Tafsir Tarbawi Tematik: Pendidikan
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Praktik Pendidikan Qur'ani |
Ada banyak term al-Qur’an yang relevan dengan pendidikan.
Pada kesempatan ini, penulis mencukupkan diri pada lima term pendidikan Islam
yang populer, yaitu: Tarbiyyah, Tadris, Tazkiyyah, Ta’lim dan Irsyad.
Identifikasi Term Tarbiyyah dan
Derivasinya
Pendidikan Islam lebih populer disebut Tarbiyyah,
seperti yang tercermin dalam penamaan nama fakultas pendidikan Islam, yaitu
Fakultas Tarbiyah. Akar kata
Tarbiyyah adalah Rabb. Di tengah minimnya penelitian ilmiah
tentang Rabb sebagai akar kata pendidikan Islam, penulis pribadi pernah
menyusun tesis –yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku– tentang tafsir
tarbawi tematik yang menelaah term Rabb dan derivasinya dalam seluruh
al-Qur’an.
Term Rabb dan derivasinya disebutkan sebanyak 980 kali dalam 871 ayat dan 21 bentuk kata.
Di antara simpulan tafsir tematik tarbawi term Rabb yang penting untuk
diketengahkan di sini adalah sumber primer ilmu pendidikan Islam adalah Allah
SWT, melalui sumber wahyu berupa al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan sumber
sekunder ilmu pendidikan Islam adalah manusia, melalui panca indra, akal dan
hati 1.
Kata Rabb sudah muncul sejak wahyu pertama, tepatnya
pada Surat al-‘Alaq [96]: 1 dan 3. Keduanya dikaitkan dengan perintah membaca (إقْرَأْ).
Perpaduan ini mengisyaratkan bahwa tugas manusia adalah membaca, sedangkan
‘tugas’ Allah SWT adalah memberi pemahaman. Dengan kata lain, manusia dituntut
untuk berikhtiar belajar, sedangkan Allah SWT yang menentukan kualitas dan
kuantitas hasil belajar manusia.
Itulah kiranya hikmah mengapa term Rabb yang terakhir
kali turun dikaitkan dengan sikap tawakkal, perhatikan Surat al-Taubah [9]: 129
berikut:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Jika mereka
berpaling (dari keimanan), maka katakanlah:
"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku
bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". (Q.S.
al-Taubah [9] 129).
Agar mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang ayat ini,
maka perlu mempertimbangkan ayat sebelumnya, yaitu:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ
رَحِيمٌ
Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat
belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Q.S. al-Taubah [9] 128).
Surat al-Taubah [9]: 128 menyangkut peran Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan Allah SWT yang mendidik dengan penuh antusias (harish),
lemah lembut (ra’uf) dan kasih sayang (rahim). Dengan performa
pendidik yang sangat ideal seperti itu saja, masih ada sekelompok orang yang
tidak menyambut baik pendidikan yang diberikan.
Oleh sebab itu, sikap tawakkal perlu dikedepankan, karena
tugas pendidik adalah mendidik semata, sedangkan hasil pendidikan semata-mata
ditentukan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, pendidik bertugas memberi
informasi ilmu, sedangkan seberapa banyak informasi ilmu yang dapat ditangkap
oleh peserta didik, itu sudah menjadi wewenang Allah SWT.
Agar lebih memahami konsep yang tergolong cukup rumit ini,
menarik untuk menyimak uraian Jasser Auda terhadap kata mutiara Ibn ‘Athaillah
berikut ini:
أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ، فَمَا
قَامَ بِهِ غَيرُكَ عَنْكَ لاَ تَقُمْ بهِ لِنَفْسِكَ
Istirahatkan dirimu dari mengurusi hasil (tadbir). Apa yang
sudah diurusi oleh yang lain, tidak perlu kamu urusi sendiri.
