Pengorbanan Orangtua Sepanjang Hayat
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Ilustrasi Pengorbanan Ayah-Ibu pada Anaknya |
Mari
sejenak kita merenungkan kisah ilustratif yang masyhur di tengah masyarakat
dari masa ke masa, yang penulis adaptasi dari laman www.radarindonesianews.com
Fragmen 1
Dahulu
kala, ada sebuah pohon apel yang sangat besar. Seorang anak kecil sangat senang
berkunjung dan bermain di sekelilingnya setiap hari. Dia memanjat ke atas pohon
itu, makan apel dan beristirahat di bawahnya.
Dia
menyukai pohon itu dan pohon itupun senang bermain dengannya. Waktu berlalu,
anak kecil itu menjadi anak remaja dan tidak lagi bermain di sekeliling pohon
tersebut.
Fragmen 2
Suatu
hari, anak remaja itu datang kembali kepada pohon dan dia tampak bersedih.
”Kemarilah
dan bermain bersamaku”, ajak pohon kepada si remaja.
”Aku
bukan anak kecil lagi, aku tidak bisa bermain di sekelilingmu lagi”, jawab si
remaja. ”Aku ingin mainan. Aku butuh uang untuk membelinya.”.
”Maaf,
aku tidak punya uang, tetapi kamu bisa mengambil apelku dan menjualnya. Dengan
begitu, kamu akan mempunyai uang.”
Remaja
itu menjadi gembira. Dia mengambil semua apel yang ada di pohon dan pergi
dengan gembira. Setelah itu, si remaja tidak pernah kembali. Pohonpun bersedih
hati.
Fragmen 3
Suatu
hari, remaja yang telah menjadi orang dewasa itu kembali dan pohonpun merasa
gembira.
”Kemarilah
dan bermain bersamaku”, kata pohon.
”Aku
tidak mempunyai waktu bermain. Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan sebuah rumah untuk berlindung. Bisakah kau membantuku?”.
”Maaf,
aku tidak memiliki rumah. Tetapi, kamu bisa memotong dahan-dahanku untuk
membangun rumahmu”.
Orang
dewasa itu pun memotong dahan pohon dan pergi dengan senang hati. Pohon itu
merasa senang melihatnya bergembira. Namun, sejak saat itu, orang dewasa tersebut
tidak pernah datang. Lagi-lagi pohon merasakan sepi dan bersedih.
Fragmen 4
Pada
suatu hari di musim panas, orang dewasa yang sudah mulai keriput dimakan usia itu
kembali dan pohon pun merasa bergembira.
”Aku
sudah tua. Aku ingin pergi berlayar untuk menenangkan diri. Bisakah kamu
memberiku kapal?”
Kata
orang setengah tua itu. ”Gunakan saja batangku untuk membuat sebuah kapal. Kamu
bisa berlayar jauh dan bersenang-senang.”
Kemudian,
orang setengah tua itu pun memotong batang pohon tersebut untuk membuat sebuah
kapal. Dia pun pergi berlayar dan tidak pernah terlihat lagi untuk waktu yang
cukup lama.
Fragmen 5
Akhirnya,
setelah beberapa tahun, orang setengah tua itu kembali ketika sudah menjadi
lansia (lanjut usia).
”Maaf,
anakku. Aku tidak punya apa-apa lagi untukmu. Tidak ada lagi apel untukmu”, kata
pohon.
”Tidak
apa-apa, aku juga tidak mempunyai gigi untuk menggigit”, jawab si lansia.
”Tidak
ada lagi batang untuk kau naiki”, kata pohon.
”Aku
sudah terlalu tua untuk itu sekarang”, jawab si lansia.
”Sungguh
aku tidak bisa memberimu apa-apa lagi, yang tersisa hanya akar matiku,” kata
pohon itu dengan bercucur air mata.
”Aku
tidak banyak kebutuhan lagi sekarang, yang aku butuhkan hanya sebuah tempat
untuk beristirahat. Aku merasa lelah sepanjang tahun ini”, jawab si lansia.
”Baiklah
kalau begitu, akar pohon yang tua adalah tempat paling baik untuk bersandar dan
beristirahat. Duduk dan istirahatlah bersamaku.” Si lansia itu pun duduk dan
pohon tersebut merasa senang dan tersenyum dengan air matanya.
