Proposal Disertasi (Konsep Andragogi dalam al-Qur'an)
PROPOSAL
DISERTASI
KONSEP
ANDRAGOGI DALAM AL-QUR’AN
Rosidin
PROGRAM
DOKTOR
KONSENTRASI
DIROSAH ISLAMIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
Proposal sebagai Prasyarat Disertasi |
A.
Latar Belakang Masalah
Malcolm
Shepherd Knowles 1 menyatakan ada fakta yang mengherankan
bahwa selama ini sedikit sekali pemikiran, investigasi maupun tulisan tentang
pembelajaran orang dewasa, padahal pendidikan orang dewasa sudah menjadi concern
umat manusia sejak lama. Jadi, sudah bertahun-tahun lamanya, pembelajar orang
dewasa menjadi spesies yang disia-siakan.2
Istilah ‘dewasa’ dapat dilihat dari dimensi fisik
(biologis), hukum, sosial psikologis. Elias dan Sharan B. Merriam (1990)
menyebutkan kedewasaan pada diri seseorang meliputi: age, psychological
maturity, and social roles. Dewasa dari segi usia berarti sudah menginjak
usia 21 tahun (meskipun belum menikah). Dari segi hukum, status dewasa
melahirkan perbedaan perlakuan hukum terhadap pelanggar. Dewasa dilihat dari
sudut pandang biologis ketika seseorang memiliki karakteristik khas seperti:
mampu memilih pasangan hidup, siap berumah tangga, dan melakukan reproduksi (reproductive function). Dari sisi psikologis, dewasa dapat
dibedakan dalam tiga kategori yaitu: dewasa awal (early adults) dari
usia 16 sampai dengan 20 tahun, dewasa tengah (middle adult) dari 20
sampai pada 40 tahun, dan dewasa akhir (late adults) dari 40 hingga 60
tahun. Sedangkan dari sisi peran sosial, kedewasaan dapat dicermati dari
kesiapannya dalam menerima tanggungjawab, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas-tugas peribadi dan sosialnya terutama untuk memenuhi kebutuhan belajarnya
(Freire, 1973; dan Milton dkk, 1985). 3
Dengan serangkaian karakteristik ‘orang dewasa’ seperti ini, maka sudah
seharusnya orang dewasa mendapatkan perlakuan yang berbeda dibandingkan
anak-anak, termasuk dalam hal pendidikan.
Bagi
Malcolm Knowles, kurangnya riset terkait pendidikan orang dewasa sungguh
mengherankan, jika mengacu pada fakta bahwa semua guru besar di masa lampau
–Confucius dan Lao Tse di China, nabi-nabi dari bangsa Yahudi dan Jesus pada
masa Bibel, Aristoteles, Socrates dan Plato pada masa Yunani kuno, Cicero,
Evelid dan Quintillian pada masa Romawi kuno– semuanya adalah para guru bagi
orang dewasa, bukan anak-anak. Mengingat pengalaman mereka bersama dengan
orang-orang dewasa, maka mereka mengembangkan suatu konsep proses
belajar-mengajar yang berbeda dengan konsep yang mendominasi pendidikan formal
pada masa-masa berikutnya. 4
Maka dari
itu, mereka menemukan teknik-teknik belajar yang melibatkan para pembelajar
dalam inquiry (baca: pembelajaran). Para pendidik di masa China dan
Yahudi kuno menemukan apa yang sekarang kita kenal dengan metode studi kasus (the
case method), yaitu seorang ketua atau salah satu dari anggota kelompok
mendeskripsikan situasi tertentu, seringkali dalam bentuk cerita perumpamaan,
kemudian seluruh anggota kelompok berusaha mengeskplorasi
karakteristik-karakteristik permasalahan tersebut dan resolusi-resolusi yang
memungkinkan untuk diterapkan terhadap permasalahan tersebut. Para pendidik
Yunani kuno menemukan apa yang sekarang kita sebut dengan dialog Socrates,
yaitu seorang ketua atau anggota kelompok mengajukan sebuah pertanyaan atau
dilema, kemudian para anggota kelompok lainnya menyatukan pemikiran dan
pengalaman mereka untuk mencari sebuah jawaban atau solusi atas pertanyaan atau
dilema tersebut. Para pendidik Romawi kuno menemukan metode yang lebih
konfrontatif, yaitu mereka mengunakan tantangan-tantangan yang memaksa anggota
kelompok untuk mengabil posisi tertentu kemudian mempertahankan posisi mereka
tersebut. 5
Jika
dilihat dari teknik-teknik belajar atas, maka ada beberapa kesimpulan yang
dapat dipetik: pertama, para pendidik kuno tidak memposisikan dirinya sebagai
orang ’serba tahu’ (tidak bersikap otoritarian); kedua, para pendidik kuno
selalu melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran (student
centered); ketiga, sudah memperkenalkan teknik belajar kelompok (study
group). Menariknya, teknik-teknik belajar khas pendidikan orang dewasa
tersebut justru sedang marak diterapkan dalam dunia pendidikan
kontemporer.
Alasan
utama tidak populernya pendidikan orang dewasa dapat ditelusuri pada fakta
sejarah bahwa pada abad ke-17 di Eropa, sekolah-sekolah diorganisasikan untuk
mengajari anak-anak, terutama untuk mempersiapkan anak-anak muda menjadi
pendeta (priesthood). Mengingat misi utama para guru saat itu adalah
untuk mengindoktrinasi para siswa tentang keimanan, keyakinan dan ritual-ritual
gereja, maka mereka mengembangkan serangkaian asumsi-asumsi tentang belajar dan
strategi-strategi mengajar yang kemudian disebut dengan ”Pedagogy”, yang
secara literal bermakna ”the art and science of teaching children” (seni
dan ilmu mengajar anak-anak). Term ini diderivasi dari bahasa Yunani ”paid”
yang bermakna ”child” (anak) dan ”agogus” yang berarti ”leader
of” (membimbing). Model pendidikan ini berlangsung selama berabad-abad
hingga abad ke-20 dan menjadi basis organisasi bagi sistem pendidikan saat itu.
6
Pada umumnya, para pakar mendefinisikan Pedagogy
sebagai ilmu atau teori yang sistematis tentang pendidikan yang sebenarnya bagi
anak atau untuk anak sampai ia mencapai kedewasaan. Pedagogy sebagai
teori ilmu pendidikan merupakan studi teoretik-praktis yang berusaha memadukan
teori kefilsafatan dengan pendekatan secara empirik (ilmiah) untuk memahami
keseluruhan permasalahan dalam pendidikan. 7
Definisi Pedagogy di atas menekankan pada pendidikan bagi
anak-anak (children), akan tetapi dalam kurun sejarah tertentu, kata
‘anak-anak’ tersebut menghilang dari definisi Pedagogy. Akhirnya dalam
pikiran banyak orang –bahkan dalam kamus sekalipun– Pedagogy
didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengajar. Lebih dari itu, dalam
literatur-literatur pendidikan orang dewasa, terdapat istilah ‘Pedagogy
pendidikan orang dewasa’, tanpa ada perasaan janggal ketika menggunakan istilah
yang kontradiktif tersebut. Penerapan Pedagogy pada pendidikan orang
dewasa inilah yang kemudian menimbulkan problem-problem, semisal penilaian
Malcolm Knowles bahwa alasan utama mengapa pendidikan orang dewasa tidak
memberi pengaruh yang kuat terhadap peradaban adalah para gurunya hanya
mengetahui cara mengajari orang dewasa seolah-olah mereka masih anak-anak. 8
Model pendidikan Pedagogy juga dilandaskan para teori belajar (learning)
yang didasarkan pada studi tentang belajar yang dilakukan oleh anak-anak dan
binatang. Sedangkan mayoritas teori mengajar (teaching) berasal dari
pengalaman mengajar terhadap anak-anak yang sudah dikondisikan wajib untuk
mengikuti pelajaran. Di sisi lain, mayoritas teori interaksi belajar-mengajar (the
learning-teaching transaction) didasarkan pada definisi pendidikan sebagai
proses transmisi kebudayaan. 9
Model Pedagogy
seperti di atas mengundang kritik dari para pakar pendidikan orang dewasa. Dari
sisi learning (belajar) dan teaching (mengajar), Knowles (1976) melanjutkan pandangan C.
Linderman, mengungkapkan bahwa kondisi orang dewasa dalam belajar berbeda
dengan anak-anak. Perbedaan tersebut dikarenakan orang dewasa memiliki: 1)
Konsep diri (The self-concept), 2) Pengalaman hidup (The role of the
learner’s experience); 3) Kesiapan belajar (Readiness to learn); 4)
Orientasi belajar (Orientation to learning); 5) Kebutuhan pengetahuan (The
need to know); dan 6) Motivasi (Motivation). 10 Implikasinya adalah pendidikan orang dewasa
membutuhkan strategi belajar dan mengajar yang selaras dengan enam
karakteristik ini. Oleh karena itu, Pedagogy dinilai tidak memadai untuk
mengakomodasi kegiatan belajar mengajar yang dilandasi oleh keenam
karakteristik orang dewasa tersebut di atas.
Problem lainnya adalah Pedagogy berpijak dari premis kuno tentang
tujuan pendidikan yaitu the transmittal of knowledge (transmisi
pengetahuan). Alfred North Whitehead menyatakan bahwa pada generasi silam,
memang fungsional untuk mendefinisikan pendidikan sebagai proses transmisi
pengetahuan selama rentang waktu (time-span) perubahan kebudayaan lebih
besar daripada rentang kehidupan (life-span) individual. Dalam kondisi
seperti ini, apa yang dipelajari oleh seseorang pada masa mudanya, akan tetap
valid untuk sisa usia hidupnya. Akan tetapi, Whitehead menegaskan, ‘kita
sekarang hidup pada periode pertama dalam sejarah umat manusia bahwa asumsi di
atas adalah salah… hari ini, time-span sangat singkat dibandingkan
dengan rentang waktu kehidupan manusia; maka dari itu, pelatihan kita harus
menyiapkan individu-individu untuk menghadapi kondisi-kondisi yang serba baru.’ 11
Hingga pada permulaan abad ke-20, time-span dari perubahan
kebudayaan mayor (seperti input pengetahuan baru secara masif, inovasi
teknologi, perubahan dalam sistem politik dan ekonomi, dsb.) membutuhkan
beberapa generasi; sedangkan dalam abad ke-21, beberapa revolusi kultural telah
terjadi begitu cepat. Dalam kondisi seperti ini, pengetahuan yang diperoleh
seseorang ketika berusia 21 tahun sudah sangat usang (largely obsolete)
ketika dia berusia 40 tahun; keterampilan-keterampilan yang membuatnya
produktif pada usia 20 tahun-an, menjadi kadaluwarsa (out of date)
ketika dia berusia 30 tahun. Jadi, sudah tidak fungsional lagi untuk
mendefinisikan pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan; sekarang,
pendidikan harus didefinisikan sebagai: a
lifelong process of discovering what is not known (proses sepanjang masa
untuk menemukan apa yang tidak diketahui). 12
Pandangan Whitehead tersebut selaras dengan Sir
Eric Ashby yang menilai bahwa dunia pendidikan mengalami setidaknya 4 kali
Revolusi Pendidikan, yaitu: 1) Profesi Guru (revolusi dari pendidikan di rumah
menuju pendidikan di sekolah); 2) Penggunaan Bahasa Tulis dalam Pembelajaran
(melengkapi bahasa lisan); 3) Penemuan Mesin Cetak oleh Gutenberg (berimplikasi
pada munculnya buku-buku yang merupakan media utama pendidikan, di samping
guru); 4) Perkembangan di bidang elektronik, terutama media komunikasi (radio,
televisi, komputer, dsb.). 13
Berdasarkan
historical stage di atas, berarti dunia pendidikan sedang pada fase
revolusi ke-4. Sedangkan implikasi dari revolusi ke-4 ini adalah pentingnya
pendidikan yang berorientasi pada learning how to learn dan lifelong
education. Selanjutnya learning how to learn dan lifelong
education ini berkembang menjadi paradigma baru pendidikan kontemporer.
Bahkan UNESCO telah memformulasikan learning how to learn ke dalam salah
satu dari 4 pilar utama pendidikan (the four pillars of education) masa
kini, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, learning to
live together. 14 Demikian halnya dengan lifelong education yang muncul sebagai gerakan konseptual yang bersifat
massal mulai tahun 70-an dengan munculnya laporan Komisi Internasional tentang
perkembangan pendidikan yang dipimpin oleh Edgar Faure yang berjudul "Learning
To Be, The World of Education, Today and Tomorrow", yang diterbitkan
UNESCO pada tahun 1972. 15
Apabila dicermati dengan seksama, maka pendidikan
yang berorientasi pada learning how to learn dan lifelong
education tersebut memiliki relevansi kuat dengan pendidikan orang dewasa.
Argumentasinya adalah orang dewasa mengemban peran tertentu di masyarakat.
Dalam menjalani perannya tersebut, orang dewasa selalu dihadapkan pada
problematika-problematika yang harus mereka pecahkan. Untuk itu, orang dewasa
membutuhkan pendidikan sepanjang waktu (lifelong education) demi
kepentingan menyelesaikan problematika (problem solving) yang mereka
hadapi. Di sisi lain, secara biologi dan psikologis, orang dewasa dinilai
memiliki kemandirian 16 dan kemampuan belajar mandiri (self-directed
learning) 17. Kedua potensi khas orang dewasa ini
mempermudah mereka untuk menjalani pendidikan yang berorientasi pada learning
how to learn.
