Relasi Islam, Politik, Negara dan NKRI
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
A.
Islam
dan Politik
Kata politik
berasal dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politicus
yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis
yang berarti kota.
Menurut KBBI,
politik adalah segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya)
mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.
Dalam kamus
bahasa Arab modern, kata politik biasa diterjemahkan dengan siyasah yang
berasal dari akar kata sasa-yasusu yang berarti mengemudi,
mengendalikan, mengatur dan sebagainya. Sedangkan dalam
al-Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu.1
Uraian al-Qur’an
tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar
kata hukm. Kata hukm pada mulanya berarti “menghalangi atau
melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata
yang sama, terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali.
Sementara ulama mengartikan bahwa hikmah adalah kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat.2
Sementara ulama mengartikan bahwa hikmah adalah kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat.2
Seluruh umat
muslim sepakat bahwa sumber hukum perundang-undangan yang mengatur kehidupan
manusia di dunia ini adalah Allah SWT.
Banyak sekali
ayat al-Qur’an yang menjelaskan otoritas mutlak Allah SWT sebagai sumber hukum
yang mengatur kehidupan umat manusia, sebagaimana rangkaian tiga ayat dalam
Surat al-Ma’idah berikut: 3
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ (44)
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ (45)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ (47)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 47).
Sedangkan manusia
adalah wakil-wakil (khalifah) Allah dalam menyampaikan, menetapkan, memberlakukan hukum-Nya, memperhatikan dan mengawasi penerapannya, serta
memahami kandungannya melalui wewenang melakukan ijtihad, baik terkait maksud
dan tujuan; maupun ketentuan dan batasan yang harus menjadi koridor dalam
mengambil langkah dan menjadi kerangka dalam menata kehidupan.
Adapun tugas dan
kewajiban khalifah atau wakil adalah melaksanakan keinginan dan perintah pihak
yang menjadikannya khalifah atau wakilnya. Oleh sebab itu, sumber hukum
perundang-undangan dalam Islam adalah perpaduan antara sumber wahyu dari Allah
SWT dan hasil ijtihad manusia, sebagaimana disinyalir Surat al-Nisa’ [4]: 59 4
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 59).
Ayat ini
mengisyaratkan bahwa sumber hukum perundang-undangan dalam Islam adalah: a)
al-Qur’an; b) al-Sunnah; c) Ijtihad kolektif yang melibatkan pakar berbagai
bidang, misalnya para pejabat pemerintah, ulama, panglima militer, pakar
politik, sosial dan ekonomi; d) Ijtihad personal dari para ulama yang berstatus
mujtahid.
Relevan dengan
posisi manusia sebagai khalifah Allah, setidaknya ada dua istilah al-Qur’an yang
berkenaan dengan kekuasaan politik yang diamanatkan kepada manusia.
Pertama, istikhlaf (mengelola). Surat al-Baqarah [2]: 251 menjelaskan tentang kekuasaan politik Nabi Dawud AS:
Pertama, istikhlaf (mengelola). Surat al-Baqarah [2]: 251 menjelaskan tentang kekuasaan politik Nabi Dawud AS:
فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ
وَآَتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلَا
دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ
اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ (251)
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut
dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Dawud membunuh Jalut, kemudian
Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah (sesudah
meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Baqarah [2]: 251)
Ayat ini
menunjukkan bahwa Nabi Dawud AS memperoleh kekuasaan tertentu dalam mengelola
satu wilayah. Dengan kata lain, kekuasaan politik.
Kekhalifahan
dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan
bentuk jamak khalifah, yaitu khulafa’. Misalnya Surat al-A’raf [7]: 69
dan 74, serta Surat al-Naml [27]: 62.
Lebih dari itu,
Surat al-Baqarah [2]: 30 menginformasikan unsur kekhalifahan, yaitu: a) bumi
atau wilayah; b) khalifah (yang diberi kekuasaan politik; mandataris); c)
hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah; dan hubungan pemilik kekuasaan
dengan pemberi kekuasaan, yaitu Allah SWT.
Kedua, isti’mar (memakmurkan) yang berarti menugaskan manusia untuk
mengolah bumi guna diambil manfaatnya. Dengan kata lain, pelimpahan kekuasaan
politik. 5
Kekuasaan politik
yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia dilakukan melalui suatu ikatan
perjanjian. Yaitu ikatan perjanjian antara sang penguasa politik (manusia)
dengan pemberi kekuasaan politik (Allah SWT) yang disebut dengan ‘ahd;
dan ikatan perjanjian antara sang penguasa dengan masyarakat yang disebut
dengan bai’at.
