Living Sunnah dan Bid'ah Hasanah
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Menjadi "Sunnah" yang Berjalan |
Setiap
sunah Rasulullah SAW pasti baik, bahkan dijamin oleh Allah SWT melalui
firman-Nya: “Apa yang telah diberikan kepada kalian oleh Rasul (Nabi
Muhammad SAW), maka terimalah” (Q.S. al-Hasyr [59]: 7). Jadi, tugas umat
muslim tinggal mengamalkannya.
Ada
tiga hal penting terkait amaliah sunah Rasulullah SAW.
Pertama, Tingkatan. Sunah Rasulullah SAW itu
bertingkat-tingkat. Oleh sebab itu, sebaiknya umat muslim mengamalkan sunah
sesuai tingkat keutamaannya.
Misalnya,
tingkatan shalat sunah berdasarkan keutamaannya menurut kitab al-Taqrirat
al-Sadidah karya Syaikh Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad al-Kaf adalah:
a) shalat hari raya; b) shalat gerhana; c) shalat istisqa’; d) shalat witir;
e) shalat rawatib (qabliyah-ba’diyah), terutama qabliyyah shubuh;
f) shalat tarawih; g) shalat dhuha; h) shalat lainnya, seperti tahiyyatal
masjid.
Kedua, Pilihan. Sunah Rasulullah SAW itu luas. Umat muslim
boleh memilih sunah yang ingin diamalkan, sesuai situasi dan kondisinya. Oleh
sebab itu, tidaklah bijaksana “memaksa” orang lain untuk mengamalkan suatu
sunah yang tidak menjadi pilihannya.
Contoh,
umat muslim boleh memilih puasa sunah yang bersifat: a) tahunan, seperti Tasu’a’
(9 Muharram), ‘Asyura’ (10 Muharram), Rajab, Sya’ban, Syawwal (enam
hari), Tarwiyyah (8 Dzulhijjah), ‘Arafah (9 Dzulhijjah); b)
bulanan, seperti Ayyamul-Bidh (13, 14, 15 Hijriyah) dan Ayyamus-Sud
(28, 29, 30 Hijriyah); c) mingguan, seperti Senin dan Kamis; d) harian, seperti
puasa setiap hari atau setiap dua hari sekali (puasa Dawud), di luar
waktu-waktu yang diharamkan berpuasa.
Contoh
lain, jika ada seorang muslim memilih amaliah sunah berupa menutup kepala
dengan kopiah (songkok) saat shalat berjamaah, namun kurang berkenan
mengamalkan sunah berupa menempelkan kaki dengan kaki jamaah lain, karena
merasa terganggu konsentrasinya; maka orang yang memilih sunah berupa
menempelkan kaki dengan kaki jamaah lain, tidak patut memaksakan diri untuk
menempelkan kakinya dengan kaki orang yang kurang berkenan tersebut, apalagi
hingga terjadi “aksi saling kejar-kejaran kaki” ketika shalat berjamaah
berlangsung.
Ketiga, Pelestarian. Sunah Rasulullah SAW yang sudah
diamalkan secara pribadi, dapat diamalkan secara umum melalui kegiatan
masyarakat, sehingga terbentuk budaya sunah yang dilestarikan dari generasi ke
generasi. Budaya sunah ini dalam bahasa ilmiah disebut living sunnah
atau sunah Rasulullah SAW yang hidup lestari di tengah-tengah masyarakat.
Tampaknya, budaya sunah ini selaras dengan amanat Rasulullah SAW: “Barangsiapa
membudayakan dalam Islam, suatu budaya yang baik (sunnah hasanah), lalu budaya
itu dilestarikan sepeninggalnya, maka dicatat untuknya pahala sebagaimana
pahala orang-orang yang melestarikan budaya tersebut, tanpa mengurangi pahala
mereka sedikit pun” (H.R. Muslim). Misalnya budaya sunah walimah
yang diselenggarakan pada waktu pernikahan (walimatul ‘urs),
keberangkatan haji atau umrah (walimatus-safar), aqiqah, khitan, dan
sebagainya.
Seiring
waktu, sunah Rasulullah SAW mengalami perkembangan sesuai situasi dan kondisi
yang ada. Sayangnya, perkembangan sunah Rasulullah SAW dinilai berbeda oleh
umat muslim, sehingga memicu perdebatan tak-berkesudahan antara kubu yang
menilai semua perkembangan sunah adalah bid’ah yang tersesat (bid’ah
dhalalah); dengan kubu yang menilai tidak semua perkembangan sunah adalah
bid’ah yang tersesat, karena ada juga bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah).
Perdebatan antara kedua kubu ini sungguh menguras energi dan emosi umat muslim
dari masa ke masa, hingga zaman now.