Tawakkal kepada Allah SWT bukan berarti tidak relevan dengan
kebanyakan aktivitas-aktivitas masa ini, misalnya merencanakan, melakukan studi
kelayakan, menganalisis pasar, dan seterusnya. Seluruhnya adalah bagian dari
tawakkal kepada Allah SWT, karena dengan merencanakan, mengorganisasikan dan
mempelajari, kita sedang mengikuti media-media kesuksesan. Lalu, jika Anda
gagal, itu adalah keputusan Allah SWT; dan jika Anda sukses, itu adalah
keputusan Allah SWT juga. Dalam kedua kasus ini, Anda tidak perlu
mengkhawatirkan hasil-hasil suatu pekerjaan, melainkan fokus pada pekerjaan itu
sendiri 2.
Adapun Rabb dalam bentuk kata kerja (fi’il)
disebutkan dua kali, masing-masing pada Surat al-Isra’ [17]: 24 yang mengacu
pada pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua kepada anaknya; dan Surat
al-Syu‘ara’ [26]: 18 yang mengacu pada pendidikan yang diberikan oleh Fir’aun
dan keluarganya kepada Nabi Musa AS.
Identifikasi Term Tadris dan Derivasinya
Kata yang relevan dengan Tadris disebutkan 6 (enam)
kali dalam al-Qur’an. Ayat yang pertama adalah Surat al-Qalam [68]: 37
أَمْ لَكُمْ
كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ
Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab
(yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya? (Q.S. al-Qalam [68]: 37)
Sedangkan ayat terakhir yang berkaitan dengan Tadris
adalah Surat Ali ‘Imran [3]: 79
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ
الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا
لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang
Allah berikan kepadanya a-Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya. (Q.S. Ali
‘Imran [3]: 79)
Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa Tadris berkaitan
dengan kegiatan pendidikan yang menjadikan kitab suci sebagai objek telaahnya.
Hal ini diperkuat oleh salah satu Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah
RA berikut ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: ... وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ
لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ
بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ
نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ
الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ... (رَوَاهُ مُسْلِمُ)
Rasulullah SAW bersabda: “…. barangsiapa meniti di jalan
mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan menuju surga; suatu kaum yang
berkumpul pada suatu rumah Allah untuk membaca (tilawah) dan mempelajari
(tadris) Kitabullah, niscaya ketenangan hati (sakinah) akan melimpahi mereka;
rahmat akan melingkupi mereka; malaikat akan mengelilingi mereka; dan Allah
akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk di sisi-Nya ....” (H.R.
Muslim).
Identifikasi Term Tazkiyyah dan
Derivasinya
Derivasi kata Tazkiyah disebutkan 59 kali dalam 56
ayat. Ayat yang pertama kali turun dalam konteks Tazkiyah adalah Surat
al-A’la [87]: 14
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri (dengan beriman).
(Q.S. al-A’la [87]: 14)
Sedangkan ayat yang terakhir kali turun menyangkut Tazkiyah
adalah Surat al-Taubah [9]: 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. (Q.S. al-Taubah [9]:
103)
Perpaduan antara dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa
parameter kesuksesan seseorang adalah kualitas kejernihan hatinya. Orang yang
hatinya jernih dinilai sukses, sebaliknya orang yang keruh hatinya dinilai
‘gagal’. Sedangkan salah satu media untuk menjernihkan hati adalah menjalankan
kewajiban-kewajiban Islam, terutama rukun Islam seperti shalat dan zakat.
Identifikasi Term Ta’lim dan Derivasinya
kata Ta’lim adalah ‘Allama. ‘Allama dan
derivasinya disebutkan sebanyak 41 kali. Analisis terhadap 41 term ‘Allama
dan derivasinya menunjukkan keragaman sumber Ta‘lim. Allah SWT sebagai
sumber Ta‘lim disebutkan sebanyak 24 kali, sisanya mengacu pada selain
Allah SWT sebagai sumber Ta‘lim 3.