Kedua perjanjian
tersebut merupakan amanat yang harus ditunaikan. Oleh sebab itu, perintah taat
kepada penguasa (Ulil Amri) didahului oleh perintah menunaikan amanat:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى
أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 58-59)
Amanat yang
dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, antara lain perlakuan adil. Keadilan
yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan atau umat muslim
saja, melainkan mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Berdampingan
dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa, ayat tersebut juga
menekankan kewajiban taat masyarakat terhadap mereka.6
Ketaatan terhadap
penguasa (Ulil Amri) tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan
ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, tidak boleh taat
kepada penguasa, jika perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah
SWT dan Rasulullah SAW.
Dalam hal ini
dikenal kaidah yang sangat populer:
لاَ
طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang
makhluk, dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah SWT).
Namun bila
perintah Ulil Amri tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib
ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah:
عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا اَحَبَّ اَوْ كَرِهَ، إلاَّ
يُؤْمَرُ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
وَمُسْلِمُ)
Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat
menyangkut apa saja (yang diperintahkan Ulil Amri); suka atau tidak suka;
kecuali bila ia diperintahkan berbuat kemaksiatan, maka ketika itu tidak boleh
memperkenankan, tidak juga taat. (H.R.
Bukhari-Muslim).
Taat dalam bahasa
al-Qur’an berarti “tunduk”, menerima secara tulus dan menemani. Ini berarti
ketaatan dimaksud bukan sekedar melaksanakan apa yang diperintahkan, tetapi
harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik
guna mendukung usaha-usahanya. Dalam konteks ini, Nabi SAW bersabda:
اَلدِّيْنُ
نَصِيْحَةٌ
Agama adalah nasihat.
Ketika para
sahabat bertanya, “untuk siapa?”. Nabi SAW menjawab:
لأَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
Untuk para pemimpin kaum muslim dan khalayak ramai
mereka.
“Nasihat” yang
dimaksud Nabi SAW di sini adalah dukungan positif kepada mereka –termasuk
kontrol sosial– demi suksesnya tugas-tugas yang mereka emban. 7
Menyangkut
hubungan Islam dan politik, terdapat dua paradigma utama yang membentuk basis
pendekatan normatif pada Islam politik.
Pertama,
Pendekatan Legal-Eksklusif.
Pendekatan ini
merujuk pada ide bahwa Islam bukan hanya sedekar agama, tetapi juga sistem
hukum yang sempurna, ideologi universal, dan sistem pedoman hidup sempurna yang
dapat memberi solusi bagi semua persoalan hidup.
Para pendukung pendekatan ini secara kuat meyakini Islam sebagai totalitas utuh yang terkenal dengan istilah tiga “D”: Din (agama), Dunya (dunia) dan Dawlah (negara).
Para pendukung pendekatan ini secara kuat meyakini Islam sebagai totalitas utuh yang terkenal dengan istilah tiga “D”: Din (agama), Dunya (dunia) dan Dawlah (negara).
Akibatnya,
paradigma ini disusun untuk aplikasi setiap aspek kehidupan, mulai dari soal
keluarga, ekonomi hingga politik. Di dunia politik, paradigma ini mewajibkan
muslim mendirikan Negara Islam.
Para pendukung
paradigma ini menyatakan bahwa negara dan fungsinya merupakan bagian dari
ajaran-ajaran Islam. Syariah ditafsirkan sebagai Hukum Suci, dan harus menjadi
dasar negara berikut konstitusinya.
Paradigma ini
mengandung arti bahwa kedaulatan politik bukan di tangan rakyat, melainkan di
tangan Tuhan (Allah SWT). Konsekuensinya, paradigma eksklusif ini secara
langsung mewajibkan setiap muslim untuk menjunjung syariah dalam keadaan
apapun.
Dan bagi seorang
muslim yang menginginkan pemisahan antara agama dan politik, atau menolak
syariah, dituduh menolak spirit Islam. Terlebih, konsep-konsep politik modern
dari sumber-sumber Barat dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Selain itu,
paradigma ini juga menghimbau umat muslim agar merujuk “negara ideal” yang
didirikan Nabi Muhammad SAW dan empat khalifah (Khulafa’ al-Rasyidin),
dan mengharuskan muslim tidak menerapkan sistem politik Barat.
Oleh sebab itu,
muslim secara kuat direkomendasikan untuk bergabung dalam perjuangan politik
mewujudkan Islam sebagai basis negara dan syariah sebagai dasar konstitusinya.
Kedua,
Pendekatan Substantif-Inklusif.
Pendekatan ini
merujuk pada pandangan bahwa Islam tidak merumuskan konsep teoretis apapun
tentang politik.
Para penganjur
paradigma ini meyakini al-Qur’an mengandung informasi perihal pedoman moral
bagi kehidupan manusia, tapi tidak memberikan secara detail cara
pelaksanaannya.
