Tafsir Tematik Rezeki
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Membaca Surat al-Waqi'ah sebagai Ikhtiar Batin Merengkuh Rezeki |
Pada kesempatan ini, penulis
akan membahas tentang rezeki berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang memuat terma “rezeki”.
Terma “rezeki” disebutkan al-Qur’an sebanyak 122 kali. Melalui telaah ini,
diharapkan akan menemukan hal-hal penting terkait dengan masalah rezeki.
Pada dasarnya, Allah SWT
menganugerahkan rezeki yang thayyib (baik) kepada umat manusia (Q.S. al-Anfal
[8]: 26)
وَرَزَقَكُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ
Dan Allah
memberi rezeki kalian dari yang thayyib-thayyib (Q.S. al-Anfal [8]: 26).
Ambil contoh, manusia mengonsumsi
nasi yang bergizi dan berguna untuk menambah energi sebagai bekal bekerja
maupun ibadah. Demikian halnya air putih, lauk-pauk, sayur-mayur dan
buah-buahan yang umumnya dikonsumsi oleh manusia memiliki manfaat yang beragam bagi
tubuh manusia.
Selain thayyib, al-Qur’an
memerintahkan umat muslim agar mengonsumsi rezeki yang berstatus halal (Q.S. al-Mai’dah
[5]: 88)
وَكُلُوا
مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا
Dan makanlah
dari apa yang direzekikan oleh Allah kepada kalian, yang halal lagi thayyib (Q.S. al-Ma’idah
[5]: 88).
Nasi memang berstatus thayyib;
namun cara memperolehnya harus halal. Oleh sebab itu, al-Qur’an melarang umat
muslim mengonsumsi makanan yang diperoleh dengan cara-cara haram, seperti menipu
(Q.S. al-Baqarah [2]: 188, riba (Q.S. al-Baqarah [2]: 275), merampok (Q.S.
al-Ma’idah [5]: 33), mencuri (Q.S. al-Ma’idah [5]: 38), dan sebagainya.
Agar rezeki yang
diperoleh umat muslim berstatus thayyib dan halal, al-Qur’an memberi
sejumlah tips. Pertama, mencari rezeki di sisi Allah SWT, sesuai dengan
amanat dalam Surat al-‘Ankabut [29]: 17
فَابْتَغُوا
عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
Maka
carilah rezeki di sisi Allah (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 17)
Menurut Ibn ‘Asyur, ayat
di atas memerintahkan agar umat muslim yakin bahwa satu-satunya sumber rezeki
adalah Allah SWT. Implikasinya, cara-cara memperoleh rezeki juga harus
disesuaikan dengan syariat Allah SWT.
Makna lainnya, ayat
tersebut menggunakan redaksi “ibtagha”. Menurut al-Ashfahani, kata ibtigha’
khusus digunakan untuk menyebut “pencarian yang disertai kesungguhan”. Dalam
bahasa kekinian, ibtigha dalam konteks rezeki dapat bermakna “kerja
keras (hard work)”, “kerja cerdas (smart work)” dan “kerja
berkualitas (quality work)”.
Kerja yang demikian itu
masih tergolong ikhtiar fisik. Sebagai pelengkap, umat muslim dianjurkan untuk
berikhtiar batin melalui doa. Misalnya berdoa sebagaimana doa Nabi Isa AS (Q.S.
al-Ma’idah [5]: 114)
وَارْزُقْنَا
وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Mohon Engkau
beri rezeki kepada kami, dan Engkau adalah sebaik-baik Dzat Pemberi Rezeki (Q.S. al-Ma’idah
[5]: 114).
Selain berupa doa, dapat
pula berupa dzikir, terutama istighfar, seperti yang dianjurkan dalam Surat Nuh
[71]: 10-12.
فَقُلْتُ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ
عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ
لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
Maka aku katakan kepada
mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun-“. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan memperbanyak
harta dan anak-anakmu, dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai (Q.S. Nuh [71]: 10-13).
