Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Islam
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
HAM versi Barat yang Justru Menodai Kemanusiaan |
Berpagi-pagi harus diyakini oleh setiap muslim, bahwa Allah SWT Maha Kaya, tidak membutuhkan apapun dari manusia. Sebaliknya, manusia pasti butuh kepada Allah SWT.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ
الْحَمِيدُ (15)
Hai manusia, kalian semua fakir (butuh) kepada Allah; sedangkan
Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak butuh apapun) lagi Maha Terpuji (Q.S. Fathir [35]: 15).
Kandungan
ayat ini dipertegas Hadis Qudsi, bahwa Allah SWT berfirman:
يَا
عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا
عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى
شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ
مُلْكِى شَيْئًا (رواه مسلم)
Wahai para hamba-Ku, seandainya generasi masa lalu dan
masa depan, bangsa manusia maupun jin, memiliki hati yang paling bertakwa,
tidak akan menambah sedikit pun pada kekuasaan-Ku. Wahai para hamba-Ku,
seandainya generasi masa lalu dan masa depan, bangsa manusia maupun jin,
memiliki hati yang paling durhaka, tidak akan mengurangi sedikit pun pada
kekuasaan-Ku (H.R. Muslim).
Jika
demikian, berarti ajaran Islam disyariatkan bukan dalam rangka “kepentingan”
Allah SWT, melainkan demi kemaslahatan manusia. Secara garis besar, kemaslahatan
manusia dibagi menjadi dua jenis. Pertama, Kemaslahatan umum (publik). Kedua,
Kemaslahatan khusus (pribadi).
Untuk
membedakan kedua jenis kemaslahatan tersebut, Islam memperkenalkan dua istilah.
Pertama, Hak Allah SWT. Yaitu hak-hak yang berhubungan dengan kemaslahatan
umum (publik); namun dinisbatkan kepada Allah SWT. Kedua, Hak Hamba.
Yaitu hak-hak yang berhubungan dengan kemaslahatan khusus (pribadi); dan
dinisbatkan kepada manusia.
Ibaratnya,
jadwal pelajaran disusun untuk kemaslahatan umum semua siswa, namun dinisbatkan
kepada “kebijakan sekolah”. Seandainya jadwal pelajaran disusun untuk kemaslahatan
khusus setiap siswa, pasti tidak akan pernah tersusun jadwal pelajaran, karena
setiap siswa memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda. Sudah jelas
bahwa jadwal pelajaran seperti itu tidak bisa disebut melanggar hak-hak asasi
siswa, ketika ada siswa tertentu yang merasa jadwal pelajaran tersebut tidak
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pribadinya; mengingat jadwal pelajaran
tersebut sudah disusun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan semua siswa
secara umum.
Peraturan
yang dibuat oleh manusia saja ditujukan untuk kemaslahatan manusia secara umum,
lebih-lebih syariat Islam yang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana,
أَلَيْسَ
اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)
Bukankah Allah Hakim yang paling bijaksana? (Q.S. al-Tin [95]: 8).
Oleh
sebab itu, sudah pasti semua syariat Islam memiliki tujuan untuk kemaslahatan
manusia. Tujuan syariat Islam ini dikenal sebagai Maqashid Syariah yang
meliputi: pemeliharaan agama (hifzh al-din), jiwa-raga (hifzh al-nafs),
akal (hifzh al-‘aql), keluarga (hifzh al-nasl), harta (hifzh
al-mal) dan harga diri (hifzh al-‘irdh). Misalnya, Allah SWT mengharamkan
LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender) demi kemaslahatan umum manusia
terkait
pemeliharaan keluarga dan anak-keturunan
(hifzh al-nasl), meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan kemaslahatan pribadi manusia yang mengidap
kelainan orientasi seksual.
Atas
dasar itu, jangan sampai kita ikut-ikutan salah paham terhadap istilah “hak
Allah”, sehingga sembrono menuduh Islam tidak mendukung Hak Asasi Manusia (HAM).
Faktanya, seluruh ajaran Islam disyariatkan untuk menegakkan HAM, baik yang
bersifat umum (disebut “hak Allah”) maupun khusus (disebut “hak hamba”).
Akan
tetapi, ketika terjadi pertentangan antara HAM umum dengan HAM khusus, maka yang
diprioritaskan adalah HAM umum. Misalnya, Islam menghormati HAM khusus setiap manusia
untuk mencari nafkah, namun tidak boleh merusak HAM umum umat manusia. Contoh
praktisnya, Islam mengharamkan riba yang dapat merusak perekonomian umat
manusia secara umum, meskipun bisa jadi mendatangkan kemaslahatan bagi sebagian
manusia secara khusus, seperti para banker dan rentenir.
Bagaimana
mungkin Islam tidak mendukung HAM, sedangkan visi-misi agama Islam yang dibawa
Nabi Muhammad SAW adalah menebar kasih sayang ke semesta alam atau rahmatan
lil ‘alamin (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107)
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam
(Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107).
