Self-Motivation: Mengobarkan Motivasi Intrinsik
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Menggubah Motivasi Ekstrinsik Menjadi Motivasi Intrinsik |
Motivasi,
sebuah kebutuhan hidup yang diburu insan seantero negeri. Sayangnya, efek
motivasi seringkali bagaikan kembang api yang menerangi kegelapan malam untuk
sesaat, kemudian lenyap ditelan malam.
Hemat
penulis, orang yang mengharapkan motivasi dari orang lain (ekstrinsik) ibarat
insan yang menunggu kembang api untuk menerangi malam-malamnya. Bukan hanya
efeknya yang sebentar menerangi malam; melainkan juga fakta bahwa kembang api
tidak selalu hadir di setiap malam. Apakah kita ingin menjalani kehidupan
layaknya orang yang menunggu pesta kembang api? Termotivasi untuk sesaat,
kemudian terpuruk berhari-hari? Tentu, jawaban idealnya adalah “Tidak”. Oleh
sebab itu, setiap insan membutuhkan motivasi dari diri sendiri (intrinsik).
Motivasi
intrinsik bagaikan jarum jam yang terus berputar kendati perlahan-lahan. Memang
ada saatnya jam kehabisan baterai yang memaksa jarum jam diam tak bergerak.
Namun, durasi bergeraknya jauh lebih lama daripada durasi diamnya. Pertanyaannya,
bukankah menjalani kehidupan layaknya “jarum jam”, jauh lebih menjanjikan
daripada menunggu “kembang api”?. Tampaknya, jawaban idealnya adalah “Ya”.
Lantas,
bagaimana cara menumbuhkan motivasi intrinsik? Penulis bukanlah seorang
motivasi ulung layaknya Mario Teguh. Namun, ada lima tips untuk menumbuhkan dan
merawat motivasi intrinsik berdasarkan pemahaman dan pengalaman penulis.
Pertama, Menyadari bahwasanya motivasi itu fluktuatif
(pasang-surut). Dalam bahasa Hadis, “al-iman yazidu wa yanqushu”, iman
itu bertambah dan berkurang. Tugas kita adalah memberi respon yang sesuai
terhadap naik-turunnya motivasi. Misalnya, ketika motivasi sedang tinggi,
respon yang sesuai adalah “aksi berkualitas”; sedangkan ketika motivasi sedang
rendah, respon yang sesuai adalah “rehat sejenak”. Ibarat smartphone,
ketika hidup dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk aktivitas-aktivitas yang
berkelas; namun ketika mati, diistirahatkan sejenak sembari diisi ulang
baterainya hingga penuh. Pentingnya “aksi” dan “istirahat” berhubungan dengan
posisi kehidupan yang tidak sesingkat lomba lari 100 meter, melainkan lama
layaknya liga sepakbola.
Kedua, Memandang kehidupan layaknya liga sepakbola. Tujuan
hidup adalah memenangi liga, namun tidak harus memenangi setiap pertandingan. Oleh
sebab itu, tidak masalah kita mengalami kekalahan dalam suatu pertandingan, bahkan
suatu liga tahunan, asalkan dapat menarik pelajaran untuk meraih kemenangan
pada pertandingan atau liga pada musim-musim berikutnya.
Jika
usia hidup rata-rata manusia adalah 60 tahun, berarti kita akan mengikuti “liga
kehidupan” sebanyak 60 kali. Tidak perlu ambisius memenangi “liga kehidupan”
setiap tahun, karena hal itu justru bisa menjadi bumerang, misalnya frustasi atas
kegagalan. Bisa jadi seseorang tidak pernah menjuarai “liga kehidupan” hingga
usia 50 tahun; namun kemudian mampu menjuarai “liga kehidupan” 10 kali
berturut-turut sejak usia 51 hingga 60 tahun. Akhirnya, wafat sebagai “juara”
dan dikenang umat manusia sepanjang zaman. Bukankah banyak tokoh besar yang
baru mengecap kesuksesan gemilang di akhir-akhir usia kehidupan? Bukankah masa
kejayaan Islam diraih pada Periode Madinah ketika Rasulullah SAW berusia
kisaran 54-63 tahun?
