Jabatan dalam Perspektif Islam
Doa agar Terhindar dari Pemimpin yang tidak Takut Allah dan tidak Sayang Rakyat |
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Perlu
diyakini bahwa jabatan merupakan amanah yang diberikan oleh Allah SWT kepada
siapa saja yang dikehendaki, meskipun tidak sesuai harapan masyarakat.
Misalnya, Allah SWT memberikan jabatan kepada Raja Thalut yang pandai dan gagah,
meskipun masyarakatnya menilai bahwa Thalut tidak pantas menyandang gelar raja,
karena tergolong orang miskin (Q.S. al-Baqarah [2]: 247)
وَقَالَ
لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا
أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ
وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ
وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ
يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (247)
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya
Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana
Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi
(mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya
ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui (Q.S. al-Baqarah [2]: 247).
Sebagaimana
manusia memiliki syahwat menguasai harta, manusia juga memiliki syahwat untuk
menguasai jabatan. Menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin,
keduanya adalah dua rukun (pilar) dunia. Pendapat ini selaras dengan sabda
Rasulullah SAW:
حُبُّ
الْمَالِ وَالشَّرَفِ يُنْبِتَانِ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءَ
الْبَقْلَ
“Cinta harta dan jabatan menumbuhkan kemunafikan di
hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman (sayur-mayur)”.
Rasulullah
SAW pun mengibaratkan cinta harta dan jabatan itu lebih merusak terhadap
keimanan seorang muslim, dibandingkan dua serigala buas yang dilepas ke tengah kerumunan
domba.
Meskipun
banyak al-Qur’an dan Hadis yang secara tersurat maupun tersirat mencela jabatan,
tetap saja manusia memperebutkan jabatan. Menurut Imam al-Ghazali, hal ini
dikarenakan jabatan merupakan kelezatan dunia yang terbesar. Bagaimana tidak?
Berbekal jabatan, pejabat menguasai hati rakyatnya. Dari penguasaan hati
tersebut, muncul beragam kenikmatan duniawi yang diperoleh pejabat dengan
mudah.
Misalnya,
ke sana ke mari dipuja-puji bahkan dikultuskan oleh pendukungnya; menerima
aneka penghormatan dan penghargaan di berbagai tempat; memperoleh kucuran dana
dari berbagai tempat usaha; termasuk menerobos macetnya lalu lintas dengan
mudah.
Mengingat
begitu banyaknya keistimewaan yang dapat diraih melalui jabatan, tidak heran
banyak orang berlomba-lomba memperebutkan kursi jabatan. Inilah yang disebut al-takatsur
(saling memperbanyak), tepatnya memperbanyak pengaruh atau pengikut.
Problemnya
adalah jabatan di dunia itu terbatas. Misalnya, hanya ada satu kursi presiden,
gubernur, bupati, walikota, camat, dan kepala desa. Oleh sebab itu, perebutan
jabatan di dunia selalu memicu persaingan tidak sehat.
Jika
merujuk pada kandungan makna Surat al-Takatsur [102]: 1-8, orang yang
memperebutkan jabatan dapat terjerumus pada tiga hal negatif.
أَلْهَاكُمُ
التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3)
ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
(5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ
لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8)
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu
masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu
benar-benar akan melihat neraka Jahim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan
melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu
tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (Q.S. al-Takatsur [102]: 1-8)
Pertama, lalai (alhakum al-takatsur). Lalai di sini
bermakna “melalaikan hal-hal yang wajib demi melakukan hal-hal yang haram; atau
melalaikan hal-hal yang lebih penting demi melakukan hal-hal yang penting”. Buktinya,
tidak jarang calon pejabat melakukan perilaku-perilaku yang tergolong haram,
demi memenangkan persaingan. Misalnya, melakukan “kampanye hitam” (black
campaign) dengan mencemarkan nama baik lawan politiknya; melakukan politik
uang (money politic) untuk menyuap pembesar partai politik agar mengusungnya
secara calon pejabat; termasuk melancarkan “serangan fajar” dengan bagi-bagi
sembako untuk membeli suara pemilih menjelang pemilihan.
Kedua, menyebut-nyebut atau membawa-bawa orang yang meninggal
dunia (hatta zurtum al-maqabir). Demi memenangkan persaingan, seringkali
calon pejabat mengungkit-ungkit nasab maupun relasinya dengan tokoh-tokoh
terdahulu yang sudah wafat. Semua itu umumnya dilakukan demi mendapatkan
simpati dari para calon pemilih. Pada titik puncak, bisa jadi ada calon pejabat
yang sengaja meminta bantuan secara langsung kepada “penghuni kubur” yang
dinilai keramat.
Ketiga, calon pejabat yang mengabaikan tuntunan agama dalam
upayanya meraih jabatan, diancam oleh Allah SWT dengan neraka jahim dan akan
dimintai pertanggung-jawaban atas setiap manuver politik yang dilakukan.
Dalam
Surat Hud [11]: 15-16 diisyaratkan bahwa bisa jadi cara-cara kotor yang
dilakukan calon pejabat tersebut dapat mengantarkannya sukses menduduki jabatan
di dunia; namun di akhirat, tempatnya hanyalah di neraka. Ini baru terkait
tahap sebelum memperoleh jabatan.
