Akad dalam Ilmu Fikih
Akad Kontemporer Berbasis Teknologi |
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Pengertian
Menurut bahasa, akad berarti mengikatkan
antara dua sisi sesuatu, baik berupa ikatan konkret maupun abstrak. Menurut
istilah, akad memiliki dua pengertian, yaitu pengertian umum dan pengertian
khusus. Pengertian umum dari akad yang dikemukakan oleh ulama Maliki, Syafi’i
dan Hambali adalah:
كُلُّ مَا عَزَمَ الْمَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ، سَوَاءٌ صَدَرَ
بِإِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ، اَمِ احْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِي
إِنْشَائِهِ كَالْبَيْعِ، سَوَاءٌ مِنْ شَخْصٍ وَاحِدٍ اَوْ مِنْ شَخْصَيْنِ.
“Segala sesuatu yang ingin dilaksanakan
oleh seseorang, baik berasal dari keinginan satu pihak saja –seperti wakaf–
maupun berasal dari keinginan dua belah pihak –seperti jual beli–”; baik
berasal dari satu orang maupun dua orang”.
Sedangkan pengertian khusus dari akad
adalah:
إِرْتِبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يُثْبِتُ
اَثَرُهُ فِي مَحَلِهِ.
“Mengaitkan Ijab dengan Qabul sesuai
ketentuan Syariat yang berdampak pada hukum tertentu”.
Pendek kata, akad
merupakan transaksi yang memuat Ijab (penawaran) dan Qabul (penerimaan). Selain itu, setiap akad
juga mencakup perjanjian (‘ahdun), persetujuan dua orang atau lebih dan
ikatan (‘aqdun).
Dasar Hukum
Dasar hukum akad antara lain Surat
al-Ma’idah [5]: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 1)
Dan Surat al-Isra’ [17]: 34
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji
itu pasti diminta pertanggung- jawabannya. (Q.S. al-Isra’ [17]: 34)
Sedangkan dasar hukum berupa Hadis tergolong
sangat banyak, dikarenakan begitu banyaknya jenis akad dalam Islam. Di
antaranya Hadis riwayat ‘Amr ibn ‘Auf al-Muzani RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ).
Dan kaum muslim itu (menetapi)
syarat-syaratnya, kecuali syarat yang mengharamkan perkara halal; atau
menghalalkan perkara haram”. (H.R.
al-Tirmidzi).
Hadis di atas
menegaskan bahwa umat muslim diperkenankan untuk memberikan syarat-syarat
tertentu dalam akad; asalkan syarat-syarat tersebut tidak mengharamkan apa yang
dihalalkan Syariat, atau menghalalkan apa yang diharamkan Syariat.
Syarat Akad
Syarat terjadinya
akad merupakan segala sesuatu yang dipersyaratkan untuk terjadinya akad secara
syariah. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka akadnya menjadi batal.
Syarat akad dibagi menjadi dua:
Pertama, Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap akad. Syarat
umum ini banyak jumlahnya, antara lain: a) Kedua orang yang
melakukan akad cakap bertindak. Jadi, tidak sah akad yang dilakukan orang gila; b) Tidak boleh
melakukan akad yang dilarang oleh syariah. Contoh: dilarang jual beli dengan
menipu; c) Ijab dan Qabul mesti bersambung. Apabila orang yang berijab sudah
berpisah sebelum Qabul, maka Ijab tersebut menjadi batal.
Kedua, Syarat khusus adalah syarat yang harus
ada pada sebagian akad dan tidak disyaratkan pada sebagian yang lain. Syarat
khusus ini bisa disebut syarat tambahan. Misalnya: adanya saksi dalam akad
pernikahan.
Pada akad syariah,
penghimpunan dan penyaluran dana dilarang mengandung unsur-unsur negatif yang populer dengan
singkatan MAGHRIB: MAisir (spekulasi atau judi), GHarar
(tipu muslihat), RIba (bunga) dan Bathil (kejahatan).
Rukun Akad
Rukun Akad secara Global |
Rukun akad
merupakan prasyarat penting yang harus ada dalam setiap akad. Tidak adanya
salah satu unsur dalam rukun akad, dapat mengakibatkan batalnya suatu akad.
Menurut mazhab
Hanafi, rukun akad hanya ada satu yaitu Ijab-Qabul atau sesuatu yang menempati
posisi Ijab-Qabul. Dengan
kata lain, rukun akad adalah segala sesuatu yang mencerminkan kesepakatan
antara keinginan kedua belah pihak yang bertransaksi, baik berupa lisan,
tulisan maupun isyarat. Sedangkan orang yang berakad (‘aqid) maupun
objek akad (ma’qud ‘alaih) adalah konsekuensi logis dari adanya
Ijab-Qabul. Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali,
rukun akad ada tiga, yaitu orang yang berakad (عَاقِدٌ) misalnya penjual dan
pembeli; perkara yang menjadi objek akad (عَلَيْهِمَعْقُوْدٌ ), misalnya barang dan
harga; serta pernyataan akad (صِيْغَةٌ), yaitu Ijab dan Qabul.
Pertama, Subyek akad (عَاقِدٌ). Menurut ulama
fikih, syarat orang yang berakad adalah ahliyyah dan wilayyah. Kriteria ahliyah berarti orang yang bertransaksi harus
cakap dan mempunyai kepatutan untuk melakukan transaksi, yaitu baligh dan berakal. Kriteria wilayah
berarti hak atau kewenangan seseorang untuk melakukan transaksi, misalnya
pemilik asli, wali, atau wakil atas objek akad.