Allah SWT
sebagai sumber Ta’lim sudah muncul pada wahyu pertama, tepatnya Surat al-‘Alaq
[96]: 4-5.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ
الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. (Q.S.
al-‘Alaq [96]: 4-5).
Ayat terakhir yang berhubungan dengan Ta’lim adalah Surat
al-Rahman [55]: 4
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
Dia (Allah) mengajarnya
al-Bayan
(Q.S. al-Rahman [55]: 4)
Pengertian
al-Bayan menurut Ibn ‘Asyur adalah kemampuan untuk menjelaskan apa yang
ada pada diri manusia, sehingga dapat diambil manfaat oleh orang lain maupun
dirinya sendiri 4.
Sedangkan Sayyid Thanthawi menyatakan
bahwa al-Bayan adalah pemahaman, pengucapan dan kefasifan untuk
berbicara yang alatnya adalah lidah. Jadi, Allah SWT memberi kemampuan kepada
manusia memperoleh kefasihan dalam mengungkapkan isi hatinya melalui pikiran
yang sehat dan perkataan yang jelas, sebagaimana dia mempunyai kemampuan untuk
memahami perkataan orang lain. Inilah yang membedakan manusia dengan jenis
makhluk lainnya, sehingga manusia layak untuk mengemban amanat yang tidak mampu
diemban oleh langit, bumi, dan gunung-gunung. Sehingga manusia memang sudah
siap menerima ilmu-ilmu dan kekhalifahan di muka bumi ini 5.
Dengan demikian, ayat yang pertama
maupun yang terakhir kali turun menyangkut Ta’lim menunjukkan bahwa
Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Mengajari manusia, baik melalui media berupa al-Qalam
dan al-Bayan (baca: Ilmu Kasbi) maupun tanpa media (Ilmu Ladunni),
sehingga membuat manusia memiliki ilmu pengetahuan.
Identifikasi Term Irsyad dan Derivasinya
Kata Irsyad dan derivasinya ditemukan sebanyak 19 kata
dalam 19 ayat. Ayat pertama adalah Surat al-A’raf [7]: 146
سَأَصْرِفُ عَنْ آَيَاتِيَ الَّذِينَ
يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آَيَةٍ لَا
يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا
وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا
بِآَيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ
Aku akan memalingkan orang-orang yang
menyombong-kan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman
kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka
tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus
memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat
Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. (Q.S. al-A’raf [7]: 146)
Sedangkan ayat terakhir adalah Surat al-Hujurat [49]: 7
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ
لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ
حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ
الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
Dan ketahuilah olehmu bahwa di
kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan
benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta'
kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka
Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. (Q.S. al-Hujurat [49]: 7)
Ayat pertama menunjukkan bahwa Irsyad tidak diberikan
kepada orang-orang yang sombong, khususnya mereka yang mendustakan dan
melalaikan ayat-ayat Allah SWT. Irsyad secara maksimal direngkuh oleh
orang-orang yang hatinya mencintai keimanan, bahkan keimanan menjadi hiasan
hatinya; hati mereka juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Materi Pokok Tafsir Tarbawi: Surat
al-Baqarah [2]: 129
Rasionalisasi pemilihan Surat al-Baqarah [2]: 129 sebagai
materi pokok tafsir tarbawi adalah ayat ini secara eksplisit memuat tiga term
yang relevan dengan pendidikan Islam, yaitu Tarbiyyah, Ta’lim dan
Tazkiyyah; sedangkan secara implisit berhubungan dengan dua term lainnya,
yaitu Tadris yang menjadikan kitab suci sebagai objek utama telaahnya
dan Irsyad yang berorientasi pada pembinaan jiwa yang selaras dengan
nilai-nilai keimanan dan jauh dari kekufuran.
