LGBT Perspektif al-Qur'an dan Fikih
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Islam Memiliki Perspektif yang Distingtif terhadap Isu LGBT |
Diskusi tentang LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual, Transgender) kembali hangat seiring kontroversi legalisasi LGBT
di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim. Pro-kontra sudah pasti
mengiringi isu LGBT. Secara garis besar, kubu yang pro LGBT mendasarkan
pendapatnya pada Hak Asasi Manusia; sedangkan kubu yang kontra LGBT mendasarkan
pendapatnya pada nilai-nilai normatif, terutama norma agama.
Bagi umat muslim, tidak bisa
tidak, ketika mendiskusikan isu LGBT, selalu terngiang perilaku kaum Nabi Luth
AS yang dikenal sebagai kaum penyuka sesama jenis (homoseksual). Tulisan ini
sekedar berbagi informasi tentang LGBT dari perspektif normatif (al-Qur’an) dan
yudikatif (Fikih).
Dari 27 ayat yang memuat redaksi
Luth, terdapat tiga ayat yang melabeli perilaku kaum Nabi Luth AS sebagai fahisyah,
yaitu Surat al-A’raf [7]: 80, al-Naml [27]: 54 dan al-‘Ankabut [29]: 28.
وَلُوطًا
إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ
الْعَالَمِينَ. ﴿الأعراف:80﴾
Dan (Kami
juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) ketika dia berkata
kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (Q.S. al-A’raf [7]: 80).
وَلُوطًا
إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ ﴿النمل:
٥٤﴾
Dan
(ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan fahisyah itu, sedang kamu memperlihatkan(nya)?” (Q.S. al-Naml [27]: 54)
وَلُوطًا
إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ
أَحَدٍ مِّنَ الْعَالَمِينَ ﴿العنكبوت: ٢٨﴾
Dan
(ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar
mengerjakan perbuatan fahisyah yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.” (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 28).
Secara bahasa, Ibn Faris menyimpulkan
bahwa pola kata fa’-ha’-syin menunjukkan sesuatu yang
buruk, keji dan dibenci. Sedangkan al-Ashfahani mengartikan fahisyah
sebagai perbuatan atau perkataan yang sangat buruk.
Kata fahisyah disebutkan
sebanyak 13 kali dalam al-Qur’an dalam beragam makna. Pertama, perbuatan
zina (Q.S. al-Nisa’ [4]: 15, 19, 22, 25; al-Isra’ [17]: 32; al-Ahzab [33]: 30;
al-Thalaq [65]: 1). Kedua, dosa besar, seperti riba (Q.S. Ali ‘Imran
[3]: 135), tradisi thawaf dengan telanjang bulat pada masa Jahiliyah (Q.S.
al-A’raf [7]: 28), menyebar desas-desus tentang kasus perzinahan (Q.S. al-Nur
[24]: 19). Ketiga, homoseksual
(Q.S. al-A’raf [7]: 80, al-Naml [27]: 54, al-‘Ankabut [29]: 28).
Sesungguhnya penafsiran kata fahisyah
sebagai homoseksual, didasarkan pada tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, yaitu
Surat al-A’raf [7]: 80 ditafsiri dengan ayat berikutnya, Surat al-A’raf [7]:
81.
إِنَّكُمْ
لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
﴿الأعراف: 81﴾
Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (Q.S. al-A’raf [7]: 81).
Selain dilabeli sebagai fahisyah,
perilaku kaum Nabi Luth AS disebut sebagai “khaba’its”, bentuk
jamak dari khabitsah. Tepatnya dalam Surat al-Anbiya’ [21]: 74.
وَلُوطًا
آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَت تَّعْمَلُ
الْخَبَائِثَ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فَاسِقِينَ ﴿الأنبياء: ٧٤﴾
Dan kepada Luth, Kami telah berikan
hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa
penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan-perbuatan khabits (khaba’its).
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 74).
Secara
bahasa, Ibn Faris menyimpulkan bahwa pola kata kha’-ba’-tsa’
adalah antonim dari kata thayyib (baik; bagus; bersih; dan sebagainya). Jadi,
khabits berarti “buruk; jelek; kotor; dan sebagainya). Sedangkan
al-Ashfahani mengartikan kata khabits sebagai sesuatu yang dibenci,
jelek dan hina, baik secara empiris maupun logis. Dari sini al-Ashfahani
menyebut bahwa kata khabits dijadikan sebagai metonimi (kinayah)
dari homoseksual.
