Batasan Toleransi dalam Islam
Batas Toleransi dalam Akidah: "Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku" |
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
Allah SWT berkuasa menciptakan
manusia satu jenis saja, semisal semua muslim; namun Allah SWT berkehendak
menciptakan manusia beragam,
sebagai suatu ujian agar umat manusia saling berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S.
al-Ma’idah [5]: 48).
وَلَوْ
شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (Q.S. al-Ma’idah [5]: 48).
Salah
satunya berlomba-lomba menampilkan sikap toleransi (tasamuh).
Sebagai
umat moderat (wasathan), Islam menggariskan batas-batas yang harus
ditaati agar umat muslim tidak tergelincir dari jalan yang lurus. Misalnya,
toleransi tidak boleh melanggar prinsip-prinsip agama; sebagaimana agama tidak
boleh dijadikan alasan untuk bersikap intoleran (tidak bertoleransi). Berikut
uraian batas-batas toleransi di beberapa bidang kehidupan yang diharapkan
menjadi panduan bagi umat muslim.
Batas Toleransi di Bidang Ibadah
Batas
toleransi di bidang akidah adalah:
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Bagimu agamamu, dan
bagiku agamaku (Q.S. al-Kafirun
[109]: 6).
Ketika
Rasulullah SAW diajak kompromi oleh kaum kafir Quraisy dengan cara saling
“bertukar ibadah”; yaitu sekarang kaum kafir ikut beribadah umat muslim; dan
besok giliran umat muslim ikut beribadah kaum kafir. Kompromi akidah ini
langsung ditolak dengan tegas melalui ayat ini. Jadi, tidak ada toleransi dalam
hal akidah. Itulah mengapa, pluralisme diharamkan. Misalnya, doa bersama antar
umat beragama, di mana Pastur atau Biksu berdoa, sedangkan umat muslim
“mengamini” doa tersebut.
Sesungguhnya
kalimat tauhid لا إله إلا الله sudah mengisyaratkan bahwa ada tuhan-tuhan selain
Allah SWT yang dipercaya umat manusia, seperti dewa dan berhala; namun umat
muslim hanya boleh beriman kepada Allah SWT. Al-Qur’an pun mengakui keberadaan
agama-agama lain di luar Islam, seperti Yahudi, Nasrani, Shabi’in
(penyembah bintang), Majusi atau Zoroaster (penyembah api); dan agama-agama
lain, seperti Hindu, Budha, Konghuchu, Animisme-Dinamisme, Sikhisme (Sikh), Atheisme,
yang semuanya tergolong syirik atau kafir (Q.S. al-Hajj [22]: 17).
إِنَّ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى
وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (17)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, Shabi’in, Nasrani, Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi
keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu (Q.S. al-Hajj [22]: 17)
Batas
toleransi di bidang fikih adalah:
وَلَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
Bagi kami amalan kami, dan bagi kalian amalan kalian (Q.S. al-Baqarah [2]: 139).
Misalnya,
mazhab Syafi’i memulai bacaan Surat al-Fatihah dalam shalat dengan Basmalah,
sedangkan mazhab Maliki memulai bacaan Surat al-Fatihah dalam shalat dengan Hamdalah.
Keduanya sama-sama memiliki dalil yang shahih sebagai landasannya. Apalagi
fikih merupakan wilayah ijtihad yang dilandasi prinsip, “pendapatku benar,
namun mengandung kemungkinan salah; pendapat orang lain salah, namun mengandung
kemungkinan benar”. Sehingga yang dibutuhkan adalah menghormati pendapat mazhab
lain yang berbeda, bukan menyalah-nyalahkannya. Inilah wujud sikap toleransi
dalam bidang fikih.
Selain
itu, kita dapat meneladani sikap Rasulullah SAW yang diceritakan oleh Sayyidah
‘Aisyah RA:
مَا
خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ أَخَذَ
أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ
النَّاسِ مِنْهُ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW tidak diminta memilih antara dua hal,
kecuali beliau mengambil yang paling mudah, selama tidak termasuk dosa. Jika termasuk
dosa, maka beliau adalah manusia yang paling menjauhi dosa (H.R. al-Bukhari).
