Bid'ah dan Khurafat dalam Pandangan Nahdlatul Ulama
"TBC" Menjadi Istilah Populer Masyarakat Terkait Polemik Seputar Bid'ah dan Khurafat |
MEMBEDAH HAKIKAT BID’AH DAN KHURAFAT
Pada kesempatan ini, saya menukil beberapa keterangan dari
kitab tentang hal-hal yang sekarang ini sering dipolemikkan di antara kaum
muslimin sendiri, karena berbeda aliran atau mazhab. Kita harus mengerti duduk
masalahnya, sehingga tidak terombang-ambing dengan polemik yang sering
terlontar di kalangan masyarakat, yaitu bid’ah dan khurafat.
Sebenarnya polemik ini sudah ada semenjak saya kecil. Setelah lama reda, sekarang muncul lagi.
Sebenarnya polemik ini sudah ada semenjak saya kecil. Setelah lama reda, sekarang muncul lagi.
Bid’ah
Bid’ah berasal dari kata bada’a, yabda’u,
bid’atan, wa bida’an. Arti bid’ah
yang lebih tepat adalah “membuat-buat”. Konotasi umumnya adalah sesuatu yang
dibuat-buat oleh orang (ikhtira’) dan ditempelkan dalam Islam, padahal
tempelan ini bertentangan dengan kaidah Islam. Jadi, bid’ah adalah
sesuatu tambahan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Bid’ah
dilarang oleh Nabi Muhammad SAW melalui sabda beliau:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ،
وَ كُلُّ ضلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه ابن خزيمة)
Semua bid’ah adalah kesesatan; dan semua kesesatan itu masuk
neraka (H.R. Ibn Khuzaimah)
Masalahnya sekarang, pengertian bid’ah
itu berbeda. Ada yang mengartikan, setiap
tambahan
itu bid’ah. Ada yang
mengartikan, hanya tambahan yang bertentangan dengan syariat Islam saja yang
disebut bid’ah; kalau
tambahan
tersebut tidak
bertentangan, berarti itu kelonggaran yang diberikan Allah SWT, dalam konteks kreativitas manusia.
Jadi, pengertian bid’ah
itu sendiri sudah berbeda. Pihak pertama menyatakan jika dulu (zaman Rasulullah
SAW dan salafus-shalih) tidak ada, lalu sekarang ada, maka termasuk bid’ah.
Pihak kedua menyatakan bid’ah adalah
tambahan yang bertentangan syariat
Islam;
kalau tidak bertentangan, berarti bukan bid’ah.
Bid’ah dalam Bidang Akidah
Tambahan yang paling ketat
tidak bolehnya adalah di bidang tauhid
atau akidah. Misalnya, La Ilaha illa Allah itu sudah paten; Muhammad Rasulullah, juga sudah paten. Bergeser sedikit, Islamnya
sudah batal.
Orang yang “menduakan” Allah SWT, berarti dia musyrik. Orang yang menganggap ada kekuatan di luar
Allah SWT dan bersifat
independen (mandiri), dia juga musyrik. Kalau kita mengakui
ada kekuatan di luar Allah SWT, maka harus dalam pengertian bahwa kekuatan itu
hakikatnya bersumber dari Allah SWT, kemudian kekuatan itu diberikan kepada
benda tersebut. Demikian halnya,
Nabi Muhammad SAW adalah rasul yang terakhir, lalu tidak ada rasul lagi. Jadi, orang-orang belakangan yang mengaku nabi dan rasul, berarti
sudah
keluar dari Islam. Ini bid’ah yang jelas di bidang tauhid.
Terkadang,
dalam kehidupan sehari-hari, pengertiannya salah dan aplikasinya juga salah. Misalnya, ada
orang ziarah kubur. Kalau dia mengatakan bahwa kuburan itu punya kekuatan yang
independen (mustaqil), terlepas dari kekuatan Allah SWT, maka dia sedang
melakukan kemusyrikan. Sama
halnya,
kalau dia meyakini ada benda yang memiliki kekuatan (animisme), dan kekuatan
tersebut di luar konteks kekuatan Allah SWT, maka dia musyrik. Jadi, faktor utamanya adalah
keyakinan yang salah.
Kalau ada orang senang keris, apakah dia musyrik atau tidak? Maka harus dilihat dulu
keyakinannya. Kalau dia meyakini bahwa keris itu memiliki kekuatan independen,
lepas dari kekuatan Allah SWT, maka dia musyrik; tapi, kalau keris hanya untuk
aksesoris, peninggalan sejarah, atau barang antik, maka dia tidak musyrik. Demikian halnya jika dia mengatakan
bahwa keris tersebut memiliki kekuatan,
namun kekuatannya atas izin
Allah SWT, maka dia tidak
musyrik.
