Toleransi sebagai Kearifan Lokal Muslim Indonesia
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Toleransi sebagai Titik Tengah Dua Sikap Ekstrem (Intoleran - Ultratoleran) |
Bhineka Tunggal Ika merupakan pilar bangsa dan negara Indonesia yang sarat dengan nilai toleransi. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa toleransi sudah menjadi kearifan lokal bangsa dan negara Indonesia sejak masa silam hingga sekarang. Bagaimana tidak? Bukankah Bhineka Tunggal Ika diambil dari Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14? Jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dalam
lingkup yang lebih sempit, sejak lama suku Jawa sudah menjadikan toleransi
sebagai kearifan lokal melalui pandangan hidup “tepa selira”
(tenggang rasa). Tepa berarti “mengukur”, selira berarti “badan”.
Jadi, tepa selira adalah mengukur segala sesuatu sesuai dengan diri
sendiri. Jika dikaitkan dengan ajaran Islam, tepa selira selaras dengan
sabda Nabi SAW:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian,
hingga dia mencintai saudaranya, sebagaimana mencintai dirinya sendiri”
(H.R. Bukhari-Muslim).
Mari
kita simak amaliah nyata dari Hadis tersebut melalui kearifan lokal yang telah
diteladankan Sunan Kudus. Pada saat itu, mayoritas masyarakat Kudus beragama
Hindu yang sangat menghormati dan memuliakan sapi, karena diyakini sebagai
lambang dari ibu pertiwi yang memberikan kesejahteraan kepada semua makhluk
hidup di bumi. Oleh sebab itu, meskipun Islam menghalalkan penyembelihan sapi,
justru Sunan Kudus melarang umat muslim Kudus untuk menyembelih sapi, demi
menjaga perasaan umat Hindu yang tinggal di Kudus saat itu. Sebagai gantinya,
umat muslim Kudus hingga kini menyembelih kerbau dan kambing pada momen Idul
Adha. Sungguh Sunan Kudus telah mewariskan keteladanan sikap tepa selira
yang luhur bagi bangsa ini.
Sesungguhnya
apa yang dilakukan oleh Sunan Kudus di atas, selaras dengan sikap toleransi
berupa mudarah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW melalui sabda
beliau:
إنَّ الله أمَرَنِي بِمُدَارَاةِ النَّاس كَمَا
أمَرني بِإقَامَة الْفَرَائِضِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkanku
untuk ber-mudarah dengan manusia, sebagaimana Allah memerintahkanku
untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban”.
Dalam
Faidh al-Qadir syarah Jami’ al-Shaghir karya al-Munawi, mudarah
berarti sikap lemah lembut (perkataan maupun perbuatan), lunak, penuh
persaudaraan dan cinta kasih. Mudarah juga bermakna sikap lunak yang
tidak lemah dan sikap tegas yang tidak keras. Dengan kata lain, mudarah
berarti bersikap toleran selama tidak melanggar prinsip-prinsip Islam; namun
tidak ada toleransi apabila melanggar prinsip-prinsip Islam. Tampaknya, sikap mudarah
inilah yang tepat untuk diterapkan sebagai bentuk aktual toleransi umat muslim
di Indonesia.
Sayangnya,
toleransi dalam bentuk mudarah semakin memudar di kalangan umat muslim.
Sebagai gantinya, bermunculan sikap-sikap ekstrem dalam bentuk “anti-toleransi”
atau sebaliknya, “ultra-toleransi”.
Anti-toleransi
atau intoleran berarti sikap tidak mau bertoleransi sama sekali kepada
pihak-pihak lain yang berbeda dengannya. Misalnya, aliran takfiri yang
tidak pernah lelah mengkafirkan, membid’ahkan, menilai sesat, bahkan
memastikan neraka bagi penganut aliran lain yang tidak sejalan dengannya.
Bentuk ekstrem dari aliran takfiri adalah aliran jihadi yang
rutin berbuat aksi-aksi terorisme seperti bom bunuh diri, sehingga mencoreng
citra umat muslim serta memicu fenomena Islamophobia (takut kepada Islam) yang
melanda di berbagai belahan dunia.
