Transformasi Budaya (Tafsir Surat al-Ra'd [13]: 11)
Dr. Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
TAFSIR TEMATIK SURAT AL-RA’D [13]: 11
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah sesuatu pada suatu kaum sehingga mereka mengubah sesuatu yang ada pada diri mereka sendiri (Q.S. al-Ra’d [13]: 11)
NB: Materi utama ulasan tafsir ini dibatasi hanya 500 kata, agar lebih mudah dibaca sekali lahap.
Kata “yughayyiru”
berasal dari akar kata “ghairu” yang berarti “perbedaan antara dua hal”.
Dari sini muncul pengertian “yughayyiru” adalah “perubahan dari sesuatu
menjadi sesuatu lain yang berbeda”. Bisa jadi yang berubah hanya tampilan,
namun esensinya tetap. Seperti mobil warna silver yang diubah catnya menjadi hitam.
Bisa pula berubah tampilan sekaligus esensinya, seperti mobil warna silver
ditukar dengan mobil baru warna hitam.
Kata yughayyiru
berbentuk fi’il mudhari’ yang memiliki konotasi makna “sekarang” (hal)
dan “nanti” (mustaqbal), sehingga perubahan dilakukan secara
terus-menerus (istimrar), sejak sekarang hingga seterusnya. Sejalan
dengan analogi “hidup bagaikan roda yang terus berputar, kadang di atas, di
tengah dan di bawah”. Dalam bahasa al-Qur’an, kehidupan adakalanya “juara” (sabiq),
“lulus” (muqtashid) atau “gagal” (zhalim) (Q.S. Fathir [35]: 32).
Implikasinya, jika kehidupan
kita sekarang berlevel “juara”, tidak perlu sombong, karena ada peluang berubah
menjadi “lulus” bahkan “gagal”. Sebaliknya, jika kehidupan kita sekarang
berlevel “gagal”, tidak perlu putus asa, karena ada peluang berubah menjadi “lulus”
bahkan “sukses”. Dinamika kehidupan seperti ini dapat kita lihat dari kisah
Qarun yang semula menjadi pengikut Nabi Musa AS, kemudian berubah menjadi
pengikut Fir’aun. Sebaliknya, para tukang sihir Fir’aun berubah menjadi
pengikut Nabi Musa AS. Atas dasar itu, sikap utama dalam kehidupan ini adalah penuh
harap (raja’) meraih kesuksesan, sekaligus penuh rasa takut (khauf)
mengalami kegagalan. Perpaduan sikap raja’ dan khauf ini disebut sikap
waspada.
Potongan Surat al-Ra’d
[13]: 11 di atas memilki dua penafsiran. Pertama, Perubahan dari kondisi
baik menjadi buruk. Inilah pemaknaan umum para mufasir. Dalam Tafsir
al-Jalalain disebutkan bahwa nikmat Allah pada suatu kaum tidak akan dicabut, kecuali
mereka mengubah sikapnya dari taat menjadi maksiat. Pemaknaan ini selaras
dengan ayat, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku
sangat pedih” (Q.S. Ibrahim [14]: 7). Imam al-Mawardi menyebut bahwa
perubahan sikap suatu kaum, baik dari segi kemaksiatan maupun ketaatan, akan
berdampak pada perubahan nikmat Allah. Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa ayat ini memperingatkan
bahwa pencabutan nikmat semata-mata dikarenakan perilaku buruk suatu kaum. Misalnya,
Allah SWT memberikan nikmat sehat dan waktu luang (H.R. al-Bukhari), namun
banyak manusia yang mengabaikannya, sehingga mereka menyesal ketika mengalami
kegagalan (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-2).
Kedua,
Perubahan dari kondisi buruk menjadi baik. Inilah pemaknaan umum para dai, pendidik, pemimpin, motivator dan orang
yang berkepentingan mengubah kondisi suatu kaum dari buruk menjadi baik. Penggunaan
kata “ma” (sesuatu) yang bermakna umum (‘am) menunjukkan bahwa
objek perubahan itu bermacam-macam, antara lain: motivasi, mentalitas, kompetensi
(sikap, pengetahuan, keterampilan), gaya hidup dan falsafah hidup. Sedangkan kata
“qaum” (kaum) mengacu pada manusia sebagai suatu komunitas (masyarakat),
bukan individu (orang). Artinya, perubahan kondisi harus melalui jalur budaya
yang dipraktikkan oleh seluruh atau mayoritas masyarakat, bukan hanya aksi-aksi
individu yang dipraktikkan oleh orang per orang. Misalnya, sulit menemukan budaya
antri dalam berlalu-lintas, karena tidak ada mekanisme maupun regulasi yang
mengharuskan pengguna jalan raya untuk antri, sehingga budaya antri bersifat
individual, tergantung watak seseorang. Sebaliknya, mudah menemukan budaya
antri di bank, karena sudah ada mekanisme dan regulasi yang mengharuskan setiap
nasabah untuk antri, sehingga budaya antri bersifat kolektif, tidak tergantung watak
seseorang.
Wallahu A’lam bi
al-Shawab.
Posting Komentar untuk "Transformasi Budaya (Tafsir Surat al-Ra'd [13]: 11)"