Kisah
di atas menggambarkan secara sekilas pengorbanan orangtua terhadap anak-anaknya
sepanjang hayat: sejak usia kecil, remaja, dewasa, setengah tua hingga lanjut
usia. Mari kita analisis kisah tersebut dari perspektif ajaran Islam dan
realita sosial.
Fragmen 1 menggambarkan bentuk pertama dan utama pengorbanan
orangtua, yaitu kasih sayang tak bertepi yang berupa perjuangan, perhatian dan
pendidikan yang secara rutin ditujukan kepada anaknya pada fase awal kehidupan,
sehingga membuat anak pada umumnya sangat akrab dengan orangtua, terutama
ibunya.
Misalnya,
seorang ibu bersusah payah mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya yang
berlangsung sekitar 30 bulan (Q.S. al-Ahqaf [46]: 15). Seorang ibu rela
berjuang mati-matian agar sang anak lahir dalam keadaan selamat, sebagaimana
perjuangan Sayyidah Maryam saat melahirkan Nabi ‘Isa AS yang digambarkan
dalam Surat Maryam [19]: 22-26.
فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ
النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا
مَنْسِيًّا
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak, memaksa Maryam
(bersandar) pada pangkal pohon kurma. Dia berkata: "Aduhai, alangkah
baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi
dilupakan" (Q.S. Maryam [19]: 22).
Bahkan
demi keselamatan anaknya, seorang ibu rela berpisah dengan sang anak, meskipun
hatinya teramat sedih. Inilah yang dialami ibunda Nabi Musa AS, ketika
diperintahkan Allah SWT agar menghanyutkan anaknya ke sungai Nil, agar selamat
dari ancaman pembunuhan bayi laki-laki yang diperintahkan oleh Fir’aun.
إِذْ أَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّكَ مَا يُوحَى. أَنِ اقْذِفِيهِ فِي
التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ
يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِي وَعَدُوٌّ لَهُ
“Ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu, sesuatu
yang diilhamkan, yaitu: “Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, lalu lemparkanlah
ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil
oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya”. (Q.S.
Thaha [20]: 38-39).
Mengingat
begitu besarnya kasih sayang yang diberikan orangtua kepada anaknya pada
periode awal kehidupan ini, wajar jika al-Qur’an menjadikannya sebagai landasan
ketika memerintahkan manusia agar berbakti dan gemar berdoa untuk orangtua:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (kedua
orangtuamu) dengan penuh kesayangan dan berdoalah: “Wahai Tuhanku, sayangilah
mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil” (Q.S. al-Isra’ [17]: 24)
Fragmen 2 terkait
bentuk kedua pengorbanan orangtua, yaitu pengorbanan finansial. Pengorbanan
bentuk ini lekat dengan peran seorang ayah, sebagaimana termaktub dalam Surat
al-Baqarah [2]: 233,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf”.
Pada
umumnya, seorang ayah rela bekerja keras banting tulang siang-malam, demi
memberi nafkah keluarga, terutama anak-anaknya. Dalam kondisi tertentu, seorang
ibu pun rela bekerja keras mencari nafkah demi kesejahteraan hidup anaknya.
Hampir dapat dipastikan, ayah dan ibu akan selalu mengutamakan kebutuhan
anak-anaknya dibandingkan kebutuhan pribadi mereka.
Contoh
yang kerap ditemui adalah orangtua bertanggung-jawab atas kebutuhan finansial
anaknya untuk makan-minum, pakaian, kesehatan, pendidikan, hiburan, dan aneka
fasilitas hidup lainnya.
Fragmen 3 berhubungan erat dengan pengorbanan orangtua berupa dukungan.
Ketika seorang anak beranjak dewasa, memang dia akan semakin mandiri. Akan
tetapi, dia tetap membutuhkan dukungan orangtua.
Hampir
menjadi kebenaran umum, bahwa orangtua akan senantiasa memberi dukungan kepada
anaknya, sekalipun tidak berkenan di hati mereka.
Banyak
kasus, pilihan hidup seorang anak berbeda dengan harapan orangtua. Misalnya,
seorang anak memilih kuliah di jurusan ekonomi, padahal orangtua berharap
anaknya kuliah di jurusan pendidikan. Demikian halnya, seorang anak memilih
profesi sebagai guru, padahal orangtua berharap anaknya menjadi pengusaha.
