Aktualisasi Rukun Iman dalam Kehidupan
Dr. Rosidin,
M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Potongan Hadis Enam Rukun Iman |
Agama Islam memiliki tiga pondasi utama, Iman, Islam dan Ihsan. Dari ketiganya, Iman menempati posisi pertama. Mengapa demikian? Iman merupakan inti ajaran Islam. Iman itu ibarat mesin yang menggerakkan seorang muslim untuk beribadah. Apabila “mesin” Iman macet, maka ibadah pun mogok. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW memerintahkan kepada umat muslim agar melakukan “servis mesin Iman” secara berkelanjutan melalui dzikir kalimat thayyibah.
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : جَدِّدُوا إِيْمَانَكُمْ. قِيلَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا؟ قَالَ: أَكْثِرُوا مِنْ
قَوْلِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. (رواه احمد)
Rasulullah
SAW bersabda: “Perbaruilah iman kalian”. Ada yang bertanya: “Wahai
Rasulullah, bagaimana cara kami memperbarui iman kami?”. Rasulullah SAW
menjawab: “Perbanyaklah membaca La Ilaha Illa Allah” (H.R.
Ahmad).
Jika merujuk pada fakta
sejarah, Iman merupakan syariat Islam yang paling awal diajarkan dalam Islam,
terutama pada Periode Makkah. Surat al-Ikhlas dan Surat al-Kafirun yang sarat
dengan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan pun diturunkan pada Periode Makkah.
Begitu kokohnya keimanan “alumni” Periode Makkah, sampai-sampai tidak ada satu
pun yang murtad, sekalipun disiksa sedemikian kejam dan bengis, seperti yang
dialami oleh sang muadzin pertama, Bilal ibn Rabah RA dan sang syahidah
pertama, Sumayyah RA.
Ketika Malaikat Jibril –yang
menjelma diri sebagai laki-laki– berdialog dengan Rasulullah SAW, Malaikat
Jibril bertanya, “Apakah iman itu?”, Rasulullah SAW menjawab:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكِتَابِهِ وَلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ
وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ كُلِّهِ (رواه مسلم)
Engkau
beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab suci-Nya, Pertemuan-Nya,
Rasul-Rasul-Nya, Hari Kebangkitan (Kiamat) dan Takdir (Qadha’-Qadar) seluruhnya (H.R.
Muslim).
Selanjutnya Hadis
tersebut dirumuskan menjadi Enam Rukun Iman yang sudah familiar bagi setiap
umat muslim. Tulisan ini bermaksud untuk menyelami kandungan makna dari Enam
Rukun Iman tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan kita.
Pertama,
Iman kepada Allah SWT dapat diwujudkan dengan mengaktualisasikan
nilai-nilai Asma’ul-Husna dalam kehidupan keseharian.
Al-Rahman
dan al-Rahim diaktualisasikan dalam bentuk sikap kasih sayang kepada
sesama manusia dan membenci segala tindakan anarkis, kendati berkedok agama
sekalipun. Sebagaimana sikap kasih sayang dan lemah lembut yang ditunjukkan
oleh Rasulullah SAW kepada umat beliau (Q.S. al-Taubah [9]: 128).
Al-Malik
diaktualisasikan dalam bentuk sikap sadar diri bahwa seluruh rezeki yang kita
miliki, seperti nyawa, harta, jabatan dan keluarga, pada hakikatnya adalah
milik Allah SWT yang dititipkan kepada kita. Oleh sebab itu, kita harus bersikap
rendah hati dan tidak tinggi hati (sombong) ketika berhasil memperoleh rezeki,
sebagaimana tidak bersedih dan berkecil hati ketika gagal mendapatkan rezeki (Q.S.
al-Hadid [57]: 23).
Al-Tawwab
dan Al-Muntaqim diaktualisasikan dalam bentuk sikap seimbang antara
penuh harap (raja’) dan penuh ketakutan (khauf). Misalnya, aktif beribadah
karena berharap dapat pahala, serta meninggalkan maksiat karena takut disiksa,
sebagaimana perilaku yang diteladankan oleh keluarga Nabi Zakariya AS (Q.S.
al-Anbiya’ [21]: 90).