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka
sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
(al-Qur’an)
dan al-Hikmah (al-Sunnah)
serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. al-Baqarah
[2]: 129)
Quraish Shihab
menyatakan bahwa urutan doa Nabi Ibrahim AS dalam Surat al-Baqarah [2]: 129 ini
sungguh sangat serasi. Doa tersebut dimulai dengan permohonan kehadiran rasul
yang menyampaikan tuntunan Allah SWT, yakni membacakan al-Qur’an, selanjutnya
permohonan untuk mengajarkan makna dan pesan-pesannya, lalu pengetahuan yang
menghasilkan kesucian jiwa dan ini berakhir dengan pengamalan sesuai dengan
tuntunan Allah SWT 6.
Doa Nabi Ibrahim AS di
atas menyebut Allah SWT dengan redaksi Rabbana, yang bermakna Tuhan Yang
Maha Mendidik kami, sehingga relevan untuk dikaikan dengan pendidikan Islam
dalam konteks Tarbiyyah. Salah seorang pakar pendidikan Islam
kontemporer yang sepakat dengan penggunaan istilah Tarbiyyah adalah
Sa’id Isma’il ‘Ali. Definisi Tarbiyyah menurut Sa’id Isma‘il ‘Ali dalam Ushul
al-Tarbiyyah al-Islamiyyah adalah:
اَلتَّرْبِيَّةُ الإِسْلاَمِيَّةُ هِيَ:
مَنْظُوْمَةٌ مُتَكَامِلَةٌ مِنْ نَسَقٍ مَعْرِفِيٍّ مِنَ الْمَفَاهِيْمِ،
وَالْعَمَلِيَّاتِ، وَالأَسَالِيْبِ، وَالْقِيَمِ، وَالتَّنْظِيْمَاتِ الَّتِيْ
يَرْتَبِطُ بَعْضُهَا بِالْبَعْضِ الأَخَرِ فِي تآزُرٍ وَاتِّسَاقٍ عَلَى
التَّصَوُّرِ الإِسْلاَمِيِّ للهِ وَالْكَوْنِ وَالإِنْسَانِ وَالْمُجْتَمَعِ،
وَتَسْعَى إِلَى تَحْقِيْقِ الْعُبُوْدِيَّةِ للهِ بِتَنْمِيَّةِ الإِنْسَانِ
بِصِفَتِهِ فَرْدًا وَجَمَاعَةً مِنْ جَوَانِبِهَا الْمُخْتَلِفَةِ بِمَا
يَتَّفِقُ، وَالْمَقَاصِدِ الكُلِّيَةِ لِلشَّرِيْعَةِ الَّتِيْ تَسْعَى لِخَيْرِ
الإِنْسَانِ فِي الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ.
Tarbiyyah Islamiyyah
(Pendidikan Islam) adalah suatu sistem komprehensif yang disusun secara ilmiah
dari teori-teori, praktik-praktik, metode-metode, nilai-nilai; serta sub-sub
sistem yang saling berhubungan secara sinergis dan harmonis yang
merepresentasikan konsepsi Islami tentang Allah SWT, alam semesta, manusia dan
masyarakat; yang bertujuan untuk merealisasikan penghambaan kepada Allah SWT
(‘ubudiyyah) dengan cara menumbuh-kembangkan seluruh potensi manusia sebagai
makhluk individual maupun sosial dari berbagai segi yang sesuai; serta
bertujuan merealisasikan maksud-maksud universal Syari’at Islam (Maqashid
al-Syariah al-Kulliyyah) yang mengupayakan kebaikan manusia di dunia dan
akhirat
7.
Di antara gelar yang
diberikan kepada orang yang mampu menginternalisasikan karakteristik Tarbiyyah
Islamiyyah di atas adalah Rabbani. Seorang Rabbani
–menurut Surat Ali ‘Imran [3]: 79– paling tidak melakukan dua hal. Pertama,
terus-menerus mengajarkan kitab suci [yakni al-Qur’an]. Kedua,
terus-menerus mempelajarinya. Bahwa seorang Rabbani harus terus-menerus
mengajar karena manusia tidak pernah luput dari kekurangan. Seandainya si A
sudah tahu, si B dan si C boleh jadi belum, atau lupa, atau mereka adalah
generasi muda yang selama ini belum mengetahui. Itu dari satu sisi.
