Tafsir Tarbawi Surat al-Kautsar
Kaligrafi Surat al-Kautsar |
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ
هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-kautsar. Maka berdoalah
kepada Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya pembencimu, dialah yang terputus (Q.S. al-Kautsar [108]: 1-3).
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ
A’tha berarti memberikan sesuatu agar dimiliki barang dan
manfaatnya sekaligus. Jadi, hutang, pinjam, sewa dan gadai, tidak tergolong a’tha,
karena hanya memiliki barang atau manfaat saja.
Meskipun kata a’tha
berstatus fi’il madhi (past tense) yang bermakna “lampau”, kata
ini juga mengacu pada masa-masa berikutnya. Misalnya, pasca wafatnya Rasulullah
SAW, jumlah umat beliau semakin banyak. Dalam bahasa al-Qur’an, apabila ada fi’il
madhi yang digunakan untuk konteks masa kini (hal) dan masa depan (istiqbal),
maka fi’il madhi tersebut bermakna “pasti”. Misalnya, meskipun hari
kiamat belum terjadi, al-Qur’an sering menyebut peristiwa hari kiamat dengan fi’il
madhi. Perhatikan ayat berikut:
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ
أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3)
Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan
manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”.
(Q.S. al-Zalzalah [99]: 1-3)
A’tha juga bermakna “pemberian yang sedikit”. Kata ini
mengisyaratkan bahwa pemberi menganggap pemberiannya sedikit, meskipun
jumlahnya banyak. Sebaliknya, penerima menganggap pemberian banyak, meskipun
jumlahnya sedikit. Hikmahnya, pemberi tidak terbebani ketika memberikan
sesuatu, karena memandang sedikit; sedangkan penerima bersyukur ketika menerima
sesuatu, karena memandang banyak.
Memang pemberian
Allah SWT itu, meskipun hanya sedikit, sesungguhnya sangat banyak dalam
pandangan manusia. Misalnya, apabila seseorang diberi satu hikmah saja, maka
sudah mendatangkan kebaikan yang banyak sekali.
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ
أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (269)
Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah) (Q.S. al-Baqarah [2]:
269).
Ibaratnya, seorang
trilyuner bersedekah 1 milyar terasa sangat banyak bagi kaum fakir miskin,
namun terasa sedikit sekali bagi trilyuner tersebut. Apalagi Allah SWT, Dzat
Yang Maha Kaya lagi Penguasa Semesta Alam.
الْكَوْثَرَ
Al-Kautsar berasal dari akar kata “katsir” (banyak).
Setidaknya ada sembilan tafsir kata al-kautsar: a) kenabian; b)
al-Qur’an; c) Islam; d) telaga di surga; e) telaga Nabi SAW yang akan
dikunjungi banyak manusia; f) kebaikan yang banyak; g) umat yang banyak; h) jiwa
altruis (mendahulukan orang lain); i) popularitas yang luhur. Faktanya,
kesembilan tafsir tersebut diperoleh Rasulullah SAW. Dengan demikian,
penafsiran terbaik dari kata al-kautsar adalah mencakup kesembilan
tafsir tersebut, tidak perlu dibatasi hanya salah satu saja.
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ
Al-Qur’an memiliki
gaya bahasa, jika kata shalla bermakna shalat dalam konotasi positif,
maka al-Qur’an memberi tambahan kata aqama-yuqimu-aqimu (mendirikan). Misalnya,
Surat al-Baqarah [2]: 3
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ (3)
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,
dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka (Q.S. al-Baqarah [2]: 3).
Sedangkan jika
dalam konotasi negatif, maka al-Qur’an tidak menggunakan kata aqama-yuqimu-aqimu
tersebut. Misalnya, Surat al-Ma’un [107]: 4-5
فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya (Q.S. Ma’un [107]:
4-5).
Mengingat kata shalli dalam ayat ini berkonotasi
positif, namun tidak disertai kata aqama-yuqimu-aqimu, maka shalli
lebih tepat diterjemahkan “berdoa atau beribadah”, yang cakupannya lebih luas
dari sekedar shalat.