Kedua,
Iman kepada Malaikat ditindak-lanjuti dengan meneladani
ketaatan yang ditunjukkan oleh malaikat, sesuai dengan kapasitas manusiawi
kita. Dengan kata lain, iman kepada malaikat dapat menggugah semangat kita
untuk beramal shalih dan meredam hasrat kita untuk berbuat maksiat.
Iman kepada Malaikat
Jibril membuat kita aktif berbagi ilmu yang bermanfaat
kepada orang lain, sebagaimana Malaikat Jibril yang bertugas sebagai penyampai
wahyu. Dapat pula kita meneladani sikap-sikap Malaikat Jibril yang mencerminkan
kompetensi pendidik yang unggul, antara lain: dermawan dalam berbagi ilmu,
sehat jasmani-ruhani, berpengaruh dan ditaati, serta amanah (Q.S. al-Takwir
[81]: 19-21).
Iman kepada Malaikat
Mikail membuat kita yakin bahwa setiap insan sudah
memiliki jatah rezeki masing-masing (Q.S. Hud [11]: 6). Tugas kita adalah
berikhtiar lahir dan batin, disertai dengan aktivitas-aktivitas yang dapat
mengundang rezeki melimpah, seperti beristighfar (Q.S. Nuh [71]: 10-12).
Iman kepada Malaikat
Israfil membuat kita ingin menyiapkan diri
sebaik-baiknya dan bergaul dengan orang-orang terbaik, agar kelak dibangkitkan
bersama orang-orang yang terbaik juga (Q.S. al-Zumar [39]: 68-69).
Iman kepada Malaikat
Izrail membuat kita harus menjalani hidup dengan
kualitas terbaik, agar berpeluang wafat dalam keadaan husnul-khatimah (happy
ending), yaitu ruh terasa nyaman dan tentram ketika nyawa dicabut (Q.S.
al-Waqi’ah [56]: 88-89).
Iman kepada Malaikat
Munkar-Nakir membuat kita semakin semangat
beribadah dan menjauhi kemaksiatan, agar
kelak mendapatkan nikmat kubur, bukan
adzab kubur, sesuai dengan doa yang sering dibaca oleh Rasulullah SAW dalam
shalat:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ
فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ (رواه البخاري)
Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur; aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah sang pendusta, Dajjal; dan aku berlindung kepada-Mu dari
fitnah kehidupan maupun kematian (H.R. al-Bukhari).
Iman kepada Malaikat
Raqib-‘Atid membuat kita berusaha beramal shalih dan
menjauhi kemaksiatan setiap hari, karena setiap kebaikan maupun keburukan
sekecil dzarrah sekalipun (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8, akan dicatat oleh
Malaikat Raqib-‘Atid (Q.S. Qaf [50]: 18).
Iman kepada Malaikat
Malik dan Malaikat Ridhwan membuat kita berusaha
sebaik-baiknya agar tergolong sebagai al-Sabiqun (“juara”), atau
setidaknya Ashhab al-Maimanah (“lulus”), jangan sampai menjadi bagian
dari golongan Ashhab al-Masy’amah (“gagal”) (Q.S. al-Waqi’ah [56]:
7-10).
Ketiga,
Iman kepada Kitab Suci membuat kita
rajin untuk melaksanakan tiga hal, yaitu: tilawah, tadabbur dan amaliah
al-Qur’an.
Tilawah
dapat dilaksanakan dengan cara membaca al-Qur’an secara perlahan dan sesuai
dengan ilmu Tajwid (Q.S. al-Muzzammil [73]:
4). Bisa jadi sehari membaca al-Qur’an sebanyak satu lembar,
satu surat hingga satu juz setiap hari. Idealnya, standar minimal seorang
muslim adalah membaca al-Qur’an adalah satu juz setiap hari, sehingga sebulan
sekali khatam al-Qur’an, mengingat jumlah juz dan jumlah hari relatif sama,
yaitu 30 hari.
