Teologi Pendidikan Islam (Alam Semesta)
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Al-Qur'an Membahas Tema Alam Semesta |
Bahasan tentang alam semesta ini penulis batasi pada tiga
term, yaitu Khalaqa yang berarti penciptaan; ‘Alamin yang berarti
alam semesta dan Sakhkhara yang berarti penundukan.
Allah SWT adalah Sang Khaliq, yaitu Dzat yang
menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Wujud ciptaan-Nya adalah
‘Alamin, yaitu alam semesta dalam konteks makrokosmos maupun
mikrokosmos. Alam semesta ditundukkan (Taskhir) oleh Allah SWT, sehingga
manusia dapat mengelola dan memanfaat-kannya demi kesuksesan sebagai ‘Abdullah
dan Khalifatullah.
Identifikasi Term Khalaqa dan Derivasinya
Term Khalaqa dan derivasinya disebutkan sebanyak
261 kali dalam 218 ayat 1. Ayat
yang pertama kali turun memuat term Khalaqa dan derivasinya adalah Surat
al-‘Alaq [96]: 1-2
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2)
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-2)
Sedangkan ayat yang terakhir kali turun memuat term Khalaqa
dan derivasinya adalah Surat al-Taubah [9]: 36
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. (Q.S. al-Taubah [9]: 36)
Surat al-‘Alaq [96]: 1 mengisyaratkan bahwa Allah SWT adalah
Dzat Yang Maha Menciptakan. Allah SWT adalah Khaliq, Sang Pencipta,
sedangkan selain Allah SWT adalah Makhluk. Surat al-‘Alaq [96]: 2 menunjukkan
bahwa manusia merupakan makhluk yang istimewa, karena disebutkan secara khusus
pada awal mula turunnya wahyu al-Qur’an. Di samping manusia, Allah SWT juga
menciptakan alam semesta, terutama langit dan bumi seperti yang termaktub dalam
Surat al-Taubah [9]: 36.
Identifikasi
Term Alam
Term Alam disebutkan sebanyak 73 kali dengan redaksi
berupa (العَالَمِيْنَ). Ayat yang pertama kali turun memuat term
Alam adalah Surat al-Qalam [68]: 52
وَمَا هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ (52)
Dan
al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat. (Q.S al-Qalam [68]: 52)
Sedangkan ayat yang terakhir kali turun memuat term Alam
adalah Surat al-Ma’idah [5]: 115
قَالَ اللَّهُ إِنِّي مُنَزِّلُهَا عَلَيْكُمْ
فَمَنْ يَكْفُرْ بَعْدُ مِنْكُمْ فَإِنِّي أُعَذِّبُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ
أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (115)
Allah
berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa
yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan
menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di
antara umat manusia”.
(Q.S. al-Ma’idah [5]: 115)
Surat al-Qalam [68]: 52 mengisyaratkan bahwa al-Qur’an
berperan sebagai al-Dzikr (pengingat) bagi alam semesta (makrokosmos),
khususnya bagi umat manusia (mikrokosmos). Di samping itu, al-Qur’an memiliki
hubungan erat dengan alam semesta. Al-Qur’an adalah ayat-ayat Allah yang
tertulis (verbal), sedangkan alam semesta adalah ayat-ayat Allah yang terhampar
(non-verbal). Jika manusia tidak mengindahkan apalagi mengingkari kedua
ayat-ayat Allah tersebut, niscaya Allah SWT akan menimpakan adzab yang tidak
disangka-sangka, sebagaimana yang diindikasikan oleh Surat al-Ma’idah [5]:
115.
Identifikasi
Term Sakhkhara dan Derivasinya
Term Sakhkhara dan derivasinya disebutkan sebanyak 42
kali dalam 35 ayat 2. Ayat yang pertama kali turun memuat
term Sakhkhara adalah Surat Shad
[38]: 18
إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ
يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ (18)
Sesungguhnya
Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama Dia (Daud) di waktu petang
dan pagi.