Seluruh
paparan di atas menunjukkan bahwa orang dewasa butuh pendidikan; sedangkan
pendidikan untuk orang dewasa seharusnya memiliki ciri khas yang membedakannya
dengan pendidikan untuk anak-anak.
Diferensiasi pendidikan anak-anak dengan pendidikan orang dewasa
merupakan konsekuensi logis dari adanya perbedaan antara anak-anak dan orang
dewasa. Ditinjau dari segi umur, orang yang berusia antara 16-18 tahun dapat
dikatakan sebagai orang dewasa dan yang kurang dari 16 tahun dapat dikatakan
masih anak-anak. Ditinjau dari ciri-ciri psikologis, seseorang yang dapat
mengarahkan dirinya sendiri, tidak selalu tergantung pada orang lain, mau
bertanggung-jawab, mandiri, berani mengambil resiko dan mampu mengambil
keputusan, orang tersebut dikatakan telah dewasa secara psikologis. Sedangkan
ditinjau dari ciri-ciri biologis, orang dewasa adalah orang yang telah
menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder. Tanda-tanda kelamin sekunder pada
laki-laki, antara lain tumbuhnya jakun pada leher, berubahnya suara menjadi
besar dan berat dan tumbuhnya bulu-bulu pada tubuh seperti kumis, jenggot,
cambang, bulu dada. Adapun tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita antara lain
terjadinya menstruasi dan tumbuhnya payudara. 18
Malcolm Knowles berpendapat bahwa pendidikan orang dewasa secara nyata
telah terpisah (departing) dari praktek pendidikan anak-anak (Pedagogy).
Hanya saja, para pendidik orang dewasa tidak memiliki teori yang koheren untuk
menjustifikasi perlakuan mereka kepada orang dewasa sebagai orang dewasa.
Kelemahan ini sedang diperbaiki melalui para teoretikus pendidikan orang dewasa
di Eropa (khususnya di Jerman dan Yugoslavia) dan Amerika Utara yang berupaya
mengembangkan teori khusus untuk pembelajaran orang dewasa (adult learning).
Dari teori ini kemudian berkembang menjadi teknologi baru untuk pendidikan
orang dewasa. Untuk membedakannya dengan Pedagogy, teknologi baru
pendidikan orang dewasa ini diberi nama: Andragogy, yang berasal dari
akar kata bahasa Yunani, aner (dengan akar kata andr-) yang
berarti man (orang dewasa). Dengan demikian, Andragogy adalah the
art and science of helping adults learn (seni dan ilmu membantu orang
dewasa untuk belajar). 19
Andragogy telah
mengalami sejarah panjang hingga menjadi sebuah teori pendidikan orang dewasa yang
terkenal. Adapun kilasan sejarah perkembangan Andragogy tersebut akan
disajikan secara naratif di bawah ini:
Sesaat
setelah Perang Dunia I, di Amerika dan Eropa, perkembangan gagasan (body of
notions) tentang karakteristik-karakteristik unik dari para pembelajar
orang dewasa mulai muncul. Akan tetapi, dalam beberapa dekade saja,
gagasan-gagasan tersebut berkembang menjadi framework yang terintegrasi
tentang pembelajaran orang dewasa. Usaha untuk menyatukan konsep-konsep,
wawasan-wawasan (insights) dan temuan-temuan riset tentang adult
learning yang berserakan menjadi sebuah framework yang terintegrasi
dimulai pada tahun 1949, dengan publikasi karya Harry Overstreet, The Mature
Mind. Kemudian diikuti oleh publikasi karya-karya lainnya seperti Informal
Adult Education (Knowles, 1950), An Overview of Adult Education Research
(Bruner, 1959), How Adults Learn (Kidd, 1973), J.R. Gibb yang menulis
artikel ”Learning Theory in Adult Education” di Handbook of Adult Education
di Amerika Serikat pada tahun 1960, dan Teaching and Learning in Adult
Education (Miller, 1964). Namun demikian, semua ini hanya berupa daftar
konsep-konsep dan prinsip-prinsip deskriptif, bukan suatu theoretical
frameworks yang komprehensif, koheren dan integratif. Oleh sebab itu, yang
dibutuhkan adalah sebuah konsep yang integratif dan berbeda (dengan
sebelumnya). 20
Dimulai
dari Eropa, berkembanglah konsep belajar
orang dewasa dalam wujud integrated framework yang diberi label “Andragogy”,
sebuah istilah baru yang diciptakan untuk membedakannya dengan teori belajar
anak-anak, “Pedagogy”. Dusan Savicevic, pendidik orang dewasa asal
Yugoslavia, pertama kali memperkenalkan konsep dan label ‘Andragogy’ ke
budaya Amerika tahun 1967, dan Knowles menulis artikel, “Andragogy, Not
Pedagogy” dalam Adult Leadership pada April 1968. Sejak saat itulah,
label Andragogy secara luas diadopsi dalam literatur-literatur. 21 Sebenarnya istilah Andragogy sudah
digunakan sejak abad 19. Hal ini
berlandaskan hasil penelusuran
yang mendalam tentang origins (asal usul) dan penggunaan term Andragogy
yang dilakukan Ger Van Enckevort, seorang pakar pendidikan orang dewasa dari
Belanda.
Berikut ini kesimpulan telaah historis yang dilakukan oleh
Van Enckevort: Term Andragogy pertama kali
diciptakan oleh seorang guru grammar kebangsaan Jerman, Alexander Kapp
pada tahun 1833. Kapp menggunakan kata tersebut untuk mendeskripsikan teori
pendidikan Filosof Yunani Plato, walaupun Plato sendiri tidak pernah
memakainya. Beberapa tahun kemudian, filosof Jerman, John Friedrich Herbart
menentang keras penggunaan istilah tersebut. Van Enckevort menilai bahwa
“seorang filosof besar (baca: John Friedrich Herbart) lebih berpengaruh
dibandingkan seorang guru (baca: Alexander Kapp). Oleh karena itu, istilah Andragogy
terlupakan dan tidak pernah muncu1 lagi hampir 100 tahun lamanya”. 22
Van Enckevort menemukan istilah Andragogy dipakai
kembali pada tahun 1921 oleh ahli ilmu sosial Jerman, Eugen Rosenstock, seorang
dosen di Academy of Labor di Frankfurt. Dalam laporannya kepada Academy
tahun 1921, Rosenstock berpendapat bahwa pendidikan orang dewasa memerlukan
guru khusus, metode khusus, dan filsafat khusus. “Tidaklah cukup untuk
menerjemahkan pandangan-pandangan teori pendidikan (Pedagogy) ke dalam
situasi orang dewasa… guru hendaknya profesional, yaitu dapat bekerja sama
dengan para muridnya; dan hanya guru yang seperti itulah yang cocok untuk
mengajar orang dewasa (andragogue), bukan guru yang pedagogue
(pengajar anak-anak). Pada mulanya Rosenstock meyakini bahwa dialah yang
menemukan istilah Andragogy. Akhirnya Rosenstock menggunakan term Andragogy
dalam berbagai kesempatan, sehingga banyak dikutip pula oleh para koleganya,
namun istilah Andragogy ketika itu masih belum dikenal secara umum. Baru pada tahun 1962, Rosenstock diberi
informasi bahwa istilah Andragogy tersebut sudah digunakan terlebih
dahulu oleh Kapp dan Herbart. 23
Van Enckevort kembali menemukan istilah Andragogy
dipakai oleh ahli psikiatri Swiss, Heinrich Hanselmann, dalam bukunya yang
diterbitkan pada 1951, Andragogy: Nature, Possibilities and Bounderies of
Adult Education, yang berkenaan dengan penyembuhan nonmedis atau re-edukasi
orang-orang dewasa. Hanya enam tahun setelah itu, yaitu tahun 1957, seorang
guru dari Jerman, Franz Poggeler, menerbitkan buku yang berjudul Introduction
to Andragogy: Basic Issues in Adul Education. Sejak itulah Negara-negara
Eropa mulai menggunakan istilah Andragogy. 24
Tahun 1956, M. Ogrinovic menerbitkan disertasinya di
Yugoslavia yang berjudul Penological Andragogy, dan tahun 1959 terbit
sebuah buku berjudul Problems of Andragogy. Tidak lama sesudah itu, para
pendidik orang dewasa berkebangsaan Yugoslavia, termasuk Salomovcev, Filipovic
dan Savicevic, mulai berbicara dan menulis tentang Andragogy; selain
itu, fakultas Andragogy menawarkan program doktoral di bidang pendidikan
orang dewasa di Universitas Zagreb dan Belgrade di Yugoslavia serta
universitas-universitas Budapest dan Debrecen di Hongaria. 25
Di Amsterdam Belanda, Prof. T.T. Ten Have, dalam
perkuliahannya tahun 1954 mulai menggunakan istilah Andragogy. Tahun
1959 dia menerbitkan outline tentang Science of Andragogy.
Pada tahun 1966, University of Amsterdam membuka program doktor di bidang Andragogy
dan tahun 1970 didirikanlah Department of Pedagogical and Andragogical
Sciences di Fakultas Ilmu Sosial. T.T. Ten Have membedakan antara “Andragogy”,
“Andragogics” dan “Andragology”. Andragogy adalah segala
aktivitas bimbingan secara sadar (intentional) dan professional yang
bertujuan untuk mengubah orang dewasa; Andragogics adalah background
sistem metodologi dan ideologi yang mengatur proses andragogi aktual; Andragologi
adalah studi ilmiah tentang Andragogy dan Andragogics. 26
Selama tahun 1960-an Andragogy semakin berkembang dan
digunakan oleh para pendidik orang dewasa di berbagai Negara seperti di Prancis
(Bertrand Schwartz), di Inggris (oleh J.A. Simpson), Venezuela (Felix Adam),
dan di Kanada (didirikan program a Bachelor of Andragogy di
Universitas Concordia di Montreal tahun 1973). 27
Berikutnya beberapa penjelasan eksposisi mayor tentang teori
Andragogy dan implikasinya dalam praktik muncul di Amerika Serikat
(seperti Godbey, 1978; Knowles, 1970, rev. 1980; Ingalls dan Arceri, 1972;
Knowles, 1973, 1975, dan 1984). Sejumlah artikel diterbitkan yang memuat
laporan aplikasi kerangka Andragogy (Andragogical framework)
dalam pendidikan pekerjaan sosial, pendidikan agama, pendidikan sarjana (undergraduate)
dan pascasarjana (graduate), manajemen training, dan
bidang-bidang lainnya; serta meningkatnya jumlah penelitian terhadap hipotesis
yang berasal dari teori-teori Andragogy yang kemudian diterbitkan.
Selain itu ada juga peningkatan bukti-bukti \bahwa penggunaan teori Andragogy
telah membuat perbedaan dalam hal mengorganisasikan dan mengoperasikan
program-program pendidikan orang dewasa; dalam hal bagaimana cara para guru
orang dewasa dilatih; dan dalam hal bagaimana cara orang-orang dewasa dibantu
belajarnya. Bahkan ada bukti bahwa konsep Andragogy mulai memberikan impact
terhadap teori dan praktek dalam pendidikan dasar, menengah maupun
pendidikan tinggi. Andragogy in Action (Knowles, 1984) menyajikan
gambaran tentang berbagai program yang didasarkan pada model Andragogy. 28
Mustofa Kamil menilai bahwa penggunaan istilah Andragogy dalam pendidikan
memang mengalami perjalanan panjang, namun pemikiran-pemikiran yang lebih fokus
dari segi konsep teori, filsafat maupun tahapan implementasi (metodologi)
seperti pada: proses pembelajaran, tujuan pembelajaran, sasaran pembelajaran
serta kaitan antara Andragogy dengan masalah ekonomi, sosial, budaya dan
politik, dimulai pada tahun 1950 ketika Malcolm Knowles menyusun buku “Informal
Adult Education” yang menyatakan bahwa inti pendidikan orang dewasa berbeda
dengan pendidikan tradisional (Pedagogy). Berikut ini ringkasan sejarah
perkembangan Andragogy yang disajikan oleh dalam bentuk tabel: 29
Nama
|
Konsep dan Pemikiran yang dikembangkan
|
Dugan Sevicevic
Tahun 1967
|
Menggunakan istilah Andragogi untuk pendidikan orang
dewasa. Istilah andragogi parallel dengan Pedagogy, sehingga ia
mengenalkan istilah Agogy
|
Malcolm Knowles
Tahun 1970
|
Menyusun buku “the modern practice of adult education,
Andragogi versus Pedagogy”
|
Kidd JR
Tahun 1973
|
Menyusun buku “how adult learn” pada tahun itu
Knowles menyusun buku tentang “the adult learner: a neglected species”
|
Malcolm Knowles
1975
|
Menysuun buku “Self-Directed Learning”
|
Knore AB
Tahun 1977
|
Menyusun buku “Adult Development and Learning”
|
Malcolm Knowles
Tahun 1980
|
Menyusun buku “the modern practice of adult education:
from Pedagogy to Andragogy”
|
Patricia A Cross
Tahun 1981
|
Menyusun buku “Adult as Learner”
|
Gordon G Darkenwald
dan Sharan B Meriam
Tahun 1982
|
Buku “Adult Education: Foundation of Practice”.
