Kasih Sayang Allah SWT kepada Umat Manusia
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Q.S. al-Rahman [55]: 1-4 |
Ini adalah kajian tafsir tarbawi terhadap Surat
al-Rahman [55]: 1-4 yang berhubungan erat dengan bentuk kasih sayang Allah SWT
kepada umat manusia.
الرَّحْمَنُ (1)
Penyebutan al-Rahman (Yang Maha
Penyayang) di awal Surat memiliki sejumlah hikmah.
Pertama, Al-Rahman
adalah nama Allah SWT yang tidak familiar di telinga kaum kafir, karena mereka
terbiasa mengenal nama “Allah”. Terbukti kaum kafir pernah bertanya, “Apakah
al-Rahman itu?” (Q.S. al-Furqan [25]: 60). Oleh sebab itu, kata al-Rahman
selalu memantik rasa penasaran kaum kafir untuk mengetahui pesan-pesan yang
akan disampaikan oleh al-Qur’an.
Kedua, bagi umat muslim, penyebutan
nama al-Rahman membuat mereka tertarik untuk mengetahui apa saja rahmat
atau kasih sayang yang akan dianugerahkan. Seperti halnya ketika kita
mendengar, “Sang Dermawan telah datang”; maka akan terlintas dalam pikiran
kita, apa saja yang akan didermakan.
Ketiga, muatan Surat
al-Rahman dipenuhi dengan berbagai jenis kenikmatan duniawi maupun ukhrawi yang
mencerminkan kasih sayang Allah SWT. Kenikmatan-kenikmatan tersebut begitu
terang benderang, sehingga tidak wajar untuk diingkari atau didustakan oleh
siapapun. Sampai-sampai al-Qur’an mengulang-ulang redaksi, “Maka nikmat
Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” sebanyak 31 kali dalam Surat
al-Rahman.
عَلَّمَ الْقُرْآَنَ (2)
Bentuk kasih sayang atau rahmat Allah SWT kepada
umat manusia adalah diutusnya Nabi Muhammad SAW yang diajari al-Qur’an secara langsung
oleh al-Rahman, Allah Yang Maha Penyayang. Menurut salah satu Asbab
al-Nuzul, ayat ini sebagai jawaban atas desas-desus kaum kafir yang menilai
bahwa Nabi Muhammad SAW diajari oleh seorang guru, seperti agamawan Yahudi
ataupun Nasrani. Sampai sekarang pun masih bertebaran pendapat para orientalis
yang menuduh Rasulullah SAW meniru ajaran Yahudi dan Nasrani. Sehingga menyebut
al-Qur’an tidak lebih dari sekedar “bid’ah” agama Yahudi dan Nasrani.
Untuk menjawab tuduhan tersebut, menarik untuk
menyimak ilustrasi yang dikemukakan oleh Quraish Shihab. Jika si A melukis
candi borobudur pada tahun 1980, lalu si B melukis candi borobudur pada tahun
2017, maka hasil lukisan keduanya akan memiliki kemiripan; karena “sumber”
lukisan tersebut adalah sama, yaitu candi borobudur. Namun, si B tidak bisa
dituduh telah meniru lukisan si A. Jadi, kemiripan al-Qur’an dengan Perjanjian
Lama (Taurat) maupun Perjanjian Baru (Injil) adalah dikarenakan sumbernya
memang sama, yaitu Allah SWT.
Adapun bentuk pengajaran Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW adalah melalui wahyu, baik berupa al-Qur’an (lafazh dan makna),
Hadis Qudsi (makna) maupun Hadis Nabawi (makna). Selain itu, setiap kali
Rasulullah SAW berijtihad berdasarkan akal beliau sendiri, maka akan segera
diketahui benar-salahnya ijtihad tersebut. Jika dinilai benar, tidak akan turun
wahyu yang mengoreksinya. Sebaliknya, jika dinilai salah, maka segera turun
wahyu untuk mengoreksinya. Dengan demikian, hasil pengajaran Allah SWT adalah
kebenaran mutlak, baik yang didasarkan wahyu, maupun berdasarkan ijtihad Rasulullah
SAW sendiri yang “disetujui” oleh Allah SWT.
Kebenaran mutlak ajaran Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW, terutama al-Qur’an, bersifat haqqul-yaqin. Yaitu kebenaran
yang didasarkan pada wahyu. Memang banyak bagian ajaran Islam yang kebenarannya
dapat dibuktikan secara rasional (‘ilmul-yaqin) maupun empiris (‘ainul-yaqin).
Namun tidak semuanya dapat dibuktikan secara rasional dan empiris, karena masih
banyak bagian ajaran Islam yang tidak mungkin dibuktikan secara rasional maupun
empiris, seperti adanya surga dan neraka. Dalam konteks inilah, patut disadari
bahwa kebenaran ajaran Islam bersifat haqqul-yaqin atau kebenaran mutlak
melalui jalur wahyu.