Dapat pula membaca al-Qur’an
yang diyakini dapat mempermudah rezeki. Misalnya, membaca Surat al-Waqi’ah
setiap malam, sebagaimana Hadis riwayat Ibn Mas’ud RA, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
مَنْ
قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَة (رواه البيهقي)
Barangsiapa membaca
Surat al-Waqi’ah dalam setiap malam, maka dia tidak akan ditimpa oleh kefakiran (H.R.
al-Baihaqi)
Berbekal ikhtiar lahir
dan batin, besar peluangnya seorang muslim berhasil memperoleh rezeki yang
diidam-idamkan.
Apabila seorang muslim
sudah berhasil memperoleh rezeki, maka sikap terpuji berikutnya adalah memberdayakan
rezeki tersebut sesuai dengan syariat Allah. Inilah yang disebut dengan bersyukur
kepada Allah SWT, seperti yang diperintahkan dalam Surat al-Baqarah [2]: 172
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
وَاشْكُرُوا لِلَّهِ
Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah (Q.S. al-Baqarah [2]:
172).
Syukur kepada Allah SWT diawali
dari hati yang meyakini bahwa rezeki yang diperoleh adalah semata-mata atas
berkat rahmat Allah SWT, bukan karena kehebatan manusia. Kemudian dilanjutkan
dengan ungkapan syukur melalui lisan dengan membaca Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Setelah itu berlanjut dengan syukur melalui anggota badan lainnya, yaitu menjalankan
kewajiban individual, terutama shalat lima waktu. Hal yang lebih baik lagi adalah mengajak
seluruh keluarga untuk mendirikan shalat lima waktu, sebagai bagian dari
ungkapan rasa syukur atas rezeki yang dapat dinikmati oleh seluruh anggota
keluarga (Q.S. Thaha [20]: 132)
وَأْمُرْ
أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ
نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami
lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang
yang bertakwa (Q.S. Thaha [20]: 132).
Boleh dikatakan bahwa
ciri khas ajaran Islam menyangkut harta benda adalah pengakuan terhadap hak
individual, namun harus memperhatikan hak-hak sosial. Oleh sebab itu, setiap
kali seorang muslim memperoleh rezeki, pada saat itu pula dianjurkan untuk
berbagi sebagian rezeki tersebut.
Sejalan
dengan itu, penerima rezeki perlu melaksanakan kewajiban sosial, terutama
melalui zakat dan nafkah keluarga. Ditambah dengan sunah-sunahnya, seperti infaq,
shadaqah, hibah, hadiah hingga wakaf. Fungsi sosial rezeki inilah yang
diperintahkan dalam Surat Ibrahim [14]: 31
قُلْ
لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
سِرًّا وَعَلَانِيَةً مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا
خِلَالٌ
Katakanlah
kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat,
menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi
atau pun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak
ada jual beli dan persahabatan”. (Q.S. Ibrahim [14]: 31
Surat Ibrahim [14]: 31
menjelaskan bahwa berbagi rezeki dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
terang-terangan. Contoh berbagi rezeki secara terang-terangan adalah berinfaq ke
masjid, menyantuni yatim piatu, bersedekah kepada pengemis, dan sebagainya.
Sedangkan contoh berbagi rezeki secara sembunyi-sembunyi adalah membeli sesuatu
di pasar tradisional tanpa menawar, dengan niat bersedekah tanpa diketahui oleh
si penjual; atau membayar biaya transportasi melebihi standar, dengan niat
bersedekah tanpa diketahui oleh si sopir.
Perintah berbagi rezeki tidak hanya ditujukan kepada umat
muslim yang berstatus kaya saja, melainkan juga yang berstatus miskin. Semuanya memiliki hak yang
sama untuk berbagi rezeki sesuai kemampuan masing-masing, sebagaimana perintah
Allah SWT dalam Surat al-Thalaq [65]: 7
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ
اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Hendaklah
orang yang mampu memberi infaq menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi infaq dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan (Q.S. al-Thalaq [65]: 7)
Ayat tersebut juga berfungsi
menumbuhkan optimisme bagi orang yang semula dalam kondisi serba sempit,
berpeluang mengalami kondisi yang serba lapang di kemudian hari. Paling tidak,
apabila setiap umat muslim menjalankan fungsi sosial rezeki, niscaya akan mengurangi
beban orang-orang yang mengalami kesulitan rezeki, seperti kaum fakir-miskin.