Dari sisi lain, Rabbani
bertugas terus-menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena
firman-firman Allah SWT sedemikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin
digali, semakin banyak yang dapat diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang
sama. Kitab Allah yang tertulis tak ubahnya Kitab Allah yang terhampar, yaitu
alam semesta. Walaupun alam semesta sejak diciptakannya hingga kini tidak
berubah, rahasia yang dikandungnya tidak pernah habis terkuak. Rahasia-rahasia
alam tidak henti-hentinya terungkap, dan dari saat ke saat ditemukan hal-hal
baru yang belum ditemukan sebelumnya. Jika demikian, seseorang tidak boleh
berhenti belajar, meneliti dan membahas, baik objeknya alam raya maupun kitab
suci.
Selanjutnya yang
ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu hendaknya diajarkan pula sehingga
bertemu antara mengajar dan meneliti dalam satu lingkaran yang tidak terputus,
kecuali dengan putusnya lingkaran, yaitu dengan kematian seseorang. Bukankah
pesan agama “Belajarlah dari buaian hingga liang lahat”? 8.
Aktivitas belajar-mengajar
(pembelajaran) yang kontinu –terutama dalam menelaah al-Qur’an– itulah yang
diistilahkan dengan Tadris. Istilah Tadris berarti
kegiatan meneliti sesuatu guna diambil manfaatnya. Dalam konteks teks –baik
kitab suci maupun selainnya– ia adalah membahas, mendiskusikan teks untuk
menarik informasi dan pesan-pesan yang dikandungnya 9.
Akar kata Tadris
adalah Darasa yang berarti membaca dengan seksama untuk menghafal atau
mengerti. Ada juga yang membaca dengan memanjangkan huruf dal, yakni Daarasa
dalam arti engkau membaca dan dibacakan. Bacaan ketiga adalah darasat
yang berarti telah berulang 10. Dari sini muncul kata Dirasah
yang bermakna mengulang-ulangi membaca dengan penuh perhatian, untuk memahami
dan menghafal [suatu materi pelajaran] 11.
Melalui Tadris
–khususnya Tadris al-Qur’an–, seseorang dapat merengkuh kejernihan hati
(Tazkiyyah). Dalam Surat al-Baqarah [2]: 129, penyucian (Tazkiyyah)
disebut terakhir oleh Nabi Ibrahim AS dalam doanya, sedangkan dalam Surat
al-Baqarah [2]: 151, Allah SWT mendahulukan apa yang dimohon terakhir, tepatnya
setelah pembacaan ayat-ayat-Nya dan sebelum mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah.
Ini untuk menunjukkan bahwa membaca ayat-ayat Allah –walau sebelum memperoleh
rahasia-rahasianya– telah dapat mengantar kepada kesucian jiwa. Demikianlah
Allah SWT mengatur anugerah-Nya, pengaturan yang sesuai dengan yang terbaik
bagi manusia 12.