(Q.S. Shad [38]: 18)
Sedangkan ayat yang terakhir kali turun memuat term Sakhkhara
adalah Surat al-Hajj [22]: 65
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا
فِي الْأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ
أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ
لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (65)
Apakah
kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan
bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan Dia menahan
(benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. al-Hajj [22]: 65)
Surat Shad [38]: 18 mengisyaratkan bahwa Allah SWT
menundukkan alam semesta –seperti gunung-gunung– dalam konteks penghambaan
kepada-Nya. Artinya, seluruh alam semesta itu selalu mentaati Allah SWT. Di
antara wujud ketaatan alam semesta adalah menetapi hukum-hukum Allah yang
diberlakukan kepadanya (yakni Sunnatullah), sehingga memungkinkan bagi umat
manusia untuk mengelola dan memanfaatkannya demi kemaslahatan hidup mereka.
Misalnya mampu membuat bahtera yang dijadikan sebagai alat transportasi di atas
laut. Inilah kiranya yang diisyaratkan oleh Surat al-Hajj [22]: 65.
Materi Pokok Tafsir Tarbawi: Surat Ali
‘Imran [3]: 190-191
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ
هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 190-191)
Surat Ali ‘Imran [3]:
190-191 mengisyaratkan bahwa orang yang menyandang status Ulu al-Albab
memiliki dua karakteristik utama, yaitu tadzakkur dan tafakkur.
Dengan kata lain, Ulu al-Albab adalah orang-orang yang senantiasa berzikir dan berpikir. Perbedaan antara zikir
dan pikir antara lain objek zikir adalah Allah SWT, sedang objek pikir adalah
makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini
berarti pengenalan kepada Allah SWT lebih banyak didasarkan kepada kalbu,
sedangkan pengenalan alam raya oleh akal, yakni berpikir. Akal memiliki
kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki
keterbatasan dalam memikirkan Zat Allah. Zikir
lebih didahulukan dibandingkan pikir, karena dengan zikir mengingat Allah SWT
dan menyebut-nyebut nama dan keagungan-Nya, hati akan menjadi tenang, dan
dengan ketenangan, pikiran akan menjadi cerah, bahkan siap untuk memeroleh
limpahan ilham dan bimbingan Ilahi.
Lebih dari itu, semakin banyak hasil yang diperoleh dari zikir dan
pikir, dan semakin luas pengetahuan tentang alam rasa, semakin dalam pula rasa
takut kepada Allah SWT 3.
Jenis
penalaran (tafakkur) yang dimiliki oleh Ulu al-Albab adalah
kemampuan menalar fenomena alam raya hingga sampai kepada bukti yang sangat
nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT [ayat], sebagaimana
termaktub pada Ali ‘Imran [3]: 190-194. Ayat-ayat ini mirip dengan Surat
al-Baqarah [2]: 164. Hanya saja, di sana disebutkan delapan macam
ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya tiga. Buat kalangan sufi, pengurangan ini
disebabkan memang pada tahap-tahap awal seorang salik yang berjalan
menuju Allah membutuhkan banyak argumen akliah, tetapi setelah melalui beberapa
tahap, ketika kalbu telah memeroleh kecerahan, kebutuhan akan argumen akliah
semakin berkurang, bahkan dapat menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke
samudra makrifat. Selanjutnya, kalau di sana bukti-bukti yang disebutkan adalah
hal-hal yang terdapat di langit dan di bumi, di sini penekanannya pada
bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti tersebut lebih
menggugah hati dan pikiran, dan lebih cepat mengantar seseorang untuk meraih
rasa keagungan Ilahi. Di sisi lain, Surat al-Baqarah [2]: 164 ditutup dengan
menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan tanda-tanda bagi orang yang
berakal [la-ayatin liqawmin ya‛qilun], sedang pada ayat ini –setelah
mereka berada pada tahap yang lebih tinggi– maka mereka juga telah mencapai
kemurnian akal, sehingga sangat wajar ditutup dengan terdapat tanda-tanda
bagi Ulu al-Albab [la-ayatin li Uli al-Albab] 4.