Mereka
mengemukakan tidak ada satu pun teks al-Qur’an yang menyuruh muslim mendirikan
Negara Islam. Al-Qur’an hanya memuat petunjuk etik dan moral untuk mengatur
politik, termasuk cara meraih keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi dan
lain-lain.
Asumsi paradigma
ini adalah misi Rasulullah SAW bukan untuk mendirikan kerajaan maupun negara,
melainkan sama dengan misi para nabi lainnya, yaitu mendakwahkan nilai-nilai
dan kebaikan Islam sebagai misi utama. Jadi, misi Nabi
SAW tidak seharusnya dipahami dalam makna membangun atau memerintah negara.
Akan tetapi, ini bukan menolak fakta bahwa lingkungan historis saat ini telah mengharuskan Nabi SAW dan keempat khalifah (Khulafa’ al-Rasyidin) bertindak secara politis atau melaksanakan fungsi-fungsi politik dalam masyarakat tanpa negara (stateless) itu. Kenyataan tersebut bukan berarti Islam sebagai agama terikat atau tergantung pada negara.
Akan tetapi, ini bukan menolak fakta bahwa lingkungan historis saat ini telah mengharuskan Nabi SAW dan keempat khalifah (Khulafa’ al-Rasyidin) bertindak secara politis atau melaksanakan fungsi-fungsi politik dalam masyarakat tanpa negara (stateless) itu. Kenyataan tersebut bukan berarti Islam sebagai agama terikat atau tergantung pada negara.
Pandangan
substantif-inklusif menyatakan bahwa syariat tidak terikat atau ditentukan
negara. Menurut al-Asymawi, bahkan al-Qur’an sendiri menegaskan syariah adalah
sumber orientasi etika dan tidak menawarkan landasan untuk bentuk negara
apapun.
Dengan demikian,
Islam memberi kesempatan dan kebebasan kepada para pemeluknya untuk merumuskan
dan mengembangkan sistem politik berdasarkan pilihan mereka sendiri. Konsep-konsep dan
sistem-sistem politik, terlepas datang dari mana pun, secara asasiah diterima
dan dipakai, asalkan selaras dengan etika dan spirit Islam.
Kedua paradigma
ini telah eksis dan menyebar secara berangsur-angsur di dunia muslim –termasuk
Indonesia– selama berabad-abad. Para pendukung masing-masing paradigma telah
terlibat dalam debat publik sejak dulu hingga sekarang ini; tanpa pernah
berkesudahan. 8
B.
Islam
dan Negara
Berkenaan
dengan kehidupan bernegara, al-Qur’an dalam batas-batas tertentu, tidak
memberikan penjelasan. Al-Qur’an hanya menyebutkan tata nilai. Demikian pula
al-Sunnah. Misalnya: Nabi SAW tidak menetapkan peraturan secara rinci mengenai
prosedur pergantian kepemimpinan umat dan kualifikasi pemimpin umat. 9
Berikut
ini beberapa dalil yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan Fiqh Siyasah (Fikih Politik) dalam Islam. 10
Pertama, Dasar al-Qur’an
a)
Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Q.S. al-Mu’minun [23]: 52;
al-Anfal [8]: 46);
b)
Kemestian bermusyawarah dalam rangka
menyelesaikan dan menyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiyah,
baik urusan ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya (Q.S. al-Syura [42]:
38; Ali ‘Imran [3]: 159);
c)
Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil (Q.S. al-Nisa’ [4]:
58);
d)
Kemestian menaati Allah SWT dan Rasulullah SAW, dan Uli al-Amr (pemegang urusan)
(Q.S. al-Nisa’: 59);
e)
Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S.
al-Hujurat [49]: 9);
f)
Kemestian mempertahankan kedaulatan negara dan larangan melakukan agresi dan
invasi (Q.S. al-Baqarah [2]: 190);
g)
Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan (Q.S. al-Anfal [8]: 61);
h)
Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S.
al-Anfal [8]: 60);
i)
Keharusan menepati janji (Q.S. al-Nahl [16]: 91);
j)
Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat [49]: 13);
k)
Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr [59]:
7);
l)
Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum: Menyedikitkan beban,
berangsur-angsur, tidak menyulitkan dan luwes.