Apalagi kata tersebut diawali dengan huruf fa’
(maka) yang mengisyaratkan hubungan antara ayat kedua dengan ayat pertama,
sehingga bermakna “sesaat setelah engkau memperoleh al-kautsar,
segeralah berdoa atau beribadah kepada Tuhanmu”. Hikmahnya, apabila kita mendapatkan anugerah atau
nikmat, maka bersegeralah bersyukur dengan cara beribadah kepada Allah SWT, dan
jangan menunda-nunda. Misalnya, setelah dianugerahi anak, orangtua yang mampu
segera bersyukur dengan cara beraqiqah. Jika menunda-nunda syukur saja
tergolong kurang baik, apalagi tidak mau bersyukur.
وَانْحَرْ
Banyak pendapat
terkait tafsir nahr yang mulanya berarti menyembelih unta, antara lain:
“kurban” dan “akikah”. Di antara perbedaan kurban dan akikah adalah: kurban
terkait peristiwa penyembelihan Nabi Isma’il AS yang diganti domba, sehingga
spirit kurban adalah “penyembelihan”. Implikasinya, daging kurban lebih baik
diberikan mentah, ketika masih terlihat darah segar, tanda penyembelihan. Sedangkan
akikah berkenaan dengan rasa gembira orangtua atas kelahiran anak, sehingga
spirit akikah adalah “syukur”. Implikasinya, daging kurban lebih baik diberikan
matang, lebih-lebih disertai walimah dengan mengundang sanak-famili dan
tetangga. Semakin banyak orang yang diundang, semakin besar rasa syukur yang
diungkapkan.
إِنَّ
شَانِئَكَ
Arti kata syana’a
adalah menganggap sesuatu kotor sembari marah kepadanya, sehingga kata ini
diterjemahkan “pembenci” yang menunjukkan ekspresi ketidak-senangan disertai
rasa marah dan jijik. Ada dua makna
pembenci dalam ayat ini.
Pertama, orang yang membenci ajaran Rasulullah SAW. Misalnya
orang kafir. Pembenci di sini meliputi: Abu Lahab, Abu Jahal atau al-‘Ash bin
Wa’il.
Kedua, orang yang membenci figur Rasulullah SAW. Bisa jadi
dia menerima ajaran Rasulullah SAW, namun tidak menghormati figur beliau.
Misalnya, orang-orang yang masih asik mengobrol setelah selesai acara di rumah
Rasulullah SAW. Begitu lamanya mengobrol, sampai-sampai Rasulullah SAW tidak
enak hati, namun beliau segan mengusir mereka. Lalu turunlah Surat al-Ahzab
[33]: 53.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ
يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا
دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ
لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ
وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا
فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ
وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ
تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ
اللَّهِ عَظِيمًا (53)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu
masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya
yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh
kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu
meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah
dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula)
mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah (Q.S. al-Ahzab [33]: 53).
Dari sini dapat
dipetik hikmah, bahwa umat muslim pun bisa berisiko dinilai sebagai “pembenci
figur Rasulullah SAW”, meskipun statusnya muslim. Misalnya, seorang dai menilai
bahwa ayah-ibu Rasulullah SAW adalah kafir; sebagaimana menilai Abu Thalib
adalah kafir dan akan masuk neraka. Sikap yang jauh lebih baik adalah tidak pernah
menyinggung permasalahan tersebut, karena khawatir menyakiti hati Rasulullah
SAW.
هُوَ
الْأَبْتَرُ
Arti asli abtar
adalah “sebatang kara” atau “menyendiri”. Dari sini muncul beragam penafsiran abtar:
a) orang yang hina; b) orang yang kesepian; c) orang yang tidak ada kebaikan
sama sekali padanya; d) orang yang tidak memiliki keturunan laki-laki yang
meneruskan nasabnya; e) orang yang terputus dari ajaran Islam.
Di antara Asbab
al-Nuzul terkait kata abtar adalah putra Rasulullah SAW wafat, entah
itu putra pertama beliau, Qasim, ketika masih di Makkah; atau putra terakhir
beliau, Ibrahim, ketika berada di Madinah. Lalu kaum kafir menyindir Rasulullah
SAW sebagai abtar, yaitu orang yang terputus jalur nasabnya, karena anak
lelakinya meninggal dunia. Fakta membuktikan bahwa hingga sekarang, keturunan
Rasulullah SAW sangatlah banyak. Kita menyebutnya Habib atau Sayyid untuk
anak-cucu laki-laki; sedangkan anak-cucu wanita kita sebut Syarifah atau
Sayyidah.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Singosari, 30
Januari 2018
Posting Komentar untuk "Tafsir Tarbawi Surat al-Kautsar"