Pada tahun itu pula Robert Smith melahirkan buku tentang “Learning How to
Learn”
|
Malcolm Knowles
Tahun 1984
|
Menyusun buku “Andragogi in Action, Applying Modern
Principles of Adult Learning”. Tahun 1986: Stephen D Brookfield menyusun
buku “Understanding and Facilitating Adult Learning”
|
Telaah historis terhadap perkembangan Andragogy
menunjukkan posisi istimewa Malcolm Knowles. Cross menyebut Malcolm Knowles telah berjasa mempopulerkan istilah dan
konsep Andragogy di Amerika Serikat. 30 Sharan B. Merriam
menilai Andragogy versi Knowles sebagai teori belajar orang dewasa yang
paling terkenal. 31 Puncaknya, Malcolm Knowles dianugerahi gelar sebagai
Bapak Andragogi. Gelar ini dilabelkan kepadanya mengingat dedikasi Knowles yang
sangat peduli dalam mengembangkan dan mengampanyekan Andragogy. 32 Dalam konteks penelitian ini, teori Andragogy yang digagas oleh
Malcolm Knowles menjadi landasan teoretik utama, di samping mempertimbangkan
teori-teori pendidikan orang dewasa yang dicetuskan oleh para pakar lain.
Menurut Knowles, Andragogy paling tidak didasarkan pada 4 asumsi
krusial tentang karakteristik para pelajar dewasa yang berbeda dengan asumsi
tentang para pelajar anak-anak yang menjadi pijakan Pedagogy.
Asumsi-asumsi ini adalah, sebagai seorang dewasa, (1) konsep pribadinya
bergeser dari pribadi yang bergantung kepada orang lain (a dependent
personality) menuju pribadi yang bias mengarahkan diri sendiri (a
self-directing human being); (2) akumulasi dari pertumbuhan pengalamannya
yang segudang menjadi sumber belajar yang kaya; (3) kesiapannya (readiness)
untuk belajar secara meningkat diorientasikan pada pengembangan tugas-tugas
peranan sosialnya; (4) perspektif waktunya berubah dari aplikasi pengetahuan
yang sifatnya ditunda (postponed application of knowledge) menjadi
aplikasi pengetahuan yang sifatnya mendesak (immediacy of application);
karena itu, orientasi belajarnya bergeser dari belajar yang berpusat pada mata
pelajaran menuju pada belajar yang berpusat pada masalah. 33
Pada
perkembangan berikutnya, bertambah lagi dua asumsi, yaitu motivasi belajar (yang ditambahkan pada 1984) dan kebutuhan untuk
mengetahui (yang ditambahkan pada 1989 dan 1990). Dengan
demikian, jumlah keseluruhan asumsi Andragogy ada 6, yaitu: a) The
need to know; b) The learners’ self concept; c) The role of the
learners’ experiences; d) Readiness to learn; e) Orientation to
learn; f) Motivation. Asumsi-asumsi ini berangsur-angsur menjadi
prinsip-prinsip model Andragogy yang membedakannya dengan model Pedagogy.
34
Peneliti akan menyajikan
secara singkat penjelasan tentang keenam asumsi Andragogy di atas dalam
perspektif terbaru:
a) Kebutuhan untuk
mengetahui (The need to know). Prinsip utama bahwa orang dewasa ‘need
to know’ adalah mengapa mereka terlibat dalam pembelajaran. Prinsip ini
kemudian menjadi suatu premis yang diterima secara umum bahwa orang dewasa
sebaiknya dilibatkan dalam penyusunan rancangan proses belajar mereka. Paling
tidak ada tiga dimensi yang perlu diketahui oleh orang dewasa sebelum terlibat
belajar, yaitu: bagaimana belajar akan diselenggarakan; apa saja
yang akan dipelajari; mengapa belajar itu penting. 35
b) Konsep diri (The
learners’ self concept). Orang dewasa memiliki konsep pribadi untuk
bertanggung jawab terhadap keputusan dan kehidupan mereka sendiri. Ketika
mereka memiliki self-concept, maka mareka mengembangkan kebutuhan
psikologis yang dalam untuk dilihat oleh orang lain dan diperlakukan oleh orang
lain sebagai manusia yang mampu mengarahkan diri sendiri (self-direction).
Maka dari itu, pendidik orang dewasa
dituntut untuk menciptakan pengalaman belajar yang membantu mereka untuk
bertransisi dari pembelajar yang bergantung (dependent) menuju
pembelajar mandiri (self-directing learners). 36
c) Peran pengalaman
orang dewasa (The role of the learners’ experiences). Dalam pendidikan
orang dewasa akan ditemui lebih banyak heterogenitas dalam konteks
latar-belakang, gaya belajar, motivasi, kebutuhan, minat dan tujuan (belajar)
mereka, dibandingkan pada pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, tekanan utama
dalam pendidikan orang dewasa diletakkan pada strategi belajar-mengajar
individual. Hal ini juga berarti dalam banyak jenis belajar, sumber terkaya
belajar justru terletak pada diri pembelajar dewasa itu sendiri. Maka dari itu,
dalam pendidikan orang dewasa yang ditekankan adalah teknik-teknik belajar experiental,
yaitu teknik belajar yang membuka peluang bagi pengalaman pembelajar, seperti
diskusi kelompok, simulasi, aktivitas problem solving, studi
kasus dan laboratorium. 37
d) Kesiapan belajar (Readiness
to learn). Orang dewasa siap untuk belajar tentang hal-hal yang memang
mereka butuhkan dan dapat diterapkan secara efektif untuk mengatasi
situasi-situasi riil kehidupan mereka. Sumber utama dari ‘readiness to learn’
adalah perkembangkan tugas-tugas yang berpindah-pindah dari satu stage
menuju ke stage berikutnya. 38 Contoh kesiapan belajar adalah orang dewasa
yang bekerja di suatu perusahaan akan siap belajar untuk hal-hal yang dapat
menunjang karir mereka di perusahaan tersebut.
e) Orientasi belajar (Orientation
to learning). Berbeda dengan anak-anak yang orientasi belajarnya didasarkan
pada mata pelajaran (subject-centered), orientasi belajar orang dewasa
dilandaskan pada kehidupan nyata (life-centered /task centered /problem
centered). Orang dewasa termotivasi untuk belajar ketika mereka merasa
bahwa belajar tersebut dapat membantu mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas
atau problem-problem yang mereka hadari dalam situasi kehidupan nyata. Lebih
jauh lagi, orang dewasa mempelajari berbagai pengetahuan baru, pemahaman, skill,
nilai dan sikap secara efektif jika disajikan dalam konteks aplikasinya dalam
situasi-situasi kehidupan yang sebenarnya. 39
f) Motivasi (Motivation).
Orang dewasa cenderung lebih termotivasi untuk belajar jika belajar tersebut
dapat membantu mereka untuk menyelesaikan problem-problem dalam kehidupan
mereka atau menghasilkan nilai internal (internal payoff) bagi mereka.
Hal ini bukan berarti nilai eksternal (external payoff) –seperti
peningkatan gaji– tidak memiliki relevansi, melainkan kebutuhan kepuasan
pribadi merupakan motivator yang lebih kuat. 40
Ringkasan perbedaan antara Andragogy dan Pedagogy
dapat dilihat pada tabel kreasi Knowles di bawah ini: 41
Assumptions
|
||
|
Pedagogy
|
Andragogy
|
Konsep
diri
(self-concept)
|
Bergantung
(pada orang lain)
|
Meningkatkan
self-directiveness
|
Pengalaman
(experience)
|
Sedikit
bekal (of little worth)
|
Para
pembelajar adalah sumber belajar yang kaya
|
Kesiapan
(readiness)
|
Perkembangan
biologis dan tekanan sosial
|
Pengembangan
tugas-tugas peran sosial
|
Time-perspective
|
Penerapannya
ditunda (postponed application)
|
Segera
diterapkan (immediacy of application)
|
Orientasi
belajar
|
Mata
pelajaran
(Subject
centered)
|
Problem
centered
|
Design Elements
|
||
|
Pedagogy
|
Andragogy
|
Suasana
(climate)
|
Authority
oriented, formal, competitive
|
Mutuality,
respectful, collaborative, informal
|
Perencanaan
(planning)
|
Oleh
guru (by teacher)
|
Mekanisme
perencanaan bersama (mutual planning)
|
Formulasi
sasaran
(objectives)
|
Oleh
guru (by teacher)
|
Mutual
self-diagnosis
|
Desain
(design)
|
Logic of
the subject matter; content units
|
Sesuai
dengan urutan kesiapan (sequenced in terms of readiness); problem
units
|
Aktivitas
(activities)
|
Teknik
transmisi (transmittal techniques)
|
Teknik
eksperimen (inquiry)
|
Evaluasi
(evaluation)
|
Oleh
guru (by teacher)
|
Mutual
re-diagnonis of needs; penilaian bersama terhadap program (mutual measurement of program)
|
Perbedaan lain antara Andragogy dengan Pedagogy
adalah Pedagogy berlangsung dalam bentuk identifikasi dan peniruan,
sedangkan Andragogy berlangsung dalam bentuk pengembangan diri sendiri
untuk memecahkan masalah. Jadi, istilah andragogi mulai dirumuskan menjadi
teori baru sejak tahun 1970-an, oleh Malcolm Knowles. Knowles memperkenalkan
istilah tersebut terutama untuk pembelajaran pada orang dewasa. 42
Meskipun demikian, perbedaan model Andragogy dan Pedagogy
bukanlah perbedaan yang bersifat hitam-putih. Knowles menilai bahwa perbedaan
istilah Andragogy dan Pedagogy sekedar membedakan antara
asumsi-asumsi tentang pembelajar. Sehingga seorang guru bisa jadi mendidik
secara Pedagogy, baik peserta didiknya dewasa maupun anak-anak; demikian
halnya seorang guru bisa mendidik secara Andragogy, baik peserta
didiknya dewasa maupun anak-anak. Faktanya banyak lembaga-lembaga pendidikan
yang didasarkan pada asumsi-asumsi Andragogy, meskipun peserta didiknya
adalah anak-anak dan orang dewasa. 43 Dalam istilah
Sudarwan Danim, Andragogy tidak dapat secara hitam-putih dimasukkan ke
kandang ‘seni mengajar untuk orang dewasa’ dalam usia kronologis. 44 Kesimpulannya, Pedagogy
dan Andragogy adalah suatu kontinum, yaitu satu rangkaian pembelajaran
yang saling melengkapi satu sama lain.
Selanjutnya Andragogy kerap dijumpai dalam proses
pembelajaran orang dewasa (adult learning), baik pendidikan nonformal
(Pendidikan Luar Sekolah) maupun formal. Dalam pendidikan nonformal, teori dan
prinsip Andragogy digunakan sebagai landasan proses pembelajaran pada
berbagai satuan, bentuk dan tingkatan (level) penyelenggaraan pendidikan. Dalam
pendidikan formal, andragogi kerap dipakai pada proses pembelajaran pada
tingkat atau level pendidikan menengah ke atas. Meskipun demikian, penerapan
konsep dan prinsip andragogi pada proses pembelajaran tidak harus didasarkan
pada bentuk, satuan tingkat atau level pendidikan, akan tetapi yang paling
utama adalah berdasar pada kesiapan peserta didik untuk belajar. 45
Sajian di
atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, secara praktis, pendidikan
orang dewasa sudah berlangsung sejak zaman kuno, akan tetapi secara teoretis,
embrio pemikiran pendidikan orang dewasa baru berkembang pasca Perang Dunia I.
Kedua, tumbuh-kembangnya ide, pemikiran dan teori pendidikan orang dewasa
dilatar-belakangi oleh fakta bahwa orang dewasa memiliki
karakteristik-karakteristik yang berbeda dengan anak-anak, sehingga mereka
membutuhkan teori khusus untuk pendidikan orang dewasa. Ketiga, di antara
banyak teori pendidikan orang dewasa, Andragogy merupakan teori yang
paling populer dan sudah teruji berpuluh-puluh tahun.
Analisis
kritis yang peneliti ajukan adalah keseluruhan paparan di atas berada dalam
bingkai pendidikan Barat. Maka dari itu, perlu ada penambahan spektrum
pemikiran tentang orang dewasa dan pendidikannya. Dalam konteks ini, perspektif
Islam dan Pendidikan Islam dapat dijadikan sebagai salah satu bahan
pertimbangan bagi pendidikan orang dewasa, khususnya Andragogy.
Dalam
Islam, orang dewasa menempati posisi urgen. Hal ini disebabkan objek mayoritas
ajaran Islam adalah orang mukallaf, sedangkan kandungan makna mukallaf
46 meliputi kedewasaan dari segi biologis (al-baligh) dan dari segi
psikis-intelektual (al-'aqil). Implikasinya, Islam juga memberikan
ruang yang luas bagi terjadinya interaksi pendidikan orang dewasa.
Telaah
historis pendidikan Islam menunjukkan bahwa secara faktual pendidikan orang
dewasa telah berlangsung sejak zaman Rasul Allah saw. Fakta ini mengacu pada
adanya diferensiasi terminologi antara Kibar al-Shahabat yang
merepresentasikan Shahabat yang sudah dewasa dan Sighar al-Shahabat
yang merepresentasikan Shahabat masih kecil (anak-anak). Dengan demikian,
interaksi pendidikan yang terjadi antara Rasul Allah saw. dengan Kibar al-Shahabat
dapat dikategorikan sebagai ’Andragogy’ dalam terminologi masa kini.