Kedua, Dasar al-Sunnah
a)
Keharusan mengangkat pemimpin: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila
tidak orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang di antara
mereka menjadi pemimpin mereka” (H.R. Abu Dawud);
b)
Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinan-nya. Nabi SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas
yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap
rakyatnya” (Muttafaq ‘Alaih);
c)
Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara
pemimpin. Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin
yang mencintai kamu dan kamu mencintai mereka; mendoakan kamu dan kamu
mendoakan mereka; sedangkan seburuk-buruk pemimpin adalah pemimpin yang kamu
benci dan mereka membenci kamu; kamu melaknati mereka dan mereka melaknati
kamu”. (H.R. Muslim);
d)
Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai, tidak hanya berfungsi sebagai
alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung. Nabi
SAW bersabda: “Sesungguhya pemimpin itu ibarat perisai yang di baliknya
digunakan untuk berperang dan berlindung”;
e)
Semestinya pemimpin untuk bersikap adil. Nabi SAW bersabda: “Ada tujuh
golongan yang dinaungi Allah SWT di bawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang
tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Pertama, imam yang adil…” (Muttafaq
‘Alaih);
f)
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam memimpin, semisal mempersatukan antar
golongan Muhajirin dan Anshar; melakukan perjanjian dengan kelompok non-muslim;
melakukan kontak bersenjata dengan kelompok musyrikin; dan sebagainya.
Semua
itu menunjukkan kemestian seorang pemimpin untuk senantiasa memperhatikan
nilai-nilai uluhiyyah (ketuhanan) sekaligus realitas insaniyyah
(kemanusiaan). Dengan demikian, keputusan yang dibuat akan bersifat
arif-bijaksana.
Mengingat
al-Qur’an dan Hadis hanya memberikan panduan tata nilai menyangkut negara, maka
heran jika masih terjadi silang pendapat dalam memahami hubungan agama dan
negara.
Secara teoretis, kontroversi hubungan agama dan negara dapat dikelompokkan menjadi tiga paradigma.
Secara teoretis, kontroversi hubungan agama dan negara dapat dikelompokkan menjadi tiga paradigma.
Pertama, Paradigma integralistik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa agama dan
negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Paradigma ini biasanya melahirkan konsep agama negara atau agama resmi; dan menjadikan agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Contoh: Iran dengan Syiah-nya dan Arab Saudi dengan Wahabi-nya.
Paradigma ini biasanya melahirkan konsep agama negara atau agama resmi; dan menjadikan agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Contoh: Iran dengan Syiah-nya dan Arab Saudi dengan Wahabi-nya.
Kedua, Paradigma sekularistik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa ada disparitas
antara agama dan negara.
Keduanya merupakan entitas yang berbeda dan memiliki wilayah garapan yang berbeda, sehingga keduanya harus dipisahkan dan satu sama lain tidak boleh melakukan intervensi.
Keduanya merupakan entitas yang berbeda dan memiliki wilayah garapan yang berbeda, sehingga keduanya harus dipisahkan dan satu sama lain tidak boleh melakukan intervensi.
Ketiga, Paradigma simbiotik. Yaitu paham yang beranggapan bahwa agama dan
negara merupakan entitas yang berbeda, namun keduanya saling membutuhkan secara
timbal-balik, yaitu agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam
melestarikan dan mengembangkan agama; sebaliknya, negara memerlukan agama untuk
membantu dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas warga negaranya. 11
Secara
praktis, dunia Islam dewasa ini dilihat dari pelaksanaan siyasah syar’iyyah,
dapat dibagi menjadi tiga tipe.
Pertama, Negara yang melaksanakan hukum secara penuh (integralistik).
Kedua, Negara yang menolak hukum Islam secara penuh (sekuleristik).
Ketiga, Negara yang tidak menjadikan hukum Islam sebagai suatu kekuatan
struktural (dalam sektor politik), tapi menempatkannya sebagai kekuatan
kultural, atau mencari kompromi (simbiostik). 12
Banyak
pemikir politik dan aktivis muslim, terutama dari sayap fundamentalis, yang
agaknya sudah mulai kelelahan dalam melakukan pencarian terhadap
argumen-argumen tekstual Qur’anik yang menyatakan bahwa Islam memiliki konsep
dan sistem kenegaraan tertentu.
Ini
karena al-Qur’an memang tak pernah menjelaskan secara eksplisit-tersurat
tentang pola pemerintahan seperti apa yang dikehendakinya. Tak jelas apakah
sistem monarkhi, teokrasi atau demokrasi yang menjadi preferensi al-Qur’an
perihal sistem politik. Al-Qur’an seakan hendak menyerahkan perkara satu ini
kepada Nabi Muhammad SAW dan umat muslim. 13
Mengingat
al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit-tersurat, maka muncul upaya
akademis lanjutan untuk mencari akar-akar teologis-historis [ada “teks” negara
Madinah dengan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negaranya.
Di
Madinah, Nabi SAW berposisi sebagai kepala agama sekaligus pemimpin negara.
Sebagai kepala negara, Nabi SAW memiliki kedudukan yang unik; karena kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif bersatu padu pada diri beliau.
Jadi,
Nabi SAW menjadi pusat semua persoalan, dan masyarakat politik yang disusunnya
kemudian menjadi labuhan perujukan umat muslim pasca wafatnya Nabi SAW.