Belum
lagi kasus-kasus terkait pernikahan. Seorang anak lebih memilih menikah dengan
si A, padahal orangtua berharap anaknya menikah dengan si B. Namun demikian, pada
ujung-ujungnya, orangtua akan memberi dukungan penuh kepada anaknya, kendati
mereka harus rela “korban perasaan”, karena harapan mereka tidak sesuai dengan
kenyataan yang dipilih oleh si anak.
Bahkan
sekalipun si anak sudah jelas-jelas menentang keinginan orangtua, tetap saja
orangtua masih tidak rela jika si anak mengalami bencana. Lihatlah bagaimana
usaha Nabi Nuh AS yang meminta Kan’an untuk naik ke bahtera, agar selamat dari
bencana banjir; padahal si anak jelas-jelas kafir dan menentang dakwah beliau.
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ
ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ
الْكَافِرِينَ
“Hai anakku, naiklah (ke bahtera)
bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”
(Q.S. Hud [11]: 42).
Nabi
Nuh AS pun sempat berdoa kepada Allah SWT terkait keselamatan sang anak,
kendati kemudian ditegur oleh Allah SWT (Q.S. Hud [11]: 45-47).
Fragmen 4 menyangkut pengorbanan orangtua yang melibatkan
kelebihan wawasan, pengalaman hingga kebijaksanaan. Sebagai manusia yang lebih lama
menjalani hidup, sudah sewajarnya orangtua lebih kaya wawasan, pengalaman hingga
kebijaksanaan dibanding anaknya. Kelebihan ini kerap membuat orangtua berjasa
besar menyelesaikan problem-problem kehidupan yang dihadapi oleh anak.
Misalnya,
ketika anak mengalami kesulitan mencari pekerjaan, tidak jarang orangtua
membantunya dengan mencarikan kerja kepada relasi yang dimiliki. Sama halnya,
ketika anak mengalami problem rumah tangga, orangtua kerap tampil sebagai solusi
yang efektif.
Pengorbanan
jenis ini dapat dilihat pada kisah Nabi Ya’qub AS dan anak-anaknya. Ketika sang
anak, Nabi Yusuf AS, bermimpi yang menakjubkan, Nabi Ya’qub AS memberi solusi
agar mimpi tersebut tidak diceritakan kepada saudara-saudaranya, agar tidak menimbulkan
prahara keluarga (Q.S. Yusuf [12]: 5). Ketika anak-anaknya yang lain sedang
menghadapi masalah dengan pejabat negara Mesir yang saat itu dijabat Nabi Yusuf
AS, Nabi Ya’qub AS pun memberi alternatif solusi agar mereka memasuki negara Mesir
secara terpencar-pencar dari berbagai pintu masuk, meskipun solusi ini tidak
berhasil (Q.S. Yusuf [12]: 67).
Fragmen 5 seolah menegaskan realitas orangtua yang selalu siap
sedia berkorban untuk anak-anaknya hingga akhir hayat, kendati dengan sisa-sisa
energi yang dimiliki. Paling tidak, pengorbanan yang masih rutin dilakukan
orangtua adalah mendoakan anak-anaknya. Jenis pengorbanan ini dapat dinikmati
oleh setiap anak ketika bersilaturrahim dengan orangtua, apalagi jika anak
tersebut tinggal berjauhan dengan orangtua.
Misalnya,
ketika seorang anak sungkem pada momen lebaran (Idul Fitri), begitu
banyak untaian kalimat doa yang diucapkan orangtua dengan lisan dan hati yang
jujur, untuk kebaikan si anak; meskipun anak tersebut sudah sama-sama lanjut
usia. Oleh sebab itu, sudah wajar jika al-Qur’an mewanti-wanti manusia agar
bertutur kata yang lemah lembut dan penuh sopan santun kepada orangtua,
terutama ketika mereka sudah berusia lanjut.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا
أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا (23)
“Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
(Q.S. al-Isra’ [17]: 23).
Berdasarkan
paparan singkat tentang pengorbanan orangtua terhadap anaknya di atas, sudah
seharusnya setiap anak secara sadar berbakti kepada orangtuanya. Apalagi
al-Qur’an memerintahkan umat muslim untuk berbakti kepada orangtua dalam empat
ayat, sedangkan Hadis menempatkan durhaka kepada orangtua sebagai dosa besar
yang posisinya tepat di bawah dosa syirik atau menyekutukan Allah SWT (H.R.
Bukhari).
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.