Penalaran Islami
terhadap alam semesta bukan sekedar penalaran rasional semata, melainkan
penalaran yang berfungsi untuk menggerakkan perasaan manusia terhadap keagungan
Sang Pencipta, yakni Allah SWT, kecilnya manusia di hadapan Allah SWT, dan
keniscayaan manusia untuk tunduk kepada-Nya 5.
Mayoritas apa yang
terdapat di alam semesta ini telah ditundukkan (taskhir) oleh Allah SWT
bagi kepentingan manusia. Islam menempatkan manusia sebagai figur yang
memaksimalkan apa yang ada di lingkungan sekitarnya. Manusia diberi kekuasaan
untuk mengola alam semesta atas izin-Nya. Sesungguhnya Allah SWT telah
menundukkan alam semesta bagi manusia, mulai dari benda yang besar seperti
matahari hingga benda yang kecil seperti lebah dan biji 6.
Agar manusia tidak
menyimpang dari Syariat Allah SWT ketika mengelola alam semesta, maka Allah SWT
menurunkan al-Qur’an yang berfungsi melembutkan hati manusia dan mendidik
jiwanya agar takut kepada Allah SWT, merasakan rahmat-Nya dan mendorong manusia
agar bersyukur kepada-Nya. Al-Qur’an juga mendidik akal tentang dasar-dasar
teoretis dan praktis, sehingga manusia dapat memanfaatkan kaidah-kaidah ilmiah
dan potensi-potensi alam semesta demi kemakmuran umat manusia. Selain itu,
manusia juga dituntut agar tidak berlebihan dan melampaui batas dengan
melakukan perilaku yang merusak alam maupun sosial. Jadi, pendidikan Islam
menegaskan bahwa manusia boleh mengelola alam semesta yang ditundukkan Allah
SWT bagi kepentingan manusia, dengan pengelolaan yang didasarkan pada Syariat
Allah SWT. Oleh sebab itu, pengelolaan tersebut tidak boleh melanggar
batas-batas Syariat Allah SWT, baik dalam wujud perusakan alam maupun perusakan
hubungan sosial 7.
Lebih dari itu, terdapat
sekian banyak nilai edukatif
bagi manusia dalam hubungannya
dengan alam semesta, antara lain:
Pertama,
Mendidik manusia untuk senantiasa tunduk secara mutlak
kepada Allah SWT, sebagaimana ketundukan seluruh makhluk di alam semesta.
Kedua, Mendidik manusia agar berusaha
sungguh-sungguh untuk mengetahui berbagai Sumber Daya Alam (SDA) yang terhampar
maupun tersimpan di alam semesta, kemudian berusaha
menguasai keterampilan untuk memanfaatkan SDA tersebut demi kemaslahatan umat
manusia.
Ketiga, Mendidik manusia untuk meneliti rahasia-rahasia dan
hikmah-hikmah Allah SWT pada
setiap makhluk-Nya, baik makhluk yang besar maupun makhluk yang kecil, di
seluruh alam semesta ini. Keempat, Menghubungkan perasaan manusia kepada Allah SWT secara
terus-menerus, dengan mengingat keagungan kuasa Allah SWT yang menundukkan
langit dan bumi, serta mengingat kenikmatan Allah SWT yang diberikan kepadanya,
termasuk penundukan (taskhir) alam semesta untuk kepentingan manusia 8.
Allah SWT
mengatur alam semesta dengan hukum-hukum-Nya yang bersifat pasti dan tidak
berubah. Inilah yang disebut Hukum Alam atau Sunnatullah. Hukum Alam inilah
yang dipelajari oleh manusia sehingga bisa memahaminya dan menguasainya. Dengan
menguasai Hukum Alam, maka manusia menguasai alam, bukan lagi alam yang
menguasai manusia. Contoh: Manusia membuat kapal yang terdiri dari besi dan
beratnya mencapai ribuan ton, namun dapat berlayar di atas samudera luas 9.
Hubungan
antara alam dan manusia merupakan hubungan yang saling membutuhkan. Manusia
membutuhkan alam, dan alam membutuhkan manusia. Oleh sebab itu, harus dibangun
hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, manusia
bertugas untuk memelihara, merawat, melestarikan dan memanfaatkan alam untuk
kesejahteraan umat manusia. 10
Melalui
ilmu pengetahuan, manusia mampu mengelola alam ini untuk kesejahteraan mereka.