Kadang-kadang, keris itu memang ada penunggunya. Waktu membuatnya, seorang
empu (ahli pembuat keris) sering memiliki kekuatan lebih. Misalnya, punya “murid” jin, lalu diikatkan pada keris tersebut. Ke mana saja keris itu dibawa, “jin penunggu” selalu ikut. Kelihatannya,
secara fisik, keris menjadi aneh. Saya pernah punya keris. Ditidurkan tidak
bisa.
Kalau malam, sering membuat suara gaduh (gelodakan). Keris
itu sebenarnya
tidak berfungsi apa-apa. Namun,
karena pembuat keris mengikatkan “penunggu” pada keris, maka orang yang memiliki keris
seperti ini harus bisa merawat “penunggu”. Kalau tidak bisa, pemiliknya terancam
bahaya.
Selain
itu, ada
benda-benda tertentu yang diberi kekuatan khusus oleh Allah SWT. Misalnya, pohon pisang. Senjata tajam kadang tidak tembus pada orang yang memiliki ilmu kanuragan. Tapi, kalau senjata tajam itu ditusukkan dulu ke pohon pisang, maka senjata tersebut bisa menembus orang yang memiliki ilmu kanuragan. Dalam hal ini, kita tidak mempercayai pohon
pisang memiliki kekuatan yang
independen, tapi mempercayai bahwa Allah SWT memberikan kekuatan khusus kepada pohon pisang. Contoh lain, daun kelor itu paling ditakui oleh orang-orang sakti. Bambu, sekecil apapun, seperti carang (ranting bambu paling kecil), dipukulkan ke
ular, seberapapun besarnya ular itu, dia akan lumpuh. Kalau tidak percaya, silahkan buktikan sendiri.
Dari
sini kita dapat membedakan antara kekuatan independen (mustaqil), kekuatan
khusus dan khasiat
benda-benda (seperti tanaman tertentu untuk pengobatan). Jika orang mengatakan bahwa benda memiliki kekuatan
independen, maka dia
musyrik. Jika orang mengatakan bahwa benda memiliki kekuatan khusus atau
khasiat tertentu, namun semuanya bersumber dari Allah SWT, maka dia tidak
musyrik. Jadi, jangan sampai kita musyrik; dan jangan pula mudah menuduh musyrik pada orang lain.
Dalam kaidah ini, musyrik bisa disebut bid’ah; kafir juga bisa disebut bid’ah. Kafir adalah orang yang tidak percaya kepada
Allah SWT, malaikat, kitab suci, rasul, hari akhir dan takdir. Jika rukun iman itu dilanggar seseorang, berarti dia keluar dari Islam. Misalnya,
menganggap ada nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW; ada tuhan lain selain Allah
SWT. Orang Kristen disebut kafir, karena Nabi Isa AS dituhankan.
Bid’ah di Bidang Ibadah
Terkait
tambahan di bidang ibadah, perlu
dipilah antara ibadah khusus
(khashshah) dan umum (‘ammah). Ibadah khusus itu isi dan bentuknya sudah
ditetapkan. Misalnya, shalat
Shubuh dua rakaat. Karena isi dan bentuknya sudah ditetapkan, maka mengubah isi atau bentuk ibadah khusus, pasti tergolong bid’ah dhalalah (bid’ah tersesat).
Biasanya, para ulama belum menghukumi kafir, melainkan mubdi’ (ahli bid’ah)
atau mukhtari’ (ahli mengada-ada). Misalnya, shalat menggunakan dua
bahasa. Jadi, bid’ah mudah dipastikan dalam konteks ibadah khusus, yaitu
jika berbeda dengan bentuk aslinya, tambahan maupun pengurangan, secara
otomatis tergolong bid’ah.
Sedangkan
ibadah
umum itu isinya
sudah ditetapkan, tapi
bentuknya bebas. Misalnya, zakat itu sudah ditentukan prosentase (nishab-haul) dan
penerimanya (mustahiq). Namun, teknis
pengaturan zakat tidak dirinci
dalam al-Qur’an
dan Hadis, sehingga menjadi kelonggaran untuk
diatur teknisnya. Demikian halnya zikir dan wirid. Zikir dan wirid sedikit atau banyak sama-sama boleh. Membaca zikir dan wirid sambil
jalan atau di masjid sama-sama
boleh.