Telaah
normatif pada dua sumber utama pendidikan Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah,
mengarah pada kesimpulan adanya interaksi pendidikan orang dewasa yang dapat
dikategorikan sebagai ’Andragogy’. Beberapa contoh konkret pendidikan
orang dewasa dalam al-Qur’an adalah kisah Nabi Musa a.s. dan Nabi Khidhr a.s.
(al-Kahfi: 60-82); kisah Nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth, Syu‘ayb dan Musa (al-A‘raf:
60-137); interaksi pendidikan Nabi Muhammad saw. dengan para Sahabat maupun
kaum non-Muslim yang biasanya disajikan oleh al-Qur’an dengan kata (يَسْئَلُوْنَكَ); demikian
juga dengan kisah Ashab al-Kahfi (al-Kahfi: 9-26) dan Nabi Ibrahim (al-Anbiya’:
51-71) yang tergolong interaksi pendidikan orang dewasa awal. 47
Riwayat-riwayat
Hadits juga membuktikan begitu banyak interaksi-interaksi pendidikan orang
dewasa yang melibatkan Rasul Allah saw., para Sahabat r.a. maupun kaum
non-Muslim ketika itu. Pendidikan yang secara periodik disampaikan oleh Rasul
Allah saw. dalam majlis-majlis ta‘lim di masjid maupun tempat-tempat
lain (seperti rumah Arqam bin Arqam) adalah bukti-bukti tertulis adanya
interaksi pendidikan orang dewasa pada zaman itu.
Keheranan
Malcolm Knowles tentang minimnya pemikiran, investigasi dan tulisan-tulisan
tentang pendidikan orang dewasa sebagaimana paparan sebelumnya, ternyata relevan
untuk ditujukan pada pendidikan Islam. Walaupun secara kuantitatif pendidikan
Islam kaya akan data-data pendidikan orang dewasa, akan tetapi secara
kualitatif data-data tersebut belum diolah menjadi suatu teori baku yang dapat
dijadikan acuan bagi praktek pendidikan orang dewasa khas Islam.
Dari hasil
penelusuran literatur-literatur pendidikan Islam selama ini, peneliti belum
mendapati suatu teori khusus pendidikan orang dewasa dari perspektif pendidikan
Islam. Masih mengacu pada hasil penelusuran tersebut, peneliti berpandangan
bahwa pada umumnya, para pakar pendidikan Islam lebih tertarik untuk mengkaji
pendidikan anak-anak maupun pendidikan Islam secara general. Karya ‘Abd Allah Nasih ‘Ulwan yang berjudul Tarbiyah
al-Awlad fi al-Islam dan karya Muhammad Sa‘id Mursi yang berjudul Fann
Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam merupakan literatur yang membahas
pendidikan anak-anak dalam Islam. Sedangkan karya seperti Ta‘lim
al-Muta‘allim karya al-Zarnuji, Ayyuha al-Walad karya al-Ghazali
maupun al-Tarbiyyah fi al-Islam karya Muhammad ‘Atiyyah al-Abrasyi lebih
berkonotasi pendidikan Islam secara general. Ruang kosong berupa ’belum/tidak
adanya’ teori pendidikan orang dewasa dalam perspektif Islam inilah yang
menjadi latar belakang peneliti untuk memberikan contribution to knowledge
berupa penelitian disertasi yang bertujuan untuk memformulasikan Konsep
Andragogi dalam al-Qur’an. 48
Mengingat
penelitian ini menggunakan al-Qur’an sebagai sumber primernya, maka peneliti
harus menggunakan metode tafsir yang relevan. Adapun metode tafsir yang paling
tepat untuk memformulasikan konsep andragogi dalam al-Qur’an adalah metode tafsir
Mawdhu‘i.
Mustafa
Muslim membagi corak (lawn) tafsir Mawdhu‘i menjadi 3 macam,
yaitu: a) seorang peneliti mengidentifikasi suatu term dari al-Qur’an, kemudian
menghimpun ayat-ayat yang mengandung term tersebut maupun derivasinya. Setelah
menghimpun ayat-ayat dan mempertimbangkan penafsirannya, peneliti berusaha
untuk menggali (istinbath) petunjuk-petunjuk term tersebut berdasarkan
penggunaannya dalam al-Qur’an. Contoh: Kitab Ishlah al-Wujuh wa al-Naza’ir
karya al-Damaghani; al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an karya al-Raghib
al-Ashfahani; b) peneliti membatasi topik tertentu dalam al-Qur’an, kemudian
mengkajinya dengan berbagai macam uslub dari sisi penyajian, analisa,
kritik maupun memberikan catatan kaki. Contoh: Kitab-kitab I‘jaz al-Qur’an,
Ahkam al-Qur’an, Amtsal al-Qur’an, dsb.; c) corak ketiga ini
mirip dengan corak kedua, hanya saja lingkupnya lebih sempit, yaitu terbatas
pada satu surat saja. 49 Dari ketiga corak di atas, penelitian ini
menggunakan corak tafsir Mawdhu‘i yang pertama. Sedangkan langkah-langkah
praktisnya akan peneliti uraikan pada bagian metode penelitian.
Namun
demikian, sebagai argumentasi posibilitas upaya memformulasikan konsep
Andragogi (pendidikan orang dewasa) dalam al-Qur’an, peneliti mengajukan hasil
penelaahan awal terhadap Surat al-Kahfi: 32-44 dengan menerapkan beberapa
langkah metode tafsir Mawdhu‘i berikut ini:
وَاضْرِبْ
لَهُمْ مَثَلًا رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ
وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا (32) كِلْتَا
الْجَنَّتَيْنِ آَتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا
خِلَالَهُمَا نَهَرًا (33) وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ
يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا (34) وَدَخَلَ
جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ
أَبَدًا (35) وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي
لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا (36) قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ
يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ
ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا (37) لَكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ
بِرَبِّي أَحَدًا (38) وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ
اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا
وَوَلَدًا (39) فَعَسَى رَبِّي أَنْ يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِنْ جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ
عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا (40) أَوْ
يُصْبِحَ مَاؤُهَا غَوْرًا فَلَنْ تَسْتَطِيعَ لَهُ طَلَبًا (41) وَأُحِيطَ
بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيهَا وَهِيَ
خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا
(42) وَلَمْ تَكُنْ لَهُ فِئَةٌ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ
مُنْتَصِرًا (43) هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا
وَخَيْرٌ عُقْبًا (44)
Dan berikanlah kepada
mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan
bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami
kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun
itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun
itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah
kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada
kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih
banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat". Dan dia
memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata:
"Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya. dan aku tidak
mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada
Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada
kebun-kebun itu." Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang dia
bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang
menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia
menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah,
Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan
mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu "maasyaallaah,
laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud,
tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku
lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan. maka mudah-mudahan Tuhanku,
akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik dari pada kebunmu (ini); dan
mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu;
hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam
tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi." Dan
harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda
menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur
itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku
tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku." Dan
tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan
sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di
sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi
pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.
Ayat-ayat
Surat al-Kahfi: 32-44 di atas dapat dijadikan sebagai objek telaah dalam rangka
memformulasi konsep Andragogi (pendidikan orang dewasa) dalam al-Qur’an. Hal
ini didasari pada dua hal yang relevan dengan Andragogi, yaitu: pertama, para
pelaku dalam ayat-ayat tersebut adalah dua orang laki-laki dewasa (رَجُلَيْنِ); kedua, terjadinya interaksi pendidikan
melalui diskusi (حِوَارْ).
Hasil
analisis yang dapat peneliti utarakan terkait dengan ayat-ayat dalam Surat
al-Kahfi: 32-44 adalah:
Pertama, Ayat-ayat tersebut menjadikan orang dewasa (رَجُلٌ) sebagai objek pembicaraan (yaitu Khawlah bint
Tsa‘labah dengan suaminya, Aws bin al-Shamit serta dua laki-laki pemilik kebun), sedangkan orang dewasa merupakan objek utama dari
Andragogi.
Jika
dikaitkan dengan kata (رَجُلٌ) beserta derivasinya yang disebutkan dalam 7 bentuk dengan
frekuensi 57 kali, maka akan didapati kesimpulan bahwa term (رَجُلٌ) dan
derivasinya hampir seluruhnya digunakan untuk menyebut individu maupun
sekelompok orang laki-laki yang relatif sudah matang secara psikologis 50 maupun independen
dalam hal urusan hidup 51. Meskipun
demikian, kematangan psikologis dan independensi sebagai manusia dewasa tidak
serta merta menghindarkan mereka dari terjerumus pada hal-hal negatif 52; di samping memiliki potensi untuk berbuat kebaikan 53. Dengan demikian, tampak jelas bahwa
setiap manusia membutuhkan bimbingan dan pengarahan. Di sinilah letak urgensi
pendidikan bagi mereka agar cenderung pada nilai-nilai positif dan menjauhi
nilai-nilai negatif. Atau dalam bahasa al-Qur’an, ketika manusia berada dalam
persimpangan (baca: وَهَدَيْنَاهُ
النَّجْدَيْنِ) 54, pendidikan
berfungsi membina dan mengarahkan mereka agar hidup sebagai manusia yang ahsan
taqwim dan menjauhkan mereka dari posisi asfal al-safilin.
Kedua, Dua tokoh orang laki-laki dewasa yang dinarasikan dalam
ayat-ayat di atas melakukan interaksi pendidikan melalui metode hiwar.
Sedangkan dialog (hiwar) merupakan metode yang kerap kali
diterapkan dalam pendidikan orang dewasa (Andragogy). Salah satu bentuk hiwar
yang sering digunakan dalam praktek pendidikan adalah diskusi. Efektivitas
dialog maupun diskusi ini dikarenakan pihak-pihak yang berdiskusi dituntut
untuk meramu argumentasi yang kokoh, dan pada saat yang sama dia dituntut
memiliki ketangkasan untuk menanggapi mitra atau lawan dialog yang menunjukkan
ketidak-sepakatannya terhadap argumentasi yang dia bangun. Selain itu,
efektivitas dialog maupun diskusi dikarenakan mampu merangsang kedua belah otak
secara seimbang seperti terlihat pada gambar di bawah ini: 55
Gambar di
atas menunjukkan bahwa metode ceramah hanya cenderung mengasah otak kiri,
sedangkan metode diskusi berfungsi mengasah otak kanan dan otak kiri sekaligus
secara seimbang; adapun metode demonstrasi dan penemuan (discovery)
lebih dominan mengasah otak kanan.
Metode hiwar
direpresentasikan melalui term (يُحَاوِرُهُ). Kata (يُحَاوِرُهُ) beserta derivasinya hanya ada 2 bentuk
dengan frekuensi 3 kali. Analisis terhadap term (يُحَاوِرُ) dan derivasinya ini mengindikasikan adanya interaksi timbal
balik antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog. Karakter dialog yang
terjadi sifatnya antagonistik, seperti yang terjadi antara dua pemilik kebun
yang berbeda keyakinan (al-Kahfi: 34 dan 37); demikian juga dialog yang terjadi
Khawlah bint Tha‘labah dengan suaminya, Aws bin al-Shamit (dalam al-Mujadilah
ayat 1).
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي
زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا
إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1)
Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar
soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat
Kilasan ceritanya adalah sang suami bersumpah zhihar
kepada istrinya; beberapa waktu kemudian, sang suami berminat untuk menggauli
istrinya; tentu saja si istri –Khawlah– menolak hingga mendapatkan keputusan
hukum dari Allah dan Rasul-Nya. Akhirnya turunlah ayat ini sekaligus disertai
penjelasan Rasul Allah terkait kafarat sumpah zhihar. 56
Data
tersebut menunjukkan bahwa tema hiwar dalam ayat-ayat di atas menyangkut
suatu problem yang hendak dipecahkan oleh para ’aktor’ dalam ayat-ayat
tersebut. Dengan demikian, sudah jelas bahwa metode hiwar yang
mengedepankan pendekatan problem solving memiliki relasi yang kuat dengan
metode pendidikan orang dewasa (Andragogy).
Telaah
awal peneliti di atas tergolong argumentatif bagi penelitian ini yang berusaha
memformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an.
Mengapa
perlu memformulasikan Andragogi dalam al-Qur’an? Argumen pertama peneliti
adalah Andragogi merupakan salah satu teori pendidikan orang dewasa yang sudah
teruji berpuluh-puluh tahun sehingga menjadi sebuah teori yang andal, bahkan
menjadi pijakan teoretis bagi pendidikan non-formal seperti Pendidikan Luar
Sekolah (PLS). Jadi rasional jika peneliti memilih Andragogi untuk ditelaah
dari perspektif pendidikan Islam melalui kajian tematik al-Qur’an.
Argumen
kedua, Muhaimin menyatakan bahwa dilihat
dari aspek program dan praktik pendidikan, setidaknya ada 5 kategori pendidikan
Islam di Indonesia: a) Pendidikan Pondok Pesantren; b) Pendidikan Madrasah dan
pendidikan lanjutannya, seperti IAIN/STAIN; c) Pendidikan Umum yang bernafaskan
Islam, yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan yayasan dan
organisasi Islam; d) Pelajaran Agama Islam sebagai suatu mata kuliah; e)
Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau di
forum-forum keislaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya. 57 Tidak dapat dipungkiri bahwa kelima jenis pendidikan Islam ini sedikit-banyak juga
menjadikan orang dewasa sebagai peserta didiknya.
