Menyoal Kaderisasi
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Kaderisasi Membentuk Kader Loyal dan Militan |
Prolog
Dalam
Islam, landasan normatif kaderisasi adalah Surat al-Fath [48]: 29
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ
أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ
كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ
يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ
آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (29)
الفتح
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Perumpamaan
kaderisasi itu seperti pohon yang selalu bertunas, lalu tunas tersebut
tumbuh-berkembang hingga menjadi pohon yang besar; hingga kemudian “mantan”
tunas itu mengeluarkan tunas baru. Demikian seterusnya hingga membentuk sebuah jaringan
pepohonan yang saling menguatkan satu sama lain. Dari sini wajar jika muncul
metafora, “Pemuda adalah Tunas Bangsa”.
Untuk
mempermudah pemahaman, penulis mengajukan contoh kasus berupa program
kaderisasi Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyyah atau ASWAJA versi Nahdlatul
Ulama (NU) dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
1.
Pengertian dan Pentingnya Kaderisasi
Secara
leksikal, kaderisasi berasal dari kata “kader” yang berarti “Orang yang
diharapkan akan memegang peran yang penting”. Redaksi “diharapkan” memiliki
konteks makna “masa depan”. Dengan demikian, kader adalah orang yang diharapkan
peran pentingnya di masa depan. Dari sini dapat dipahami bahwa pengertian
“kaderisasi” adalah proses pembinaan kader-kader.
Secara
simbolik, kaderisasi tercermin dalam peribahasa populer, “Mati Satu, Tumbuh
Seribu” yang berarti “Segala sesuatu yang telah hilang, selalu ada gantinya”.
Hanya saja, kaderisasi tidak semudah membalik tangan, seperti yang tersirat
dalam redaksi peribahasa tersebut. Hal ini disebabkan akan terjadi proses
seleksi alam yang memilih siapa saja dari “seribu kader” yang dibina, dapat
tumbuh menjadi tokoh sejati di masa depan. Apapun itu, kaderisasi harus selalu
dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan, agar kehidupan dapat terus berjalan.
Signifikansi (kepentingan) kaderisasi dapat dilihat dari tiga aspek.
Pertama, Usia manusia terbatas, sedangkan cita-cita manusia
tidak terbatas. Oleh sebab itu, dibutuhkan proses kaderisasi yang menjamin
upaya berkelanjutan terkait pencapaian cita-cita. Misalnya, seseorang bercita-cita
mendirikan lembaga pendidikan. Ketika baru meraih setengah cita-cita, ajal
sudah menjemputnya. Pada saat itulah, anaknya dapat melanjutkan setengah
cita-cita yang tersisa, sehingga mampu mendirikan suatu lembaga pendidikan yang
dicita-citakan oleh orangtuanya. Bahkan bisa jadi, cucunya dapat mengembangkan
lembaga pendidikan tersebut hingga taraf tertinggi.
Kedua, Kebudayaan manusia diwariskan secara turun-temurun
kepada generasi berikutnya. Kaderisasi merupakan salah satu media untuk
mewariskan kebudayaan kepada generasi berikutnya. Misalnya, budaya gotong
royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia telah diwariskan dari generasi
ke generasi, sehingga bangsa Indonesia saat ini pun masih mengenal budaya
gotong royong tersebut. Tanpa adanya pewarisan budaya, sudah pasti budaya
tersebut akan lenyap ditelan zaman, seperi budaya mumi atau pengawetan mayat di
Mesir Kuno, namun saat ini sudah sirna, tinggal sejarah.
Ketiga, Sebuah keyakinan atau ideologi harus dilestarikan
oleh orang-orang yang loyal dan militan. Sedangkan loyalitas dan militansi
tidak begitu saja hadir, melainkan harus ditumbuhkan secara konsisten.
Kaderisasi dapat memberi sumbangsih nyata dalam membentuk loyalitas dan
militansi seseorang terhadap suatu keyakinan atau ideologi. Misalnya, Empat
pilar kebangsaan: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 membutuhkan
peran aktif orang-orang yang loyal dan militan, agar tetapi lestari di tengah
berbagai gempa dan badai yang mencoba mengobrak-abriknya.
2.
Tujuan Kaderisasi
Jika
signifikansi kaderisasi menyangkut dimensi “masa lalu” yang menjawab pertanyaan
“mengapa (why)?” untuk menyingkap sebab (‘illat) sesuatu; maka
tujuan kaderisasi menyangkut dimensi “masa depan” yang menjawab pertanyaan
“untuk apa (what for)?” untuk menyingkap tujuan (maqashid)
sesuatu. Oleh sebab itu, tujuan kaderisasi dapat ditinjau dari perspektif Maqashid
Syariah (Tujuan Agung Syariat Islam).
Pertama, Tujuan Agama (Hifzh al-Din)
Tujuan Agama (Hifzh al-Din) dapat diarahkan
pada materi kaderisasi. Misalnya, kaderisasi bertujuan melestarikan ASWAJA
An-Nahdliyyah sebagai akidah agama Islam yang sesuai dengan karakteristik NKRI.
Terbukti, warga NU tidak pernah terlibat konfrontasi dengan NKRI, bahkan selalu
berada di garda terdepan dalam membela NKRI, seperti yang terbukti dalam
sejarah.
Kedua, Tujuan Jiwa-Raga (Hifzh al-Nafs)
Tujuan Jiwa-Raga (Hifzh al-Nasl) dapat
diarahkan pada tujuan kaderisasi. Misalnya, membina peserta kaderisasi ASWAJA
An-Nahdliyyah dalam konteks NKRI agar memiliki mentalitas “Jihad” dan “Mujahadah”.
