Kerja Lelah Tanpa Hasil (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 3)
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Ekspresi Pekerja yang Lelah Fisik dan Psikis |
TAFSIR TARBAWI SURAT AL-GHASYIYAH [88]: 3
عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ
Pekerja keras
lagi kepayahan (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 3)
Telaah Linguistik (Lughawi)
Kata
‘amilah (pekerja) berasal dari akar kata ‘amila (kerja; amal) yang
umumnya dinisbatkan kepada manusia. Berbeda
dengan fa’ala (perbuatan) yang dinisbatkan kepada manusia, binatang
bahkan benda. Memang kata ‘amila bisa dinisbatkan pada binatang, namun
hanya “binatang pekerja”, seperti sapi pembajak sawah. Mengingat ayat di atas
menggunakan redaksi berbentuk fa’il (subyek), maka makna yang tepat
adalah “pekerja”. Artinya, bekerja sudah menjadi profesi, bukan sekedar
kegiatan insidental (sewaktu-waktu). Mirip seperti perbedaan kata “penyanyi”
dengan “bernyayi”.
Kata nashibah
berasal dari pola kata nun-shad-ba’ yang menunjukkan makna “menegakkan
sesuatu” atau “meletakkan sesuatu secara jelas dan menonjol”. Misalnya, berhala
berupa bebatuan yang ditegakkan, kemudian disembah, disebut anshab (Q.S.
al-Ma’idah [5]: 90). Sedangkan kata nashibah pada ayat di atas bermakna “susah-payah”,
“kerja keras”, dan “letih”. Sebagaimana keletihan yang dirasakan oleh Nabi Musa
AS ketika menempuh perjalanan jauh untuk mencari Nabi Khidhr AS.
لَقَدْ لَقِينَا
مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62)
“Sesungguhnya kita
telah merasa letih karena perjalanan kita ini” (Q.S. al-Kahfi [18]: 62).
Telaah Analitik (Tahlili)
Kendati
Surat al-Ghasyiyah [88]: 3 berkenaan dengan gambaran para penghuni neraka,
namun ada pula mufasir yang mengarahkannya pada kehidupan dunia. Misalnya, Ibnu
‘Asyur menyatakan bahwa para penghuni neraka tidak mau mengamalkan apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT dan tidak mau bersusah-payah dalam menjalankan
ketaatan kepada-Nya ketika di dunia. Oleh sebab itu, balasan mereka di neraka
adalah bekerja yang menyulitkan dan menimbulkan kelelahan yang luar biasa. Yang
dimaksud “bekerja di akhirat yang melelahkan” adalah bergonta-ganti siksa, dari
satu siksa ke siksa lain tanpa henti.
Ibnu
‘Abbas RA menafsiri bahwa manusia itu “beramal” ketika di dunia, namun “kelelahan”
ketika di akhirat. Salah satu contohnya menurut Ibnu ‘Abbas RA adalah kaum Khawarij.
Sebagaimana kita ketahui, kaum Khawarij terkenal sangat getol beramal ketika di
dunia. Namun sikap ekstremis mereka dalam beragama (semisal mengkafirkan sesama
umat muslim, sekalipun berstatus shahabat), bisa jadi menyebabkan amal-amal
mereka tidak diterima di sisi Allah SWT, sehingga di akhirat mereka hanya mendapatkan
kelelahan.
Di
antara penafsiran yang disampaikan oleh Imam al-Mawardi, ayat di atas berkenaan
dengan orang yang “beramal” kemaksiatan ketika di dunia, sehingga mengalami “kelelahan”
dengan siksaan ketika di akhirat.
Jalaluddin
al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur mengutip riwayat tentang kisah ‘Umar
ibn al-Khaththab RA bertemu pastur Kristen yang dinilai “zuhud” atau menghindar
dari hiruk pikuk duniawi. Lalu ‘Umar RA menangis dan berkomentar, “Saya mengetahui
(bahwa dia adalah pastur Kristen), namun saya mengasihinya dan teringat dengan
firman Allah SWT, “Pekerja keras lagi kepayahan, memasuki neraka yang sangat
panas (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 3-4)”. Saya mengasihi keletihan dan
perjuangannya (di dunia), namun dia masuk neraka (di akhirat)”.