Dengan
kata lain, Nabi SAW telah dijadikan sebagai prototipe kepala negara yang harus
diteladani dan negara Madinah yang dipancangkannya ditetapkan sebagai pusat rajutan
dalam membangun negara. 14
Tak
pelak muncul varian dalam komunitas muslim yang dengan gigih menginginkan
diwujudkannya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui
pranata nagara, misalnya dalam bentuk perundang-undangan, peraturan pemerintah,
dan lain-lain.
Masuk
dalam varian ini adalah Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Quthb (1906-1966), Abu
A’la al-Maududi (1903-1979), Muhammad Asad, Khurshid Ahmad, Muhammad Husayn
Fadhlallah, Hasan Turabi, dan lain-lain.
Bahkan
para pemikir muslim yang mengusung agenda demokrasi pun merasa perlu untuk
merujuk pada kepemimpinan politik Nabi SAW. Mereka menganggap bahwa negara
Madinah merupakan model negara demokratis yang genuine dan Nabi SAW
adalah tokoh demokrasi yang sejati dan otentik.
Tokoh-tokoh
yang termasuk berhaluan ini antara lain: Fazlurrahman, Robert N. Bellah, M.
Amin Rais dan Jalaluddin Rakhmat. Namun, antusiasme dan keterpesonaan para
pemikir muslim terhadap teks Madinah sesungguhnya telah mengantarkan dirinya
pada “tekstualisme baru”. Sehingga
genre pemikiran yang terlalu mengidealisasikan kepemimpinan politik Nabi
SAW di Madinah itu, mendapat tantangan keras dari pada penentangnya, seperti
Ali Abdurraziq (1888-1966), Sa’id al-Asmawi dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Bagi para penentang gagasan idealisasi Madinah ini, Nabi SAW dan Madinah bagaimanapun bukan tipe ideal yang dapat secara “sembrono” dipraktikkan dalam lokus kehidupan politik kenegaraan modern sekarang ini. Hal ini dikarenakan tantangan yang dihadapi oleh umat sekarang jauh lebih rumit dan kompleks daripada tantangan yang pernah dihadapi oleh Nabi SAW di Madinah. Apalagi bagi mereka, Nabi SAW hanyalah pemimpin agama, bukan pemimpin politik. 15
Bagi para penentang gagasan idealisasi Madinah ini, Nabi SAW dan Madinah bagaimanapun bukan tipe ideal yang dapat secara “sembrono” dipraktikkan dalam lokus kehidupan politik kenegaraan modern sekarang ini. Hal ini dikarenakan tantangan yang dihadapi oleh umat sekarang jauh lebih rumit dan kompleks daripada tantangan yang pernah dihadapi oleh Nabi SAW di Madinah. Apalagi bagi mereka, Nabi SAW hanyalah pemimpin agama, bukan pemimpin politik. 15
Sekilas,
pluralitas pandangan tersebut menunjukkan kecanggungan umat muslim dalam memecahkan
persoalan-persoalan pokok, seperti bagaimana mencari kaitan yang pas antara
Islam dan politik; bagaimana memposisikan syariat Islam dalam konteks negara
modern demokratis; bagaimana Islam mesti dipahami dan dipraktikkan. Lalu
kecanggungan ini berdampak pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi politik.
Kita
dapat melihat pemandangan politik yang ada di negara-negara muslim, seperti
Sudah, Iran, Saudi Arabia, Taliban di Afghanistan dan Mesir. Negara-negara ini,
dengan polanya sendiri-sendiri mengklaim telah berpegangan pada syariat Islam.
Dalam pandangan mereka, syariat Islam seperti yang telah dipraktikkan
Rasulullah SAW dan para shahabat merupakan landasan sistem pemerintahan yang
terbaik bagi umat sekarang. 16
Padahal
bentuk negara di Timur Tengah tersebut bermacam-macam, ada yang Republik,
Kerajaan, Emirat, Diktatoriat, dan lain-lain, namun semua menampilkan diri
sebagai negara Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa Islam sebagai agama, bukan
Islam sebagai bentuk negara, karena faktanya bentuk negara bermacam-macam,
namun sama-sama mengaku negara Islam.
Dari
sini dapat dipahami bahwa negara bukan masuk wilayah akidah, melainkan masuk
kategori antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan
duniawi kalian), sehingga bentuk negara dapat diproses berdasarkan budaya suatu
bangsa. 17
Di
Indonesia, sekalipun Islam bukan merupakan dominasi pemenangan agama secara
formal, tetapi ia merupakan salah satu sumber hukum bagi pembentukan hukum
nasional. Dalam kurun waktu terakhir, secara material dan formal, pelaksanaan
hukum perdata bagi umat muslim sudah diatur berdasarkan hukum Islam, yang
diturunkan dari syariat hukum Islam. 18
C.
