orang lain: lemah lembut bagaikan air yang mudah masuk ke berbagai area; tata
krama sesuai status yang disandang mitra bicara; peduli pada ajaran Islam
sekaligus kearifan lokal; tidak berbicara keras yang mengganggu telinga; tidak berbicara
asusila yang melukai perasaan; berkata jujur sesuai fakta; berkata yang
membesarkan hati orang lain, bukan membuatnya pesimis; berbicara efektif sesuai
kualitas intelektual mitra bicara; serta memprioritaskan baik sangka (husnuzhan)
dalam berkomunikasi.
Dalam sebuah kata mutiara
Syekh Ibn ‘Athaillah
dinyatakan:
كُلُّ كَلامٍ يَبْرُزُ وَعَلَيْهِ كِسْوَةُ القَلْبِ الَّذي مِنْهُ بَرَزَ.
Setiap
perkataan keluar bersama dengan tutup hati orang
yang berkata.
Menurut bahasa Aa Gym, filosofi
teko. Teko yang isinya kopi (hati yang keruh), keluarnya pun kopi (perkataan
yang keruh). Teko yang isinya air putih (hati yang jernih),
keluarnya pun air putih (perkataan yang jernih).
Keempat,
Pengembangan Emosional
Setiap anak perlu dibimbing agar nafsu liarnya (al-nafs
al-ammarah) yang selalu mengajak pada keburukan (Q.S. Yusuf [12]: 53)
berubah menjadi nafsu setengah jinak (al-nafs al-lawwamah) yang mencela
diri sendiri ketika berbuat buruk atau tidak maksimal ketika berbuat baik (Q.S.
al-Qiyamah [75]: 2). Lebih-lebih jika nafsu
tersebut berubah menjadi nafsu jinak (al-nafs al-muthmainnah) yang
selalu dekat pada ridha Ilahi (Q.S. al-Fajr [89]: 27-28).
Setidaknya ada
tiga tips yang dapat dijadikan sebagai sarana membimbing nafsu.
Pertama, Membiasakan diri untuk berdzikir (Q.S. al-Ra’d [13]: 28). Dzikir
kepada Allah SWT merupakan pengendali utama bagi nafsu, agar terhindar dari
perilaku keji dan munkar (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 45).
Kedua, Tidak mudah dikendalikan oleh situasi dan kondisi. Misalnya, ketika
berhasil bersuka cita, namun ketika gagal gundah gulana (Q.S. al-Hajj [22]:
11). Seyogianya setiap situasi dan kondisi dimaknai dengan sebaik-baiknya,
yaitu jika tidak sesuai dengan keinginan hati, maka bersabar; dan jika sesuai
dengan keinginan hati, maka bersyukur (H.R. Muslim).
Ketiga, Selalu belajar meneladani tokoh-tokoh yang
namanya diabadikan sebagai Surat dalam al-Qur’an, yaitu: Nabi Yunus AS [10],
Nabi Hud AS [11], Nabi Yusuf AS [12], Nabi Ibrahim AS [14], Ashhab al-Kahfi
[18], Maryam [19], Luqman [31] dan Nabi Muhammad SAW [47].
Ketiganya tergolong tips yang komprehensif,
karena tips pertama menyasar pada panca indra (lisan) dan hati; tips kedua
berkenaan dengan seluruh aspek tubuh manusia; sedangkan tips ketiga berkenaan
dengan aspek panca indra (pendengaran atau penglihatan) dan akal.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.