Selanjutnya
program dan praktek pendidikan Islam yang menjadikan orang dewasa sebagai
peserta didiknya perlu memiliki pijakan teoretis berupa teori pendidikan orang
dewasa. Di sisi lain, pendidikan Islam
–sepanjang penelusuran peneliti– belum menghasilkan teori khusus pendidikan
orang dewasa khas Islam. Ironisnya, teori pendidikan orang dewasa justru muncul
dari dunia Barat –dalam konteks ini Andragogy–. Pada titik inilah
peneliti berminat untuk menjembatani antara program atau praktek pendidikan
orang dewasa khas Islam dengan teori pendidikan orang dewasa khas Barat melalui
upaya formulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an.
Upaya
’penjembatanan’ di atas penting untuk dilangsungkan karena setiap teori ilmiah
pasti dilandaskan pada epistemologi tertentu. Sebagai bagian dari pendidikan
Barat, Andragogi juga dibangun
di atas filsafat pendidikan yang menggunakan pendekatan epistemologi yang
banyak bertentangan dengan ajaran Islam, semisal anti-metafisika. 58 Oleh karena itu,
pendidikan Islam dituntut untuk selalu menyeleksi setiap bentuk teori
non-Islami sebelum diadopsi ke dalamnya.
Bagi peneliti, upaya penyeleksian tersebut dapat dilakukan
dengan cara menelaah sebuah teori dari perspektif al-Qur’an. Pandangan peneliti
ini berpijak pada pendapat Abu al-‘Ainayn yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah
meletakkan dasar-dasar pendidikan yang disebut “filsafat pendidikan”.
Prinsip-prinsip semacam ini bersifat komprehensif dan tidak terbatas pada
aspek-aspek tertentu kehidupan. 59 Pintu terbuka bagi cabang-cabang
pengetahuan lain yang terbukti fit dengan perspektif al-Qur’an. 60 Dengan demikian, prinsip-prinsip
al-Qur’an telah membangun landasan dasar teori pendidikan dan para ahli
pendidikan harus menerjemahkan detailnya, sehingga al-Qur’an mengundang para
spesialis untuk memberikan kontribusi. 61 Untuk itu, peneliti
hendak turut memberikan kontribusi pemikiran yang beranjak dari penelitian
ilmiah yang bertujuan formulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan ‘perspektif Islami’ bagi Andragogi,
sehingga terlahir konsep Andragogi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Islam.
Akhirnya, dengan segenap paparan dan argumentasi di atas, peneliti bermaksud mengajukan judul penelitian
disertasi sebagai berikut: Konsep Andragogi dalam al-Qur’an.
B.
Identifikasi Masalah
Peneliti
sadar bahwa kajian tematik terhadap al-Qur’an membutuhkan etos ilmiah yang
tinggi, hal ini disebabkan banyaknya lingkup bahasan yang tercakup di dalamnya.
Berikut ini peneliti mengidentifikasi beberapa masalah yang relevan dengan
kajian tematik di atas:
1. Apa
saja isi kandungan al-Qur’an yang relevan dengan Andragogi?
2. Bagaimana
isi kandungan al-Qur’an dalam perspektif Andragogi?
3. Bagaimana
konsepsi Andragogi dalam al-Qur’an?
4. Bagaimana
ontologi konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
5. Bagaimana
epistemologi konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
6. Bagaimana
aksiologi konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
7. Siapa
yang berposisi pendidik pada konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
8. Siapa
yang berposisi sebagai anak didik pada konsep Andragogi al-Qur’an?
9. Apa
tujuan dari konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
10. Apa
materi (kurikulum) dari konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
11. Apa
metode dari konsep Andragogi dalam al-Qur’an?
Daftar
identifikasi masalah di atas pada intinya menunjukkan begitu banyak
permasalahan yang termasuk dalam lingkup bahasan Andragogi dalam al-Qur’an.
Maka dari itu, peneliti membatasi diri melalui perumusan masalah yang dinilai
representatif untuk memformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an.
C.
Rumusan
Masalah
Selaras
dengan batasan masalah yang dipaparkan sebelumnya, peneliti mengajukan 3
rumusan masalah yang representatif untuk dijadikan sebagai pijakan dalam upaya
memformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an. Ketiga rumusan masalah tersebut
adalah:
1. Apa
isi al-Qur’an yang relevan dengan Andragogi?
2. Bagaimana konsepsi Andragogi dalam
al-Qur’an?
3. Bagaimana relasi konsep Andragogi dalam
al-Qur’an jika dikaitkan dengan teori Andragogi?
D.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk mengetahui isi al-Qur’an yang
relevan dengan Andragogi;
2. Untuk memformulasi konsep Andragogi
dalam al-Qur’an;
3. Untuk mengetahui relasi antara konsep
Andragogi dalam al-Qur’an dengan teori Andragogi.
E.
Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dinilai penting karena beberapa alasan,
antara lain: Pertama, al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia. Petunjuk
berarti memberikan arahan, jalan keluar, pedoman, baik dalam berpikir,
berencana, berinisiatif, maupun bertindak. Agar al-Qur’an dapat menjadi
petunjuk, maka manusia harus mengangkatnya ke dataran yang dapat dipahami oleh
manusia. Oleh karena itu, pengkajian-pengkajian al-Qur’an harus senantiasa
dilangsungkan. 62 Penelitian ini termasuk bagian dari upaya
pengkajian terhadap al-Qur’an yang bertujuan untuk kepentingan pendidikan
Islam. Selain itu, penelitian ini termasuk studi pustaka (library research)
yang berfungsi sebagai penyeimbang bagi penelitian lapangan (field research).
Kedua, selama ini ada kesan bahwa konsep atau teori
pendidikan anak dalam Islam sudah representatif untuk diterapkan dalam
pendidikan orang dewasa (Andragogi).
Padahal, terdapat berbedaan tajam antara pendidikan anak-anak dengan
pendidikan orang dewasa, semisal dari sisi psikologi belajar, gaya belajar,
motivasi belajar, dan seterusnya. Oleh sebab itu, penting untuk diformulasikan
konsep Andragogi bagi kepentingan pendidikan Islam itu sendiri. Di sinilah
peneliti tertarik untuk meformulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an dengan
menggunakan metode tafsir Mawdu‘i.
Adapun manfaat penelitian
ini antara lain: Pertama, Sebagai bahan pelajaran bagi peneliti untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sebagai praktik aplikasi
metode tafsir Mawdhu‘i; disertai harapan dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak lain yang berminat dan tertarik untuk mengimplementasikan hasil
penelitian ini; Kedua, Memperkaya khazanah literatur ilmu pendidikan
Islam, khususnya tentang konsep Andragogi dalam al-Qur’an yang relatif masih
terbatas.
F.
Penelitian
Terdahulu
Pada
bagian ini, peneliti bersandar pada pemahaman bahwa pendekatan yang baik dalam
studi kepustakaan adalah merangkai studi-studi itu berdasarkan topiknya dan
menetapkan bagaimana hubungan tiap-tiap topik ini dengan penelitian yang akan
dilakukan. Oleh karena itu, dalam hal ini peneliti tidak akan menyajikan
literatur dalam bentuk abstrak, melainkan menyajikannya dengan tujuan
menjadikan studi kepustakaan ini sebagai dasar sistematik bagi penelitian yang
hendak dilakukan. 63
Data
penelitian terdahulu berikut ini diperoleh dengan cara menelusuri beberapa
perpustakaan konvensional maupun digital. Perpustakaan konvensional yang telah
peneliti kunjungi antara lain IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maulana Malik
Ibrahim (MALIKI) Malang, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas
Negeri Malang (UM). Sedangkan perpustakaan digital (repository atau digilib)
yang telah peneliti telusuri antara lain IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maliki
Malang, UMM, UM; UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, UIN Makassar; UNESA dan UPI.
Hasil
penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan penelitian ini antara lain:
SEMBADA,
Gada. 2004. Pengembangan Model Pelatihan Keterampilan Sumber Daya
Manusia Berbasis Potensi Lingkungan Sosial Ekonomi: Suatu studi untuk
Pemberdayaan Buruh Usia Produktif Pasca Pemutusan Hubungan Kerja Menggunakan
Pendekataan Pembelajaran Andragogi di Kabupaten Bogor. Disertasi. Jurusan
Pendidikan Luar Sekolah. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Di
antara temuan disertasi ini yang relevan dengan penelitian Andragogi dalam
al-Qur’an adalah model pendidikan dan pelatihan bagi para buruh yang masih pada
usia produktif adalah pelatihan yang dapat membangkitkan sensitifitas terhadap
potensi mereka. Potensi tersebut diberi rangsangan melalui pendekatan
psikologik dengan menggunakan model pendidikan Andragogi. Model pendidikan
Andragogi digunakan karena mereka semua adalah manusia dewasa, sehingga potensi
mereka perlu dibangkitkan dengan cara pendampingan sehingga mereka dapat
menemukan jati diri mereka. Disertasi ini memberikan pijakan ilmiah bahwa orang
dewasa dapat mengaktualisasikan potensi dan jati diri mereka melalui
pendampingan dengan menggunakan model pendidikan Andragogi.
Nuril Huda. 2003. Pelatihan Bersifat Andragogi Lebih
Disukai (Kasus Partisipasi Pengusaha Kecil pada Pelatihan yang Diselenggarakan
oleh Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Propinsi Jawa Timur).
Tesis, Program Studi Pendidikan Luar Sekolah. Program Pascasarjana Universitas
Negeri Malang. Kesimpulan penting yang relevan dengan penelitian ini adalah
bukti empiris bahwa bahwa pelatihan yang lebih banyak ciri Andragoginya lebih
disukai oleh pengusaha kecil selaku warga belajar.
Umami, Himma Nur. 2009. Penerapan Prinsip-prinsip
Andragogi dalam Pembelajaran Pesantren di Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.
Skripsi, Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Malang. Penelitian ini berkaitan dengan Andragogi praktis pada pesantren
mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai kegiatan pembelajaran di
Pesantren Luhur yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, secara
langsung melibatkan santri. Dengan demikian, Pesantren Luhur telah menerapkan
prinsip-prinsip Andragogi, namun kuantitas dan kualitasnya berbeda antara satu
prinsip dengan prinsip lainnya. Inilah bukti riil bahwa lembaga pendidikan
Islam secara aktual sudah menerapkan prinsip-prinsip Andragogi, terlepas dari
kuantitas penerapan prinsip-prinsip tersebut. Bahkan seiring makin maraknya
pesantren mahasiswa, Andragogi praktis merupakan alternatif pendidikan yang
selaras dengan mahasiswa yang tergolong orang dewasa. Relevan dengan hal
tersebut, penelitian disertasi yang akan peneliti lakukan ini bertujuan untuk
memberikan perspektif al-Qur’an yang lebih ‘Islami’ terhadap Andragogi teoretis
dan praktis.
Fathullah, M. 2007. Pendekatan Andragogi sebagai Upaya
Peningkatan Kompetensi Guru dalam Menghadapi Program Sertifikasi. Skripsi.
Fakultas Tarbiyah. IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Nurmawati, Anita. 2009. Pengaruh Metode Andragogi
terhadap Peningkatan Prestasi Mata Pelajaran Fiqih kelas XI di SMA Islam
Parlaungan Berbek Waru Sidoarjo. Skripsi. Fakultas Tarbiyah. IAIN Sunan
Ampel Surabaya.
Dua skripsi di atas semakin menunjukkan bahwa Andragogi
telah fungsional bagi peningkatan kompetensi pendidik maupun peserta
didik.
Adapun
beberapa penelitian terdahulu yang memiliki relevansi secara general dengan
penelitian ini, antara lain:
M. Radhi
Al-Hafid, Nilai Edukatif Kisah al-Qur’an. 64 Disertasi ini paling tidak menunjukkan bahwa
kisah-kisah dalam al-Qur’an memiliki nilai edukatif atau pendidikan. Jika
demikian, maka kisah-kisah yang termaktub dalam al-Qur’an juga mengandung nilai
edukatif. Selain itu, disertasi ini menyangkut model-model strategi
belajar-mengajar nilai Islami pada lembaga pendidikan keagamaan: formal,
nonformal dan informal. Relevansinya dengan penelitian ini adalah penerapan
strategi belajar-mengajar nilai Islami pada lembaga formal, informal dan
nonformal sudah pasti bersinggungan dengan orang-orang dewasa (khususnya
pendidikan non-formal seperti Pendidikan Luar Sekolah), oleh karena itu, hasil
penelitian ini dapat difungsikan sebagai bahan suplemen terkait dengan metode
pembelajaran orang dewasa dalam perspektif al-Qur’an.
Sedangkan
penelitian terdahulu berupa disertasi yang sudah diterbitkan menjadi buku
antara lain:
Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang
Elemen Psikologi dari al-Qur’an. 65 Literatur ini
menelaah konsep manusia secara utuh berdasarkan 11 istilah kunci dalam
al-Qur’an. Hasil penelitian Baharuddin menyebutkan bahwa manusia memiliki 3
aspek dengan 6 dimensi, yaitu 1) Aspek Jismiyyah; 2) Aspek Nafsiyyah
meliputi dimensi al-nafs, al-‘aql, dan al-qalb; dan 3) Aspek
Ruhiyah meliputi dimensi al-ruh dan al-fithrah. Relasi dengan
penelitian ini adalah konsepsi utuh tentang manusia dalam perspektif al-Qur’an
ini dapat dijadikan sebagai data komparatif terkait dengan karakteristik orang
dewasa, khususnya ditinjau dari sisi psikologis.