Islam
dan NKRI
Untuk
waktu yang cukup panjang, umat muslim Indonesia sering dikaitkan dengan isu-isu
yang secara politik dan kebangsaan merugikan persatuan nasional. Hal ini
hubungannya dengan pola pemikiran dan tingkah laku politik Islam masa lalu yang
cenderung legalistik dan formalistik.
Sejak
tahun 1970-an, telah terjadi usaha serius yang diprakarai oleh generasi
intelektual dan aktivis muslim untuk melakukan pembaruan pemikiran dan praktik
politik Islam, yaitu mengembangkan ide dan sikap politik yang lebih
berorientasi pada isi (substansi) daripada bentuk. Tujuan gerakan ini adalah
tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Oleh
sebab itu, umat muslim tidak lagi beroposisi negatif terhadap pemerintah.
Mereka percaya bahwa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini
mampu mengantarkan umat muslim kepada cita-cita masyarakat yang adil dan
makmur.
Untuk itu, mereka tidak hanya setuju, melainkan juga memelopori penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan umat muslim –sebagaimana diwakili oleh K.H. Ahmad Shiddiq– menyerukan finalitas bentuk negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 19
Untuk itu, mereka tidak hanya setuju, melainkan juga memelopori penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Bahkan umat muslim –sebagaimana diwakili oleh K.H. Ahmad Shiddiq– menyerukan finalitas bentuk negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 19
Saat
ini, kembali muncul fenomena baru yang menuntut terwujudnya negara Islam,
sehingga model negara seperti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dinilai
batil. Pemahaman ini terilhami oleh konsep fiqih siyasah (fikih politik)
yang membagi negara menjadi dar al-harb (negara non-muslim yang boleh
diperangi) dan dar al-Islam (negara muslim); serta terinspirasi oleh
lahirnya negara-negara Islam setelah kolonialisme tumbang, seperti Pakistan,
Iran, Arab Saudi, dan lain-lain.
Pandangan
ini tentu berbeda dengan para pendiri RI, di mana para ulama sepakat untuk
mendirikan negara bangsa (nation state), bukan negara Islam. Sehingga
statusnya bukan lagi dar al-harb atau dar al-Islam, melainkan dar
al-salam (negara damai). Berikut ini beberapa argumentasi ulama terkait legalitas
bentuk NKRI: 20
Pertama, Mayoritas ulama melihat realitas negara yang mejemuk dan kemerdekaan
RI merupakan hasil perjuangan bersama (dari berbagai umat beragama), maka
mendirikan negara Islam adalah sebuah pemaksaan dan pengingkaran terhadap
kesepakatan bersama.
Kedua, Para ulama merujuk pada perjanjian Hudaibiyah, di mana ketika itu kaum
kafir (non-muslim) menghendaki agar Nabi SAW menanggalkan simbol teologisnya
–yaitu sebagai Rasulullah SAW–, lalu beliau bersedia menanda-tangani perjanjian
dengan tulisan “Muhammad ibn Abdillah”. Peristiwa ini dijadikan dasar oleh para
ulama bahwa ketika masuk ranah publik, simbol-simbol teologis dapat
ditanggalkan sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi SAW.
Ketiga, Berdasarkan Hadis Nabi: “Agama adalah nasihat atau sumber nilai
(اَلدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ)” dan “Tidak ada
institusionalisasi dalam Islam” (لاَ رَهْبَانِيَّةَ
فِي الإِسْلاَمِ). Simpulan para ulama
terhadap dua Hadis ini adalah Islam merupakan sumber nilai, bukan simbol. Oleh
sebab itu, NKRI diyakini selaras dengan ajaran Islam.
Keempat, Ketika Nabi SAW mendirikan “Negara Madinah” tidak menamakannya dengan
“Negara Islam”, melainkan “Madinah al-Munawwarah (Negeri yang
tercerahkan).
Kelima, Pilar Islam ada tiga, yaitu rukun Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga pilar
itu berdiri tegak di NKRI, sehingga pandangan yang menyatakan bahwa NKRI adalah
batil merupakan pandangan yang tidak mendasar sama sekali.
Keenam, Dalam ajaran Islam, masuk surga atau negara ditentukan oleh tingkat
ketakwaannya, bukan oleh berwarga-negara Islam atau tidak.
Oleh sebab itu, para ulama merasa tidak harus mendirikan negara Islam; karena yang terpenting adalah bagaimana sebuah negara mendorong masyarakatnya agar menjadi bertakwa; sedangkan konstitusi Indonesia dinilai sudah mengakomodir karakter “takwa”, semisal sebagai prasyarat seorang pemimpin yang baik; bahkan termasuk tujuan pendidikan nasional NKRI.