Telaah Kependidikan (Tarbawi)
Terkait
hubungan amal shalih di dunia dengan pahala di akhirat, penulis mencukupkan
diri dengan keterangan tafsir tahlili di atas. Ringkasnya, “amal shalih”
orang non-muslim di dunia, tetap meniscayakannya masuk neraka, seperti kisah ‘Umar
RA dengan pastur Kristen. Demikian halnya, amal shalih orang muslim di dunia, belum
tentu diterima oleh Allah SWT, seperti yang akan dialami oleh kaum Khawarij
menurut pendapat Ibn ‘Abbas RA.
Di
sisi lain, amal shalih yang kita lakukan belum tentu diterima Allah SWT, karena
harus melewati setidaknya tujuh kali “pemeriksaan” malaikat dan sekali
pemeriksaan Allah SWT yang menanyakan, apakah amal shalih kita tergolong ikhlas
(demi Allah SWT) ataukah riya’ (demi selain Allah SWT). Oleh sebab itu,
al-Qur’an mengingatkan kita agar tidak melabeli diri sendiri sebagai “orang yang
paling suci” (Q.S. al-Najm [53]: 32).
فَلَا تُزَكُّوا
أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى (32)
Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang
paling mengetahui tentang orang yang bertakwa
(Q.S. al-Najm [53]: 32.
Perluasan
makna dari Surat al-Ghasyiyah [88]: 3 yang relevan dengan konteks zaman
sekarang adalah prinsip hidup “kerja, kerja, kerja”. Entah kita sendiri yang
mengalami, mendengar cerita dari orang lain atau sekedar melihat di layar kaca;
faktanya banyak orang menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk bekerja dan bekerja.
Obsesi
terhadap sesuatu membuat seseorang mengerahkan segenap tenaga dan pikiran untuk
meraihnya. “Peras keringat, banting tulang” dilakukan demi meraih obsesi
tersebut. Waktu 24 jam dirasa belum cukup untuk aktivitas sehari-hari.
Akibatnya, orang tersebut seringkali melupakan hal-hal lain yang sesungguhnya
lebih bermakna dalam hidup ini. Ibadah, keluarga, tetangga, sahabat, istirahat
dan ketenangan batin adalah beberapa hal yang lebih bermakna dari sekedar
menghabiskan hari dengan kerja.
Hemat
penulis, pola kerja yang terbaik digambarkan oleh al-Qur’an dalam Surat
al-Jumu’ah [62]: 9-10
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي
الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9-10)
Ayat
di atas mengajarkan bahwa ketika sudah tiba waktunya ibadah, sebaiknya kita
menghentikan aktivitas kerja dan bergegas melaksanakan ibadah. Setelah selesai
ibadah, kita lanjutkan lagi bekerja. Di penghujung hari, kita diseru kembali
untuk beribadah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah SWT. Dengan kata lain,
ayat tersebut mengajarkan suatu pola hidup ideal, yaitu Ibadah-Kerja-Ibadah
(IKI). Artinya, memulai hari dengan ibadah, semisal melaksanakan shalat
Tahajjud (Q.S. al-Isra’ [17]: 79), lalu bekerja diselingi istirahat (Q.S.
al-Insyirah [94]: 7), dan diakhiri dengan ibadah lagi (Q.S. al-Insyirah [94]: 8).
Pengutamaan
ibadah dibandingkan kerja dapat dilihat dari komentar salah satu pemilik kebun
yang paling bijaksana, berikut ini:
قَالَ
أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28)
Berkatalah seorang yang paling bijak pikirannya di
antara mereka (para pemilik kebun): “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu,
hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)”
(Q.S. al-Qalam [68]: 28)
Komentar
ini disampaikan kepada para saudaranya yang lebih mementingkan panen
dibandingkan mengerjakan ibadah terlebih dulu. Dari sini dapat ditarik
pelajaran bahwa seharusnya seorang muslim memulai hari dengan ibadah terlebih
dahulu, baru kemudian bekerja. Hanya saja, bekerja tidak perlu berlebihan
hingga larut malam, karena masih banyak hal-hal lain yang lebih berharga
daripada kerja. Hal ini semata-mata untuk mengingatkan agar kita tidak
tergolong “orang-orang yang bekerja sedemikian keras hingga keletihan fisik dan
psikis, namun tidak mendapatkan apa yang diharapkan”, persis seperti nasib para
penghuni neraka yang dimaksud dalam Surat al-Ghasyiyah [88]: 3. Wallahu A’lam
bi al-Shawab.
Singosari,
13 Januari 2018
Posting Komentar untuk "Kerja Lelah Tanpa Hasil (Q.S. al-Ghasyiyah [88]: 3)"