Mampu mengolah alam pertama menjadi alam kedua dalam bentuk teknologi.
Kemampuan berkarya ini diungkapkan oleh Sir Muhammad Iqbal dalam salah satu
untaian syairnya: 11
Kau
yang menciptakan malam
Dan
aku yang membuat pelita
Kau
yang menciptakan tanah liat
Dan
aku yang membuat piala.
Hubungan antara Allah
SWT, manusia dan alam semesta dapat penulis simpulkan dari visualisasi di bawah
ini:
Nomor 1
dan 3: Allah SWT
adalah Dzat Yang Menciptakan (Khaliq) manusia dengan memberi dua tugas
utama, yaitu ‘ibadah dan ‘imarah. Artinya, manusia sebagai ‘Abdullah
bertugas beribadah kepada Allah SWT yang dilandasi ketauhidan; dan manusia
sebagai Khalifatullah bertugas memakmurkan alam semesta yang dilandasi
ketauhidan juga. Untuk itu, Allah SWT juga berposisi sebagai Rabb, yaitu
Dzat Yang Maha Mendidik manusia secara langsung maupun tidak langsung, sehingga
manusia berpeluang meraih kesuksesan dalam menjalankan dua tugas utama mereka.
Oleh sebab itu, manusia mempertanggung-jawabkan amanat yang diemban-nya melalui
tiga bentuk, yaitu Habl min Allah (hubungan positif antara manusia
dengan Allah SWT), Habl min al-Nas (hubungan positif antara manusia
dengan sesama manusia, termasuk dirinya sendiri) dan Habl min al-‘Alam
(hubungan positif antara manusia dengan alam semesta).
Nomor 2
dan 4: Allah
SWT adalah Dzat Yang Menciptakan (Khaliq) alam semesta dengan dua fungsi
utama, yaitu sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah (Ayat) dan hukum-hukum
Allah yang berlaku di alam semesta (Sunnatullah).
Nomor 3
dan 6: Manusia
bertugas sebagai Khalifatullah, yaitu memakmurkan (‘Imarah) alam
semesta melalui upaya pelestarian dan pengembangan Sumber Daya Alam yang sesuai
dengan Sunnatullah maupun Syariatullah. Sedangkan alam semesta
memainkan peran sebagai Ayat yang memantulkan tanda-tanda kekuasaan
Allah SWT, sehingga dapat ditelaah oleh manusia terutama untuk meningkatkan
kualitas fungsinya sebagai ‘Abdullah; serta peran sebagai Sunnatullah
yang tunduk pada hukum-hukum Allah SWT, sehingga dapat ditundukkan (taskhir)
oleh manusia, terutama demi kepentingan meningkatkan kualitas fungsinya sebagai
Khalifatullah.
Wallahu A'lam bi al-Shawab.