Hadis
ini memberi secercah pemahaman bahwa selama tidak tergolong dosa, maka umat
muslim bebas memilih. Misalnya, memilih shalat Shubuh dengan membaca qunut atau
tidak (ada toleransi di sini); bukan memilih mendirikan shalat Shubuh atau
tidak (tidak ada toleransi di sini).
Batas
toleransi di bidang akhlak adalah:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Barangsiapa di antara kalian melihat munkar, maka dia
harus mengubahnya dengan tangannya (kekuaaan); jika tidak mampu, maka dengan
lisannya (nasihat); jika tidak mampu, maka dengan hatinya (pengingkaran), dan
yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman
(H.R. Muslim).
Munkar adalah sesuatu yang dipandang buruk oleh syariat
Islam maupun adat istiadat masyarakat. Bisa jadi ada sesuatu yang dipandang
buruk oleh syariat Islam, bukan oleh adat istiadat. Misalnya, larung sesaji di
laut. Bisa juga ada sesuatu yang dipandang buruk oleh adat istiadat, bukan oleh
syariat Islam. Misalnya, tidak memakai helm atau sabuk pengaman saat
berkendara.
Ketika
melihat sesuatu yang tergolong munkar, maka tidak boleh ada toleransi,
melainkan harus segera melakukan nahi munkar, sesuai kemampuan
masing-masing. Bisa melalui kekuasaan (bi-yadihi), seperti polisi yang
berwenang untuk menilang orang yang melanggar lalu lintas; melalui nasihat (bi-lisanihi),
seperti guru yang memberi peringatan keras kepada murid yang melanggar tata tertib;
atau melalui pengingkaran hati (bi-qalbihi), seperti mengingkari budaya
lokal yang bertentangan dengan syariat Islam.
Batas Toleransi di Bidang Muamalah
Batas
toleransi di bidang interaksi sosial adalah:
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8).
Ayat
ini mengisyaratkan boleh berinteraksi sosial dengan umat non-muslim, asalkan
mereka tidak mengancam jiwa, harta, wilayah dan harga diri umat muslim.
Atas
dasar itu, tidak ada toleransi terhadap penindasan yang dilakukan umat Budha
sebagai warga mayoritas Myanmar, terhadap umat muslim Rohingya sebagai warga
minoritas Myanmar; sebagaimana tidak ada toleransi terhadap penjajaha yang
dilakukan Israel terhadap Palestina. Demikian juga tidak ada toleransi, apabila
umat non-muslim melakukan tindakan yang melecehkan simbol-simbol agama Islam,
semisal kasus kartun Nabi Muhammad SAW yang sempat beredar di Denmark dan
Perancis.
Batas
toleransi di bidang ekonomi adalah
كَيْ
لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu (Q.S. al-Hasyr [59]:
7).
Al-Qur’an
mengakui adanya perbedaan tingkat ekonomi antara orang kaya dengan orang
miskin, sehingga Islam memberi toleransi dengan tidak memaksa semua orang harus
kaya atau miskin. Namun, ayat ini menegaskan bahwa tidak boleh ada monopoli
ekonomi, sehingga kekayaan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Oleh
sebab itu, tidak ada toleransi bagi umat muslim yang tidak mengeluarkan zakat mal
(harta), sebagaimana kebijakan Khalifah Abu Bakar RA memerangi umat muslim yang
menolak membayar zakat.
Islam
juga tidak memberi toleransi pada aktivitas-aktivitas perekonomian yang hanya
menguntungkan satu pihak saja. Misalnya, perjudian seperti togel yang hanya
menguntungkan bandar dan merugikan mayoritas penjudi (maisir); pemalsuan
barang dagangan agar memperoleh keuntungan besar (gharar); rentenir yang
mencekik rakyat kecil dengan bunga pinjaman yang tidak manusiawi (riba);
menimbun barang dagangan agar terjadi kelangkaan di masyarakat, sehingga harga
melambung tinggi (bathil).
Batas
toleransi juga berlaku pada bidang-bidang muamalah yang belum sempat diulas
dalam tulisan ini, seperti politik, tata-negara, hukum, pidana, perdata,
keluarga, dan lain-lain. Intinya, selalu ada batasan toleransi dalam Islam,
sehingga toleransi tidak bergerak liar (kebebasan mutlak). Inilah kiranya
kompromi terbaik antara ajaran Islam dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam
konteks toleransi. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Singosari, 24 Februari 2018
Posting Komentar untuk "Batasan Toleransi dalam Islam"