Upaya sungguh-sungguh
untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji serta melakukan berbagai amal
shalih juga dapat menjadikan jiwa seseorang suci, sebagaimana yang ditegaskan
dalam Surat al-A’la [87]: 14 13 dan
Surat al-Syams [91]: 9. Terkait ayat ini, al-Biqa’i menyajikan sebuah
penafsiran yang artistik berikut:
Penyucian
adalah upaya sungguh-sungguh manusia agar matahari kalbunya tidak mengalami
gerhana dan bulannya pun tidak mengalami hal serupa. Ia harus berusaha agar
siangnya tidak keruh dan tidak pula kegelapannya bersinambung. Cara untuk
meraih hal tersebut adalah memerhatikan hal-hal spiritual yang serupa dengan
hal-hal material yang digunaan Allah SWT untuk bersumpah dalam Surat [al-Syams]
ini. Hal spiritual yang serupa dengan matahari adalah tuntunan kenabian. Semua
yang berkaitan dengan kenabian adalah cahaya benderang serta kesucian yang
mantap. Dhuha, yakni cahaya matahari saat naik sepenggalahan, adalah risalah
kenabian itu, bulannya adalah kewaliannya. Siang adalah ‘irfan (pengetahuan
suci), malamnya adalah ketiadaan ketenangan akibat terabaikannya zikir dan
tiadanya perhatian terhadap tuntunan Ilahi serta berpalingnya diri dari
menerima tuntunan kenabian dan kewalian Allah SWT. Kewalian yang dimaksud
adalah tuntunan para ulama yang mengamalkan tuntunan Allah SWT, karena
merekalah pada hakikatnya wali-wali Allah. Karena ‘Kalau bukan mereka, siapa
lagi?’, tanya Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i 14.
Memang benar, di samping
mata, telinga dan pikiran sebagai sarana meraih ilmu; al-Qur’an juga
menggaris-bawahi pentingnya peranan kesucian hati (Tazkiyyah al-Nafs).
Jika wahyu (al-Qur’an dan Hadis) dianugerahkan atas kehendak Allah SWT tanpa
usaha dan campur tangan manusia, maka intuisi (Ilham) dapat diraih
melalui penyucian hati. Itulah mengapa ilmuwan muslim menekankan pentingnya Tazkiyyah
al-Nafs (penyucian hati) guna memperoleh hidayah (petunjuk atau pengajaran
Allah SWT).
Orang yang durhaka
memang dapat memperoleh ilmu Kasbi, namun ilmu mereka terbatas pada
sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena) maupun realitas di luar alam
materi, seperti yang ditegaskan Surat al-Rum [30]: 6-7: “Tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.
Mereka hanya
mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai” 15.
Tingkatan berikutnya
adalah apabila seseorang sudah mencapai Tazkiyyah al-Nafs, berarti
mereka sudah siap untuk menyambut materi pembelajaran melalui proses Ta’lim.
‘Abd al-Fattah
al-Jalal menegaskan bahwa Ta’lim merupakan pendidikan yang ditujukan
pada fase bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa. Ta’lim mencakup
pendidikan pada aspek kognisi, namun tidak mengabaikan aspek afeksi dan
psikomotorik. Pendapat ini berdasarkan analisisnya terhadap Surat al-Baqarah
[2]: 151 dan sebuah Hadis riwayat Muslim 16:
مَا رَأَيْتُ
مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلاَبَعْدَهُ، أَحْسَنَ تَعْلِيْمًا مِنْهُ
Tidak pernah kulihat seorang mu’allim (pendidik) sebelum dan
sesudahnya [Nabi SAW], yang Ta’lim-nya lebih berkualitas (Ihsan) dibandingkan
beliau [yakni Nabi SAW] 17.
Di antara tujuan utama Ta’lim
adalah membina pribadi-pribadi yang Rasyid, yaitu pribadi yang
memperoleh Irsyad. Akar kata Irsyad adalah Rusyd yang
mengandung makna jalan lurus. Kata ini pada akhirnya bermakna ketepatan
mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu 18. Orang
yang mendapat Rusyd juga berarti orang mengetahui jalan yang terbaik dan
bertindak tepat, baik menyangkut soal dunia maupun akhirat 19.
Ketika menafsiri Surat
al-Hujurat [49]: 7, Quraish Shihab menyatakan bahwa makna dasar Rusyd adalah
ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata Rusyd bagi manusia
yang berarti kesempurnaan akal dan jiwa, sehingga menjadikan manusia mampu
bersikap dan bertindak setepat mungkin. Orang yang telah menyandang sifat itu
secara sempurna dinamai Rasyid, yang diartikan oleh al-Ghazali sebagai
“dia yang mengalir penanganan dan usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa harus
dibimbing” 20.