Dalam
Islam, usia 40 tahun merupakan fase krusial bagi seseorang untuk menjuarai
“liga kehidupan”. Di antara alasannya, Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasulullah
pada usia 40 tahun dan al-Qur’an menyebut usia 40 tahun dalam konteks mensyukuri
kehidupan (Q.S. al-Ahqaf [46]: 15). Oleh sebab itu, sebelum usia 40 tahun
adalah fase-fase pembelajaran untuk menempa dan mengembangkan kualitas diri
agar memiliki mental juara, sehingga ketika berusia 40 tahun sudah memiliki
peluang besar untuk memenangi liga kehidupan. Sayangnya, masih banyak insan
yang ingin menorehkan prestasi sejak usia dini. Padahal banyak contoh kasus,
para penyanyi atau artis cilik tidak lagi terdengar namanya ketika sudah
beranjak dewasa. Demikian halnya, banyak siswa-siswi yang berhasil menjuarai
olimpiade internasional di tingkat SD/SMP/SMA, namun seolah lenyap ditelan
zaman ketika sudah menjadi mahasiswa apalagi berkeluarga. Akhirnya, kisah
sukses mereka menjadi sekedar nostalgia yang secara perlahan menjadi mitos yang
tidak banyak dipercaya.
Walhasil,
setiap hari adalah sebuah pertandingan yang tidak harus kita menangkan, namun
harus kita ambil pelajaran. Intinya, poin kedua ini menekankan pentingnya sikap
istiqamah (konsisten) dalam membina mental juara setiap hari, agar suatu saat
berhasil menjuarai “liga kehidupan”. Ingat, jika usia kita saat ini 20-30
tahun, Insya Allah masih ada waktu untuk menjuarai “liga kehidupan”.
Tidak perlu tergesa-gesa, meskipun watak manusia memang demikian (Q.S. al-Isra’
[17]: 11).
Ketiga, seorang ibu mampu menggendong bayinya seberat 5
kilogram hingga berjam-jam; namun belum tentu mampu membawa beras 5 kilogram
hingga berjam-jam. Mengapa demikian? Jawabannya jelas, “cinta”. Cinta meringankan
beban ibu tersebut, sehingga menggendong bayi selama berjam-jam justru membuatnya
bahagia. Sebaliknya, ketiadaan cinta membuat ibu tersebut terasa berat membawa
beras berjam-jam, meskipun beratnya sama dengan berat bayinya. Contoh lain,
jika jari Anda terluka karena sayatan pisau ketika mengupas buah, pasti terasa
sakit dan perih. Apalagi jika Anda sedang dirundung masalah. Namun, para wanita
Mesir kuno yang jari-jarinya terkena sayatan pisau ketika mengupas buah, justru
tidak merasakan sakit sama sekali, karena sedang “jatuh cinta” pada sosok Nabi
Yusuf AS yang hadir di hadapan mereka. Inti poin ini adalah menanamkan rasa
cinta pada setiap aktivitas yang kita lakukan. Jika kita mencintai suatu
aktivitas, maka kita tidak membutuhkan lagi motivasi ekstrinsik. Seorang
pecinta futsal tidak perlu dimotivasi bermain futsal, namun dia perlu diberi
motivasi ekstra untuk bermain bulutangkis. Menarik untuk mengutip satu-satunya
pertanyaan orang Yunani kuno kepada orang yang meninggal dunia, “Apakah dia
memiliki passion?”. Hemat penulis, passion sepadan dengan kata “al-hirsh”
yang berarti “cita-cita yang dicintai”.