Patut
diinsafi bersama bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan yang tidak dapat
dihindari, sedangkan persatuan adalah pilihan yang dapat diusahakan. Bukankah
sesaat sebelum Allah SWT memberi label umat muslim sebagai umat terbaik (khaira
ummah), terlebih dulu Allah SWT memerintahkan persatuan dan kesatuan antar
umat muslim melalui firman-Nya, “Dan berpegang-teguhlah kalian semua pada
tali (agama) Allah; dan janganlah bercerai-berai” (Q.S. Ali ‘Imran [3]:
103). Agar umat muslim dapat bersatu di tengah perbedaan pendapat, dibutuhkan
sikap toleransi. Yaitu, meyakini kebenaran pendapat pribadi, namun menghargai
pendapat orang lain yang berbeda. Dalam bahasa al-Qur’an, “Bagi kami amalan
kami, dan bagi kalian amalan kalian” (Q.S. al-Baqarah [2]: 139).
Salah
satu cara untuk menumbuhkan sikap toleransi adalah kita memahami orang lain
dari sudut pandang orang tersebut, bukan dari sudut pandang kita. Sebagai
contoh, mari kita simak Hadis Nabi SAW yang disinyalir menjadi penyebab
perbedaan pendapat antara kedua kubu umat muslim di atas. Dalam Shahih Muslim
disebutkan: “…. Wa kullu bid’atin dhalalatun” yang artinya “Semua
bid’ah itu tersesat”. Perhatikan kata “semua”.
Bagi
kubu pertama, redaksi Hadis di atas dipahami serupa dengan kalimat, “Semua
umat muslim wajib shalat”. Artinya, semua umat
muslim tanpa terkecuali, wajib mendirikan shalat. Dalam ilmu
bahasa, kata “semua” dalam kalimat tersebut adalah kata universal (kulli)
yang mencakup semua hal tanpa terkecuali. Dengan demikian, kubu pertama
meyakini bahwa semua bid’ah itu tersesat, tanpa terkecuali.
Bagi
kubu kedua, redaksi Hadis di atas dipahami serupa dengan kalimat, “Semua
umat muslim bergembira atas kehadiran bulan Ramadhan”. Artinya, mayoritas
umat muslim bergembira atas kehadiran Ramadhan, namun ada sebagian kecil umat
muslim yang tidak bergembira menyambut Ramadhan, semisal umat muslim yang tidak
suka berpuasa atau merasa jatah rezekinya semakin surut. Dalam ilmu bahasa,
kata “semua” dalam kalimat tersebut adalah kata kolektif (kulliyah) yang
mencakup banyak hal (mayoritas), bukan semua hal. Dengan demikian, kubu kedua
meyakini bahwa mayoritas bid’ah itu tersesat (bid’ah dhalalah),
namun ada sebagian kecil bid’ah yang perpuji (bid’ah hasanah).
Setiap
bid’ah yang dinilai terpuji, pasti ada dasar hukum yang melandasi.
Pertama, Dalil umum al-Qur’an. Contoh: “Bacalah oleh
kalian, apa yang mudah dari al-Qur’an”(Q.S. al-Muzzammil [73]: 20), lalu
umat muslim membudayakan membaca Surat Yasin setiap selesai shalat jamaah
Maghrib.
Kedua, Dalil umum Hadis. Contoh: “Perbanyaklah shalawat
untukku di hari Jum’at” (H.R. Abu Dawud), lalu umat muslim membudayakan
shalawat diba’ atau simthud-durar pada malam Jum’at dan shalawat nariyah
sebelum shalat Jum’at.
Ketiga, Ijma’. Contoh: Ijma’ shahabat yang diprakarsai ‘Umar
ibn al-Khaththab RA dalam pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat (al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu karya al-Zuhaili), yang masih abadi hingga kini.
Keempat, Qiyas. Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai
tempat pendidikan; lalu umat muslim mendirikan pesantren, TPQ, Madrasah
Diniyah, sekolah, perguruan tinggi, tempat kursus hingga balai pelatihan untuk
mendidik umat muslim.
Kelima, al-Mashlahah al-Mursalah atau kemaslahatan
umum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadis. Misalnya, surat nikah,
akte kelahiran, KTP, SIM dan Passport.
Keenam, al-‘Urf atau budaya lokal yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya, empat pilar kebangsaan (Pancasila,
Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, NKRI).
Ketujuh, Sadd al-Dzari’ah atau memblokir sarana
keburukan. Misalnya, tata tertib sekolah atau pesantren yang melarang pelajar
membawa ponsel (smartphone).
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Singosari,
9 Desember 2017