Hukum Alam (Sunnatullah) dalam Pandangan Islam
MEMAHAMI SUNNATULLAH DAN
MASYI'ATULLAH
Almaghfurlah KH. Ahmad Hasyim Muzadi
Manusia Pasti Menghadapi Masalah (Sunnatullah), Solusinya Bisa Melalui Pendidikan (Masyi'atullah) |
Kehendak
(iradah) Allah
SWT terbagi menjadi dua
kategori. Pertama, Sunnatullah. Sunnatullah adalah
kehendak yang merupakan takdir atau qadar Allah SWT yang sudah ditetapkan
terlebih dulu dan tidak bisa diubah.
Al-Qur’an
menyebutnya dengan istilah
“Kitab” atau “Lauh Mahfuzh”.
Misalnya, informasi seputar isi langit dan bumi (Q.S. al-Hajj
[22]: 70)
أَلَمْ تَعْلَمْ
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ
إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (70)
Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah (Q.S. al-Hajj [22]: 70).
Demikian
halnya informasi seputar musibah yang terjadi di bumi maupun yang dialami
manusia (Q.S. al-Hadid [57]: 22).
مَا أَصَابَ مِنْ
مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ
أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22)
Tiada
suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri,
melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Q.S. al-Hadid [57]: 22).
Jauh
sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an pun sudah ada di Lauh
Mahfuzh (Q.S. al-Buruj [85]: 21-22)
بَلْ هُوَ قُرْآَنٌ
مَجِيدٌ (21) فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (22)
Bahkan
(yang didustakan mereka itu) adalah al-Quran
yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh
(Q.S. al-Buruj [85]: 21-22).
Semua
itu merupakan contoh sunnatullah yang tidak bisa diubah lagi (Q.S. al-Ahzab [33]: 62)
سُنَّةَ اللَّهِ
فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
(62)
Sebagai
sunnatullah yang berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum(mu), dan kamu
sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnatullah (Q.S. al-Ahzab [33]:
62).
Sunnah dalam ayat ini bermakna sunnatullah, yaitu ketetapan Allah SWT yang
dibakukan. Misalnya, kita tidak bisa mengubah perjalanan matahari agar berjalan
dari barat ke timur.
Kita
tidak bisa meminta bumi ini tidak bulat, semisal lonjong. Kita tidak bisa meminta
hidup abadi. Kita tidak bisa meminta hidup tanpa mengalami kesulitan. Kita tidak bisa meminta dunia ini bebas dari orang jahat, nakal, preman, dan sebagainya. Semua itu adalah sunnatullah
yang sudah dibukukan dan dibakukan.
Kedua, Masyi’atullah. Misalnya, Allah SWT berkuasa membuat
setiap manusia dapat hidayah, namun Allah SWT berkehendak ada manusia yang
tidak mendapat hidayah, sehingga kelak masuk neraka (Q.S. al-Sajdah [32]: 13).
وَلَوْ شِئْنَا
لَآَتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ
جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (13)
Dan
jika Kami menghendaki,
niscaya Kami akan berikan kepada setiap jiwa, hidayah (petunjuk); akan tetapi telah
tetaplah perkataan dari-Ku: “Sesungguhnya
Aku akan penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan
manusia bersama-sama” (Q.S. al-Sajdah [32]: 13).
Jadi, ayat ini mengisyaratkan bahwa ada manusia yang mendapatkan hidayah-Nya; dan ada pula yang tidak mendapatkan hidayah-Nya. Inilah contoh masyi’atullah.
Allah
SWT berkuasa menjadikan manusia seragam atau homogen, namun Allah SWT
menghendaki manusia beraneka-ragam atau heterogen (Q.S. al-Ma’idah [5]: 48).
وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu;
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah, (tempat)
kembali kalian semua; lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (Q.S. al-Ma’idah [5]: 48).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah
SWT berkuasa menjadikan manusia sebagai umat yang satu (homogen): satu tempat, satu tipe, satu
kelakuan, semuanya sama. Akan tetapi, Allah SWT tidak menghendaki demikian. Buktinya, orang bule diciptakan berkulit putih; orang Jawa berkulit cokelat; orang Nigeria berkulit hitam. Orang bule berpostur tubuh tinggi, sedangkan orang
Indonesia berpostur tubuh pendek.
Itu baru perbedaan bentuk
fisik, belum perbedaan budaya.
Jangankan perbedaan antara budaya Indonesia dengan
negara lain; antara
Semarang dengan Surabaya saja sudah berbeda. Misalnya: Bagi orang Surabaya,
kata nili’i bermakna mencicipi; sedangkan bagi orang Semarang, kata nili’i
bemakna mengunjungi. Sehingga ketika ada calon menantu asal Semarang mengirim surat kepada calon mertuanya
asal Surabaya yang isinya “Insya Allah, minggu
ngajeng kulo bade nili’i putri panjenengan”. Pasti calon mertua tersebut akan marah, karena menurutnya,
belum menjadi menantu saja sudah mau mencicipi
putrinya.
Mengapa
Allah
SWT tidak menghendaki semuanya sama?
Tujuannya adalah untuk menguji manusia. Artinya, jika manusia diberi sesuatu oleh Allah SWT, maka apa yang
akan dia lakukan dan apa hasilnya. Itulah yang disebut masyi’atullah.
Masyi’atullah bersifat relatif, tidak mutlak
sebagaimana sunnatullah. Oleh sebab itu, ada faktor interaksi antara kehendak Allah SWT dengan ikhtiar
atau perjuangan manusia. Misalnya,
dalam suatu Hadis terdapat
keterangan bahwa seandainya seluruh dunia ini hanya dipenuhi orang shalih saja, maka dunia akan ditutup dan diganti dengan dunia yang
dihuni orang shalih, orang nakal,
preman, dan lain-lain. Dengan adanya
perbedaan sifat manusia seperti ini, muncul kegiatan dakwah dan pendidikan.
Contoh
lain, jika
seluruh manusia di dunia ini diciptakan pandai semua, maka tidak perlu lagi ada
sekolah. Seandainya
manusia itu sudah pandai sejak lahir, maka
sama dengan setan yang
sejak lahir sudah pandai. Jadi,
makhluk terpandai adalah setan, karena sejak lahir sudah pandai. Oleh karena
itu, jangan coba-coba melawan setan dengan rekayasamu sendiri, tanpa meminta
pertolongan Allah SWT, karena kamu pasti akan direkayasa oleh setan.
Ketika manusia baru lahir,
justru kalah pintar dibandingkan anak ayam yang langsung bisa mematuk makanannya sendiri. Sesungguhnya Allah SWT berkuasa
untuk menjadikan manusia langsung pandai, akan tetapi Allah SWT tidak menghendakinya,
supaya ada kasih sayang orangtua.
Kesimpulannya, sunnatullah itu pasti dan tidak bisa diubah; sedangkan masyi’atullah itu relatif dan bisa diubah. Bagaimana cara mengubahnya?
Jumhur (mayoritas) ulama
berpendapat bahwa masyi’atullah dapat diubah melalui doa; sedangkan sunnatullah
tidak bisa diubah dengan doa. Ringkasnya, masyi’atullah merupakan tempatnya
doa. Misalnya, orangtua berdoa, “Ya Allah, mohon jangan jadikan saya sebagai
preman; saya mohon Engkau jadikan orang yang shalih”. Fungsi doa yang mengubah masyi’atullah
ini selaras dengan sebuah Hadits:
لاَ يَرُدُّ
الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ)
Tidak
ada yang mengubah (menolak) qadha’, kecuali
doa (H.R. al-Tirmidzi).