Jika mengacu pada masa shahabat, mayoritas membaca al-Qur’an
hingga khatam dalam durasi 7 hari, sehingga sebulan khatam al-Qur’an sebanyak 4
kali. Misalnya menggunakan metode فَمِي بِشَوْقِيْ yang
berarti “Lidahku merindu (baca al-Qur’an)”. Ini adalah metode yang
digunakan oleh Sayyidina ‘Ali RA untuk membaca al-Qur’an sesuai dengan
urutan huruf pada kalimat tersebut, yaitu: 1) Q.S. al-Fatihah (Fa’); 2)
Q.S. al-Ma’idah (Mim); 3) Q.S. Yunus (Ya’); 4) Q.S. Bani Isra’il
atau al-Isra’ (Ba’); 4) Q.S. al-Syu’ara’ (Syin); 5) Q.S. Wa
al-Shaffat (Wawu); 6) Q.S. Qaf (Qaf).
Selain
membaca al-Qur’an, setiap muslim dituntut untuk terus-menerus
merenungi (tadabbur) makna al-Qur’an,
agar lebih memahami dan menjiwai agama Islam, sehingga
hati menjadi terbuka, bukannya hati yang tertutup (Q.S. Muhammad
[47]: 24). Bagi umat muslim yang ahli,
dipersilahkan untuk mengetengahkan pemahamannya terhadap al-Qur’an kepada
masyarakat umum, dalam bentuk tafsir al-Qur’an, seperti yang dilakukan oleh
para mufasir Indonesia, mulai dari Syekh Abdur Ra’uf al-Sinkili (1615-1994 M);
Syekh Nawawi Banten (1813-1897), Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975); KH. Bisri
Mustofa (1915-1977), Buya
Hamka (1908-1981) hingga Quraish Shihab.
Melalui pemahaman
terhadap tafsir-tafsir al-Qur’an yang terpercaya itulah, kita dapat mengamalkan
al-Qur’an dengan sebaik-baiknya. Misalnya:
setelah memahami kandungan makna Surat al-Ma’un [107]: 1-8, maka timbul
kesadaran untuk memperbaiki diri, baik dalam aspek ibadah sosial seperti peduli
kepada anak yatim-piatu dan kaum fakir miskin; maupun aspek ibadah ritual
seperti melalaikan shalat dan bersikap riya’ (pamer).
Iman
kepada Nabi dan Rasul menuntut kita untuk meneladani
sifat-sifat kenabian. Kita bersemangat untuk menjalani hidup dengan
sungguh-sungguh; bekerja dan berusaha sebaik mungkin; berkata dan bersikap
sejujur mungkin; sehingga diri kita layak menyandang sifat al-shiddiq.
Jika kita sudah al-shiddiq, Insya Allah sifat amanah akan
didapat dengan sendirinya, yakni orang lain atau masyarakat akan menilai kita
sebagai orang yang dapat dipercaya. Jika kita sudah dipercaya oleh orang lain, maka
kita harus menampilkan sikap tabligh, yaitu menunjukkan kemampuan yang
terbaik, disertai dengan sikap fathanah atau cerdas dalam merawat sikap shiddiq,
amanah dan tabligh tersebut. Ini adalah sifat-sifat kenabian yang
dimiliki oleh para rasul.
Dapat pula kita
meneladani kisah-kisah hidup para rasul yang beraneka-ragam, sebagaimana
termaktub dalam Qashash al-Anbiya’.
Nabi Adam AS mengajarkan
bahwa sehebat apapun manusia, masih berpeluang terjerumus pada godaan setan,
karena setan akan selalu menggoda manusia dari depan, belakang, kiri dan kanan
(Q.S. al-A’raf [7]: 17)
Nabi Nuh AS mengajarkan
bahwa perjuangan berdakwah sedemikian berat. Bukan hanya membutuhkan waktu yang
lama, melainkan juga harus siap menghadapi penentangan dari sana-sini, termasuk
dari keluarga sendiri (Q.S. Hud [11]: 45-46).