Kedua, Objek akad (عَلَيْهِمَعْقُوْدٌ ). Yaitu benda-benda yang menjadi objek
akad, seperti barang dagangan yang diperjual-belikan. Menurut Wahbah
al-Zuhaili, objek akad harus memenuhi ketentuan berikut: a) Objek akad
harus ada ketika akad sedang dilakukan; b) Objek akad merupakan barang yang
diperbolehkan syariah untuk ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh pemiliknya; c) Objek akad bisa diserah-terimakan saat
terjadinya akad atau dimungkinkan di kemudian hari; d) Objek akad harus jelas.
Artinya, diketahui secara detail oleh kedua subyek akad; e) Objek akad harus
suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis. Syarat ini diajukan oleh
ulama selain mazhab Hanafi.
Ketiga, Pernyataan akad (صِيْغَةٌ). Pernyataan akad merupakan serah-terima
(Ijab-Qabul) yang dilakukan oleh subyek akad. Baik secara lisan, tulisan maupun
isyarat.
Menurut Mazhab
Hanafi, Ijab adalah menetapkan perbuatan tertentu yang menunjukkan
kerelaan, yang diucapkan pertama kali oleh salah seorang yang berakad, baik
berasal dari pemilik asal –semisal penjual– maupun pemilik berikutnya –semisal pembeli–. Sedangkan Qabul adalah
suatu pernyataan yang diucapkan kali kedua, yang menunjukkan kerelaan dan
kesepakatannya dengan pernyataan pertama (Ijab).
Menurut mazhab selain
Hanafi, Ijab adalah suatu pernyataan dari pemilik asal –semisal penjual–,
meskipun diucapkan lebih akhir. Sedangkan Qabul adalah suatu pernyataan dari
pemilik berikutnya –semisal pembeli–, meskipun diucapkan lebih awal. Jadi, definisi
mazhab Hanafi lebih mengacu pada dimensi waktu, yaitu pernyataan yang pertama
kali muncul disebut Ijab, sedangkan pernyataan yang muncul berikutnya disebut
Qabul.
Adapun definisi mazhab selain Hanafi mengacu pada dimensi subyek, yaitu
pernyatan yang diucapkan oleh pemilik asal disebut Ijab, sedangkan pernyataan
yang diucapkan pemilik berikutnya disebut Qabul, tanpa memedulikan waktu
terucapnya pernyataan tersebut.
Dalam Pasal
22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun dan syarat akad hampir sama dengan
syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Barat (BW), yaitu:
Pertama, Pihak-pihak yang berakad harus
memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum positif disebut
sebagai “Cakap”. Kriteria “Cakap” menurut Buku I Pasal 2 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah adalah: a) Individu yang sudah berusia 18 tahun atau sudah
pernah menikah; b) Badan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum, yang
tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
Kedua, Objek akad harus berupa harta (amwal)
yang halal, serta dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Dalam hukum positif, hal
ini disebut “causa yang halal” atau “sebab yang halal”. Dalam hukum
syariah, harus halal, tidak boleh haram!. Sementara dalam hukum
konvensional, ada hal yang dalam Islam dihukumi haram, masih bisa dilakukan,
contohnya perdagangan babi atau minuman keras.
Ketiga, Tujuan pokok akad.
Akad bertujuan memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing
pihak yang mengadakan akad. Dalam hukum positif, hal ini disebut “hal
tertentu”. Karena harus ada tujuan tertentu dalam pembuatan suatu akad, objek
yang diperjanjikan harus diuraikan secara jelas. Hal ini bertujuan agar tidak
terjadi perselisihan mengenai objek yang diperjanjikan.
Keempat, Adanya kesepakatan.
Dalam hukum positif juga disebut syarat “sepakat”. Kesepakatan dalam hukum
positif dijadikan sebagai landasan lahirnya setiap perjanjian dan harus
diletakkan pada bagian awal perjanjian. Kesepakatan ini juga merupakan salah
satu syarat mutlak dalam akad syariah. Bahkan dalam hukum kebiasaan masyarakat
Arab, kesepakatan tersebut harus dinyatakan secara lisan dan tegas, seperti
dalam jual beli, yang diekspresikan dengan kata-kata “Saya jual” dan disambut
dengan kata-kata “Saya beli”.
Dengan
demikian, syarat sah akad menurut undang-undang adalah subyeknya cakap,
objeknya harta atau jasa yang halal, memiliki tujuan pokok dan terjadi
kesepakatan.
Prinsip-prinsip Akad
Berdasarkan telaah terhadap dalil-dalil
al-Qur’an, Hadis maupun hasil ijtihad para ulama, didapati banyak prinsip akad
dalam Islam, antara lain: a) Sukarela (ikhtiyari); b) Menepati janji
(amanah); c) Kehati-hatian (ikhtiyati); d) Tidak berubah (luzum); e) Saling
menguntungkan; f) Kesetaraan (taswiyah); g) Transparansi; h) Kemampuan; i) Kemudahan; j) Iktikad baik; k) Sebab yang halal.
Referensi:
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu [Juz 5] (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), h. 80-94.
Posting Komentar untuk "Akad dalam Ilmu Fikih"