Pengertian
qadha’ dalam Hadis tersebut adalah masyi’atullah. Sedangkan
doa yang bisa mengubah qadha’ adalah doa yang dikabulkan oleh Allah SWT.
Lalu bagaimana caranya agar doa kita dikabulkan Allah SWT?
Tips
pertama, kalau kamu ingin doa yang mustajab (dikabulkan), maka doa dengan perbuatan harus “satu
jurusan”. Namun,
umumnya tidak demikian. Misalnya, berdoa minta kaya, namun tidak bekerja;
berdoa ingin pandai, tapi ketika mengaji mengantuk terus; berdoa ingin menjadi
orang shalih, namun mengonsumsi makanan haram. Doa yang seperti ini tidak akan
dikabulkan oleh Allah SWT, sebagaimana keterangan dalam Hadis Shahih Muslim
tentang orang yang sudah mengadakan perjalanan jauh dan rambutnya acak-acakan,
lalu dia mengangkat tangannya ke arah langit, sembari berdoa: “Ya Tuhanku, ya
Tuhanku”; sedangkan makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan
(mustajab)?.
Tips
kedua, berdoa dengan tawasul. Tawasul berarti pakai wasilah
(lantaran). Jangan lupa, yang memberi
atau mengabulkan doa itu bukan makhluk, ulama maupun Nabi Muharmmad
SAW; melainkan Allah
SWT. Kalau kamu meminta kepada selain Allah SWT, maka yang demikian itu perbuatan syirik. Berbeda dengan tawasul yang tetap meminta kepada Allah
SWT, namun melalui lantaran. Jadi, tawasul itu bukan “kepada”, akan tetapi “atas rekomendasi”.
Tawasul sendiri terbagi menjadi dua macam. Pertama, tawasul dengan lantaran amal shalih (tawassul bi al-a’mal). Misalnya,
setelah membaca al-Qur’an, kamu berdoa : “Ya Allah, saya sudah beramal shalih
dengan membaca al-Qur’an, semoga Engkau kabulkan doa saja agar lulus kuliah”. Tawasul dengan amal shalih berfungsi memperkokoh
doa kepada Allah SWT, agar lebih berpeluang dikabulkan.
Tawasul
jenis ini pernah dilakukan oleh tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu
diselamatkan oleh Allah SWT, setelah mereka berdoa yang diawali tawasul dengan
amal shalih masing-masing. Orang pertama bertawasul dengan amal shalih berupa
berbakti kepada kedua orangtua; orang kedua bertawasul dengan amal shalih
berupa menghindari perzinahan; orang ketiga bertawasul dengan amal shalih
berupa menjaga amanah (H.R. al-Bukhari). Semua ulama sepakat atas kebolehan
tawasul dengan amal shalih.
Kedua, tawasul dengan lantaran orang shalih (tawassul bi al-askhash). Contoh
tawasul dengan lantaran “Ya Allah, mudah-mudahan saya diberi rahmat, lantaran kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan karamah Wali Songo”. Tawasul jenis ini sering dilakukan di makam, seperti makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailani atau Wali Songo.
Sebenarnya, kita
tidak meminta dan berdoa kepada mereka, melainkan kita meminta dan berdoa kepada Allah SWT dengan cara
menghormati mereka.
Inilah jenis tawasul yang sejak
dulu sudah menjadi pertikaian di kalangan ulama.
Ada ulama
yang
membolehkan dan ada
ulama yang melarang. Kita ini (warga NU), termasuk golongan yang membolehkan tawasul
dengan lantaran orang shalih. Mengapa demikian? Karena kita meyakini bahwa penghormatan kepada
Rasulullah SAW maupun waliyullah
juga
merupakan amal shalih. Jadi,
tawasul dengan lantaran orang
shalih, sebenarnya
sama dengan tawasul dengan lantaran
amal shalih.
Posting Komentar untuk "Hukum Alam (Sunnatullah) dalam Pandangan Islam"