Penilaian Bakat versus Prestasi
Dr.
Rosidin,
M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Relasi Bakat dan Prestasi |
Secara garis besar,
penilaian terbagi menjadi dua: penilaian bakat dan prestasi. Sedangkan bentuk
penilaian terbagi menjadi dua: rstandar dan autentik. Kemudian, hasil penilaian
disajikan dalam bentuk laporan tertulis (rapor) yang disertai peringkat (ranking).
Tes bakat (aptitude
test) dirancang untuk memprediksi kemampuan peserta didik untuk belajar
keterampilan atau mencapai sesuatu dengan pendidikan dan pelatihan lebih
lanjut. Contoh tes bakat adalah tes IQ yang digagas Stanford-Binet (John
Santrock, 2011: 520).
IQ adalah usia
mental seseorang dibagi dengan usia kronologis, lalu dikalikan dengan 100.
Rumusnya adalah IQ = MA/CA x 100. MA adalah Mental Age, sedangkan MC
adalah Chronological Age. Kemudian hasilnya akan diklasifikasikan
menjadi “anak bodoh”, “anak normal”, “anak cerdas” dan “anak genius” (Munif
Chatib, 2015: 67).
Terlepas dari
keberatan yang diajukan sejumlah tokoh terhadap tes IQ, penulis sepakat dengan
pendapat bahwa IQ bersifat dinamis, tidak statis. Artinya, IQ adalah hasil
perpaduan antara faktor genetis (nature) dengan lingkungan (nurture).
Implikasinya, jika
saat ini hasil tes IQ seseorang bernilai 100, maka dia berpeluang untuk
meningkatkan IQ-nya dengan aktif belajar, sehingga di kemudian hari, nilai
IQ-nya bisa naik menjadi 110.
Seandainya pun IQ
seseorang bersifat statis, belajar dapat berpengaruh terhadap aktualisasi IQ
pada tataran nyata. Ilustrasinya, IQ ibarat pisau, sedangkan belajar ibarat
mengasah atau memakai pisau. Pisau yang sering diasah atau dipakai, tentu akan
lebih tajam dibandingkan pisau yang sekedar dipamerkan saja.
Dari sini dapat
dipahami mengapa peserta didik yang memiliki IQ normal (rata-rata), namun rajin
belajar, dapat mengalahkan peserta didik yang memiliki IQ superior (jenius),
namun malas belajar.
Titik tekan yang
penulis sampaikan adalah IQ bersifat potensial, sedangkan belajar berfungsi
untuk mengaktualisasikan IQ pada tataran realita. Oleh sebab itu, peserta didik
seyogianya lebih mengapresiasi pentingnya etos belajar, dibandingkan nilai IQ.
Di sisi lain, tes prestasi
(achievement test) digunakan untuk mengukur apa yang telah dipelajari
oleh peserta didik atau apa keterampilan yang sudah dikuasai oleh peserta didik
(John Santrock, 2011: 521).
Tes prestasi dapat
dilakukan melalui tes pembelajaran di kelas yang meliputi tiga tahap, yaitu pra,
proses dan pasca pembelajaran.
Tes pra-pembelajaran
ditujukan untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik. Tes ini dapat
berbentuk tes diagnostik dalam bidang studi untuk memeriksa tingkat pengetahuan
dan keterampilan peserta didik.
Tes selama-pembelajaran
(tes formatif) dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, sehingga tes
ini ditujukan pada penilaian untuk pembelajaran (for learning),
bukan penilaian pembelajaran (of learning).
Tes pasca-pembelajaran
(tes sumatif; tes formal) dilakukan setelah pembelajaran selesai, dengan tujuan
mendokumentasikan kinerja peserta didik (John Santrock, 2011: 549-551).
Ketiga tes ini
memainkan peranannya masing-masing. Melalui tes pra-pembelajaran, pendidik
dapat menyiapkan proses pembelajaran berdasarkan latar belakang karakteristik,
perilaku dan kualitas akademik peserta didik.
Misalnya, pendidik
dapat mengukur tingkat materi pembelajaran yang akan disampaikan, agar tidak
terjebak pada “kelas kewalahan” yang disebabkan materi pembelajaran terlalu
sulit atau “kelas bosan” yang disebabkan materi pembelajaran terlalu mudah.
Melalui tes
selama-pembelajaran, pendidik dapat mengetahui apakah pembelajaran yang
disampaikan sudah efektif atau belum.
