Menjadi Mahasiswa
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Menjiwai Peran sebagai Mahasiswa |
Jika dirunut dari akar kata, “mahasiswa” adalah
perpaduan kata “maha” yang berarti “besar” dan “siswa” yang berarti “pelajar”.
Jadi, mahasiswa adalah “pelajar yang sudah besar”. Dengan kata lain, pelajar
yang sudah dewasa.
Kedewasaan mahasiswa dapat dilihat dari mentalitasnya
yang mandiri (independet), bukan bergantung (dependent). Paling
tidak, mandiri dalam urusan belajar. Mahasiswa adalah “pengemudi (driver)”
yang menentukan jawaban “mengapa dia harus belajar (why)?, apa yang harus
dipelajari (what)?, bagaimana cara mempelajari (how)?”.
Ketika mahasiswa berlatih menjawab tiga pertanyaan ini
dalam setiap perkuliahan yang diikuti, lambat-laun akan tumbuh mental rasa
ingin tahu (curiosity; need to know). Mentalitas inilah yang sangat
dibutuhkan mahasiswa di era teknologi informasi yang lebih mengutamakan “belajar
cara mengetahui (learn how to know)” yang terkait metakognisi, yaitu bagaimana
cara memberdayakan saluran ilmu (panca indra, akal dan hati) untuk merengkuh
informasi; alih-alih “belajar mengetahui (learn to know)” yang terkait
penerimaan materi informasi yang umumnya cepat kedaluwarsa.
Apabila mahasiswa sudah memiliki mentalitas rasa ingin
tahu, berarti dia siap bertransformasi menjadi pembelajar mandiri (self-directed
learner) yang memiliki motivasi belajar dan metakognisi yang tinggi. Implikasinya,
mahasiswa tidak perlu diberi motivasi belajar, karena sudah melekat dalam
dirinya (motivasi intrinsik); dan tidak perlu diberi arahan, karena sudah
memiliki metakognisi yang akan membimbingnya merengkuh informasi.
Selanjutnya pembelajar mandiri akan memanfaatkan
setiap pengalaman hidup sebagai sumber belajar yang berfungsi menambah wawasan
(asimilasi), atau justru merombak wawasan yang sudah melekat dalam otak
(akomodasi). Dengan demikian, belajar menjadi proses “open-ended”, yaitu
selalu terbuka atas posibilitas wawasan baru, sehingga mahasiswa memiliki
mental berpikir inklusif yang meyakini kebenaran pemikirannya, namun mau
menerima kebenaran pemikiran orang lain; bukan pemikiran eksklusif yang hanya
bisa mengklaim kebenaran (truth claim) pemikirannya sendiri, tanpa mau
menerima kebenaran pemikiran orang lain. Parahnya lagi, pemikiran eksklusif dapat
berkembang menjadi mental block yang menghalangi mahasiswa untuk
melanjutkan proses belajar pada tahap berikutnya.
Adapun pengalaman yang terbaik untuk sumber belajar
adalah pengalaman yang relevan dengan kehidupan riil mahasiswa yang
bersangkutan. Untuk itu, tidak bisa tidak, mahasiswa harus memutuskan ranah
kehidupan yang akan menjadi prioritas hidupnya, terutama yang sesuai dengan minat-bakatnya
(passion). Apalagi ledakan teknologi informasi membuat mahasiswa hampir
mustahil menjadi tokoh ensiklopedis yang menguasai beragam disiplin ilmu.
Tanpa adanya minat-bakat, mahasiswa akan mudah
dirundung jemu, bahkan putus asa ketika aral melintang. Sebaliknya, berbekal
minat, mahasiswa akan selalu antusias (hirshun) menjalani suatu
aktivitas kendati harus menempuh perjalanan penuh onak dan duri; dan berbekal bakat,
mahasiswa akan meraih cita-cita secara efektif dan efisien.
Pada saat sudah menemukan ranah kehidupan yang menjadi
prioritasnya, mahasiswa dapat berkonsentrasi penuh untuk mempelajari alternatif
solusi atas berbagai problematika yang mengitarinya. Misalnya, jika mahasiswa memilih
Fikih sebagai ranah kehidupan yang menjadi prioritasnya, maka tahap berikutnya
adalah mempelajari beragam alternatif solusi atas problem-problem Fikih, sejak zaman
klasik hingga kontemporer. Lalu menyusun “gambar besar” (big picture)
yang mengklasifikasikan beragam alternatif solusi tersebut dalam bentuk yang
lebih ringkas dan mudah diakses, seperti yang tercermin dalam Kaidah Fikih.
Setelah itu, mahasiswa mempelajari filsafat ilmu (epistemologi) Fikih untuk
memahami latar-belakang (‘illat; maqashid) di balik setiap
keputusan hukum Fikih. Adapun filsafat ilmu (epistemologi) Fikih adalah Ushul
Fikih.
Melalui strategi pembelajaran seperti di atas,
mahasiswa mengikuti suatu kegiatan perkuliahan maupun keorganisasian dalam
rangka mempelajari alternatif solusi yang fungsional bagi penyelesaian problem
aktual yang dihadapi. Dengan demikian, selalu ada nilai praktis dari setiap proses
belajar yang diikuti di dalam kelas, maupun di luar kelas.
Ringkasnya, tulisan ini menawarkan tiga gagasan pokok.
Pertama, Mahasiswa adalah pelajar yang sudah dewasa dalam berpikir
maupun bertindak, sehingga tidak begitu membutuhkan motivasi ekstrinsik dari
orang lain. Kedua, Mahasiswa memiliki rasa ingin tahu (curiority)
yang tinggi sebelum merengkuh informasi dan bersifat inklusif (terbuka) setelah
meraih informasi. Ketiga, Mahasiswa adalah agen perubahan yang
mengutamakan pembelajaran yang berpotensi mengantarkannya menjadi penyelesai
masalah (problem solver), bukan pembuat masalah (problem maker).
Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Singosari, 3 Desember 2017