Pengantar Pemikiran Pendidikan Islam
Ragam Bahan Pemikiran Pendidikan Islam |
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Dulu,
jamaah haji asal Indonesia pergi ke Arab Saudi menggunakan kapal laut yang
membutuhkan waktu berbulan-bulan. Sekarang, melalui pesawat terbang, jamaah
haji sudah sampai di Arab Saudi dalam hitungan jam. Ilustrasi ini menunjukkan
bahwa tujuan yang sama, dapat dicapai dalam waktu yang lebih efektif dan
efisien, ketika sarana dan prasarana diperbarui dan dikembangkan (update and
upgrade).
Sama
halnya dengan pendidikan Islam. Sejak dulu hingga kini, tujuan pendidikan Islam
tetap sama, yaitu menciptakan insan kamil (manusia paripurna) dalam
rangka mengemban misi sebagai hamba Allah yang taat beribadah (Q.S. al-Dzariyat
[51]: 56) dan khalifah Allah yang aktif memakmurkan alam raya (Q.S. al-Baqarah
[2]: 30). Namun, sarana dan prasarana pendidikan Islam terus diperbarui dan
dikembangkan, agar tujuan pendidikan Islam dapat dicapai lebih efektif dan
efisien. Misalnya, murid zaman old harus berlelah-lelah pergi ke luar
daerah agar dapat belajar kepada guru kaliber nasional; sedangkan murid zaman now
cukup berleha-leha di dalam rumah, sudah dapat belajar kepada guru kaliber
internasional melalui aplikasi semodel youtube.
Secara
implisit, paparan di atas memilah pendidikan Islam menjadi dua elemen.
Pertama, elemen inti yang bersifat statis (tsawabit).
Elemen ini merepresentasikan Islam normatif yang bersifat universal dan
permanen, sehingga tidak boleh diubah-ubah dalam konteks ruang dan waktu
apapun. Misalnya, al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber primer pendidikan Islam
dari dulu hingga sekarang.
Kedua, elemen pendukung yang bersifat dinamis (mutaghayyirat).
Elemen ini merepresentasikan Islam historis yang bersifat partikular dan
temporer, sehingga boleh diubah-ubah sesuai konteks ruang dan waktu apapun. Misalnya,
bentuk lembaga pendidikan Islam bervariasi dari dulu hingga sekarang, mulai
dari masjid, kuttab, ribath, madrasah, pesantren hingga boarding
school.
Selanjutnya
dialektika antara elemen inti dengan elemen pendukung menghasilkan produk
berupa khazanah Pemikiran Pendidikan Islam (PPI). PPI dapat dianalogikan dengan
Fikih. Pemikiran Fikih yang teruji akan bertransformasi menjadi mazhab Fikih
yang dianut oleh masyarakat hingga sekarang, sedangkan pemikiran Fikih yang
tidak teruji akan lenyap ditelan zaman. Demikian halnya, PPI yang teruji akan
bertransformasi menjadi “mazhab” PPI yang dianut oleh masyarakat hingga
sekarang; sedangkan PPI yang tidak teruji akan lenyap ditelan zaman.
Adapun
alat uji bagi PPI adalah problematika pendidikan Islam yang menurut Muhaimin
terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, Fondasional. Kedua,
Struktural. Ketiga, Operasional.
Contoh
problem fondasional: Menurut Qomar, filsafat pendidikan Islam saat ini
didominasi filsafat pendidikan Barat, sehingga sistem pendidikan Islam kental
oleh pengaruh pendidikan Barat. Sedangkan pendidikan Barat dibangun di atas
filsafat pendidikan yang menggunakan pendekatan epistemologi yang (sedikit)-banyak
bertentangan dengan ajaran Islam, semisal anti-metafisika.1
Contoh
problem struktural: Minimnya lembaga pendidikan Islam yang ramah terhadap
peserta didik berkebutuhan khusus, baik yang serba kurang (difabel) melalui
model pendidikan LRE (Least Restrictive Environment) dan Inklusi; maupun
yang serba lebih (anak berbakat; gifted) melalui model pendidikan kelas
khusus, akselerasi, mentor atau magang, atau program pelayanan masyarakat. 2
Contoh
problem operasional: Label “second class” seolah masih melekat pada
institusi pendidikan Islam. Dengan bahasa sarkastis, Fazlur Rahman menyatakan
bahwa mahasiswa yang tertarik pada pendidikan Islam hanya mereka yang tidak
diterima pada bidang-bidang basah. 3
Tiga Kategori Problem Pendidikan Islam |
Relevan
dengan itu, rumusan masalah yang penting untuk dijawab melalui perkuliahan PPI
adalah: “Bagaimana alternatif solusi yang ditawarkan Mata Kuliah Pemikiran
Pendidikan Islam terhadap berbagai problematika pendidikan Islam pada dimensi
fondasional, struktural dan operasional?”.
Ada
tiga penelitian terdahulu (prior research) yang dapat dimanfaatkan
sebagai kerangka berpikir (frame of thinking) dalam menelaah PPI. Pertama,
Konstruksi epistemologi Arab-Islam yang digagas oleh Abid al-Jabiri. 4
Epistemologi Arab-Islam versi Al-Jabiri |
Kedua, Konstruksi epistemologi pendidikan Islam yang
digagas oleh Tedi Priatna. 5
Epistemologi Pendidikan Islam Gagasan Priatna |
Ketiga, Konstruksi tafsir tarbawi yang penulis gagas. 6
Tafsir Tarbawi Gagasan Penulis Pribadi |
Adapun relasi dan posisi ketiga prior research tersebut dalam konteks PPI adalah:
Pertama, Konstruksi epistemologi Arab-Islam versi al-Jabiri
mengisyaratkan PPI tidak lepas dari tiga jenis epistemologi yang berkembang
dalam Islam, yaitu Bayani (teks), Burhani (rasional-empiris) dan
‘Irfani (intuisi).
Kedua, Konstruksi epistemologi pendidikan Islam versi
Priatna mengisyaratkan bahwa PPI didasarkan pada telaah terhadap ayat-ayat
Allah yang tertulis (Qur’aniyyah) yang bersifat teoretis dan ayat-ayat
Allah yang terhampar (Kauniyyah) yang bersifat praktis.
Ketiga, Konstruksi tafsir tarbawi versi penulis dapat
digunakan sebagai perspektif teoretis dalam menelaah PPI, dari segi
relevansinya dengan al-Qur’an sebagai sumber primer PPI.
Catatan
Kaki
1] Rosidin, Epistemologi Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Diandra, 2013), h. 7.
2] John W. Santrock, Educational Psychology
(New York: McGraw Hill, 2011), h. 199-206.
3] Rosidin, Problematika Pendidikan Islam
Perspektif Maqasid Shariah, dalam Maraji’: Jurnal Ilmu Keislaman,
Vol. 3, No. 1, September 2016, h. 187.
4] Rosidin, Telaah Basis Filosofis, Metodologis dan
Aplikatif Mata Kuliah Metodologi Studi Islam, dalam Islamidina,
APAISI, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016, h. 40.
5] Rosidin, Epistemologi Pendidikan Islam, h.
33.
6] Rosidin, Metode Tafsir Tarbawi dalam Tinjauan
Teoretis dan Praktis, dalam J-PAI, UIN Maliki Malang, Vol. 1, No. 2,
Januari-Juni 2015, h. 185-189.
Posting Komentar untuk "Pengantar Pemikiran Pendidikan Islam"