Kata khaba’its hanya
disebutkan dua kali dalam al-Qur’an. Pertama, Surat al-Anbiya’ [21]: 74
yang berhubungan dengan perilaku homoseksual. Kedua, Surat al-A’raf [7]:
157 yang berhubungan dengan aneka makanan yang diharamkan, seperti babi, darah
dan bangkai.
Simpulan dari paparan di atas
adalah al-Qur’an melabeli homoseksual sebagai perilaku fahisyah yang
berarti perbuatan keji yang tergolong dosa besar; dan sebagai perilaku khabits
yang berarti perbuatan hina, baik secara logis maupun empiris. Secara logis, homoseksual
dinilai hina, karena menyalahi fitrah manusia normal yang menyukai lawan jenis.
Secara empiris, homoseksual dinilai hina oleh mayoritas umat manusia di
berbagai belahan dunia. Tampaknya bukan hanya Islam yang mengingkarinya,
melainkan seluruh agama di dunia juga mengingkari perbuatan homoseksual.
Dalam Fikih, terdapat perbedaan
terminologi dan konsekuensi hukum dari perbuatan asusila yang berhubungan
dengan nafsu kelamin.
Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu mengidentifikasi tiga istilah yang relevan dengan
topik LGBT, yaitu Zina, Liwath dan Sihaq. Berikut uraian
detailnya:
Pertama, Zina.
Yaitu hubungan asusila antara laki-laki dengan wanita yang bukan pasangan
suami-istri sah. Bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhshan),
hukumannya adalah dipukul (dera) sebanyak 100 kali, tanpa perlu dikasihani
(Q.S. al-Nur [24]: 2). Bagi pelaku zina yang sudah menikah (muhshan),
hukumannya adalah dihukum mati dengan cara dirajam atau dilempari batu dan
sejenisnya.
Kedua, Liwath
(Gay). Yaitu hubungan homoseksual antara laki-laki dengan laki-laki. Statusnya
jauh lebih buruk dibandingkan zina. Salah satu alasannya adalah Allah SWT
menimpakan azab kepada kaum Nabi Luth AS, dengan azab yang tidak pernah
ditimpakan kepada siapapun sebelumnya.
فَلَمَّا
جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا
حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ ﴿هود: 82﴾
Maka tatkala
datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami
balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi (Q.S. Hud [11]: 82).
Azab berupa bumi yang terbalik,
seolah mengisyaratkan bahwa perilaku kaum Nabi Luth AS memang “terbalik”
dibandingkan perilaku manusia normal pada umumnya.
Ada dua pendapat terkait hukuman
gay (liwath). Menurut Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hukumannya sama
dengan zina. Lalu dipilah lagi, Imam Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hukuman liwath
adalah hukuman mati, baik pelakunya berstatus muhshan maupun ghairu
muhshan. Menurut Imam Syafi’i, disamakan dengan hukuman pezina, yaitu
apabila berstatus muhshan, maka dihukum mati; apabila berstatus ghairu
muhshan, maka dipukul sebanyak 100 kali tanpa belas kasih.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh
Imam Hanafi yang menilai bahwa pelaku gay (liwath) adalah dita’zir.
Ta’zir berarti hukuman yang didasarkan pada kebijakan hakim yang
berwenang. Dalam kasus ini, hukuman ta’zir tidak boleh berupa hukuman
mati.
Ketiga, Sihaq
(Lesbi). Yaitu hubungan homoseksual antara wanita dengan wanita. Rasulullah SAW
pernah bersabda: “Perilaku lesbi antar kaum wanita adalah perzinahan”
(H.R. al-Thabarani). Hukuman pelaku lesbi (sihaq) adalah dita’zir
sesuai dengan kebijakan hakim yang berwenang.
Ada dua penjelasan Fikih terkait Transgender.
Pertama, jika Transgender dalam pengertian laki-laki yang berperilaku
seperti wanita (waria) atau sebaliknya, maka hukumnya diharamkan, berdasarkan Hadis
yang melarang laki-laki berpenampilan seperti wanita atau sebaliknya. Kedua,
jika Transgender dikaitkan dengan operasi mengubah kelamin, dari laki-laki
menjadi wanita atau sebaliknya, maka hukumnya juga diharamkan, karena tergolong
tabdil atau mengubah ciptaan Allah SWT. Berbeda halnya dengan takmil
(menyempurnakan) dan tahsin (memperbagus) ciptaan Allah SWT yang
hukumnya diperbolehkan. Misalnya, Orang memiliki gigi yang tidak rata, lalu
diratakan. Orang memiliki rambut keriting (ikal), lalu diluruskan. Dan sebagainya.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Posting Komentar untuk "LGBT Perspektif al-Qur'an dan Fikih"