Perhatian
Islam terhadap HAM sudah terbukti berabad-abad sebelum Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi Manusia oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Misalnya, Khutbah
Wada’ yang disampaikan oleh Rasulullah SAW sarat dengan nilai-nilai HAM. Beliau
bersabda:
فَإِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ
يَوْمِكُمْ هَذَا، فِى شَهْرِكُمْ هَذَا، فِى بَلَدِكُمْ هَذَا (رواه البخاري)
“Sesungguhnya darah (nyawa), harta dan
harga diri kalian adalah mulia di tengah-tengah kalian, sebagaimana kemuliaan
hari ini (Idul Adha), bulan ini (Dzulhijjah), negeri ini (tanah haram)”
(H.R. Bukhari).
“Darah
atau nyawa” berkenaan dengan hak untuk hidup. Syariat Islam sangat tegas dalam
menjamin hak hidup manusia. Misalnya, pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang haq
(dibenarkan syariat Islam), hukumannya adalah qishash atau hukuman mati
yang sejenis (Q.S. al-Baqarah [2]: 178).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي
الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى
بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (178)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih
(Q.S. al-Baqarah [2]: 178).
Bahkan ada Fikih Jinayah
yang khusus membahas
hukum Fikih
tentang tindak kejahatan terhadap jiwa-raga manusia, seperti pembunuhan, pelukaan,
pencederaan dan pemukulan. Jangankan manusia, janin manusia dalam kandungan pun
begitu dihormati dalam Islam, sehingga aborsi hukumnya adalah haram dan
termasuk dosa besar.
“Harta”
berkenaan dengan hak untuk memiliki. Syariat Islam memiliki aturan yang ideal
terkait hak kepemilikan harta, yaitu tidak mengagungkan kepemilikan pribadi
layaknya ekonomi kapitalis; dan tidak mengagungkan kepemilikan masyarakat
layaknya ekonomi sosialis-komunis. Kepemilikan pribadi dan masyarakat sama-sama
dihormati. Artinya, setiap manusia boleh kaya, namun dia harus berbagi harta
kepada masyarakat melalui berbagai akad pelepasan harta, seperti zakat, infak,
sedekah dan wakaf, agar harta terus bergulir dan tidak terjadi penumpukan harta
yang menjadi ciri khas ekonomi kapitalis (Q.S. al-Hasyr [59]: 7).
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (Q.S.
al-Hasyr [59]: 7).
“Harga
diri” berkenaan dengan hak kemerdekaan. Syariat Islam begitu menghargai
kemerdekaan manusia. Hal ini tercermin dari tiga kasus.
Pertama, kemerdekaan sebagai manusia. Sejak awal Islam begitu
peduli terhadap upaya-upaya pemerdekaan budak. Misalnya, salah satu mustahik
zakat adalah riqab (Q.S. al-Taubah [9]: 60), yaitu budak yang ingin
merdeka dari tuannya dengan cara membayar uang tebusan.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60)
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Taubah [9]: 60).
Al-Qur’an
pun mengistimewakan
pemerdekaan budak sebagai salah satu dari jalan Ilahi dalam ayat berikut:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (10) فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11)
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13)
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu
apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan. (Q.S. al-Balad [90]: 10-13).
Kedua, Kemerdekaan
dalam beragama (Q.S. al-Baqarah [2]: 256).
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (Q.S. al-Baqarah [2]:
256).
Penaklukan oleh tentara Islam
tidak sama dengan penjajahan ala Barat, karena setelah penaklukan, penguasa Islam
memberi pilihan kepada masyarakat daerah taklukan. Misalnya, ketika tentara
Islam menaklukkan Andalusia (Spanyol), masyarakatnya diberi pilihan, apakah
memilih masuk Islam dengan kewajiban membayar zakat atau tetap menganut agamanya
dengan kewajiban membayar pajak (jizyah). Bertolak-belakang dengan apa yang dilakukan tentara
Kristen saat
menaklukkan Andalusia. Mereka membantai setiap umat muslim beserta anak-cucunya
yang tidak mau kembali kepada agama Kristen.
Ketiga, Kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Banyaknya ayat
al-Qur’an yang memerintahkan manusia agar memberdayakan akal pikirannya (kata ‘aql
dan bentukannya disebut 49 kali; kata fikr dan bentukannya disebut 18
kali) menunjukkan Islam mendukung kebebasan berpikir. Terkait kemerdekaan
berpendapat, cukup menyimak sabda Nabi SAW:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ (رواه
ابو داود)
“Jihad yang paling utama adalah pernyataan
yang adil di hadapan pemimpin yang sewenang-wenang“
(H.R. Abu Dawud).
Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Singosari,
7 Januari 2018
Posting Komentar untuk "Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Islam"