Hikmah lain yang dapat disingkap dari ayat kedua
ini adalah pentingnya sikap kasih sayang seorang guru ketika mendidik muridnya.
Kasih sayang tidak melulu berupa sikap lemah lembut yang memanjakan murid,
melainkan sikap lemah lembut yang disertai ketegasan, terutama ketika murid
dinilai melanggar batas.
Perintah Rasulullah SAW agar memukul anak usia
10 tahun yang meninggalkan shalat, dengan pukulan yang tidak membahayakan,
adalah contoh kasih sayang dalam bentuk ketegasan. Adapun contoh kasih sayang
dalam bentuk kelemah-lembutan, dapat dilihat dari kata sapaan yang digunakan Allah
SWT terhadap Nabi Muhammad SAW. Allah SWT tidak pernah memanggil Nabi Muhammad
SAW dengan sebutan, “Wahai Muhammad”; melainkan selalu memanggil beliau dengan
sebutan mesra, seperti “Wahai Rasul”, “Wahai Nabi”, dan sejenisnya.
خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3)
Penciptaan manusia merupakan bentuk kasih sayang
atau rahmat Allah SWT. Ayat ini menggunakan redaksi al-insan yang
menurut para mufasir berarti “totalitas manusia secara ruhani atau psikis”. Berbeda
halnya dengan redaksi al-basyar yang berarti “totalitas manusia secara
jasmani atau fisik”.
Penyebutan redaksi “al-insan”, setelah
penyebutan redaksi “al-Qur’an” dalam ayat sebelumnya, mengisyaratkan bahwa
kualitas manusia secara ruhani lah yang berpengaruh besar terhadap sikap
manusia mengenai al-Qur’an. Ruhani mencakup fitrah, hati, akal dan nafsu.
Apabila kondisi ruhani manusia itu penuh noda, maka sulit mentadabburi al-Qur’an.
Sebaliknya, apabila kondisi ruhani manusia itu jernih, maka akan mudah mentadabburi
al-Qur’an.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (24) ﴿ محمد ﴾
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an
ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad [47]: 24)
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
Ayat keempat menginformasikan jenis kasih sayang
atau rahmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada umat manusia, yaitu al-bayan.
Pada mulanya, bayan berasal dari akar kata bayna yang artinya “antara”.
Dari sini dapat dipahami bahwa bayan adalah penjelasan yang berfungsi
untuk menjembatani ruang kosong (missing link) “antara” pihak yang
mengetahui (guru) dengan pihak yang belum mengetahui (murid).
Bayan atau penjelasan
dapat dilakukan melalui lisan, bagi orang yang mampu berbicara. Namun bagi
orang yang tidak mampu berbicara, semisal tuna wicara, maka bayan atau
penjelasan dapat dilakukan melalui tulisan, isyarat, sorot mata, dan
sebagainya. Apapun itu, bayan atau penjelasan hanya dapat terlaksana
apabila seseorang memfungsikan akalnya. Tanpa adanya akal, mustahil manusia dapat
menjelaskan sesuatu. Sejalan dengan itu, muncul definisi manusia sebagai hayawan
nathiq atau binatang yang berbicara atau berpikir; karena berbicara merupakan
tampilan lahiriah dari akal pikiran manusia.
Dengan demikian, al-bayan dalam ayat ini
berhubungan erat dengan kapasitas manusia untuk berpikir. Artinya, Allah SWT
sejak awal sudah mempersiapkan manusia sebagai makhluk yang dapat menerima ilmu
pengetahuan. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang dapat dididik (homo
educandum).
Melalui pendidikan, manusia tumbuh menjadi
makhluk yang berkebudayaan, bahkan berperadaban. Lain halnya dengan makhluk
seperti binatang yang tidak dibekali akal. Sejak awal penciptaan hingga
sekarang, tidak pernah terdengar istilah “kebudayaan binatang”. Contoh sederhana,
sejak zaman dulu hingga sekarang, bentuk rumah laba-laba tetap seperti itu. Lain
halya dengan manusia yang semula bertempat tinggal di gua-gua, sekarang sudah
tinggal di gedung-gedung.
Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka
pendidikan utama yang perlu diberikan kepada manusia adalah al-Qur’an, terutama
isi kandungan al-Qur’an yang mencerminkan kasih sayang atau rahmat Allah SWT. Harapannya,
akan muncul peradaban Qur’ani yang menebar kasih sayang ke seluruh alam
semesta. Pada titik itulah, Islam membuktikan diri sebagai ajaran yang mendatangkan
rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Singosari, 28 Desember 2017
Posting Komentar untuk "Kasih Sayang Allah SWT kepada Umat Manusia"