Huda, Miftahul. Interaksi Pendidikan: 10 Cara Qur’an
Mendidik Anak. 66 Judul buku mengisyaratkan bahwa sasaran kajian
adalah pendidikan anak yang dilandaskan pada interaksi pendidikan antara
figur-figur ternama dalam al-Qur’an, seperti Nabi Adam, Nabi Nuh, Ibrahim, Zakariya
dan Zakariya dengan anak-anak mereka. Lebih dari itu, buku ini memberikan
kontribusi yang signifikan bagi penelitian ini, karena memiliki beberapa
kemiripan. Antara lain, beberapa bagian yang menjadi objek kajian penelitian
buku ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai interaksi pendidikan orang
dewasa. Misalnya interaksi antara Nabi Adam dengan Qabil dan Habil terkait
dengan masalah perjodohan yang menjadi pemicu konflik di antara kedua putra
Adam tersebut. Disebut memiliki relevansi dengan andragogi karena perjodohan
sendiri mengindikasikan bahwa saat itu Qabil dan Habil sudah berusia
dewasa.
Mengacu pada daftar penelitian terdahulu di atas, ada
beberapa kesimpulan yang dapat dipetik: Pertama, penelitian andragogi yang
berkaitan dengan pendidikan Islam tergolong field research (penelitian
lapangan), sedangkan penelitian ini tergolong library research. Kedua,
penelitian library research yang ditujukan pada al-Qur’an selama ini
menyangkut pendidikan Islam secara umum ataupun pendidikan anak dalam Islam,
sedangkan pendidikan orang dewasa dalam al-Qur’an belum tersentuh oleh
penelitian ilmiah; ketiga, belum ada penelitian ilmiah yang membahas konsep
pendidikan orang dewasa dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, penelitian ini
tergolong baru dan diharapkan dapat memberikan penyegaran bagi khazanah ilmu
pendidikan Islam.
G.
Metode Penelitian
1.
Sumber Penelitian
Secara
metodologis, penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research),
sehingga termasuk dalam kategori studi teks. 67 Jika mengacu pada
pendapat Noeng Muhadjir, maka studi teks dalam penelitian ini termasuk studi
pustaka yang berguna untuk membangun konsep teoretik yang pada waktunya nanti,
tentu memerlukan uji kebermaknaan emperik di lapangan. 68 Adapun konsep
teoretik yang menjadi sasaran penelitian ini adalah konsep Andragogi dalam
al-Qur’an.
Sumber-sumber
data penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis yang terbagi menjadi
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer penelitian ini adalah
al-Qur’an. Sumber sekundernya adalah berbagai literatur yang relevan dengan
objek penelitian ini, baik berupa kitab tafsir, Hadits, filsafat pendidikan
Islam, ilmu pendidikan Islam, psikologi pendidikan dan terutama literatur
pendidikan orang dewasa (Andragogi).
Kitab tafsir
yang menjadi referensi utama penelitian ini adalah:
a) Tafsir
al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Tafsir ini mewakili penafsiran
al-Qur’an dari perspektif orang Indonesia. Selain itu, tafsir ini tergolong
kaya akan pendekatan, mulai dari pendekatan linguistik, i‘jaz al-Qur’an
dari sisi bahasa, isyarat ilmiah maupun pemberitaan ghaib, munasabah
antar ayat, serta makna-makna mendalam yang terkandung pada suatu ayat,
khususnya telaah suatu ayat dari perspektif pendidikan, akan sangat berguna
bagi penelitian ini.
b) Tafsir
al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Husain al-Thabathaba‘i.69 Tafsir al-Mizan
relevan dengan penelitian ini, karena dalam tafsir tersebut, al-Tabataba‘i
menggunakan berbagai pendekatan, yaitu filsafat (falsafy), sosiologis (ijtima‘y),
historis (tarikhy), ilmiah (‘ilmy), ilmiah dan etika (‘ilmy wa
akhlaqy), ilmiah dan filosofis (‘ilmy wa falsafy) serta rasional dan
Qur’ani (‘aqly wa qur’any). 70 Kekayaan pendekatan
dalam tafsir al-Mizan ini berpotensi memberikan keluasan dan kedalaman
pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi objek penelitian ini.
c) Tafsir
al-Tahrir wa al-Tanwir karya Muhammad Tahir ibn ‘Asyur.
Keistimewaan tafsir ini menurut penulisnya sendiri adalah adanya upaya sintesa
dari dua karakteristik kitab tafsir selama ini, yaitu tafsir yang hanya
mengekor tafsir-tafsir pendahulunya dan tafsir yang menolak dan apriori
terhadap tafsir-tafsir pendahulunya. Upaya sintesa tersebut salah satunya
dilakukan dengan cara membersihkan (mentashih) dan menambah. Ibn ‘Asyur
lebih menitik-beratkan tafsirnya pada sisi-sisi i‘jaznya, balaghah
dan badi’, di samping menjelaskan munasabah antara satu ayat dengan ayat
lainnya. Di samping itu, Ibn ‘Asyur menjelaskan seluruh maksud-maksud
ayat al-Qur’an; mengungkapkan poin-poin dan kemukjizatan al-Qur’an yang belum
terungkap dalam buku-buku tafsir lain; serta menggunakan metode yang
sistematis. 71 Bagi peneliti, serangkain kelebihan tafsir
ibn ‘Asyur di atas dapat berguna untuk mempertajam analisis linguistik
suatu ayat atau term serta makna implikatifnya yang bersifat praktis dan
modern, mengingat posisi Ibn ‘Asyur sendiri yang berperan signifikan
sebagai seorang aktivis –khususnya menggerakkan nasionalisme di Tunisia– serta
pengkategorian tafsir ini yang termasuk tafsir kontemporer.
d) Tafsir
Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Razy. Poin-poin penting yang terdapat dalam
tafsir ini antara lain: mengutamakan penyebutan hubungan (munasabah)
antara surat-surat al-Qur’an dan ayat-ayatnya satu sama lain, sehingga dia
menjelaskan hikmah-hikmah yang terdapat dalam urutan-urutan al-Qur’an; sering
menyimpang ke pembahasan tentang ilmu Matematika, Filsafat, Biologi dan
lainnya; Membubuhkan banyak pendapat para filosof dan ahli kalam. 72 Tidak disangsikan
lagi bahwa tafsir al-Razy ini sarat dengan kecenderungan filsafat. Analisis
filosofis inilah yang akan peneliti manfaatkan untuk menyelami makna terdalam
dan universal dari suatu ayat, lalu dikontekstualisasikan dengan kajian
penelitian ini.
e) Tafsir
al-Munir karya Wahbah al-Zuhayly. Alasan utama peneliti menggunakan referensi
Tafsir al-Munir adalah adanya sub bahasan tentang Fiqh al-Hayat
(fiqih kehidupan), yaitu bahasan tentang makna praktis dari ayat-ayat yang
telah dijelaskan sebelumnya.
f) Tafsir
Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya al-Biqa‘i. Tafsir ini
terkenal dengan munasabah antara
surat maupun ayat. 73 Pemahaman tentang munasabah ini lebih
terasa urgensinya ketika menemui ayat-ayat tidak memiliki asbab al-nuzul,
sedangkan banyaknya ayat-ayat yang menjadi objek dalam penelitian meniscayakan
adanya ayat-ayat yang tidak memiliki asbab al-nuzul.
g) Kitab-kitab
tafsir lainnya yang berguna untuk melengkapi dan mempertajam analisis
bahasan penelitian ini.
Dalam
rangka memahami makna linguistic suatu term dalam al-Qur’an, peneliti
menggunakan kitab Mufradat Gharib al-Qur’an karya al-Ashfahany, Mu‘jam
Tafsir Mufradat Alfazh al-Qur’an al-Karim karya Samih ‘Athif al-Zayn, dan al-Wujuh
wa al-Naza’ir li Alfaz Kitab Allah al-‘Aziz karya al-Damaghany;
sedangkan untuk
menemukan ayat-ayat al-Qur’an secara tematik, peneliti memanfaatkan kitab al-Mu‘jam
al-Mufahras li-Alfazh al-Qur’an karya Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi; sebagai
pelengkap, peneliti juga menggunakan bantuan software Qur’an Digital,
Qur’an in Word 2003 dan al-Maktabah al-Syamilah edisi 2. Software
al-Maktabah al-Syamilah juga difungsikan untuk melacak Hadits-Hadits yang
relevan dengan topik bahasan, khususnya yang terdapat dalam Kutub al-Tis’ah,
meskipun tetap mengkonfirmasi pada kitab aslinya.
Adapun
sumber data tentang Andragogi, peneliti akan berpijak pada literatur-literatur
tentang Andragogi –khususnya dari karya Malcolm Knowles, Bapak Andragogi– dan
dilengkapi dengan karya-karya yang menyangkut teori adult learning, higher
education dan lifelong education.
Selain
sumber-sumber primer dan sekunder di atas, peneliti juga akan menggunakan
sumber-sumber data lainnya dalam upaya mewujudkan hasil penelitian yang lebih
sempurna, baik dalam bentuk karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi), jurnal
ilmiah (khususnya journal of adult education) dan sumber-sumber data relevan
lain yang diperoleh peneliti selama proses penelitian berlangsung.
2.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian terhadap
al-Qur’an mengacu pada metode tafsir al-Qur’an. Secara general,
pendekatan penelitian ini adalah pendekatan tafsir tematik (Mawdhu‘y).
Menurut al-Farmawi, ada 4 metode tafsir
yang dipakai hingga saat ini, yaitu metode Tahlily, Ijmaly, Muqaran,
dan Mawdhu‘y.74 Secara lebih spesifik, M. Ridlwan Nasir
mengelompokkan metode tafsir menurut titik tekan dan sisi sudut
pandangnya masing-masing. Metode Tahlily 75 dan Mawdhu‘y 76 terkait dengan segi sasaran dan tertib
ayat-ayat yang ditafsirkan. Metode Ijmaly 77 berkaitan
dengan segi keluasan penjelasan tafsirannya; sedangkan metode Muqaran 78 berhubungan
dengan segi cara penjelasannya. 79 Berikut ini visualisasinya:
Metode dan Corak Tafsir al-Qur'an |
3.
Langkah-Langkah Penelitian
Secara sistematis, langkah-langkah penelitian yang akan
peneliti tempuh meliputi 4 langkah, yaitu:
Langkah pertama, peneliti menyajikan perspektif teoretik
tentang Andragogi, khususnya prinsip-prinsip Andragogi dan Pendidikan Islam
yang membahas tentang dasar, tujuan, materi, metode, pendidik dan peserta
didik. Aksentuasi ditujukan pada bahasan al-Qur’an sebagai salah satu dasar
pendidikan Islam. Bahasan tentang al-Qur’an meliputi isi al-Qur’an secara
universal, kajian tentang hakikat manusia dan pendidikan, serta subtema tentang
pendidikan orang dewasa. Tampilannya disajikan pada bab II.
Langkah kedua, peneliti akan mengidentifikasi dan
mengklasifikasi isi al-Qur’an yang relevan dengan prinsip-prinsip Andragogi.
Hasilnya akan dipaparkan pada bab III.
Langkah ketiga, peneliti berupaya memformulasi konsep
Andragogi dalam al-Qur’an dengan cara menganalisis data pada bab III dengan
menerapkan langkah-langkah metodologis-aplikatif tafsir Mawdu‘i versi
Abd. Al-Hayy al-Farmawi dan didukung telaah terhadap sumber-sumber data
sekunder penelitian ini –terutama kitab-kitab tafsir– di samping juga mempertimbangkan
perspektif teoretik tentang Andragogi dan Pendidikan Islam. Dengan demikian,
bagian ini merupakan inti dari formulasi konsep Andragogi dalam al-Qur’an.
Hasil langkah ketiga ini akan ditampilkan pada bab IV.
Pada langkah kedua dan ketiga di atas, peneliti
menerapkan langkah-langkah
metodologis-aplikatif metode tafsir Mawdu‘i yang digunakan oleh Abd.
Al-Hayy al-Farmawi dengan perincian sebagai berikut: a) Memilih atau
menetapkan masalah al-Qur’an yang dikaji secara tematik; b) Melacak dan
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan;
ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah; c) Menyusun ayat-ayat
tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, 80 disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul; d) Mengetahui korelasi
(munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya; e) Menyusun tema
bahasan di dalam outline yang pas, sistematis, sempurna dan utuh; f) Melengkapi
pembahasan dan uraian dengan Hadits, bila dipandang perlu, sehingga penjelasan
menjadi semakin sempurna dan semakin jelas; g) Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat
yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara ‘am dan khas,
mutlaq dan muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang tampaknya
kontradiktif, menjelaskan nasikh-mansukh, sehingga semua ayat
tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindak
pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak
tepat. 81
Langkah keempat,
peneliti akan mendialogkan hasil penelitian berupa konsep Andragogi dalam
al-Qur’an dengan teori Andragogi. Bagian ini dimaksudkan sebagai telaah kritis
terkait kelebihan maupun kelemahan dari masing-masing pihak, sehingga
diharapkan dapat saling mengisi. Hasilnya dapat dilihat pada bab V.
Visualisasi
dari keempat langkah penelitian di atas dapat dilihat pada framework
penelitian di bawah ini:
Framework Disertasi Andragogi dalam al-Qur'an |
4.