Dalam masalah ibadah umum ini, satu golongan berbeda pandangan dengan golongan lain terkait pengertian Hadis tentang bid’ah di atas. Misalnya, setelah shalat, imam shalat membaca wiridan subhanallah 33 kali. Ada
golongan yang mau melakukan, berdasarkan Hadis riwayat Abu Hurairah RA:
مَنْ سَبَّحَ
اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ
ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ
وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Barangsiapa setiap selesai shalat membaca tasbih tiga
puluh tiga kali, tahmid tiga puluh tiga kali, takbir tiga puluh tiga kali, sehingga
berjumlah sembilan puluh sembilan; dan dia menggenapi menjadi seratus dengan
bacaan Laa Ilaaha Illa Allah, Wahdahu Laa Syarika Lahu, Lahu al-Mulk wa Lahu
al-Hamdu, wa Huwa ‘ala Kulli Syai’in Qadir, maka diampuni
kesalahan-kesalahannya, meskipun seperti buih lautan (H.R. Muslim).
Ada
pula golongan yang tidak mau melakukannya, karena menganggapnya bid’ah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah begitu. Meskipun mereka tahu
ada Hadisnya, mereka tidak menerima Hadis tersebut, sehingga bacaan tasbih tiga
puluh tiga kali tetap dianggap wiridan yang mengada-ada. Ketika haji, kita akan mengetahui bahwa tidak ada
imam Masjidil Haram yang wiridan. Tapi shalat Tarawih di Masjidil Haram, sama dengan kita (20 rakaat). Jadi, perbedaan penilaian apakah suatu ibadah umum itu
tergolong bid’ah dan tidak, disebabkan perbedaan penafsiran terhadap al-Qur’an dan Hadis.
Bid’ah di Bidang Muamalah
Tambahan
yang
paling longgar itu menyangkut
muamalah,
seperti pergaulan
sosial, ekonomi hingga kebudayaan,
karena bersifat dinamis (bergerak terus). Karena
bergerak terus, ukuran seseorang terhadap tambahan pada bidang muamalah menjadi
berbeda-beda; apakah tambahan tersebut merupakan kelonggaran yang masih bisa
ditoleransi, sehingga berada dalam Islam; ataukah tidak bisa ditoleransi, sehingga
sudah di luar Islam.
Saya ambil contoh paham Syiah. Menurut kita (NU), orang Syiah itu masih dalam kerangka Islam, hanya berbeda dengan kita. Menurut orang
Wahabi, orang Syiah itu sudah keluar dari Islam, karena dinilai sudah menambah-nambahi ajaran Islam. Misalnya, ketika adzan, setelah membaca dua kalimat syahadat, masih ditambah dengan
kalimat “wa anna
‘Aliyyan waliyyullah”
(sesungguhnya Sayyidina ‘Ali itu kekasih Allah). Kalimat hayya ‘ala al-falah,
diganti hayya ‘ala khair
al-‘amal.
Shalat lima waktu dijamak terus sehingga menjadi tiga waktu (Shubuh;
Zhuhur-Ashar; Maghrib-Isya’), baik ketika bepergian (musafir) maupun ketika di
rumah. Kalau berhaji, orang Syiah tidak mau ziarah ke makam Rasulullah SAW,
karena di sana ada makam Sayyidina Abu Bakar RA dan Sayyidina
‘Umar RA yang dianggap merebut jabatan Khalifah dari Sayyidina ‘Ali RA.
Hadis-hadis riwayat Bukhari-Muslim juga tidak diterima; orang Syiah hanya mau menerima riwayat dari Sayyidina
‘Ali RA, Sayyidah
Fathimah RA dan shahabat tertentu saja. Wudhunya orang Syiah tidak
sama dengan kita. Ketika wudhu, sepatunya tidak dilepas, cukup diusap; serta
membasuh muka dan rambut dijadikan satu. Orang Syiah juga membolehkan nikah mut’ah (nikah kontrak),
asalkan suka sama suka. Ini yang banyak peminatnya. Oleh sebab itu, orang Wahabi di Saudi Arabia menilai Syiah sudah di
luar Islam. Bukan hanya bid’ah dhalalah, melainkan sudah kafir. Kalau
pandangan kita pada Konggres di Makkah tempo hari, Syiah Zaidiyah dan Syiah
Imamiyah tidak termasuk kafir. Sedangkan Syiah yang ada di Indonesia itu Syiah
Zaidiyah. Adapun Syiah yang kafir itu Syiah Ghullat yang pahamnya kebangetan,
seperti mengatakan Malaikat Jibril keliru memberi wahyu, seharusnya wahyu
diberikan kepada Sayyidina ‘Ali RA.