Misalnya, jika pendidik
menerapkan metode diskusi, namun kelas justru gaduh dengan berbagai pembicaraan
yang sama sekali tidak terkait dengan materi pembelajaran, dikarenakan banyak
peserta didik yang belum memahami isu-isu yang didiskusikan, maka pada
pertemuan berikutnya, pendidik perlu membenahi penerapan metode diskusi tersebut,
agar berjalan lebih efektif.
Melalui tes
pasca-pembelajaran, pendidik dapat mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan
atau keterampilan yang dimiliki para peserta didik terkait bidang studi yang
diampu. Misalnya, berapa prosentase peserta didik yang sudah dan yang belum
memenuhi nilai KKM.
Bentuk penilaian
dapat berupa penilaian standar maupun penilaian autentik. Penilaian standar adakalanya
berupa soal dengan pilihan jawaban, semisal soal pilihan ganda; dan soal dengan
konstruk jawaban, semisal soal esai. Sedangkan penilaian autentik adakalanya
berupa penilaian kinerja, semisal ujian praktik; dan portofolio, semisal
kliping hasil karya tulis (John Santrock, 2011: 558-569).
Menurut Munif
Chatib, tes terstandar hanya menitik-beratkan pada aspek kognitif dan hanya
menggunakan satu jenis penilaian, yaitu tes. Sedangkan tes autentik mengukur
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, serta menggunakan berbagai jenis
penilaian (Munif Chatib, 2015: 139).
Hemat penulis,
penilaian standar berfungsi menyajikan hasil “kompetisi antar peserta didik”,
sedangkan penilaian autentik menyajikan hasil “kompetisi internal peserta
didik”. Melalui penilaian standar, peserta didik dapat menilai di mana
posisinya di antara para peserta didik lain di kelasnya. Dari sini peserta
didik dapat mengetahui ranking kelasnya, apakah tergolong “juara”, “lulus” atau
“gagal (tidak-lulus)”.
Sedangkan melalui
penilaian autentik, peserta didik dapat menilai di mana bakatnya yang menonjol
di antara potensi bakat-bakat yang terpendam dalam dirinya. Dari sini peserta
didik dapat mengetahui bakat yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan lebih
lanjut, apakah bakat di bidang PAI, IPA, IPS ataukah Bahasa.
Selanjutnya hasil
penilaian disajikan dalam bentuk rapor. Rapor (the report card) adalah
metode standar pelaporan kemajuan dan peringkat peserta didik kepada orangtua.
Bentuk pemberian peringkat (grading; ranking) pada rapor
bervariasi. Misalnya, dari segi penilaian, ada rapor yang disajikan dalam
bentuk huruf (A, B, C, D, F) dan ada pula yang disajikan dalam bentuk numerik
(60, 70, 80, 90, 100).
Terkait peringkat,
memang masih menyisakan kontroversi. Terlepas dari para kritikus yang menuntut
penghapusan sistem peringkat, tidak dapat dipungkiri bahwa peringkat adalah
simbol yang kuat dalam masyarakat, sehingga dianggap serius oleh peserta didik,
pendidik dan masyarakat (terutama orangtua). Oleh sebab itu, peringkat harus didasarkan
pada bukti objektif pembelajaran, bukan berdasarkan selera subyektif (John
Santrock, 2011: 577-579).
Berkenaan dengan
rapor dan peringkat, ada tiga hal yang perlu dicermati secara serius.
Pertama, rapor seharusnya disusun dengan mengedepankan aspek
kejujuran, seperti NUN yang bersifat murni, bukan pencitraan, seperti nilai
rapor yang “dimark-up”. Problemnya adalah birokrasi kependidikan di
Indonesia yang masih mengedepankan aspek pencitraan (harus memenuhi KKM),
alih-alih kejujuran (nilai murni, tanpa harus memenuhi KKM).
Kedua, penilaian dalam rapor didasarkan pada penilaian
objektif dari awal hingga akhir pembelajaran, semisal satu semester atau satu
tahun ajaran. Dalam hal ini, pendidik seharusnya memiliki bukti fisik penilaian
yang bersifat transparan, yaitu dapat diketahui sejak dini oleh pihak-pihak
yang berkepentingan, terutama peserta didik dan wali murid. Manfaatnya adalah
dapat meredam kekecewaan yang biasanya melanda peserta didik maupun wali murid
selepas menerima rapor.
Ketiga, masa depan peserta didik tidak hanya tergantung pada
“seberkas kertas rapor”, karena fakta kehidupan menunjukkan bahwa nilai rapor
tidak selalu seiring-sejalan dengan kesuksesan seseorang.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.