Analisis Data
Metode
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis.
Dalam prakteknya, content analysis ini secara inheren sudah tercakup
pada setiap langkah-langkah metodologis sebelumnya, yaitu menganalisis isi
al-Qur’an secara keseluruhan dengan pisau analisis tafsir Mawdu‘i.
Hasil
penelitian akan dilaporkan secara deskriptif analitik dan kritis, yakni berupa
paparan dan penjelasan dengan disertai analisis dan kritisisme dari peneliti
terhadap data-data yang dihasilkan selama penelitian.
H.
Sistematika
Pembahasan
Hasil akhir dari penelitian ini akan dilaporkan dalam bentuk
Disertasi dengan sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama
berisi pendahuluan yang menguraikan latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kepentingan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metodologi
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat perspektif teoretik. Pada bab ini peneliti
akan menyajikan teori Andragogi dengan aksentuasi pada prinsip-prinsip
Andragogi dan Pendidikan Islam yang memuat bahasan tentang dasar, tujuan,
materi, metode, pendidik dan peserta didik; disertai dengan bahasan tentang
al-Qur’an dengan aksentuasi pada pendidikan orang dewasa.
Bab ketiga adalah isi kandungan al-Qur’an tentang Andragogi.
Bab ini memuat identifikasi sekaligus klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki relevansi dengan prinsip-prinsip Andragogi.
Bab keempat memuat tentang formulasi konsep Andragogi dalam
al-Qur’an. Bingkai bahasannya berdasarkan prinsip-prinsip
Andragogi.
Bab kelima relasi konsep andragogi dalam al-Qur’an dengan
teori Andragogi. Bab ini menyajikan hasil dialog antara konsep
Andragogi dalam al-Qur’an dengan teori Andragogi, dilengkapi dengan kritisisme
dari peneliti.
Bab keenam adalah penutup berupa kesimpulan dan saran-saran.
Pada bagian akhir akan dilengkapi dengan bibliografi dan sejumlah lampiran.
Catatan
Kaki
[1] Malcolm Shepherd Knowles adalah “Bapak
Andragogi”. Lahir pada 24 Agustus 1913 dan wafat pada 27 November 1997.
Terlahir di Montana dari ayah bernama, Dr. A. D. Knowles. Keluarganya pindah ke
West Palm Beach, Florida. Knowles lulus dari Palm Beach High School tahun 1930
lalu mendapatkan beasiswa ke Harvard University dan lulus sebagai Bachelor
of Arts tahun 1934. Setelah itu, Knowles bekerja di National Youth Administration di
Massachusetts dan menikah dengan Hulda Fornell yang dia kenal ketika kuliah di
Harvard. Tahun 1940, Knowles menduduki posisi sebagai Director of Adult
Education di Boston YMCA sampai dia dialih-tugaskan ke United States Navy
tahun 1943. Pada tahun 1946, Knowles pindah ke Chicago untuk bertugas sebagai Director
of Adult Education di YMCA sekaligus menjalani studi di University of
Chicago hingga meraih gelar M.A. di tahun 1949. Sejak tahun 1951-1959 Knowles
menjalani peran sebagai executive director di Adult Education
Association of the USA dan mengejar titel PhD-nya di University of Chicago.
Tahun 1959, Knowles diangkat menjadi profesor tetap untuk pendidikan orang dewasa
di Boston University dan menghabiskan waktu selama 14 tahun di sana. Knowles
menjadi anggota the faculty of Education di North Carolina State
University tahun 1974 sekaligus menyelesaikan 4 tahun terakhir dari karir
akademiknya sebelum pensiun. Pasca pensiun, Knowles tetap aktif dalam
pendidikan orang dewasa hingga tahun 1990-an. Knowles mengajar di Fielding
Graduate University, Santa Barbara, CA dan di the University of Arkansas. Knowles wafat di
Fayetteville, Arkansas, karena stroke. (http://en.wikipedia.org/wiki/Malcolm_Knowles
diakses pada 13 Desember 2011)
[2] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner: The
Definite Classic in Adult Education and Human Resource Development (Houston:
Gulf Publishing Company, 1998), 35. Hemat peneliti, satu di antara faktor pemicunya dapat ditujukan
pada asumsi bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk ’mendewasakan’ manusia,
sehingga ketika seorang insan sudah dewasa, maka dia tidak lagi menjadi prioritas sasaran
pendidikan.
[3] Mohammad Ali (et al), Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis (Jakarta: PT
Imperial Bhakti Utama, 2007), 288-289. Pandangan lain dikemukakan oleh Sudarwan
Danim yang menyebut istilah dewasa tidak identik dengan usia kronologis,
melainkan lebih pada kematangan psikologis. Alasannya, banyak orang yang secara
usia kronologis termasuk kelompok anak-anak, tetapi sudah cukup dewasa secara
psikologis. Sebaliknya, banyak juga orang yang secara usia kronologis termasuk
kelompok dewasa, tetapi belum dewasa secara psikologis. Implikasinya dalam
pendidikan adalah andragogi tidak dapat secara hitam-putih dimasukkan ke
kandang ‘seni mengajar untuk orang dewasa’ dalam usia kronologis. (Sudarwan
Danim, Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi (Bandung: Alfabeta, 2010),
125.)
[4] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner, 35.
[5] Ibid., 35-36.
[6] Ibid., 36.
[7] Mohammad Ali (et al), Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis, 34.
[8] Malcolm
Tight (ed.), Adult Learning & Education (New Hampshire: The Open
University, 1987), 53.
[9] Ibid., 53.
[10] Mohammad Ali (et al), Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis, 291.
[11] Malcolm
Tight (ed.), Adult Learning & Education, 53-54.
[12] Ibid., 554.
[13] Backgroud dari masing-masing
revolusi adalah: Revolusi ke-1 terjadi karena orang tua atau keluarga tidak
mampu lagi membelajarkan anak-anaknya sendiri. Revolusi ke-2
terjadi karena guru ingin memberikan pelajaran kepada lebih banyak anak didik
dengan cara lebih cepat. Revolusi ke-3 terjadi karena guru
ingin mengajarkan lebih banyak lagi dan lebih cepat lagi, sementara itu
kemampuannya makin terbatas, sehingga perlu menggunakan pengetahuan yang telah
diramukan orang lain. Revolusi ke-4 terjadi karena mustahil bagi guru untuk
memberikan semua ajaran (ilmu pengetahuan) yang diperlukan, dan karena itu yang
lebih penting adalah mengajar anak didik tentang bagaimana belajar. Ajaran
(ilmu pengetahuan) selanjutnya akan
diperoleh si pembelajar sepanjang usia hidupnya melalui berbagai sumber dan
saluran. (Yusufhadi Miarso, Menyemai
Benih Teknologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2009), 104-105.)
[14] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam:
Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan hingga Strategi Pembelajaran
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 283.
[15] Sejak itu, ide tersebut terus menyebar luas ke berbagai negara menuju ke
negara maju dan negara berkembang untuk diketahui dan dipertimbangkan. Pada
saat itu respon berbagai negara tidak sama. Khususnya di Indonesia respon
terhadap PSH itu sangat positif dan dituangkan dalam kebijaksanaan negara,
yaitu dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978
tentang GBHN yang menetapkan prinsip pembangunan nasional antara lain: Dalam
Bab IV bagian pendidikan, butir (d) berbunyi: Pendidikan berlangsung seumur
hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga/keluarga dan masyarakat,
karena itu pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat dan pemerintah. (Umar
Tirtarahardja & La Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), 44)
[16] Pengertian mandiri di sini berarti tidak tergantung kepada orang lain,
bebas dan dapat melakukan sendiri. Dalam konteks kemandirian dalam belajar,
Wedemeyer menyebut bahwa peserta didik memiliki kebebasan untuk belajar tanpa
harus menghadiri pembelajaran di kelas; sedangkan Keegen mengutip Moore yang
menyatakan bahwa kemandirian belajar peserta didik adalah sejauh mana dalam
proses pembelajaran itu, siswa dapat ikut menentukan tujuan, bahan dan
pengalaman belajar, serta evaluasi pembelajarannya (Rusman, Model-model
Pembelajaran: Mengambangkan Profesionalisme Guru (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), 353-365)
[17] Ada beberapa pengertian Self-Directed Learning (SDL), antara lain:
a) proses inquiry yang melibatkan guru dan siswa sekaligus; b)
independensi yang utuh dari guru; c) proses yang menempatkan para pembelajar (learners)
sebagai pengambil inisiatif untuk menganalisis dan mendiagnosa
kebutuhan-kebutuhan belajar mereka; memformulasi tujuan-tujuan belajar yang
relevan bagi pribadi mereka; mengidentifikasi bagaimana (cara) meraih semua itu
serta pemikiran (reflection) terhadap prestasi mereka. (George M. Pirkurich, Self-Directed Learning: A Practical Guide
to Design, Development and Implementation (San Francisco: Jossey-Bass
Publishers, 1993), 7)
[18] Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa: Dari Teori Hingga Aplikasi
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), 11-12.
[19] Malcolm
Tight (ed.), Adult Learning & Education, 554.
[20] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner, 58.
[21] Ibid., 58-59.
[22] Ibid., 59. Mustofa Kamil menyebut bahwa sebelum Rosenstock,
terlebih dahulu muncul Adam Smith pada tahun 1919 yang memberikan argumentasi
terkait pendidikan orang dewasa “pendidikan juga tidak hanya untuk anak-anak,
tetapi pendidikan juga untuk orang dewasa”. (Mohammad Ali (et al), Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis, 290.)
[23] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner, 59.
[24] Ibid., 59.
[25] Ibid., 60.
[26] Ibid., 60.
[27] Ibid., 60.
[28] Ibid., 60-61.
[29] Mohammad Ali (et al), Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis, 293.
[30] K.
Patricia Cross, Adults as Learners:
Increasing Participation and Facilitating Learning (San Francisco:
Jossey-Bass Publishers, 1981), 222.
[31] Sharan
B. Merriam & Rosemary S. Carafella, Learning in Adulthood (San
Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1991), 249.
[32] Sudarwan Danim, Pedagogi,
Andragogi dan Heutagogi, 127.
[33] K. Patricia Cross, Adults as
Learners, 222-223.
[34] Malcolm Shepherd Knowles, The Adult Learner, 64-69.
[35] Ibid., 133.
[36] Ibid., 65.
[37] Ibid., 65-66.
[38] Ibid., 67.
[39] Ibid., 67.
[40] Ibid., 149.
[41] K. Patricia Cross, Adults as
Learners, 224.
[42] Mohammad Ali (et al), Ilmu dan
Aplikasi Pendidikan: Ilmu Pendidikan Teoretis, 295.
[43] Malcolm S. Knowles, Self-Directed
Learning: A Guide for Learners and Teachers (Chicago:Follet Publishing
Company, 1975), 19.
[44] Sudarwan Danim, Pedagogi,
Andragogi dan Heutagogi (Bandung: Alfabeta, 2010), 125.
[45] Mohammad Ali (et al), Ilmu dan
Aplikasi Pendidikan: Ilmu Pendidikan Teoretis, 287.
[46] Definisi
mukallaf adalah اَلْمُكَلَّفُ هُوَ الْبَالِغُ الْعَاقِلُ.
Mahmud Hamid ‘Uthman, al-Qamus al-Mubin fi Istilah al-Usuliyyin (Kairo: Dar al-Hadits, tt.), 215.
[47] Teks
lengkap akan disajikan pada bagian lampiran.
[48] Tulisan menurut versi bahasa aslinya adalah Andragogy, namun dalam
penelitian ini, peneliti juga menggunakan tulisan dalam versi bahasa Indonesia,
yaitu Andragogi. Mengingat term Andragogi sudah dikenal luas dalam literatur
pendidikan –khususnya pendidikan orang dewasa–, maka peneliti memilih kata
Andragogi versi bahasa Indonesia.
[49] Mustafa Muslim, Mabahith fi al-Tafsir al-Mawdu‘i
(Dimshiq:
Dar al-Qalam, 1989), 23-28.
[50] Kematangan
secara psikologis antara lain tampak pada hak ikut serta dalam peperangan
(al-Ahzab: 23); berposisi sebagai suami (al-Baqarah: 228); hak menjadi saksi
dalam transaksi mu‘amalah (al-Baqarah: 282); bahkan yang paling jelas adalah
hanya yang berstatus رجل yang berhak memperoleh wahyu kerasulan
(Yusuf: 109; al-Nahl: 43; al-Anbiya’: 7)
[51] Misalnya
yang dialami oleh dua orang pemilik kebun (al-Kahfi: 32); kaum laki-laki yang
pekerjaan mereka sebagai pedagang tidak sampai melalaikan mereka dari dzikir
kepada Allah s.w.t. dan mendirikan shalat(al-Nur: 37);
[52] Seperti
yang terjadi para kaum Nabi Lut yang suka menjalin hubungan homoseksual
(al-A‘raf: 81); suka bertengkar layaknya kasus dua orang Bani Isra’il yang
kemudian dilerai oleh Nabi Musa (al-Qassas: 15); bahkan yang paling parah
adalah terjurumus pada jurang kekafiran dan kemusyrikan (al-Kahfi: 32;
al-Zumar: 29).