Membedakan Bid’ah dengan
Khilafiyah
Fenomena yang banyak beredar di
kalangan umat muslim, khususnya Indonesia, masalah khilafiyah (perbedaan
pendapat) sudah dianggap bid’ah dhalalah. Khilafiyah adalah
masalah yang diperselisihkan, tapi masih dalam bingkai Islam; sedangkan bid’ah
dhalalah itu sudah di luar bingkai Islam. Misalnya, Qunut. Imam Maliki tidak membaca qunut, sedangkan Imam Syafi’i membaca qunut. Keduanya tidak bentrok, karena sama ngertinya.
Di sini berkelahi, karena
sama gobloknya. Yaitu
sama-sama tidak mengerti
kalau qunut merupakan masalah khilafiyah, bukan bid’ah. Khilafiyah
adalah alternatif, sedangkan bid’ah adalah kontradiktif.
Contoh
lagi, ziarah
kubur.
Ada yang mau dan ada yang tidak
mau berziarah kubur, karena
pedoman Hadisnya
tidak sama. Demikian juga mengenai tawasul, yaitu berdoa kepada Allah SWT dengan perantara. Misalnya, “Ya Allah, mohon berilah saya rezeki yang murah; dengan kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan para shalihin”. Doa
tawasul ini masih diperselisihkan (khilafiyah). Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Bagi yang tidak membolehkan, mereka menyindir, “Untuk doa saja, ada apa
mesti dimakelari”. Bagi yang membolehkan, mereka menggunakan dalil ayat al-Qur’an,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan carilah wasilah (perantara) kepada-Nya
(Q.S. al-Ma’idah [5]: 35).
Maksudnya,
kalau
kamu menuju kepada Allah SWT,
cobalah gunakan rekomendasi
orang yang dekat dengan Allah SWT. Jadi,
tawasul dianggap rekomendasi; sebagaimana saya memberikan rekomendasi kepada
anak yang mau belajar ke Australia. Bagi
yang mengharamkan, tawasul dianggap mengangkat orang sebagai tuhan; dan yang demikian itu sudah menyeleweng dari jalan kebenaran (shirath al-mustaqim).
Demikian
halnya
membaca shalawat Barzanji dan istighatsah. Karena di Saudi Arabia tidak ada Barzanji maupun istighatsah, maka keduanya dianggap bid’ah dhalalah. Sedangkan menurut kita, keduanya tergolong masalah khilafiyah.
Bid’ah Dhalalah dan Hasanah
Ada analisa lain yang membagi bid’ah menjadi dua. Bid’ah dhalalah
dan bid’ah hasanah. Bid’ah
hasanah adalah suatu tambahan yang memperkuat Islam. Menurut Ahli Logika (Manthiq),
kata kullu dalam Hadis tentang bid’ah di atas, tidak bermakna
“semua” (kata universal), melainkan “sebagian besar” (kata partikular).
Contoh
bid’ah
hasanah, peringatan
maulid
Nabi Muhammad SAW. Dulu
Nabi SAW tidak
pernah mauludan, namun Rasulullah
SAW sering puasa Senin. Ketika ditanya, mengapa beliau berpuasa? Rasulullah SAW menjawab, “karena hari Senin adalah hari kelahiranku”. Jadi,
hari
kelahiran beliau ditandai. Kita juga ingin menandai kelahiran beliau dengan cara kita sendiri. Dulu,
pada waktu perang salib, umat Islam kalah; lalu Shalahuddin al-Ayyubi punya ide membuat mauludan besar-besaran, untuk mengingatkan umat muslim tentang perjuangan
Rasulullah SAW. Mauludan
itu tidak diperbolehkan di Saudi, karena dinilai bid’ah. Menurut kita, mauludan
tidak nabrak apa-apa; sehingga termasuk bid’ah hasanah, karena
mengingatkan umat muslim terhadap perjalanan Rasulullah SAW.