Konklusi yang dapat dipetik
dari bahasan di depan terkait lima istilah yang relevan dengan pendidikan
Islam, yaitu Tarbiyyah, Tadris, Tazkiyyah, Ta’lim
dan Irsyad, adalah:
Pertama,
Tarbiyyah merupakan sistem pendidikan dalam Islam yang mengintegrasikan
iman, ilmu, amal, akhlak dan seni untuk merealisasikan tujuan universal Syariat
Islam (Maqashid Syariah), yaitu kebaikan manusia di dunia dan di
akhirat, sebagaimana doa sapu jagat yang senantiasa diulang-ulang oleh
Rasulullah SAW seumur hidup dan diabadikan dalam Surat al-Baqarah [2]:
201.
Kedua,
Tadris adalah proses pembelajaran terus-menerus untuk menelaah
kitab-kitab Allah SWT yang tertulis [al-Qur’an] maupun yang terhampar [manusia
dan alam semesta], sehingga meraih hafalan, pemahaman, pengamalan dan kesucian
hati.
Ketiga,
Tazkiyyah adalah upaya sungguh-sungguh untuk menjernihkan hati melalui
peningkatan kualitas iman, ilmu, amal, akhlak bahkan seni yang sesuai dengan
ajaran Islam.
Keempat,
Ta’lim adalah pengajaran yang diberikan kepada manusia sejak masih di
dalam kandungan (pranatal) hingga ajal menjemput, baik berupa materi iman,
ilmu, amal, akhlak bahkan seni yang selaras dengan ajaran Islam.
Kelima, Irsyad adalah bimbingan yang ditujukan untuk
membina pribadi-pribadi unggul yang memiliki kesempurnaan akal dan jiwa,
sehingga iman, ilmu, amal, akhlak bahkan seni yang ditampilkan dalam kehidupan
sehari-harinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Catatan
Kaki
[1] Rosidin, Epistemologi Pendidikan
Islam: Integrasi al-Tarbiyyah dan al-Ta’lim dalam al-Qur’an
(Yogyakarta: Diandra, 2013), h. 220.
[2] Jasser Auda, Spiritual Journey:
28 Langkah Meraih Cinta Allah (Penerjemah Rosidin) (Bandung: Mizania,
2014), h. 45-49.
[3] Rosidin, Epistemologi Pendidikan
Islam, h. 129.
[4] Muhammad
al-Thahir Ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir
[Juz 13] (Tunis: Dar Syuhun li al-Nasyr wa al-Tawzi‘, ttt.), h. 233.
[5] Muhammad
Sayyid Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith li
al-Qur’an al-Karim [Juz 14] (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), h. 129.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an [Vol. 1] (Jakarta:
Lentera Hati, 2011), h. 391.
[7] Sa‘id
Isma‘il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Salam,
2007), h. 32-33.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah [Vol. 2], h. 161.
[9] Ibid., [Vol. 2], h. 161.
[10]
Ibid., [Vol. 3], h. 590.
[11] Ibid., [Vol. 3], h. 748.
[12] Ibid., [Vol. 1], h. 432.
[13] Ibid., [Vol. 15], h. 254.
[14] Ibid., [Vol. 15], h.
348-349.
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan,
2014), h. 576-577.
[16] Abd.
Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Pasuruan: PT. Garoeda
Buana Indah, 1992), h. 4-5. Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 30-31.
[17] Berdasarkan
penelusuran penulis terhadap software al-Maktabah al-Syamilah, Hadis ini
diriwayatkan oleh al-Nasa’i, Imam Ahmad, Ibn Hibban dan Ibn Khuzayimah. Syu‘aib
al-Ar’anut menyatakan bahwa Hadis ini Sahih menurut Syarat Muslim.
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah [Vol. 1], h. 669.
[19] Ibid., [Vol. 1], h. 493.
[20] Ibid., [Vol. 12], h. 594.