Agar umat muslim semakin
bersemangat untuk berbagi rezeki kepada orang lain, al-Qur’an menjanjikan bahwa
apapun rezeki yang dibagikan kepada orang lain, niscaya Allah SWT akan
menggantinya. Entah di dunia, lebih-lebih di akhirat, sesuai dengan keterangan
dalam Surat Saba’ [34]: 39
وَمَا
أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ
Dan apa saja
yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya (Q.S. Saba’ [34]: 39)
Terkait perbedaan rezeki
yang diperoleh manusia, harus diyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah
SWT (Q.S. al-Isra’ [17]: 30)
إِنَّ
رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ
خَبِيرًا بَصِيرًا
Sesungguhnya
Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya;
sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya (Q.S.
al-Isra’ [17]: 30).
Dalam tafsir Jalalain dijelaskan:
عَالِمًا
بِبَوَاطِنِهِمْ وَظَوَاهِرِهِمْ فَيَرْزُقُهُمْ عَلَى حَسَبِ مَصَالِحِهِمْ.
Karena Allah
Maha Mengetahui kondisi bathin dan zhahir umat manusia, maka Allah memberi
rezeki mereka sesuai dengan kemashlahatan masing-masing.
Seandainya umat manusia
dijadikan kaya oleh Allah SWT, niscaya akan semakin merajalela kemaksiatan yang
terjadi di muka bumi ini (Q.S. al-Syura [42]: 27)
وَلَوْ
بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ
Dan jika Allah
melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas
di muka bumi (Q.S. al-Syura [42]: 27).
Hal lain yang patut kita
pahami adalah kekayaan atau kemiskinan bukanlah cerminan dari kemuliaan
seseorang. Jangan sampai umat muslim salah persepsi seperti komentar umumnya manusia
yang diabadikan dalam Surat al-Fajr [89]: 15-16
فَأَمَّا
الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ.
Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.
Adapun
bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku
menghinakanku” (Q.S. al-Fajr [89]: 15-16).
Hanya dalam pandangan
manusia saja, harta dijadikan sebagai alat ukur mulia-hinanya seseorang. Contoh
sederhana, dalam pertemuan-pertemuan masyarakat, orang-orang kaya biasanya
diistimewakan; sedangkan orang-orang miskin diabaikan. Lain halnya dalam
pandangan Allah SWT. Contoh sederhana, dalam shalat berjamaah di masjid, orang
miskin yang datang awal akan menempati shaf depan, sedangkan orang kaya yang
datang akhir akan menempati shat belakang. Hal ini dikarenakan standar
mulia-tidaknya umat muslim di sisi Allah SWT adalah kualitas ketakwaannya (Q.S.
al-Hujurat [49]: 13)
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).
Memang benar, apabila seseorang
bertakwa, maka Allah SWT akan menganugerahkan rezeki yang tak terduga, baik
dari segi jumlah, cara maupun perantara rezeki tersebut (Q.S. al-Thalaq [65]:
2-3)
وَمَنْ
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا
يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ.
Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa
yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya
(Q.S. al-Thalaq [65]: 2-3).
Kiranya,
rezeki yang diperoleh melalui jalur ketakwaan adalah sebaik-baik rezeki. Oleh
sebab itu, semoga kita semua dianugerahi taufiq, hidayah dan inayah oleh Allah
SWT agar dapat memperoleh rezeki melalui jalur-jalur ketakwaan. Amin
ya Rabbal ‘Alamin.
Wallahu A’lam bi
al-Shawab.
Singosari, 2 Januari
2018.
Posting Komentar untuk "Tafsir Tematik Rezeki"