Setelah
menduduki jabatan, peluang seorang pejabat masuk neraka atau surga adalah dua banding
satu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW menyangkut jabatan sebagai hakim:
الْقُضَاةُ
ثَلاَثَةٌ قَاضِيَانِ فِى النَّارِ وَقَاضٍ فِى الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ
الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِى النَّارِ وَقَاضٍ لاَ يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ
حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِى النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِى
الْجَنَّةِ (رواه الترمذي)
“Ada tiga hakim. Dua hakim di neraka dan
satu hakim di surga. Hakim pertama menghukumi dengan tidak benar dan dia tahu
bahwa keputusannya tidak benar, maka dia di neraka. Hakim kedua tidak mengetahui
kebenaran, sehingga (keputusannya) merusak hak-hak masyarakat, maka dia juga di
neraka. Hakim ketiga menghukumi dengan benar, maka dia masuk surga” (H.R.
al-Tirmidzi).
Namun
demikian, satu pejabat yang berhasil masuk surga tersebut memiliki posisi
istimewa. Yaitu dia diposisikan pada urutan pertama dari tujuh golongan yang
akan diberi naungan oleh Allah SWT di akhirat. Dalam redaksi Shahih Bukhari dan
Muslim, disebut dengan istilah “al-Imam al-‘Adil” atau “Pejabat yang
adil”. Yaitu pejabat yang menggunakan kewenangannya untuk kemaslahatan umum
secara adil. Dari sini muncul Kaidah Fikih, “Kebijakan pejabat itu didasarkan
pada kemaslahatan rakyat (tasharrufu al-imam manuth bi al-mashlahah). Sedangkan
adil bermakna “tidak serba kurang” dan “tidak serba lebih”, melainkan “serba
tepat”. Misalnya, kebijakan pajak pendapatan dibebankan kepada orang kaya,
sedangkan orang miskin dibebaskan.
Lebih
dari itu, kata adil dalam al-Qur’an biasanya ditujukan pada kebijakan yang
memuaskan satu pihak, sedangkan pihak lain tidak puas. Artinya, kebijakan
tersebut masih memicu kontroversi atau pro-kontra di tengah masyarakat. Jika
suatu kebijakan mampu memuaskan kedua pihak, tidak disebut adil, melainkan
disebut al-qisth yang pelakunya (al-muqsith) dicintai oleh Allah
SWT (Q.S. al-Hujurat [49]: 9).
Ketika
pejabat terlampau nyaman duduk di atas kursi jabatan, maka sulit sekali baginya
untuk melepaskan jabatan tersebut secara sukarela (legowo). Fakta
sejarah sudah membuktikan begitu banyak pejabat yang tidak rela kehilangan
kekuasaan, sehingga mati-matian mempertahankan kekuasaannya, sekalipun dengan
cara-cara biadab, seperti yang dilakukan Fir’aun dan Namrudz yang membunuh para
bayi laki-laki.
Itulah
kiranya hikmah mengapa al-Qur’an menggunakan istilah “mencabut” kekuasaan
dengan paksa (wa tanzi’u al-mulka) (Q.S. Ali Imran [2]: 26), karena pada
umumnya pejabat tidak rela mundur dari jabatannya, kecuali dipaksa oleh keadaan
atau masyarakat.
Berdasarkan
uraian di atas, apabila kita ingin atau sedang menduduki jabatan, maka
hendaknya memperhatikan tiga hal.
Pertama, tidak perlu mengejar jabatan dengan menghalalkan
segala cara, karena jabatan yang diperoleh secara haram, akan menghilangkan
pertolongan Allah SWT. Sebaliknya, jabatan yang diperoleh secara halal, akan
mengundang pertolongan Allah SWT (H.R. Bukhari-Muslim).
Kedua, ketika mengemban suatu jabatan, pejabat harus
berhati-hati dalam melangkah, karena peluang pejabat masuk neraka adalah dua
kali lipat dibandingkan peluangnya masuk surga.
Ketiga, jika sudah waktunya menyudahi jabatan, tidak perlu
dipertahankan mati-matian; karena jika pejabat tidak mau lengser secara
sukarela, maka dia akan “dilengserkan” oleh Allah SWT secara paksa dengan
berbagai cara yang tak terkira.
Sebaliknya,
jika kita berposisi sebagai rakyat atau pemilih, maka hendaknya kita
memperhatikan tiga hal juga.
Pertama, ikhtiar memilih pemimpin yang terbaik sesuai
tuntunan Islam. Misalnya, memilih pemimpin yang memiliki jiwa kesatria (gagah
berani) dan cinta negara layaknya Nabi Dawud AS (Q.S. al-Baqarah [2]: 251) serta
memiliki sikap empati atas kepedihan nasib masyarakat dan tekad kuat memperbaiki
nasib masyarakat disertai sikap kasih sayang tanpa batas sebagaimana Rasulullah
SAW (Q.S. al-Taubah [9]: 128).
Kedua, istikharah, yaitu meminta pilihan yang terbaik
kepada Allah SWT. Misalnya, shalat istikharah.
Ketiga, berdoa. Misalnya, berdoa sesuai tuntunan Rasulullah
SAW,
وَلاَ
تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
“(Ya Allah) mohon jangan Engkau kuasakan
kepada kami, pemimpin yang tidak sayang kepada kami” (H.R. al-Tirmidzi).
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Posting Komentar untuk "Jabatan dalam Perspektif Islam"