Sebetulnya
dari dulu masalah-masalah seperti
ini sudah
ada, kemudian reda; tapi belakangan ini ribut lagi. Dengan demikian, kita tidak usah
gugup kalau masuk masjid
yang imam shalatnya memulai
Bacaan al-Fatihah
dengan Basmalah atau dengan
Hamdalah. Tenang
saja, tetap makmum. Kalau masuk masjid yang imam shalatnya tidak baca wiridan setelah shalat, kita tetap wiridan; tapi pelan-pelan, biar tidak kelihatan aneh. Alkisah, ada orang yang tidak biasa wiridan,
shalat di
masjid yang biasa wiridan. Dia datang terlambat, sedangkan para jamaah sudah wiridan semua. Ketika sedang shalat, dia mendengar para jamaah membaca subhanallah dengan
keras. Orang ini tidak mengerti kalau subhanallah itu wiridan; dia hanya
mengerti subhanallah itu untuk mengingatkan orang yang lupa dalam
shalatnya; akhirnya dia bingung dan
berpikir:
“Salah apa saya?”.
Kesimpulannya, bid’ah yang tersebar lagi hari ini, pangkalnya ada tiga. Pertama,
perbedaan pengertian tentang bid’ah. Kedua, masalah khilafiyah
yang dianggap bid’ah. Ketiga, perbedaan pendapat tentang ada-tidaknya bid’ah hasanah.
Khurafat
Khurafat adalah
keyakinan-keyakinan yang mengada-ada. Khurafat adalah anak kandungnya
syirik. Misalnya, percaya kepada Nyi Roro Kidul,
yang seharusnya tidak boleh dipercaya.
Jadi, kalau bid’ah itu mencakup banyak bidang (Akidah, Ibadah dan
Muamalah), sedangkan khurafat hanya di bidang keyakinan atau akidah
saja.
Memang orang Islam di Indonesia ini secara pemahaman berbeda dengan
sebagian Timur Tengah.
Kita (NU) berpaham Sunni, sedangkan mereka Wahabi. Di sisi lain, orang Islam di Indonesia sendiri sering salah, karena ngajinya
belum tuntas. Misalnya, membaca Surat Yasin, kalau tidak pakai dupa, pahalanya tidak akan sampai.
Keyakinan seperti ini peninggalan
orang-orang Hindu dan Budha yang dipakai
sampai sekarang. Padahal, di Arab Saudi, dupa itu untuk parfum. Kalau mau
shalat berjamaah, di pojok-pojok masjid dibakari dupa, sebagai parfum. Ketika
dupa untuk parfum, maka no
problem. Tapi, kalau dupa diyakini ada magicnya, itu kan problem. Jadi, faktor niat sangat menentukan.
Meskipun faktor
niat sangat menentukan, namun secara
kasatmata sulit dibedakan mana
niat yang sudah benar dan
mana niat yang
tidak benar.
Misalnya, Nogojino itu khurafat, seperti kalau hari tertentu
tidak boleh membangun rumah; rumah tidak boleh memiliki pintu berjajar, karena
rezekinya akan hilang; tidak boleh membangun rumah di bulan shafar, karena akan
apes. Itu semua
khurafat. Yang
demikian ini disebabkan proses dakwahnya belum selesai; dan yang demikian ini ada di
kalangan orang-orang NU.
Khurafat itu
dalam ajaran kita (NU) dilarang. Akan tetapi, orang-orang kita sendiri sering melakukannya. Akibatnya, orang lain yang melihat hal tersebut, mengira khurafat adalah ajaran
kita. Oleh karena itu, NU sering menjadi sasaran gerakan anti-bid’ah,
karena tidak mengetahui ajaran NU yang sesungguhnya. Memang ada orang NU yang melakukan khurafat
seperti
itu, namun NU
sudah berusaha memberantasnya. Jadi, khurafat itu bersifat perorangan,
bukan ajaran.
Salah
satu sebabnya, dulu para Walisongo belum selesai dakwahnya.
Tugas Walisongo itu dibagi-bagi, ada yang ahli Fikih seperti Sunan Ampel; ahli
budaya seperti Sunan Kalijaga; ada yang ahli mengurus kaum abangan dan
sakti-sakti, seperti Sunan Gunung Jati. Orang-orang sakti yang ditaklukkan oleh Sunan Gunung Jati, ikut mengaji kepada beliau. Lalu ada
yang selesai mengajinya dan
ada yang belum
selesai.
Ketika Sunan Gunung Jati wafat, orang-orang yang belum selesai mengajinya ini,
masih menganggap beliau sebagai guru, sehingga ketika berziarah kubur, tindakan
mereka tidak karu-karuan dan tergolong khurafat.
Posting Komentar untuk "Bid'ah dan Khurafat dalam Pandangan Nahdlatul Ulama"