Sebaliknya,
ultra-toleransi berarti sikap yang terlalu bertoleransi kepada pihak-pihak lain
yang berbeda dengannya, sekalipun melanggar prinsip-prinsip Islam. Misalnya,
meyakini bahwa semua agama itu benar (pluralisme); ikut merayakan Natal;
menyetujui legalisasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) atas nama Hak
Asasi Manusia; dan sebagainya. Inilah yang disebut “mudahanah”,
yaitu sikap terlalu lembek dengan menyerahkan prinsip-prinsip agama, demi
kebaikan duniawi. Hukum sikap mudahanah adalah haram lagi tercela.
Rasulullah
SAW pernah bersabda terkait bahaya sikap mudahanah dengan membuat
perumpamaan penumpang kapal laut dua lantai, atas dan bawah. Para penumpang
lantai bawah ingin meminta air minum kepada penumpang lantai atas, namun mereka
ditolak. Akhirnya, mereka pun ingin mencari air minum dengan cara melobangi
kapal laut. Jika mereka dicegah, maka semua penumpang selamat. Namun jika
mereka dibiarkan, maka semua penumpang akan binasa. Dari sini dapat dipahami
apabila umat muslim di Indonesia membiarkan sikap-sikap mudahanah atau
ultra-toleransi terus berkembang, maka siap-siap saja menanggung risiko binasa
seperti yang disabdakan Rasulullah SAW.
Al-Qur’an
menyinggung sikap mudahanah ini dalam Surat al-Qalam [68]: 9
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Maka mereka (kaum kafir) sangat
menginginkan supaya kamu bersikap lunak (mudahanah), lalu mereka pun
bersikap lunak (pula kepadamu)”.
Ayat
ini berkenaan dengan keinginan kaum kafir agar Nabi Muhammad SAW bersikap lunak
terhadap agama mereka. Salah satunya adalah mengajak Nabi Muhammad SAW agar
bergantian ibadah dengan mereka, yaitu setahun menyembah tuhan mereka; lalu
setahun berikutnya mereka ikut menyembah Allah SWT. Lalu turunlah Surat
al-Kafirun yang menolak mentah-mentah keinginan tersebut.
Bentuk
lain dari sikap toleransi yang tepat untuk diterapkan di Indonesia adalah tasamuh.
Tasamuh merupakan salah satu sikap kemasyarakatan yang menjadi ciri khas
umat muslim beraliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Ibnu Faris dalam Maqayis
al-Lughah, tasamuh berasal dari akar kata samaha yang berarti
“luwes (fleksibel), halus, lunak dan mudah”. Karena mengikuti timbangan kata (wazan)
tafa’ala yang bermakna “saling”, maka tasamuh berarti “saling
bersikap toleran”. Artinya, tasamuh baru dapat terwujud apabila kedua
belah pihak sama-sama bersikap toleran.
Misalnya,
Rasulullah SAW bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ،
وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى
“Semoga Allah merahmati orang yang
toleran ketika menjual, membeli dan menagih (hutang)” (H.R.
al-Bukhari).
Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa orang yang toleran dalam
hutang-piutang adalah pemiutang tidak memaksa orang lain untuk melunasi
hutangnya, namun pada saat yang sama, orang yang berhutang tidak menunda-nunda
pelunasan hutang ketika mampu. Contoh lain, ketika umat muslim menjalankan
ibadah puasa Ramadhan, maka umat muslim bersikap toleran terhadap rumah makan
yang tetap buka; namun pemiliknya juga harus bersikap toleran dengan cara
menutup tirai agar orang yang makan di dalamnya tidak terlihat dari luar.
Dalam
skala luas, umat muslim harus bersikap toleran terhadap umat-umat lain. Namun,
umat-umat lain pun harus bersikap toleran terhadap umat muslim. Oleh sebab itu,
tidak perlu ada toleransi dalam menanggapi perilaku biadab yang ditunjukkan
oleh umat Budha terhadap umat muslim di Rohingya, Myanmar; umat Yahudi terhadap
umat muslim di Palestina; dan
perilaku-perilaku intoleran lain yang sejenis.
Sebagai
penutup, penulis mengutip komentar Komaruddin Hidayat terkait toleransi sebagai
kearifan lokal muslim Indonesia:
“Warga dunia melihat Islam di Indonesia
berbeda dengan ketika mereka melihat Islam di Timur Tengah. Di Timur Tengah,
Islam dibawa ke dalam arena-arena konflik politik yang memicu berbagai
kekerasan. Sebaliknya di Indonesia, Islam dihayati dan diamalkan oleh
pemeluknya dengan suasana rileks dan penuh senyum”.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Singosari,
25 Desember 2017