Metode Kisah Qur'ani (Qashashul Quran)
Dr.
Rosidin, M.Pd.I
http://www.dialogilmu.com
Tafsir
Tarbawi Surat al-Ma’idah [5]: 27
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ
نَبَأَ ابْنَيْ آَدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ
أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآَخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (27)
Dan bacakan kepada mereka kisah kedua putra Adam
(Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): Sungguh aku pasti akan
membunuhmu!". Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban)
dari orang-orang yang bertakwa” (Q.S. al-Ma’idah
[5]: 27).
Nilai-nilai
Pendidikan:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ
Dan bacakanlah kepada
mereka.
Utlu dari kata tala-tilawah yang berarti “membaca
untuk diteladani atau diikuti”; ibarat membaca buku resep masakan. Berbeda
dengan qara’a-qira’ah yang berarti “membaca untuk menghimpun
informasi”; ibarat membaca koran. Penggunaan kata utlu dalam kisah
Qur’ani (qashash al-Qur’an) mengisyaratkan tujuan kisah Qur’ani adalah
agar diteladani. Berbeda dengan kisah kreasi manusia yang umumnya bertujuan
menghibur atau mencari keuntungan finansial, sedangkan pesan moralnya setipis
kertas tisu. Dus, ketika membaca kisah Qur’ani bisa jadi kita tidak terhibur,
namun pasti dapat kita teladani hikmahnya. Sebaliknya, mengikuti cerita
sinetron atau film, bisa jadi kita terhibur, namun hampir pasti tidak ada
hikmah yang dapat diteladani dalam kehidupan sehari-hari.
نَبَأَ ابْنَيْ
آَدَمَ بِالْحَقِّ
Berita dua putra Adam
dengan benar.
Naba’ adalah berita yang pasti benar, misalnya berita
tentang hari kiamat (Q.S. al-Naba’ [78]: 2).
عَنِ
النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2)
Tentang berita yang
besar (hari kiamat) (Q.S.
al-Naba’ [78: 2).
Buktinya,
pembawa berita berupa naba’ disebut Nabi. Berbeda dengan berita berupa khabar
yang peluang benar-salahnya 50%. Apalagi dalam ayat ini ditambah redaksi “dengan
benar” (bi al-haq). Jadi, sudah pasti kisah yang termuat dalam ayat
ini 100% benar.
Di
antara gaya kisah Qur’ani adalah tidak peduli pada detail. Oleh sebab itu,
al-Qur’an jarang menyebut nama tokoh yang terlibat dalam kisah. Tokoh anonim (misterius)
justru membuat pembaca fokus pada pesan moral yang hendak disampaikan
al-Qur’an, alih-alih sibuk mencari tahu nama tokoh yang dimaksud.
Memang
benar, nama tokoh anonim dalam al-Qur’an dapat dilacak melalui riwayat Hadis maupun
Isra’iliyyat (referensi dari literatur Bani Isra’il). Misalnya, nama dua putra Adam
yang dimaksud ayat ini, menurut riwayat Mujahid adalah Habil dan Qabil. Habil berprofesi
peternak; dan Qabil berprofesi petani.
إِذْ قَرَّبَا
قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآَخَرِ
Ketika keduanya berkurban, lalu diterima dari salah
satunya (Habil), dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).
Dua
putra Adam sama-sama menunjukkan perilaku religius, yaitu berkurban untuk Allah
SWT. Diriwayatkan bahwa Habil berkurban dengan dombanya; dan Qabil berkurban
dengan hasil pertaniannya. Namun hasil yang diperoleh berbeda. Kurban Habil
diterima, sedangkan kurban Qabil belum diterima.
Redaksi
ayat memakai kata “lam” yang berarti “belum”. Artinya, masih ada peluang
bagi Qabil untuk diterima kurbannya, seandainya saja dia mau mencoba lagi.
Hanya saja, sikap berangasan dan emosional, membuat Qabil tidak bisa berpikir
sehat, sehingga langsung memberi ancaman pembunuhan pada Habil.
قَالَ
لَأَقْتُلَنَّكَ
Qabil berkata: Sungguh aku pasti akan membunuhmu.
Imam
al-Ghazali menyebut tiga tipe kemarahan: (a) kemarahan lembek, pertanda
penakut; (b) kemarahan wajar, sebuah sikap terpuji; (c) kemarahan berlebihan,
sehingga tidak terkendali oleh akal maupun syariat.
Jelas,
Qabil memiliki tipe kemarahan ketiga, yaitu emosinya tidak terkendali, sehingga
mengeluarkan ancaman pembunuhan terhadap saudara kandung sendiri.
قَالَ إِنَّمَا
يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (27)
Habil berkata: “Sesungguhnya Allah hanya menerima
dari orang-orang yang bertakwa”.
Standar
penerimaan Allah SWT terhadap kurban seseorang bukan berdasarkan tampilan
fisik, melainkan tampilan ruhani. Misalnya, ada orang berkurban sapi, namun
ingin dipuji dan dipuja manusia (riya’ dan sum’ah); akan kalah
dengan orang yang berkurban kambing, namun ingin meraih ridha Allah SWT (ikhlas).
Kendati kalah secara tampilan fisik, namun unggul secara ruhani. Karena Allah
SWT tidak melihat besarnya daging kurban, melainkan bagusnya kondisi hati orang
yang berkurban (Q.S. al-Hajj [22]: 37).
لَنْ
يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya (Q.S. al-Hajj [22]: 37).
Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Singosari,
11 Februari 2018
Posting Komentar untuk "Metode Kisah Qur'ani (Qashashul Quran)"