[53] Contoh:
laki-laki yang menerima ajaran Nabi Musa (al-Qassas: 20); kaum laki-laki yang
tidak pernah lalai dari melakukan dzikir kepada Allah dan mendirikan shalat
(al-Nur: 37); memenuhi janji semaksimal mungkin (al-Ahzab: 23); suka berbuat
adil (al-Nahl: 76); serta mentauhidkan dan beriman kepada Allah s.w.t.
(al-Kahfi: 32; al-Zumar: 29).
[54] Surat
al-Balad: 10 ini dalam Tafsir al-Jalalayn dijelaskan sebagai: (بيَّنا
له طريق الخير والشر).
[55] Yusufhadi
Miarso, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, 553.
[56]
‘Abd al-Fattah ‘Abd al-Ghany al-Qadi, Asbab
al-Nuzul ‘an al-Sahabah wa al-Mufassirin, 220.
[57] Kelima
jenis pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermuara pada satu pengertian
yang utuh, yaitu pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang
didirikan dan diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi, dan semangat untuk
memanifestasikan nilai-nilai Islam, baik nilai-nilai ketuhanan maupun kemanusiaan,
melalui kegiatan pendidikan sebagaimana tercakup dalam lima program dan praktek
pendidikan Islam di atas. (Muhaimin, Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), v-vi.)
[58] Kazuo
Shimogaki menyebutkan kecenderungan epistemologi Barat modern tersebut menjadi
lima macam: pemisahan antara bidang sakral dan bidang duniawi, kecenderungan ke
arah reduksionisme, pemisahan antara subyektivitas dan objektivitas,
antroposentrisme, dan progresivisme. Dapat disebutkan juga, bahwa pendekatan
epistemologi Barat itu adalah skeptic, rasional-empiris, dikotomik,
positivis-objektivis, dan menentang dimensi spiritual (anti metafisika). (Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari
Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), 58.)
[59] Abdur Rahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan
Pendidikan menurut al-Qur’an serta Implementasinya (Penyunting Dahlan dari Educational
Theory, A Quranic Outlook) (Bandung: CV. Diponegoro, 1991), 36.
[60] Ibid., 42.
[61] Ibid., 48.
[62] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi
tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), 18.
[63] Donald Ary, dkk., Pengantar Penelitian dalam
Pendidikan (alih bahasa oleh Arief Furchan) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), 108.
[64] M. Radhi Al-Hafid, Nilai Edukatif Kisah al-Qur’an
(Disertasi Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995).
[65] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi
tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
[66] Miftahul Huda, Interaksi Pendidikan: 10 Cara
Qur’an Mendidik Anak (Malang: UIN-Malang Press, 2008).
[67] Sebagai bagian dari upaya integrasi ilmu dengan
wahyu, Noeng Muhadjir memasukkan studi-studi tentang kitab suci yang merupakan
wahyu Allah ke dalam bagian studi teks. Asumsi dasar yang melandasinya adalah
meskipun wahyu Allah bukan produk budaya, melainkan highest wisdom yang
diturunkan Allah melalui medium bahasa yang komunikatif bagi semua manusia dan
berada pada dataran yang dapat dipahami manusia, maka wahyu dapat ditelaah
sebagai objek studi Geisteswissenshaften (human science) ataupun
sebagai karya sastra. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif:
Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme
Metaphisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 1996), 158-159.
[68] Ibid., 159.
[69] Menurut Tabataba‘i, agar dapat memahami hakikat
al-Qur’an dan maksudnya yang tinggi, maka harus menempuh dua cara penafsiran
al-Qur’an, yaitu: Pertama, mengkaji secara ilmiah dan filosofis
persoalan-persoalan yang dipaparkan ayat sampai menemukan yang haq dalam
persoalan tersebut, kemudian memperkuatnya dengan ayat lain. Kedua, menafsirkan
al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan cara menjelaskan makna ayat dengan ayat-ayat
yang mirip melalui tadabbur kepada jiwa ayat sebagaimana Surat al-Nahl:
89 yang dijelaskan oleh Surat al-Baqarah: 185 dan Surat al-Nisa’: 174. (Waryono
Abdul Ghafur, Millah Ibrahim dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an
(Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), 94)
[70] Waryono Abdul Ghafur, Millah Ibrahim dalam
al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, 102.
[71] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir
(alih bahasa oleh Faisal Saleh dan Syahdianor) (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006), 316-318.
[72] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir,
323.
[73] Sebagaimana
pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul yang berpengaruh besar dalam memahami makna
dan menafsiri ayat; demikian halnya dengan pengetahuan tentang Munasabah antar
ayat dapat membantu seseorang memperoleh penta'wilan yang lebih baik dan
pemahaman yang lebih mendalam. Maka dari itu, tidak heran jika ada pakar yang
menyusun karya tersendiri terkait dengan masalah Munasabah ini, seperti Abu
Ja‘far Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubayr al-Andalusy dan al-Biqa'i. (Manna‘
al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur'an (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),
91.)
[74] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 85-86.
[75] Metode Tahlily adalah menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan
surat-surat dalam mushaf, dari awal Surat al-Fatihah hingga akhir Surat
al-Nas. Contoh: Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-din al-Razy.
[76] Metode Mawdu‘y. adalah suatu penafsiran
dengan cara mengumpulkan ayat mengenai satu judul atau topik tertentu, dengan
memperhatikan masa turunnya dan asbab al-nuzul ayat, serta dengan
mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dan mendalam, dengan memperhatikan
hubungan ayat yang satu dengan ayat yang lain di dalam menunjuk suatu
permasalahan, kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dari dilalah
ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu. Contoh: al-Mar’ah fi al-Qur’an al-Karim
karya ‘Abbas al-‘Aqqad.
[77] Metode Ijmaly adalah penafsiran dengan cara
menafsirkan ayat al-Qur’an hanya secara global saja, tidak mendalam dan tidak
pula secara panjang lebar, sehingga bagi orang awam akan lebih mudah untuk
memahaminya. Contoh: Tafsir al-Qur’an al-Karim karya M. Farid
Wajdi.
[78] Metode Muqarin adalah membandingkan ayat
dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan Hadits (isi dan
matan), antara pendapat mufassir dengan mufassir lain dengan menonjolkan
segi-segi perbedaan. Contoh: Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an karya
al-Qurtuby.
[79] M. Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur’an: Perspektif
Baru Metodologi Tafsir Muqarin (Surabaya: Indra Media, 2003), 14-17.
[80] Untuk itu, peneliti akan menggunakan data yang diperoleh Andi
Rosadisastra. Menurut Sayyid M. Husein Thabathaba’i, Surat-surat berdasarkan
urutan masa turunnya adalah: 1) al-‘Alaq; 2) al-Qalam; 3) al-Muzzammil; 4)
al-Muddaththir; 5) al-Fatihah; 6) al-Masad; 7) al-Takwir; 8) al-A‘la; 9)
al-Layl; 10) al-Fajr; 11) al-Duha; 12) al-Inshirah; 13) al-‘Asr; 14)
al-‘Adiyat; 15) al-Kauthar; 16) al-Takathur; 17) al-Ma’un; 18) al-Kafirun; 19)
al-Fil; 20) al-Falaq; 21) al-Nas; 22) al-Ikhlas; 23) al-Najm; 24) ‘Abasa; 25)
al-Qadr; 26) al-Shams; 27) al-Buruj; 28) al-Tin; 29) al-Quraysh; 30)
al-Qari‘ah; 31) al-Qiyamah; 32) al-Humazah; 33) al-Mursalat; 34) Qaf; 35)
al-Balad; 36) al-Tariq; 37) al-Qamar; 38) Sad; 39) al-A‘raf; 40) al-Jinn; 41)
Yasin; 42) al-Furqan; 43) al-Malaikah; 44)Maryam; 45) Taha; 46) al-Waqi‘ah; 47)
al-Shu‘ara’; 48) al-Naml; 49) al-Qassas; 50) Bani Isra’il; 51) Yunus; 52) Hud;
53) Yusuf; 54) al-Hijr; 55) al-An‘am; 56) al-Saffat; 57) Luqman; 58) Saba’: 59)
al-Zumar; 60) al-Mu’min; 61) al-Sajdah; 62) al-Shura; 63) al-Zukhruf; 64)
al-Dukhan; 65) al-Jathiyah; 66) al-Ahqaf; 67) al-Dhariyat; 68) al-Ghashiyah;
69) al-Kahfi; 70) al-Nahl; 71) Nuh; 72) Ibrahim; 73) al-Anbiya’: 74)
al-Mu’minun; 75) Fussilat; 76) al-Tur; 77) al-Mulk; 78) al-Haqqah; 79)
al-Ma‘arij; 80) al-Naba’; 81) al-Nazi‘at; 82) al-Infitar; 83) al-Inshiqaq; 84)
al-Rum; 85) al-‘Ankabut; 86) al-Mutaffifin; Ini adalah Surat-surat MAKKIYAH;
sedangkan Surat-surat MADANIYAH adalah 87) al-Baqarah; 88) al-Anfal; 89)
Ali ‘Imran; 90) al-Ahzab; 91) al-Mumtahanah; 92) al-Niza’; 93) al-Zalzalah; 94)
al-Hadid; 95) al-Qital; 96) al-Ra‘d; 97) al-Rahman; 98) al-Insan; 99) al-Talaq;
100) al-Bayyinah; 101) al-Hashr; 102) al-Nasr; 103) al-Nur; 104) al-Hajj; 105)
al-Munafiqun; 106) al-Mujadilah; 107) al-Hujurat; 108) al-Tahrim; 109)
al-Jumu‘ah; 110) al-Taghabun; 111) al-Saff; 112) al-Fath; 113) al-Ma’idah; 114)
al-Tawbah. (Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial
(Jakarta: Amzah, 2007), 54-59.)
[81] Abd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Sebuah
Pengantar (alih bahasa oleh Suryan A. Jamrah) (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996), 45-46.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Abdur
Rahman Shalih. Landasan
dan Tujuan Pendidikan menurut al-Qur’an serta Implementasinya (Penyunting Dahlan dari Educational Theory, A Quranic Outlook). Bandung: CV. Diponegoro. 1991.
Ali, Mohammad (et al). Ilmu dan
Aplikasi Pendidikan: Bagian I Ilmu Pendidikan Teoretis. Jakarta:
PT Imperial Bhakti Utama. 2007.
Ali, Mohammad (et al). Ilmu dan
Aplikasi Pendidikan: Bagian II Ilmu Pendidikan Praktis. Jakarta:
PT Imperial Bhakti Utama. 2007.
Ary, Donald dkk.. Pengantar Penelitian dalam
Pendidikan (alih bahasa oleh Arief Furchan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami:
Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Cross, K. Patricia.
Adults as Learners: Increasing Participation and
Facilitating Learning. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers.
1981.
Danim,
Sudarwan. Pedagogi,
Andragogi dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta. 2010.
Farmawi al, Abd. al-Hayy. Metode Tafsir Mawdhu’iy:
Sebuah Pengantar (alih bahasa oleh Suryan A.
Jamrah). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
1996.
Ghafur, Waryono Abdul. Millah
Ibrahim dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN
Sunan Kalijaga. 2008.
Hafid
al, M.
Radhi. Nilai Edukatif Kisah
al-Qur’an. Disertasi. Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. 1995.
Huda,
Miftahul. Interaksi Pendidikan: 10
Cara Qur’an Mendidik Anak. Malang:
UIN-Malang Press. 2008.
Knowles, Malcolm Shepherd. The Adult Learner: The
Definite Classic in Adult Education and Human Resource Development. Houston:
Gulf Publishing Company. 1998.
Knowles, Malcolm S.. Self-Directed Learning: A Guide
for Learners and Teachers. Chicago:Follet Publishing Company. 1975.
Mahmud,
Mani’ Abd Halim. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir (alih bahasa oleh Faisal
Saleh dan Syahdianor). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2006.
Merriam,
Sharan B. & Rosemary S. Carafella. Learning in Adulthood. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers. 1991.
Miarso, Yusufhadi. Menyemai
Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. 2009.
Muhadjir,
Noeng. Metodologi Penelitian
Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan
Realisme Metaphisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Yogyakarta: Rake Sarasin. 1996.
Muhaimin. Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan hingga
Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Muhaimin. Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2003.
Muslim, Mustafa. Mabahith fi al-Tafsir
al-Mawdu‘i. Dimshiq:
Dar al-Qalam. 1989.
Nasir, M. Ridlwan. Memahami al-Qur’an:
Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. Surabaya: Indra Media. 2003.
Pirkurich, George
M.. Self-Directed
Learning: A Practical Guide to Design, Development and Implementation. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers. 1993.
al-Qadi, ‘Abd al-Fattah ‘Abd
al-Ghany. Asbab al-Nuzul ‘an
al-Sahabah wa al-Mufassirin. Kairo:
Dar al-Salam. 2007.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan
Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. 2006.
Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-ayat
Sains dan Sosial. Jakarta:
Amzah. 2007.
Rusman. Model-model Pembelajaran: Mengambangkan
Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1999.
Suprijanto. Pendidikan Orang Dewasa: Dari Teori
Hingga Aplikasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2007.
Tight, Malcolm (ed.). Adult Learning
& Education. New
Hampshire: The Open University.
1987.
Tirtarahardja, Umar & La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2000.
‘Uthman, Mahmud Hamid. al-Qamus al-Mubin
fi Istilah al-Usuliyyin. Kairo:
Dar al-Hadits. tt..
Sumber Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/Malcolm_Knowles
diakses pada 13 Desember 2011
http://repository.upi.edu/disertasiview.php?no_dis
diakses pada 29 Desember 2011