Nabi Ibrahim AS
mengajarkan bagaimana cara yang bijaksana dalam menghadapi pejabat, rakyat dan
keluarga yang menentang dakwah yang disampaikan. Demikian halnya, Nabi Ibrahim
AS mengajarkan bagaimana cara membina keluarga yang sakinah, baik pada diri
sendiri, istri maupun anak-cucu (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 33).
Kelima,
Iman kepada Hari Kiamat seharusnya menjadikan kita sadar diri
bahwa hidup bukan hanya di dunia. Jika diibaratkan, dunia itu seperti gambar.
Seindah apapun gambar, tetap lebih indah aslinya. Ilustrasinya, sungguh sinting
seorang perjaka yang diberi foto gadis yang cantik jelita, lalu dia begitu
terpesona sehingga ingin “menikah” dengan foto gadis tersebut, bukan dengan si
gadis yang sesungguhnya. Demikian halnya orang yang hanya terpesona oleh dunia,
berarti dia telah terpesona oleh gambar atau foto akhirat. Tentu, “yang asli”
(akhirat) jauh lebih indah daripada sekedar “foto atau gambar” (dunia) (Q.S.
al-Dhuha [93]: 4).
Agar dapat meraih
kesuksesan di akhirat, setiap muslim dituntut untuk beramal shalih
sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Artinya, bukan hanya baik secara
kualitas, melainkan juga banyak secara kuantitas. Keduanya tidak perlu
dipertentangkan. Misalnya, membaca al-Qur’an dengan Tartil (perlahan-lahan dan
sesuai ilmu Tajwid), sehingga bacaannya tergolong baik secara kualitas; namun
yang dibaca juga banyak secara kuantitas, misalnya satu surat atau satu juz,
bukan hanya satu-dua ayat.
Semua itu dilakukan agar
kelak kita tergolong orang-orang yang “berat” timbangan amal kebaikannya,
bukannya orang-orang yang “ringan” timbangan amal kebaikannya, seperti yang
dimaksud dalam Surat al-Qari’ah [101]: 6-11
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ (6) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ (7)
وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ (8) فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ (9) وَمَا أَدْرَاكَ
مَا هِيَهْ (10) نَارٌ حَامِيَةٌ (11)
Dan
adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya; maka dia berada dalam
kehidupan yang memuaskan (surga); Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan
(kebaikan)nya; maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah; Tahukah kamu
apakah neraka Hawiyah itu?; (Yaitu) api yang sangat panas (Q.S.
al-Qari’ah [101]: 6-11).
Keenam,
Iman kepada Qadha-Qadar
Qadha’
adalah catatan kehidupan yang belum kita jalani; sedangkan Qadar adalah
catatan kehidupan yang sudah kita jalani. Misalnya: Dalam Qadha’, pada
usia 25 tahun, kita tercatat menjadi guru; lalu pada usia 25 tahun, kita
benar-benar menjadi guru, maka yang demikian ini disebut Qadar.
Dari sini dapat kita
pahami bahwa iman kepada Qadha’-Qadar dapat kita aktualisasikan dengan sikap
ridha (puas dan rela) dalam menerima segala Qadar yang sudah kita jalani.
Secara khusus, jika Qadar sesuai dengan keinginan kita, maka sikap yang
terbaik adalah syukur; jika Qadar tidak sesuai dengan keinginan kita,
maka sikap yang terbaik adalah sabar. Inilah yang pernah diajarkan oleh
Rasulullah SAW (H.R. Muslim).
Di sisi lain, kita berikhtiyar
lahir-batin dengan sungguh-sungguh agar catatan Qadha’ yang masih belum
kita jalani, dapat menjadi Qadar yang terbaik. Salah satu caranya adalah
aktif melakukan doa, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ
وَلاَ يَزِيدُ فِى الْعُمُرِ إِلاَّ الْبِرُّ
Qadha’ tidak dapat ditolak kecuali (dengan) doa; dan umur
tidak dapat bertambah, kecuali (dengan) kebaikan
(H.R. al-Tirmidzi).
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Posting Komentar untuk "Aktualisasi Rukun Iman dalam Kehidupan"