Keempat, Terlalu banyak orang yang aktivitasnya digerakkan
oleh harapan atau ekspektasi. Tidak jarang, ekspektasi seseorang melambung
tinggi. Imbasnya, ketika suatu aktivitas tidak mencapai hasil yang sesuai
ekspektasi, entah gagal atau hasilnya di bawah standar, maka timbul kekecewaan
mendalam. Oleh sebab itu, tidak perlu berharap terlalu banyak, yang dalam
bahasa Islam disebut thama’ (mengharapkan sesuatu yang tidak wajar). Misalnya,
janganlah kita berharap terlalu tinggi kepada timnas sepakbola Indonesia mampu menjuarai
Piala Dunia, karena harapan itu bisa menimbulkan kekecewaan demi kekecewaan. Sementara
cukup berharap timnas mampu menjuarai Piala ASEAN, maksimal Piala Asia.
Hemat
penulis, ekspektasi cukup 10%. Ibaratnya, jika tahun 2018 kita memiliki 10 target
hidup; maka keberhasilan 1 target hidup sudah layak untuk disyukuri. Inilah
yang penulis terapkan setiap tahun. Yaitu menargetkan keberhasilan 10% dari
program hidup tahunan. Hasilnya justru menyenangkan, karena selalu melampaui
ekspektasi 10% tersebut. Misalnya, setiap tahun penulis ingin menerbitkan 6
judul buku. Hasilnya, tahun 2013, 2014, 2015 dan 2017 penulis berhasil
menerbitkan 6 judul buku. Khusus tahun 2016, penulis berhasil menerbitkan 3
judul buku, namun ditambah 6 judul jurnal ilmiah. Artinya, ekspektasi hanya
10%, namun realitanya bisa terwujud 100%. Ekspektasi rendah bukan berarti kinerja
tidak berkualitas, melainkan berlatih tidak bersikap thama’, sehingga pandai
mensyukuri setiap keberhasilan, meskipun di bawah standar orang-orang pada
umumnya.
Kelima, Memiliki mentor kehidupan. Mentor kehidupan merupakan
figur yang prestasinya menjadi target kehidupan kita. Ada mentor level lokal,
nasional hingga internasional. Kita dapat memilih mentor sesuai dengan idealisme
kehidupan yang ingin kita jalani. Bisa jadi mentor kita tidak hanya satu figur,
melainkan banyak figur. Bisa figur yang tertulis dalam catatan sejarah; bisa
pula figur yang hadir di tengah kehidupan kita; bahkan tokoh fiktif sekalipun.
Misalnya, penulis pribadi setidaknya memiliki 9 mentor kehidupan. Ingin
berperilaku agamis layaknya Bediuzzaman Said Nursi; memadukan dalil naqli
dan aqli layaknya Imam al-Ghazali; memadukan ke-Islam-an dan
ke-Indonesia-an layaknya Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari; wawasan al-Qur’an
layaknya Quraish Shihab; berdakwah penuh hikmah dan tawa layaknya Abah Hasyim
Muzadi; pemikiran inklusif layaknya Prof. Amin Abdullah; produktivitas dan
kualitas karya tulis layaknya Jasser Auda; kontribusi bagi umat layaknya KH.
Tholhah Hasan. Melihat nama besar kedelapan mentor tersebut, seandainya mampu mencapai
1% prestasi mereka pun, sudah menjadi kesuksesan gilang-gemilang. Satu mentor
lagi bersifat fiktif, namun mempengaruhi penulis dalam menjalani kehidupan ini,
yaitu Detective Conan yang seolah tidak pernah berhenti berpikir menghasilkan
solusi-solusi atas setiap problem yang dihadapi.
Sebagai
penutup, tulisan ini tergolong motivasi ekstrinsik. Namun, penerapan dari lima
tips di atas, diharapkan dapat memicu motivasi intrinsik bagi para pembaca. Amin
ya Rabbal ‘Alamin.
Singosari,
9 Januari 2018
Posting Komentar untuk "Self-Motivation: Mengobarkan Motivasi Intrinsik"