Oleh sebab itu, para ulama merasa tidak harus mendirikan negara Islam; karena yang terpenting adalah bagaimana sebuah negara mendorong masyarakatnya agar menjadi bertakwa; sedangkan konstitusi Indonesia dinilai sudah mengakomodir karakter “takwa”, semisal sebagai prasyarat seorang pemimpin yang baik; bahkan termasuk tujuan pendidikan nasional NKRI.
Bagi
Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 masih menjadi rujukan, ‘tempat bertemu’ dan
‘rumah bersama’ bagi segenap unsur bangsa. Hal ini dikarenakan Pancasila dan
UUD 1945 dinilai telah mengayomi segenap unsur bangsa, melindungi keragaman dan
memelihara kesatuan NKRI.
Oleh
sebab itu, setiap kali ancaman terhadap Pancasila muncul, maka elemen-elemen
bangsa dan civil society dari berbagai kelompok agama terpanggil untuk
membelanya.
Bagi
dunia internasional, ketika mereka melihat Islam di Indonesia, maka prinsip
yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 senantiasa dijadikan kriteria. Dunia
melihat Islam di Indonesia agar berbeda dengan ketika mereka melihat Islam di
Timur Tengah. Di Timur Tengah, Islam dibawa ke dalam arena-arena konflik
politik yang memicu berbagai kekerasan.
Sebaliknya
di Indonesia, Islam dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya dengan suasana
rileks dan penuh senyum. Wanita muslim di Indonesia dinilai para pengamat Barat
sebagai unik, karena mereka tidak mengenakan jilbab, tetapi mereka memelihara
norma-norma agama dalam pergaulan sehari-hari. 21
Dengan
Pancasila, Indonesia berpotensi menjadi model bagi bangsa muslim yang mampu
memelihara pluralitas dan toleransi beragama, salah satu ciri masyarakat
postmodern, yang sulit dibayangkan akan muncul di belahan dunia lain.
Oleh
sebab itu, negara atau pemerintah tidak boleh membiarkan Pancasila dan
Konstitusi (terutama UUD 1945) dirongrong oleh siapapun atas nama agama.
Lebih-lebih dengan cara-cara kekerasan yang akhir-akhir ini sering ditempuh
oleh kelompok-kelompok Islamis tertentu.
Kelompok-kelompok
Islam garis keras yang jelas-jelas menabrak Pancasila dan UUD 1945, karena
memperjuangkan negara Islam dalam bentuk penerapan syariat di tingkat negara
maupun dalam bentuk penegakan khilafah Islamiyah yang bersifat transnasional, harus
ditindak tegas oleh pemerintah.
Dengan
kata lain, Pancasila dan Konstitusi harus diselamatkan dan dijaga bersama,
karena itulah pertaruhan kita sebagai bangsa dan pertaruhan NKRI itu sendiri.
Dengan Pancasila, Indonesia sering dipuji sebagai negara muslim terbesar yang
moderat, toleran dan menghargai keragaman. 22
Apalagi
Pancasila telah berhasil dipromosikan ke berbagai negara di belahan dunia, semisal
oleh KH. Hasyim Muzadi, sebagai alternatif resolusi konflik yang terjadi di
suatu negara, sebagaimana paparan di bawah ini: 23
Pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sila Pertama sebagai Resolusi Konflik Agama.
Meskipun
semua agama mengajarkan keluhuran, kasih sayang dan perdamaian, namun
realitanya seringkali terjadinya peperangan sepanjang sejarah umat manusia
disebabkan oleh pertentangan antara umat beragama.
Nurcholis
Madjid mencatat bahwa hampir separuh peperangan yang terjadi selama perjalanan
sejarah umat manusia adalah disebabkan motivasi agama. Ini menunjukkan bahwa
agama adalah faktor utama terjadinya konflik.
Oleh
sebab itu, dengan Sila Pertama ini diharapkan menjadi titik temu dari berbagai
keyakinan dan agama yang berbeda-beda, sebagai upaya untuk menghindari konflik
bernuansa agama terus berlanjut.
Dengan
Sila Pertama Pancasila, diharapkan para pemeluk agama menyadari bahwa semangat
keberagamaan tidak menjadi pemisah apalagi pemicu konflik, melainkan justru
menjadi perekat antar umat beragama.
Lebih
dari itu, Sila Pertama Pancasila, diharapkan mampu mengarahkan pembinaan
kehidupan beragama yang menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama
yang dianut. Misalnya mencintai perdamaian.
Kedua, Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Sila Kedua sebagai Resolusi Konflik Politik dan Hukum.