Catatan Kaki
[1] Perincian masing-masing term adalah: (خَلَقَ) 64 kali; (خَلَقْتُ) 5 kali; (خَلَقْتُكَ) 1 kali; (خَلَقْتَنِيْ) 2 kali; (خَلَقْتَهُ) 3 kali; (خَلَقَكَ) 2 kali; (خَلَقَكُمْ) 16 kali; (خَلَقْنَا) 24 kali; (خَلَقْنَاكُمْ) 9 kali; (خَلَقْنَاهُ) 4 kali; (خَلَقْنَاهُمْ) 3 kali; (خَلَقْنَاهُمَا) 1 kali; (خَلَقَنِيْ) 1 kali; (خَلَقَهُ) 4 kali; (خَلَقَهَا) 1 kali; (خَلَقَهُمْ) 4 kali; (خَلَقَهُنَّ) 2 kali; (خَلَقُوا) 4 kali; (أخْلُقُ) 1 kali; (تَخْلُقُ) 1 kali; (تَخْلُقُوْنَ) 1 kali; (تَخْلُقُوْنَه) 1 kali; (نَخْلُقُكُمْ) 1 kali; (يَخْلُقُ) 14 kali; (يَخْلُقُكُمْ) 1 kali; (يَخْلُقُوْا) 1 kali; (يَخْلُقُوْنَ) 2 kali; (خُلِقَ) 5 kali; (خُلِقَتْ) 1 kali; (خُلِقُوا) 1 kali; (يُخْلَقُ) 1 kali; (يُخْلَقُوْنَ) 3 kali; (خَلْقُ) 38 kali; (خَلْقًا) 7 kali; (خلقكم) 2 kali; (خَلْقه) 3 kali; (خَلْقَهُم) 1 kali; (بِخَلْقِهِنَّ) 1 kali; (خَالِقٌ) 8 kali; (الْخَالِقُوْنَ) 2 kali; (الْخَالِقِيْنَ) 2 kali; (الْخَلاَّقْ) 1 kali; (مُخَلَّقَةٍ) 2 kali; (إخْتِلاَق) 1 kali; (خَلاَقْ) 3 kali; (بِخَلاَقِكُمْ) 1 kali; (بِخَلاَقِهِمْ) 2 kali; (خُلُقٍ) 2 kali.
[2] Perincian masing-masing term adalah: (سَخَّر) 1 kali; (سَخِرُوا) 3 kali; (تَسْخَرُوا) 1 kali; (تَسْخَرُوْنَ) 1 kali; (نَسْخَرُ) 1 kali; (يَسْخَرُ) 1 kali; (يَسْخَرُوْنَ) 3 kali; (سَخَّرَ) 16 kali; (سَخَّرْنَا) 3 kali; (سَخَّرْنَاهَا) 1 kali; (سَخَّرَهَا) 2 kali; (يَسْتَسْخِرُوْنَ) 1 kali; (السَّاخِرِيْنَ) 1 kali; (سِخْرِيًّا) 2 kali; (سُخْرِيًّا) 1 kali; (الْمُسَخَّر) 1 kali; (مُسَخَّرَاتٍ) 3 kali.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah [Vol. 2],
h. 373-376.
[4]
Ibid., [Vol. 2], h. 370-371.
[5] Alam
semesta adalah ciptaan Allah SWT, semuanya memiliki maksud dan tujuan, bukan
sesuatu yang sia-sia. Setelah memperhatikan alam semesta, manusia diseru agar
beribadah dan mentauhidkan Allah SWT. Oleh sebab itu, seorang muslim selalu
merasa terikat dengan Sang Pencipta alam semesta dan tujuan agung kehidupan,
yaitu beribadah kepada Allah SWT. ‘Abd al-Rahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyyah
al-Islamiyyah wa Asalibuha, h.
38-39.
[6] Tunduknya
alam semesta ini biasanya dikenal dengan istilah Sunnatullah (hukum Allah SWT
yang berlaku di alam semesta; dikenal pula dengan istilah hukum alam). Artinya,
kejadian-kejadian alam semesta didasarkan pada hukum-hukum Allah SWT yang
berlaku di alam semesta. Hanya Allah SWT semata yang mampu untuk mengubahnya
jika berkehendak. Sunnatullah adalah dasar yang menjadi pijakan seluruh kaidah
dan pemikiran ilmiah, sehingga mengantarkan manusia untuk menyingkap misteri
alam semesta dan menciptakan temuan-temuan yang bermanfaat bagi peradaban. Ibid.,
h. 41-44.
[7]
Ibid., h. 45-46.
[8]
Sa’id Isma’il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah,
h. 74-75.
[9]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif
Filsafat (Jakarta: Kencana, 2014), h. 29.
[10] Ibid.,
h. 30-31.
[11]
Ibid., h. 50.
Referensi
‘Ali, Sa’id
Isma’il. Ushul
al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Salam. 2007.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan
Islam dalam Perspektif Filsafat. Jakarta: Kencana. 2014.
al-Nahlawi. ‘Abd al-Rahman. Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Asalibuha: Fi
al-Bait. wa al-Madrasah wa al-Mujtama’. Beirut: Dar al-Fikr. 1996.
Shihab,
M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan. Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2011.