Mengakui Kemustahilan Cita-Cita
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Yakin Menggapai Mimpi, Tanpa Memastikan Kesuksesan |
Pertanyaan
yang jamak diajukan di penghujung tahun 2017 adalah “Apakah target hidup (resolusi)
yang Anda canangkan di awal tahun, akhirnya berhasil terlaksana pada tahun
ini?”. Tampaknya, jawaban umum dari pertanyaan ini adalah sebagian terlaksana,
dan sebagian lain tidak terlaksana.
Dari
sini setidaknya dapat diambil satu hikmah penting dalam menyongsong tahun baru
2018, yaitu tidak semua harapan menjadi kenyataan. Dengan kata lain, mustahil
merealisasikan seluruh cita-cita dalam hidup ini. Implikasinya, realita
membuktikan bahwa tidak wajar seorang insan berkoar-koar, “Nothing is Impossible”
yang berarti “Tidak ada yang mustahil”.
Tidak
dapat dipungkiri, Nothing is Impossible sudah menjadi motto hidup di
kalangan masyarakat kekinian, terutama generasi digital native (warga
digital). Slogan yang identik menjadi motto perusahaan raksasa Adidas (Perusahaan
sepatu asal Jerman): “Impossible is Nothing”.
Patut
direnungkan bahwa motto tersebut berasal dari pandangan hidup orang Barat yang
umumnya memiliki ego atau kepercayaan diri yang terlampau tinggi, sehingga merasa
lebih hebat dibandingkan orang lain. Karakter ego bangsa Barat yang terkesan
sombong, berbanding terbalik dengan ego bangsa Timur yang cenderung rendah
hati.
Ketika
ego menggelembung sedemikian besar, maka muncul kepongahan bahwa tidak ada yang
mustahil dalam hidup. Padahal Allah SWT saja memiliki sifat mustahil, bagaimana
mungkin manusia tidak memiliki kemustahilan dalam hidup? Apalagi sejak awal
al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia diciptakan dalam kondisi serba lemah (Q.S.
al-Nisa’ [4]: 28).
Untuk
meredam ego agar tidak melambung tinggi ke angkasa, tulisan ini mengajak
pembaca untuk merenung sejenak tentang kandungan makna Surat al-Najm [53]: 24
أَمْ لِلْإِنْسَانِ مَا تَمَنَّى (24)
Atau apakah manusia akan mendapat segala yang
dicita-citakannya?
(Q.S. al-Najm [53]: 24)
Menurut
Ibnu ‘Asyur, kata “am” yang berarti “atau apakah” pada ayat di atas
merupakan kata tanya yang bermakna “pengingkaran”. Tujuannya adalah mengingkari
adanya realita bahwa manusia pasti menggapai setiap cita-citanya. Sesungguhnya cita-cita
hanyalah motivasi untuk bertindak. Tidak bisa dimaknai, jika manusia bertindak,
maka pasti berhasil meraih cita-cita. Contoh sederhana, banyak pengalaman
petani yang bekerja siang-malam, mulai dari menanam padi hingga padi menguning
siap panen. Ternyata tiba-tiba terkena bencana, entah dimakan tikus, terserang
hama, terkena banjir, dan sebagainya. Akhirnya si petani gagal panen.
Kata
“Al” (the) dalam redaksi “al-Insan” bermakna “bangsa”, sehingga
maksud ayat tersebut mencakup seluruh bangsa manusia.
Mengapa
manusia mustahil mencapai semua cita-citanya?
Alasan
pertama, segala sesuatu di dunia ini tidak berjalan sesuai kehendak manusia,
melainkan kehendak Allah SWT, sebagaimana keterangan dalam Surat al-Takwir
[81]: 29
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Dan kamu tidak dapat menghendaki, kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam
(Q.S. al-Takwir [81]:
29)
Contoh
cita-cita manusia yang mustahil terlaksana dalam konteks Surat al-Najm [53]: 24
adalah cita-cita manusia (kaum kafir) mendapatkan syafaat dari berhala-berhala
di akhirat kelak.
Alasan
kedua, cita-cita manusia banyak yang sama. Implikasinya, ketika seseorang
berhasil meraih cita-citanya, maka dapat menghalangi orang lain yang memiliki
cita-cita sama. Misalnya, dua calon pasangan presiden sama-sama bercita-cita
menjadi presiden. Maka keduanya mustahil sama-sama menjadi presiden yang sah.
Demikian halnya banyak siswa yang bercita-cita meraih ranking kelas atau
bintang pelajar, namun hanya segelintir siswa yang berhasil meraih
cita-citanya.
Tulisan
ini sama sekali tidak bermaksud merobohkan motivasi, melainkan menyadarkan
batasan diri. Manusia adalah makhluk yang serba lemah. Oleh sebab itu, sudah
pasti banyak hal mustahil yang mengelilingi manusia.
Lebih
dari itu, jangan sampai kita termakan oleh kata-kata iklan. Memang tidak salah
ketika ada iklan, “Minum obat ini, flu pasti reda”. Faktanya, belum tentu orang
yang terkena flu berhasil sembuh setelah minum obat tersebut. Iklan sekedar
bertujuan persuasi atau mempengaruhi calon konsumen. Namun pengiklan tidak
dapat dituntut apabila iklannya tidak sesuai kenyataan. Misalnya, orang yang
terkena flu, setelah minum obat yang diiklankan, ternyata tetap tidak sembuh;
maka dia tidak bisa menuntut pengiklan, karena pengiklan dapat berkelit dengan
alibi bahwa banyak orang yang terkena flu, berhasil sembuh setelah minum obat
tersebut.
Berdasarkan
penalaran tersebut, patut disadari bahwa kata-kata motivasi seperti “Nothing
Impossible”, “Man Jadda, Wajada”, “Barangsiapa Menanam, Pasti Menuai”,
dan sejenisnya; adalah kata-kata jargon yang posisinya mirip dengan kata-kata
iklan. Artinya, berlaku bagi si A, namun tidak berlaku bagi si B. Contoh:
Banyak siswa menunjukkan kesungguhan yang sama, namun prestasi belajar yang
diperoleh justru berbeda-beda.
Walhasil, kata-kata motivasi atau slogan yang cenderung
hiperbolik dan bombastis, boleh dijadikan suplemen; namun jangan sampai
dijadikan keyakinan yang hakiki. Marilah kita resapi hubungan antara kekuasaan
Allah SWT, kata-kata positif (termasuk kata-kata motivasi) dan aksi nyata dalam
Surat Fathir [35]: 10
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah
kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan
amal yang saleh dinaikkan-Nya
(Q.S. Fathir [35]: 10)
Tafsir
kontekstualnya, kata-kata motivasi dan aksi nyata hanyalah sekedar sarana untuk
meraih cita-cita. Namun kesuksesan dan kegagalan cita-cita, bukan didasarkan
pada kata-kata dan aksi nyata, melainkan didasarkan semata-mata pada kekuasaan
dan kehendak Allah Yang Maha Perkasa.
Semoga
tulisan ini bermanfaat untuk menyambut harapan baru, tahun 2018. Amin ya
Rabbal ‘Alamin.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Singosari,
31 Desember 2017
Posting Komentar untuk "Mengakui Kemustahilan Cita-Cita"