Sila
Kedua mengisyaratkan pentingnya keadilan hukum dan politik, karena
ketidak-adilan hukum dan politik dapat menjadi pemicu konflik.
Oleh
karena itu, sejak awal ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
berarti semua orang sama di mata hukum.
Dengan
adanya penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif, akan dapat meredam
konflik, karena hak asasi masyarakat terlindungi.
Sedangkan
keadilan politik berarti memberi peluang yang sama kepada semua masyarakat
untuk memilih atau dipilih; tidak boleh ada diskriminasi, karena dapat menodai
nilai-nilai kemanusiaan dan tergolong tindakan yang tidak beradab.
Ketiga, Persatuan Indonesia. Sila Ketiga sebagai Resolusi Konflik antar
Suku.
Perbedaan
identitas sosial, dalam hal ini etnis dan budaya khususnya, seringkali
menimbulkan etnosentrisme yang kaku, di mana seseorang tidak mampu keluar dari
perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan
perspektif yang dimiliki; dan tidak mampu memahami perilaku orang lain
berdasarkan latar belakang budaya orang tersebut.
Sikap
etnosentrisme yang kaku inilah yang sangat berperan dalam terjadinya konflik
antar suku. Hal ini dapat diselesaikan dengan membangun ikatan kebersamaan,
satu nasib satu sepenanggungan, sesuai dengan Sila Ketiga Pancasila, sehingga
konflik yang berbasis pada etnis dapat diminimalisasi. Presiden RI keempat,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengungkapkan: “Sebuah bangsa yang mampu
bertenggang rasa terhadap perbedaan-perbedaan budaya, agama dan ideologi adalah
bangsa yang besar”.
Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Sila Keempat sebagai Resolusi Konflik Kekuasaan
atau Politik.
Sila
Keempat Pancasila mengajarkan kepada masyarakat untuk mengedepankan musyawarah
atau demokrasi yang diatur dengan mekanisme pemilu yang jujur, bebas dan adil.
Memang
demokrasi tidaklah terlalu ideal, tetapi dengan sistem demokrasi yang merupakan
cerminan dari musyawarah ini, konflik-konflik perebutan kekuasaan dapat
diminimalisasi, karena potensi konflik berupa perebutan kekuasaan dapat
diselesaikan dengan cara musyawarah yang beradab.
Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila Kelima
sebagai Resolusi Konflik Ekonomi.
Ekonomi
dapat menjadi pemicu terjadinya konflik, seperti kelangkaan sumber daya serta
sulitnya distribusi kemakmuran. Konflik yang dipicu perebutan sumber ekonomi
bisa terjadi antara individu, kelompok bahkan antar negara.
Sila
Kelima Pancasila memberi sinyal kuat pentingnya keadilan ekonomi untuk menekan
terjadinya konflik.
Oleh
sebab itu, negara harus hadir mengatur dan membuat regulasi yang memungkinkan
sumber ekonomi tidak menjadi penyebab konflik.
Catatan Kaki:
1. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an:
Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2014), h. 548.
2. Ibid.,
h. 548-549.
3. Wahbah
az-Zuhaili, Fiqih al-Islami wa Adillatuhu [Jilid 8] (Penerjemah oleh
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.) (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 267-268.
4. Ibid., h. 267-269.
5. M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 555-559.
6. Ibid., h.
559-562.
7. Ibid., h.
563-564.
8. Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di
Bumi Nusantara (Bandung: Mizan, 2006), h. 754-758.
9. A. Djazuli,
Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah
(Jakarta: Kencana, 2009), h. 2.
10. Ibid., h.
2-9.
11. Mukhlas
Syarkun dan Moh. Arifin, Jembatan Islam-Barat: Dari Sunan Bonang ke Paman Sam
(Yogyakarta: Penerbit PS, 2015), h. 200-201.
12. A. Djazuli,
Fiqh Siyasah, h. 24-25.
13. Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia, h. 649.
14. Ibid., h.
649-695.
15. Ibid., h.
695-696.
16. Ibid., h.
699-700.
17. Mukhlas
Syarkun dan Moh. Arifin, Jembatan Islam-Barat, h. 84.
18. A. Djazuli,
Fiqh Siyasah, h. 24-25.
19. Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia, h. 633-634.
20. Mukhlas
Syarkun dan Moh. Arifin, Jembatan Islam-Barat, h. 84-87.
21. Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia, h. 654-655.
22. Ibid., h.
655-656.
23. Mukhlas Syarkun dan Moh. Arifin, Jembatan
Islam-Barat, h. 204-209.
Referensi
Rosidin. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi: Ibadah dan Muamalah. Tangerang: Tira Smart. 2017. Halaman 290-306,
Referensi
Rosidin. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi: Ibadah dan Muamalah. Tangerang: Tira Smart. 2017. Halaman 290-306,