Jihad berhubungan dengan perjuangan secara fisik, seperti kontak senjata
yang pernah dilakukan para pahlawan bangsa ketika menghadapi kaum penjajah;
sedangkan Mujahadah berhubungan dengan perjuangan secara ruhani, seperti
jiwa altruis yang selalu memprioritaskan kepentingan bangsa dan negara
Indonesia, di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Ketiga, Tujuan Akal (Hifzh al-‘Aql)
Tujuan Akal (Hifzh al-‘Aql) secara inheren
tercakup dalam proses kaderisasi yang bertujuan meningkatkan kualitas tiga
ranah pembelajaran, yaitu pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan
keterampilan (psikomotorik). Oleh sebab itu, kaderisasi ASWAJA An-Nahdliyyah
mengajarkan wawasan, menunjukkan keteladanan dan pembuktian melalui karya
nyata.
Keempat, Tujuan Kekeluargaan (Hifzh al-Nasl)
Tujuan Kekeluargaan (Hifzh al-Nasl) sudah
tercapai ketika terjalin relasi antar peserta kaderisasi. Apalagi Islam
mengenal tiga jenis relasi kekeluargaan atau persaudaraan, yaitu: Ukhuwwah
Islamiyyah antar umat muslim; Ukhuwwah Wathaniyyah antar warga
negara Indonesia; dan Ukhuwwah Basyariyyah antar umat manusia secara
universal.
Kelima, Tujuan Ekonomi (Hifzh al-Mal)
Tujuan Ekonomi (Hifzh al-Mal) dalam program
kaderisasi bisa bersifat implikatif. Misalnya, semakin banyak jumlah kader ASWAJA
An-Nahdliyyah, semakin banyak pula warga negara yang cinta agama sekaligus
cinta tanah air. Artinya, cinta agama tidak sampai mengorbankan cinta tanah
air. Banyaknya warga negara yang cinta agama dan tanah air, berdampak pada
terwujudnya keamanan. Sedangkan keamanan merupakan prasyarat utama pertumbuhan
ekonomi suatu bangsa. Oleh sebab itu, tujuan ekonomi merupakan tujuan jangka
panjang dari program kaderisasi ASWAJA An-Nahdliyyah.
Keenam, Tujuan Harga Diri (Hifzh al-‘Irdh)
Tujuan Harga Diri (Hifzh al-‘Irdh) dalam
program kaderisasi bersifat implisit. Hal ini dikarenakan kaderisasi ASWAJA
An-Nahdliyyah ditujukan pada berbagai lapisan masyarakat, sehingga terbuka peluang
terjadinya mobilisasi sosial yang bersifat progresif (maju) bagi lapisan
masyarakat tertentu. Misalnya, kaderisasi ASWAJA An-Nahdliyyah menyasar mantan
narapidana, narkotika dan teroris. Dengan demikian, harga diri mereka yang
semula sudah terpuruk di tengah masyarakat, dapat terangkat kembali melalui
partisipasi di program kaderisasi.
3.
Tahapan Kaderisasi
Ada
empat tahapan yang dapat diimplementasikan dalam program kaderisasi: a)
Pengenalan; b) Pembentukan; c) Keorganisasian; d) Pendelegasian. Berikut
ulasannya:
Pertama, Pengenalan
Tahap pengenalan akan melibatkan tiga metode yang
umumnya diterapkan di pesantren, yaitu: I’tiraf, imtitsal dan ittiba’.
Ketiganya selaras dengan konsep ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). I’tiraf
berarti tahapan mengenal. Para kader mengenal seluk-beluk materi kaderisasi. Imtitsal
berarti tahapan meniru. Para tutor menampilkan keteladanan yang dapat ditiru
oleh para kader. Ittiba’ berarti tahap mengikuti. Pada menerapkan hasil
program kaderisasi sesuai dengan karakteristik masing-masing individu. Ketiga
metode tersebut dapat dilaksanakan melalui proses pengajaran (i’tiraf),
pelatihan (imtitsal) dan prakarya (ittiba’).
Kedua, Pembentukan
Tahap pembentukan diarahkan pada penciptaan
kader-kader yang loyal dan militan dalam memperjuangkan ASWAJA An-Nahdliyyah.
Untuk itu, disusunlah standar kompetensi terkait pengetahuan (kognitif), sikap
(afektif) dan keterampilan (psikomotorik) yang dibutuhkan bagi para peserta
kaderisasi. Oleh sebab itu, sudah pasti terjadi seleksi alam yang akan memilah
dan memilih kader-kader yang dianggap layak untuk menjadi bagian dalam tahap
berikutnya, yaitu keorganisasian.
Ketiga, Keorganisasian
Para kader yang sudah terpilih melalui proses
pembentukan, selanjutnya dilibatkan dalam organisasi. Menarik untuk menyimak
pepatah populer Afrika, “If yo want to go fast, go alone. If you want to go
far, go together”. Artinya, tanpa adanya organisasi, maka suatu program akan
menjadi “one hit wonder” yang hanya menjadi trending atau viral
sejenak, kemudian senyap dan lenyap untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu,
keorganisasian mutlak dibutuhkan bagi suatu program.
Keempat, Pendelegasian
Kepada setiap kader yang terlibat dalam struktur
organisasi, didelegasikan tugas dan tanggung-jawab tertentu sesuai dengan
kompetensinya masing-masing. Sedangkan kompetensi di sini didasarkan
pertimbangan empat sifat kenabian, yaitu FAST (Fathonah, Amanah, Shiddiq
dan Tabligh). Dengan demikian, diharapkan muncul kader yang genial (fathanah);
profesional (amanah); integratif (shiddiq) dan komunikatif (tabligh).
Wallahu A’lam bi al-Shawab.